Share

Modus

"Mi, aku butuh mobil."

Aku mengirim pesan kepada Mami saat tiba di kantor perusahaan. Jantungku masih berdebar meski sesi interview telah berakhir. Aku tinggal menunggu pesan dari perusahaan untuk mengetahui apakah hasilnya diterima atau tidak.

Sudah lama mami ingin membelikan mobil baru, tapi kutolak karena selama ini belum butuh dan memilih naik taksi online. Namun, karena aku memutuskan untuk bekerja, otomatis aku akan membutuhkan kendaraan roda empat itu sekarang. 

"Nanti mami urus, Kak. Mami masih sibuk."

Aku tak menanggapi pesan Mami. Keputusanku untuk tinggal di apartemen awalnya memang tidak disetujui oleh Mami, tapi tinggal di rumah justru membuatku merasa begitu muak. Papi dan mami yang sama-sama sibuk dengan pekerjaannya membuat mereka jarang di rumah. Aku suka sendiri, tapi aku tidak suka sepi. Saat keduanya di rumah, bukan keharmonisan yang terasa, tapi hanya suara-suara membosankan. Mereka saling adu mulut, mendebatkan apa saja.

Aku bosan dengan kehidupanku dan memutuskan untuk tinggal sendiri di apartemen yang jauh dari rumah, tapi tak jauh dari tempat kuliah.

Imel selalu bilang bahwa dia iri dengan hidupku yang serba cukup secara materi. Padahal manusia tak hanya butuh materi saja. Manusia selalu memiliki ruang di relung hatinya, ruang yang dingin dan butuh kehangatan dari cinta. Namun, selama ini, aku tak bisa mendapatkan cinta dari orang tua.

Mereka hanya memastikan uang bulananku cukup tanpa memastikan apalah ruang dingin dalam hatiku cukup hangat atau tidak.

Aku sempat membenci papi dan mami yang menurutku tak menyayangiku. Namun, aku sadar mereka pun sedang berusaha semampu mereka. Mereka mencintaiku dengan cara yang mereka yakini akan membuatku bahagia.

Mereka bekerja keras untuk masa depanku. Maka keputusan untuk bahagia atau tidak sesungguhnya berada di tanganku. Jika aku tidak bisa melihat dari dua sisi, tentu aku merasa tak bahagia sebab kurangnya kasih sayang dari mereka.

Namun, kembali lagi, jika mereka tak cukup bekerja keras maka aku tak akan bisa merasakan ini semua. Tinggal di apartemen mewah, punya kendaraan pribadi, tidak perlu pusing memikirkan biaya kuliah. Itu sebabnya aku harus belajar bahagia dengan versi yang berbeda.

Sejak SMP aku sudah biasa dengan home schooling. Aku tidak punya teman, aku sulit berbaur dengan teman, aku lebih nyaman dengan kesendirian. Mungkin karena itu aku merasa kurang nyaman berada di keramaian. Namun, makin dewasa aku makin sadar bahwa aku butuh teman. 

Aku begitu pemilih dalam memilih teman sejak semester pertama. Aku tak mencoba berbaur dengan mereka, tapi ada beberapa yang ingin berteman denganku saat mereka tahu aku dari kalangan orang berada.

Awalnya aku mencoba untuk menerima kehadiran teman-teman baru di kampus, tapi ternyata mereka hanya memanfaatkan keadaanku. Mereka menginginkan uangku. Masuk semester dua aku mulai berani menjauh dari mereka dan bertemu Imel.

Si cerewet itu awalnya tak mau berteman denganku karena dia bisa kuliah hanya karena jalur beasiswa. Bapaknya seorang nelayan dan ibunya pedagang ikan di pasar. Meski Imel tahu aku hidup dengan uang dari papi dan mami, tapi dia tak pernah memanfaatkan aku seperti teman-teman sebelumnya. 

Sejak semester pertama, Imel sudah kuliah sambil bekerja. Dia jarang meminjam meski sedang kehabisan uang. Terkadang aku yang berinisiatif meminjamkan karena tak tega. Uang yang dia kumpulkan dari bekerja sebagai staf administrasi di salah satu perusahaan pajak dia gunakan untuk membeli motor matic yang saat ini kubawa.

Telepon dari Imel membuatku tersentak dan segera merogoh benda pipih itu dari dalam ransel.

"Miiiir motor gue!" 

Aku sontak menjauhkan ponsel dari telinga ketika mendengar teriakan Imel.

"Iya, bentar lagi gue pulang."

"Nitip beliin nasi padang, dong. Gue dari pagi belom makan."

"Belom dua kali, kan?"

Imel terdengar ketawa. Aku mematikan telepon dan bergegas pulang, tak lupa membeli pesanan Imel dulu sebelum sampai di apartemen.

Setibanya di apartemen, aku dibuat kaget oleh tangisan Imel. Hampir setahun berteman dengannya, baru kali ini aku mendengar tangisannya.

"Lo kenapa?!" Aku memegangi bahu, menempelkan punggungnya tanganku di keningnya. "Masih sakit?"

Imel masih terisak-isak, lalu mulai berbicara dengan terbata-bata. 

"Nyo-kap gu-e sakit, Mir. Pantes bulan ini mereka gak kirim uang, ternyata uangnya dipakai berobat. Disaat mereka sakit, gue malah gak bisa bantu apa-apa."

Aku mengatur napas, kemudian menepuk bahu Imel dan berusaha menguatkan. 

"Mau gue bantu?" tanyaku.

Imel mengusap ingus dan menggeleng. "Gak. Gue cuma lagi lebay aja."

"Serius? Gak papa kalo emang butuh. Selama ini lo juga gak pernah minta tolong sama gue dan ini murni keinginan gue buat bantu lo."

Lagi-lagi Imel menggeleng dan menangis sekencang-kencangnya. Bukan cuma saat seneng aja dia hebohnya, tapi pas sedih juga gak kalah heboh ternyata. 

"Nasi padangnya mana? Gue laper," ucapnya setelah tangisnya mereda.

Aku mendengkus, lalu menyerahkan bungkusan nasi padang untuknya.

Usai makan, Imel pamit pulang. Dia akan membayar uang sewa kos dan harus berangkat kerja sif malam. Aku sudah memintanya untuk istirahat dulu, tapi dia tidak mau. Sudah tak ada sisa kesedihan di mata Imel. Aku tak tahu apakah orang ekstrovert seperti Imel tak bisa bersedih lama-lama? Berbeda denganku yang bisa sedih berhari-hari saat mendapat kabar buruk.

"Kalo butuh apa-apa kabarin gue ya, Mel," kataku saat dia memakai helm.

Dia mengacungkan jempolnya seperti biasa dan meninggalkan parkiran apartemen.

Ponsel yang kugenggam bergetar, panggilan telepon dari mami.

"Kak, mobilnya siap dikirim hari ini. Kamu tinggal tanda tangan aja nanti."

"Biar dikirim ke rumah aja, terus besok mami minta sopir buat anter ke sini. Aku males tanda tangan."

"Ya udah, gampang. Besok pagi mami suruh pak sopir anter mobilnya ke sana, ya."

"Iya."

Aku mematikan panggilan dan berjalan menuju lift. Lagi-lagi ponselku bergetar, tapi kali ini panggilan dari nomor baru yang tidak dikenal.

Aku membisukan panggilan dari nomor asing itu dan memilih untuk memasang headset dan memutar musik.

Lift terbuka, aku segera berjalan menuju kamar sambil fokus dengan ponsel di tangan. Aku menghentikan langkah mendadak saat menabrak seseorang.

Sontak aku mendongak, menatap Jo yang sudah berdiri di depan pintu kamar apartemenku. Satu tangannya memegang ponsel, tangan yang kiri dimasukkan ke dalam saku celana.

"Kenapa teleponnya gak dijawab?"

Aku sontak membulatkan mata dan menatap layar ponsel. Panggilan dari nomor asing yang sejak tadi kubisukan terpampang lagi.

"Jawab!" suruhnya sambil mengangkat dagu.

Aku mendengkus, lalu menggeser tombol hijau di layar. 

"Apa?!"

Dia tertawa, sementara aku memilih untuk menyipitkan mata dan menatap dengan tak suka.

"Akhirnya aku bisa dapat nomor kamu juga. Jangan lupa di-save, ya. Bye bye!"

Dia mengatakan itu, kemudian mematikan panggilan dan masuk ke dalam kamarnya. Aku hanya bisa mematung di tempat sambil menerka-nerka, kiranya dia dapat nomorku dari mana? Jangan-jangan dari Imel?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status