Share

Bagian 8

Di ruang tamu rumahnya, Mayumi sedang duduk menghadap ke arah jendela yang terbuka seraya bersandar pada dinding sofa. Dua matanya yang indah tengah menatap bunga mawar yang baru saja mekar di luar sana. Dahannya yang sebesar jari kelingking tampak bergoyang-goyang saat angin melintas.

Mayumi mengagumi keindahan itu, meski angin terus menerpanya tapi bunga itu tetap berdiri kokoh. Harusnya Mayumi bisa sekuat itu, tapi bagaimana jika angin itu lebih kencang? Siapa yang akan sanggup berdiri mempertahankan posisinya?

Mungkin hak itu yang sedang Mayumi rasakan saat ini. Tidak memiliki teman, tidak memiliki pekerjaan, sementara kebutuhan seolah mengejar-ngejarnya.

“Kamu tidak kerja hari ini?”

Suara lembut dan lebah dari arah belakang membuat Mayumi spontan menoleh. Mayumi tersenyum lantas mempersilakan sang ibu ikut duduk. Sebenarnya ibu sudah membaik, beliau sering sakit hanya saat belum bisa melupakan sang suami yang tega pergi bersama Wanita lain. Saat itu ibu sangat terpukul dan sering menangis diam-diam. Hal itulah yang mendorong Mayumi untuk bekerja dan memenuhi kebutuhan sehari-hari supaya ibu bisa santai.

“Aku sedang libur hari ini,” jawab Mayumi.

Hana tersenyum. Sudah sejak kemarin dia merasa ada yang aneh dengan putrinya itu. Diperhatikan, Mayumi sering melamun sendiri beberapa hari ini. Mungkin sudah sekitar satu mingguan, Mayumi sering duduk sendirian dan terkadang tidak menyahut saat dipanggil.

“Apa kamu tidak lelah membohongi ibu?”

Mayumi ingin tertawa saat ini, Ibunya paling tahu saat menebak situasi dan kondisi. Memang apa yang bisa Mayumi sembunyikan lagi. Ketika Hana meraih tangan Mayumi, saat itu juga Mayumi tersenyum getir. Senyum itu seperti membuktikan rasa bersalah dan ketakutan yang terpendam.

“Ceritakan saja semuanya. Ibu tidak memaksamu untuk melakukan hal sekiranya memberatkan.”

Mayumi maju lantas memeluk ibunya beberapa saat. Ia menangis sesenggukan karena merasa bersalah tidak cukup bisa membantu saat ini. Hana mengusap punggung Mayumi yang sedang terguncang. Andai waktu bisa diputar, Hana tentu tidak mau di bawa ke negara ini jika hanya akan ditinggalkan.

“Maafkan ibu,” lirih Hana.

Hana mendesah lalu melepas pelukan. “Aku yang harusnya minta maaf. Aku terlalu bodoh untuk mendapatkan pekrjaan di sini.”

Hana menggeleng saat sudah menangkup kedua pipi Mayumi. Raut wajah itu jelas sekali sedang menahan sedih dan bingung. Tidak mudah tinggal di negara orang tanpa memiliki keahlian, dan Mayumi menyesali itu.

“Kau tahu, ibu sudah mendapatkan pekerjaan,” ucap Hana sambil memamerkan senyum.

Mayumi tidak terlalu suka mendengar kalimat itu. Bukan tidak ikut Bahagia, hanya saja Mayumi tidak mau ibunya yang baru saja pulih harus bekerja.

“Di mana ibu mendapatkan pekerjaan?” tanya Mayumi dengan raut wajah tidak yakin.

Hana masih tersenyum. “Ibu membantu tetangga membersihkan rumah dan lain-lainnya.”

Wajah Mayumi seketika merengut mendengar jawaban itu. Itu pekerjaan yang sangat melelahkan, dan Mayumi tidak mau ibunya sakit karena kelelahan.

“Ibu ….” Mayumi menatap dalam-dalam sambil menggenggam kedua telapak tangan ibunya. “Ibu tidak perlu melakukan itu. Percaya padaku, aku akan segera mendapatkan pekerjaan.”

Mayumi sendiri kurang yakin dengan kalimatnya sendiri, tapi bagaimana pun juga harus bisa meyakinkan sang ibu supaya tidak ikut repot dengan pekerjaan.

“Percaya padaku.” Mayumi memohon.

Hana tidak tahu harus menjawab apa selain mengangguk. Jika Mayumi sudah memaksa, siapa yang bisa menolak, dan juga dan hal pindah ke sini Hana juga andil dalam kesalahan itu. Mayumi sempat menolak untuk pindah, tapi Hana terus merayu dan memohon.

Ketika obrolan itu selesai, Mayumi masuk ke dalam kamarnya. Dia duduk di tepi Rajang sambil menatap layar ponselnya yang menyala terang dalam suasana kamar berlampu remang-remang. Mayumi sudah bolak-balik mencari informasi lowongan pekerjaan di internet, dan tak kunjung menemukan titik terang.

“Tunggu dulu!” Mayumi terkesiap dan spontan kepalanya menegak lurus menatap ke depan.

Mayumi kemudian meletakkan ponselnya di atas ranjang lalu matanya memutar mencari letak di mana tasnya berada. Setelah menyapu pandangan, Mayumi mendapati tas selempangnya menggantung di balik pintu kamarnya. Dengan cepat Mayumi berdiri dan mengambil tasnya. Setelah itu, ia kembali duduk dan dengan cepat membuka tasnya. Satu tangannya masuk dan mulai mengobok-obok isinya. Setelah tangannya meraih benda tipis, Mayumi spontan mendesah lega lalu diangkatnya benda itu dan tersenyum semringah.

Mayumi kembali meraih ponselnya yang sempat ia abaikan. Dengan cepat jemarinya mulai mengetik nomor yang tertera pada kartu nama tersebut.

Beberapa detik Mayumi menunggu panggilan itu terhubung dengan perasaan  was-was. Mayumi tidak yakin kalau pemilik kartu nama ini akan menjawab panggilannya. Jika beliau orang penting, mungkin saja panggilan nomor tak dikenal akan diabaikan.

“Halo.!”

Oh astaga! Mayumi hampir saja menjatuhkan ponselnya saat orang di seberang sana menjawab panggilannya. Mayumi yang gugup luar biasa sampai terbata-bata saat menyahut.

“Oh, ha-halo.” Mayumi menelan ludah setelah itu. Suara Wanita di balik ponsel terdengar lembut dan tidak asing seperti sejak pertama Mayumi bertemu singkat dengannya waktu itu.

 Mayumi mulai bicara masih dengan nada gugup dan tebata-bata. Ia tidak pandai mengontrol dirinya karena  terlalu berharap dengan Wanita tersebut. Beberapa kata sudah Mayumi jelaskan, akhirnya Wanita itu mengajak Mayumi bertemu untuk makan siang sekaligus. Entah ini berita baik, atau hanya Mayumi yang terlalu kegirangan, tapi setidaknya ada harapan untuk mendapat pekerjaan.

Mayumi dengan cepat bersiap-siap untuk pergi. Ia berpamitan dengan ibunya tanpa memberi penjelasan yang Panjang, melainkan hanya meminta doa supaya semuanya lancar.

Sepanjang perjalanan, Mayumi tidak lepas tersenyum. Ia sampai menggeleng-geleng kepala seperti anak kecil yang diberi es krim karena saking bahagianya.

Sampai di tempat tujuan, Mayumi masuk ke sebuah restoran yang sudah ditentukan. Dan Ketika Mayumi sedang menyapu pandangan seorang pelayan datang mendekat.

“Maaf, Nona. Apa anda Nona Mayumi?” tanyanya.

Mayumi mengangguk dengan kening sedikit berkerut. “Ya, saya Mayumi.”

“Nona sudah ditunggu Nyonya Sarah.”

Oh, Namanya Nyonya Sarah.

“Mari saya antar.” Pelayan itu memberi jalan menuju ruang vip.

Sampai di depan tirai pembatas, Mayumi dipersilakan masuk sendiri. Sambil menggigit bibir, Mayumi kembali menyapu pandangan seraya melangkah maju mencari sosok Wanita bernama Nyonya Sarah. 

“Halo,” suara itu terdengar berat dan bukan suara seorang Wanita pastinya.

Mayumi spontan menoleh dan menunduk, dan Ketika matanya bertemu tatap dengan pria itu, saat itulah Mayumi terlonjak sampai menjerit kecil dan tertutup telapak tangan.

Astaga! Apa-apaan ini? Kenapa ada pria gila ini?

Frans berdiri lalu berdiri lebih dekat dengan Mayumi. “Sedang apa kamu di sini? Apa sekarang kamu menjadi pelayan di restoran ini?”

“Bukan urusan kamu!” Mayumi acuh lalu menyingkir.

Saat Mayumi hendak melangkah maju, dengan cepat Frans meraih tangannya. “Mau ke mana kamu?”

Mayumi tidak mungkin teriak di sini. Ada beberapa tamu yang sedang menikmati makan siangnya. Tidak banyak, karena memang hanya tersedia sekitar lima meja saja.

“Aku tidak ada urusan denganmu disini,” Ucap Mayumi sambil mengibas tangan.

“Mayumi! Kamu sudah datang!” lengkingan suara itukah yang sekarang cukup membuat Mayumi merasa lega. “Ayo duduk”

Sarah menarik lengan Mayumi dan mengajak duduk. Mayumi menurut karena memang itu tujuannya datang ke sini. Namun, Ketika melihat Frans ikut duduk dan tersenyum menyeringai, saat itulah pikiran Mayumi mulai kacau.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status