Sudah sekitar satu minggu, Frans tidak kembali ke rumah keluarga besarnya. Dia memilih tinggal di rumah warisan kakeknya yang jauh dari keramaian. Dia hanya tinggal bersama para pelayan dan pengawalnya saja.
Frans turun dari mobil di sambut dua pengawal rumah. Ketika sudah berdiri sambil menarik kemejanya lebih rapi dan menyugar rambutnya, Frans meminta dua orang itu untuk segera menyingkir. Setelah itu, Frans berkedip meminta Leo dan Tom berjalan di belakangnya.Sampai di depan anak tangga menuju pintu masuk, Frans berdiri sambil mendongak memandangi bangunan rumah di hadapannya itu.“Untuk apa juga aku datang ke sini?” decak Frans. “Cih, bukankah sudah ada putra kesayangan juga?”Frans menarik napas lalu menaiki tangga bersamaan dengan napasnya yang berembus cepat. Suara tapak sepatunya bergema membuat suasana mendadak tegang dan tidak nyaman bagi dua orang yang ada di belakang Frans. Mereka tidak yakin kalau Tuannya sudah datang ke rumah ini, karena biasanya akan ada perdebatan.Dua pengawal yang tadi menyambut Frans berlari mendahului, lantas membukakan pintu. Saat itu Frans tersenyum meyeringai. Ia pikir dua pengawal rumah ini akan membiarkannya membuka pintu sendiri, ternyata merek peka juga.Dua pengawal itu mempersilahkan Frans masuk dan menuntunnya menuju ruang keluarga. Sampai di sana sudah ada keluarga yang berkumpul menghadap pada meja yang penuh dengan hidangan makan malam. Frans tersenyum tipis. Yang Frans lihat pertama ada ayah, ibu yang duduk berdampingan. Di sebelah kiri ayahnya ada lagi Wanita dan pria paruh baya yang tidak lain adalah adik dan juga ipar dari ayah. Lalu, dua pria tampan yang tak lain adalah putra mereka. Di sebelahnya lagi terlihat satu Wanita cantik yang entah siapa itu, Frans masih belum tahu.Dari tatapan mereka semua, ada tiga mata yang seperti biasa penuh ke tidak sukaan. Mereka hanya menatap Frans sekilas bahkan sepertinya tidak berniat untuk memberi sambutan.“Kemari!” sang ibu melambai dan memintanya untuk duduk. Sarah tersenyum lebar melihat sang putra datang.Frans jalan ogah-ogahan lalu ikut duduk.Tidak ada pembicaraan apa pun selama makan malam berlangsung. Semua diwajibkan diam dan menikmati makanan yang tersaji. Itulah aturan di keluarga ini.Sekitar setengah jam berlangsung acara makan malam pun selesai. Frans yang sudah merasa bosan ingin beranjak, tapi dengan cepat Sarah menggapainya.“Duduklah dulu,” pintanya.Frans menatap santai lantas duduk kembali. “Kupikir acaranya sudah selesai.”Di samping sang istri, Jeff sudah mendesah berat melihat sikap Frans yang masih tetap acuh dan dingin. Sebagai istri yang baik, Sarah sudah menggenggam tangan sang suami supaya tetap tenang. Namun, di samping itu, ada sosok yang menatapnya tidak suka.“Tidakkah kamu merindukan ayah dan ibumu?” tanya Jeff dengan nada kesal.Dengan santainya Frans menghela napas lalu bersandar. “Untuk apa aku ada di sini sementara tidak ada yang menyukai kehadiranku?” kalimat itu jelas sekali ditunjukkan pada empat orang yang duduk di hadapannya saat ini.“Setidaknya datang u tuk bertemu ibumu.”Frans spontan menoleh ke arah ibunya yang tersenyum menahan rindu. Memang baru satu minggu Frans tidak datang berkunjung, tapi meski berkunjung selalu saja hanya sebentar dan tidak pernah sampai menginap.“Dan di mana calon istrimu yang katanya ingin kamu kenalkan?”Shit! Frans lupa akan hal itu. Satu minggu ini dia sedang berniat mencari Wanita untuk dijadikan kekasih palsunya supaya bisa lepas dari pertanyaan bodoh kedua orang tuanya mengenai keturunan. Reaksi Frans yang bingung dan terkesan menghindar membuat satu pria di hadapannya menyeringai.“Bilang saja kalau tidak ada yang mau denganmu.”Kalimat itu membuat Frans spontan menoleh dengan tatapan dingin. Sekarang Frans tahu siapa Wanita yang duduk di samping Drako. Jelas sekali dari duduknya yang berdampingan dan sok tersenyum mesra.“Besok juga aku kenalkan,” ucap Frans.Mereka sepertinya sengaja mau mempermalukanku di sini. Kalau begitu, baiklah aku turuti permainan kalian. “Kamu hanya sedang mencari alasan kan?” cibir Pete. “Aku bahkan tidak pernah melihatmu bersama seorang Wanita selain mantanmu yang sudah kabur itu.”Brak!Frans spontan berdiri dan menggebrak meja. Semua yang berada di sini sontak terjungkat kaget.Biasanya Pete tidak pernah ikut bicara, mungkin kali ini hanya ingin sekedar menggoda Frans.“Hati-hati kalau bicara! Memang kamu siapa berani ikut campur urusanku?”“Tenang, Bro. aku hanya sekedar ingin ikut bicara.” Pete tersenyum miring dengan tatapan mata seperti sedang mempermainkan.“Frans, tenanglah. Duduk dulu.” Sarah menarik tangan Frans.“John, suruh anakmu diam dulu,” ucap Jeff pada adik iparnya itu. “Kalau perlu ajak mereka ke luar dulu dari sini. Biarkan aku bicara dengan putraku.”“lho, kamu mengusirku dan anak-anakku?” sungut Johny.Jeff langsung menatap adik perempuannya, memberi kode supaya segera memberi pengertian pada Johny.“Kita ke luar dulu,” ucap Rachel. “Makan malam juga sudah usai kan?”Rachel beranjak lebih dulu. Ia menatap kedua putranya lalu pada suaminya meminta untuk segera ikut pergi. Pergi dari ruangan tersebut, Johny merasa sedang direndahkan. Ia tidak suka saat kakak iparnya itu sok mengatur.“Kita juga berhak di sana,” ucapnya dengan nada kesal.Dua putranya sudah pergi karena malas melihat kedua orang tuanya yang mulai berdebat. Drako pergi mengantar kekasihnya pulang, sedangkan Pete sudah berlari ke atas menuju kamarnya.“Lama-lama aku kesal dengan kakakmu yang selalu mementingkan istri dan putra sialannya itu.” Johny menjatuhkan diri duduk di atas sofa.“Memang harus apa kita? Kita juga tidak perlu ikut campur. Cukup bisa tinggal di rumah ini saja sudah untung.”Johny menatap istrinya dengan tajam dengan dagu terangkat. “Apa maksud kamu bicara seperti itu? Kamu sedang menghinaku karena tidak bisa membawamu tinggal di rumah yang lebih mewah?”Rachel berdecak lalu menghentak kaki. Dia mulai kesal kalau bicara dengan suaminya yang mudah terpancing amarah tapi tidak pernah mencari solusi saat ada masalah. Rachel kemudian menghela napas dan melenggak pergi ke kamar juga.Kembali ke ruang makan, Sarah masih terus membujuk sang putra untuk mau tinggal di sini.“Dengar …” Jeff kembali bicara. “Ayah bukan mau memaksamu, tapi biar bagaimana pun juga ini permintaan kakekmu supaya kamu segera menikah. Kamu tahu maksud ayah kan?”Frans terdiam Ketika teringat kembali dengan perkataan kakek saat masih hidup. Dan mengenai pembicaraan keluarga besar, siapa pun yang memiliki cucu pertama tanpa ada perceraian yang akan mendapat warisan utama. Sunggu suatu wasiat yang terdengar sangat konyol. Frans tidak tahu kenapa kakeknya sampai bicara seperti itu saat perkumpulan keluarga dulu. “Baiklah, aku akan tinggal di sini. Tentang Wanita, kalian tenang saja, aku mungkin akan segera mendapatkannya.”Frans berdiri usai berkata demikian. Lalu, Ketika sudah maju beberapa langkah, Frans kembali berbalik. “Carikan aku pelayan. Aku tidak mau memakai pelayan di keluarga ini.”***Di ruang tamu rumahnya, Mayumi sedang duduk menghadap ke arah jendela yang terbuka seraya bersandar pada dinding sofa. Dua matanya yang indah tengah menatap bunga mawar yang baru saja mekar di luar sana. Dahannya yang sebesar jari kelingking tampak bergoyang-goyang saat angin melintas.Mayumi mengagumi keindahan itu, meski angin terus menerpanya tapi bunga itu tetap berdiri kokoh. Harusnya Mayumi bisa sekuat itu, tapi bagaimana jika angin itu lebih kencang? Siapa yang akan sanggup berdiri mempertahankan posisinya?Mungkin hak itu yang sedang Mayumi rasakan saat ini. Tidak memiliki teman, tidak memiliki pekerjaan, sementara kebutuhan seolah mengejar-ngejarnya.“Kamu tidak kerja hari ini?”Suara lembut dan lebah dari arah belakang membuat Mayumi spontan menoleh. Mayumi tersenyum lantas mempersilakan sang ibu ikut duduk. Sebenarnya ibu sudah membaik, beliau sering sakit hanya saat belum bisa melupakan sang suami yang tega pergi bersama Wanita lain. Saat itu ibu sangat terpukul dan sering
Mayumi sudah tersenyum getir sedari tadi. Dia merasa tidak nyaman dalam situasi seperti ini. Tatapan Frans yang aneh, juga membuat Mayumi ingin segera angkat kaki saat ini juga. Namun, bukan itu tujuan Mayumi. Mayumi datang untuk menemui seseorang yang pastinya bukan Frans. Lalu, ada hubungan apa di antara Frans dan Nyonya Sarah? Kenapa bisa satu meja?Berbagai macam pertanyaan mulai muncul.“Kamu baru datang?” tanya Sarah.Mayumi mengangguk. Ia masih mencoba untuk tersenyum mencoba bersikap biasa saja. Ketika matanya sempat melirik ke arah Frans, Mayumi sedikit membelalakkan mata lalu menunduk dengan cepat. Tatapan Frans dan senyumnya yang miring, membuat Mayumi bergidik ngeri.“Apa kalian sudah saling mengenal?” tanya Sarah.Mayumi mengangkat wajah, ia tatap lebih dulu Nyonya Sarah lalu perlahan menatap Frans. Ia kemudian menelan ludah, saat lagi-lagi Frans tersenyum padanya.“Memang siapa dia? Wajahnya sangat aneh!” cibir Frans. Ia mendecih dan menjulingkan mata lalu meraih segelas
Mayumi ragu saat ingin mengatakan tentang pekerjaan yang ia dapatkan pada ibunya. Dan juga, jika Mayumi memang bersedia menerima pekerjaan itu, maka ia harus bersedia pindah ke rumah mereka. Apa yang harus Mayumi katakana? Jika Mayumi pergi, ibu akan sendirian di rumah.“Apa ada yang salah?” tanya Hana. Hana duduk di samping Mayumi. Dari raut wajah Mayumi yang termenung, Hana pikir ia gagal mendapatkan pekerjaan.“Tidak apa kalau kamu belum mendapatkan pekerjaan,” ucap Hana sambil mengusap lengan Mayumi.Mayumi spontan menoleh, ia tatap wajah ibunya lalu tersenyum. Sebuah senyum yang manis dan tulus, tapi menunjukkan ada sesuatu kebimbangan di dalamnya.Mayumi menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bicara. “Aku sudah mendapatkan pekerjaan,” ucapnya.“Sungguh?”Reaksi antusias itu membuat Mayumi tersenyum getir. Ia senang, tapi bagaimana dengan ibu yang akan di sini sendirian?Hana merasa ada yang aneh karena putrinya itu tidak menunjukkan kalau sedang senang mendapatkan pekerjaan. B
Mayumi tidak menyangka kalau di rumah ini begitu banyak pelayan. Mungkin ada sekitar lima pelayan Wanita dan dua pelayan pria. Jumlah pelayannya tidak jauh berbeda dari rumah yang pernah Mayumi kunjungi di hutan pinus waktu itu. Mereka sudah dibagi tugas masing-masing sementara Mayumi masih belum tahu harus apa pagi ini karena sejak semalam ia belum bertemu dengan Nyonya Sarah. Mereka orang sibuk yang pastinya akan tidak ada waktu untuk sekedar menyapa pelayan baru. Its okay, itu tidak masalah untuk saat ini, yang terpenting sudah mendapatkan pekerjaan.“Kamu pelayan baru?” tanya seorang Wanita yang baru saja ke luar dari dalam kamar mandi. Wanita itu kemungkinan berumur tiga puluh tahunan. Dua pelayan berada dalam satu kamar dengan Mayumi.Mayumi mengangguk. “Salam kenal.” Kemudian Mayumi membungkukkan badan memberi hormat perkenalan.Dia tersenyum lalu mengulurkan tangan. “Aku Emely. Siapa namamu?”Mayumi tersenyum dan segera membalas jabatan tangan itu. “Aku Mayumi.” Sekali lagi Ma
Sampai semuanya berangkat dengan keperluan masing-masing, Frans belum juga datang. Jeff yang mulai kesal hanya bisa berdecak usai menyelesaikan sarapannya.“Anakmu itu memang benar-benar keterlaluan!”Sarah melengos membuang mata jengah. “Dia kan memang begitu. Tenanglah, nanti juga sampai di sini.”“Untuk apa paman memaksa kalau memaksa? Frans itu pria yang susah diatur!” Drako ikut bicara.“Diamlah!” Rachel menyikut lengan putranya itu supaya tidak ikut bicara.Drako langsung mendengkus kemudian meraih tasnya dan menyeret lengan Jessy. Dia pergi begitu saja tanpa pamit. Jessy yang kala itu ingin menghabiskan minumannya jadi urung, untung saja gelas yang sempat ia pegang tidak terjatuh.“Dia juga ingin bicara, kenapa kamu melarangnya,” ucap Johny. “Drako juga bicara sesuai fakta kan? Kalau Frans memang susah diatur.”Jeff meneguk habis minumannya lalu beranjak. Sesungguhnya ia lelah sekali menghadapi iparnya yang tidak tahu diri itu. Dia sudah menumpang, tapi bicara seolah dia tuanny
Mayumi masih melongo beberapa detik sebelum kemudian Frans membuatnya terjungkat lagi. Frans menjentikkan dua jarinya tepat di depan wajah Mayumi hingga Mayumi mundur dan bergidik.“Ka-kamu?”“Ambil barang-barang di mobil!” perintahnya sambil melipat kedua tangan di depan dada. Mayumi menaikkan satu bibirnya dan membuang mata jengah. Ia seolah enggan atau menolak perintah dari Frans.“Kamu tuli?” Frans sedikit mencondongkan badan hingga wajahnya begitu dekat dengan wajah Mayumi.Mayumi mengerutkan dahi lalu menarik wajah mundur hingga membuat badannya mencondong ke belakang. “A-aku, aku bekerja untuk Nyonya Sarah di sini. Kamu, ka-kamu tidak berhak memberi perintah.”Tuk!Frans mengetuk ujung kepala Mayumi menggunakan siku jarinya, membuat Mayumi mengaduh.“Apa yang kamu lakukan?” hardik Mayumi dengan wajah merengut.“Aku yang membayar kamu di sini. Sekarang ambilkan barang-barangku di dalam mobil.”Frans tersenyum tipis, tapi wajahnya tampak kesal. Bukan kesal karena marah, tapi ent
Mayumi tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi di hari berikutnya. Ini baru satu hari, dan Mayumi sudah merasa benar-benar dipermaikan oleh majikannya. Sepanjang jalan menuju kamarnya, Mayumi terus saja gedumel tidak jelas. Dia tidak habis pikir kenapa ada pria yang sifatnya begitu menyebalkan seperti Frans.“Ada apa denganmu?” tanya Juy yang baru saja ke luar drai ruang laundry. Ada setumpuk baju dalam keranjang yang ia bawa.Mayumi tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, aku hanya kesal.”“Kamu sudah tidak ada kerajaan kan?” tanyanya lagi.Mayumi menggeleng.“Kalau begitu bantu Mareta menata pakaian.”Mayumi mengangguk. “Aku akan menelepon ibuku dulu, hanya sebentar.”“Hem.”Mayumi berjalan lurus masuk ke Lorong sempit di mana kamarnya dan para pelayan lain berada. Sampai di kamarnya, dia langsung mengambil ponselnya dan menghubungi ibunya. Sejak mulai bermalam di sini, Mayumi belum sempat menelepon ibunya.“Halo, Sayang. Bagaimana kabar kamu? Apa sudah mulai bekerja?”Suara sapaan s
Tentang wasiat yang ditinggalkan oleh Jacob menjadi hal serius untuk Rachel dan sang suami. Biar bagaimana pun juga, ia harus mendapatkan warisan itu sebelum jatuh pada Frans yang notabenenya cucu pertama dari putra pertama. “Ada perlu apa ibu memintaku bertemu di sini?” tanya Drako. Ia menarik satu kursi lalu mendudukinya.Drako menyapu pandangan sebelum mulai duduk tenang menghadap ke arah ibunya. “Sepertinya salon sedang sepi,” ucapnya.Rachel menghela napas dan angkat bahu. “Tidak juga, ada belasan orang yang datang pagi tadi.”“Baguslah,” ucap Drako. “Ada apa ibu memintaku datang, aku bahkan baru saja menyelesaikan meetingku.”“Oh, iya, bagaimana dengan proyekmu?” Rachel bertanya dengan nada antusias. Untuk sesaat dia lupa tujuannya meminta putranya datang kesini.Wajah Drako yang datar kini perlahan menyungging senyum, ia kemudian meraih kedua tangan ibunya. “Tentu saja berhasil. Proyek pantai itu aku yang pegang sekarang.”Melihat antusias sang putra, Rachel ikut tersenyum Bah