Ranjang yang berantakan, pakaiannya berserakan, dan dirinya yang hanya mengenakan pakaian dalam. Dan paling penting, ini bukan kamarnya! Dia masih di hotel!
Tiba-tiba arus ingatan mengalir ke dalam benak Alisa. Dia meminum satu gelas anggur, lalu seketika tubuhnya terasa aneh, dan perlahan kesadarannya membuyar, hingga berikutnya … Alisa mencium Dirga! Tidak hanya itu, Alisa bahkan mendorong pria itu ke tempat tidur dan– dan–! "AAHHH!" Alisa berteriak selagi membenamkan wajahnya ke bantal. Dia memaki-maki kebodohan dirinya, “Bodoh bodoh bodoh! Di mana letak kewarasanmu, Alisa?!” Apa segelas wine bisa merenggut kewarasannya dalam hanya beberapa detik? Alisa jadi mempertanyakan, sebenarnya obat apa yang Sabrina berikan?! “Aku … aku harus segera pulang! Aku harus segera menemui Sabrina dan menanyakan kebenaran atas obat itu!” putusnya di sela benak yang berkecamuk. Dia sudah tidak pulang semalaman dan pastinya bibinya akan menyadari ada yang salah dengannya. Kalau sang bibi–yang menggantikan kedua orang tuanya merawatnya, tahu apa yang terjadi, wanita itu pasti akan membuat Alisa mati berdiri! Gegas, Alisa pun turun dari tempat tidur, mengenakan pakaiannya dengan cepat. Lalu saat Alisa ingin meraih ponselnya, dia melihat sebuah pesan di atas nakas. [Jangan ke mana-mana. Aku akan segera kembali. D.] Melihat pesan tersebut, Alisa marah setengah mati. "Bajingan, siapa yang ingin bertemu denganmu lagi, huh?!” Namun, dengan cepat Alisa menuliskan pesan balasan sembari tersenyum marah bercampur dengan mata yang berkaca-kaca. "Akan kubuat kamu trauma sampai tak berani menyentuh wanita lagi seumur hidup!" Dia membanting pena saat selesai. Kemudian berjalan pergi dari kamar hotel tersebut. “Selamanya, aku harap kita tidak bertemu lagi, Dirga Disastra!" Usai mengatakan itu, Alisa membanting tertutup pintu kamar hotel dan cepat-cepat meninggalkan gedung tersebut. Baru setengah jam setelah kepergian Alisa, seorang pria kembali ke kamar itu dan menemukan bahwa kamar tersebut sudah kosong. Di belakangnya, seorang pria yang kentara adalah bawahannya berbicara, "Nona sudah pergi setengah jam yang lalu, Tuan. Sesuai perintah, kami tidak menahannya dan hanya mengamati ke mana dia pergi. Namun, berbeda dari dugaan Tuan Dirga, Nona tadi memang tinggal di kediaman Gunawan." Berdiri dengan kertas berisi pesan yang Alisa tinggalkan, pria dengan jas mewah itu berbalik dan menunjukkan wajahnya. Siapa lagi kalau bukan Dirga. Dengan manik hitam tajamnya, pancaran mata terhibur menghiasi ekspresi dinginnya. "Oh?" Pria itu melihat isi kertas tersebut lalu tersenyum menyeringai. "Jadi ... wanita itu sungguh seorang Gunawan, tapi bukan Sabrina Gunawan." Dirga mengepalkan tangan. Saat dia hendak berbalik, ujung sepatunya terasa mengganjal seolah menginjak sesuatu yang keras. “Tuan Dirga, Anda baik-baik saja?” Sang bawahan kebingungan mendapati Dirga tiba-tiba berhenti kemudian berjongkok dan kembali berdiri. Sebuah kalung tali berwarna coklat dengan manik giok kehijauan ada dalam genggaman tangannya. Manik hitam Dirga menatap benda itu lamat-lamat dengan sudut bibir yang tersenyum tipis. “Aku tidak pernah merasa sebaik hari ini.” Jawaban Dirga menambah daftar kebingungan bawahannya. Belum sempat dia bertanya lebih lanjut, Dirga kembali melanjutkan langkah. Dengan sigap, sang bawahan mengikuti dari belakang. Suara Dirga mengudara, menurunkan perintah. "Katakan pada ibuku untuk mengatur pertemuan dengan keluarga Gunawan." Selagi mengatakan itu, Dirga tak berhenti menautkan senyum pada wajahnya yang dingin. "Infokan bahwa aku menerima perjodohan sesuai keinginannya." Bawahan Dirga terkejut. Tidak menyangka akan ada hari tuannya itu menerima sebuah perjodohan, padahal sudah berkali-kali nyonya besarnya berusaha! Dan semuanya gagal. Apakah yang satu ini akan berhasil? "Apa ... Nona Gunawan semenarik itu?" gumam sang bawahan secara refleks. Sejujurnya, diam-diam dia ditugaskan oleh nyonya besar untuk melaporkan bagaimana reaksi Dirga terhadap wanita dari keluarga Gunawan itu. Sudut bibir Dirga terangkat. "Menarik, terlalu menarik." Dia membuka remasan tangannya dan menatap kata per kata yang ditinggalkan Alisa untuknya di atas kertas. [Kamu tidak memuaskan, jadi kita tidak cocok. Batalkan perjodohan ini kalau kamu tidak mau kemampuan memalukanmu ini diketahui siapa pun.] Seringai terlukis di wajah Dirga. “Dia terlalu menarik sampai aku tidak akan pernah rela melepaskannya.” **** ‘Bagaimana ini? Bagaimana ini? Bagaimana ini?!’ Dalam perjalanan pulang, Alisa tampak terduduk suram di taxi yang dia tumpangi. Dua tangannya menutup wajah, selagi matanya terpejam memikirkan semua yang baru saja terjadi. Sungguh, rasanya seperti mau gila. Bagaimana tidak? Dia yang harusnya membantu sang saudara sepupu menghentikan perjodohan, malah berakhir tidur dengan calon pria yang dijodohkan itu! Yang paling parah, bukan hanya tidak tahu apakah dirinya berhasil membatalkan perjodohan, tapi dia juga berakhir kehilangan kesucian yang sudah dia jaga! ‘Sungguh tidak layak …’ batin Alisa, memikirkan bagaimana akibat yang harus dia tanggung berakhir lebih besar dibandingkan keuntungan yang mungkin bisa didapat. Itu pun kalau dia berhasil membatalkan perjodohan. Ekspresi Alisa terlihat pahit. Dia menautkan alis dan menggigit bibirnya kuat. ‘Tapi, bagaimana bisa aku berakhir kehilangan kendali atas tubuhku sendiri?’ pikirnya. Dari ucapan sang pelayan hotel, jelas gelas Dirgalah yang sudah diberikan obat tidur. Namun, kenapa yang berakhir ‘pingsan’ adalah Alisa? Apa Alisa tanpa sengaja salah mengambil gelas? Tidak, tidak. Alisa yakin dia mengambil gelas yang tepat. Tapi kalau begitu, hanya ada satu kemungkinan yang paling besar. Dirga yang menukar gelasnya! Tapi, kapan? Mata Alisa memicing, otaknya berputar. Mungkinkah … saat dia mengecek ponselnya? Tapi, kalau begitu pria tersebut tahu minumannya sudah diberikan obat? “Haahh ….” Helaan napas panjang keluar dari bibir Alisa. Rasanya, dia ingin menangis dan menjerit sekarang juga, tapi … kegelisahan yang dia rasakan membuatnya tidak sempat untuk bahkan meratap! Lagi pula, pun Dirga yang menukar gelasnya, Alisa juga tidak bisa menyalahkan pria tersebut. Jangan lupa, dia dan Sabrinalah yang pertama ingin ‘meracuni’ Dirga! Di sisi lain, terlepas apa pun yang terjadi hingga Alisa yang berakhir meneguk obat tersebut. Tidak bisa dipungkiri bahwa Alisa bukan hanya ‘pingsan’, dia seperti haus sentuhan. Dibandingkan obat tidur, Alisa lebih percaya kalau obat yang diberikan adalah obat perangsang! Pandangan Alisa terangkat, dan dari jendela depan taksi yang dia tumpangi, Alisa bisa melihat pemandangan kediamannya yang semakin mendekat. Kalau seperti ini, hanya satu orang yang bisa menjawabnya! Turun dari mobil saat sudah sampai di kediamannya, Alisa langsung naik ke lantai dua dan membuka pintu kamar sepupunya. “Sabrina!” Begitu pintu terbuka, pemandangan yang pertama kali tertangkap oleh mata besar Alisa adalah sang sepupu yang tengah bersolek di depan cermin riasnya. Rambut panjang Sabrina yang berwarna cokelat terang tampak bergelombang indah, dan wajahnya juga telah dirias tipis sehingga terlihat anggun dan manis, serupa nona muda dari drama-drama yang biasa Alisa tonton. Terkejut dengan kedatangan Alisa, Sabrina agak tersentak sebelum menoleh. Namun, begitu melihat bahwa wajah sang sepupu yang sekarang hadir di hadapannya, ekspresi Sabrina kembali tenang. “Pulang juga kamu akhirnya,” balas Sabrina cuek, seakan tidak terkejut sama sekali Alisa tidak pulang semalaman. “Mama sudah marah-marah sejak pagi karena kamu nggak kelihatan batang hidungnya.” Sabrina meletakkan bedaknya di atas meja, lalu beralih menatap Alisa sambil tersenyum. “Karena kamu, aku harus bohong dan bilang kalau kamu pergi pagi-pagi sama teman. Untungnya, Mama langsung tenang. Kamu harus terima kasih sama aku loh, Al!” Sikap Sabrina yang terlewat santai membuat Alisa merasa tidak nyaman, seperti ingin marah, tapi tanpa alasan jelas. Alisa berusaha menahan emosinya dan bertanya dengan tenang, “Sebelum berterima kasih, aku harus tanya jelas dulu tentang sesuatu.” Alisa menggertakkan gigi. “Obat yang kamu berikan pada pelayan, itu obat apa?” ***Tanpa memperdulikan apapun lagi, Dirga segera ke luar menggendong tubuh Alisa.Meskipun memejamkan mata, Alisa menyadari jika Dirga sudah membawanya masuk ke dalam mobil. Kepalanya bersandar pada sesuatu yang keras. Anehnya, dia merasa nyaman, ditambah aroma maskulin yang menenangkan. Penasaran, perlahan Alisa mencoba membuka matanya.Tepat ketika itu, suara Dirga mengudara, “Kita ke hotel.”“Hotel?”Di depan sana, tepat di samping sopir, suara pria lain langsung menimpali ucapan Dirga.Sementara itu, sang sopir segera menyalakan mesin mobil. “Baik, Pak.”“Jangan ke hotel,” cegah Alisa, nyaris terdengar seperti bisikan. Wajahnya mendongak untuk menatap Dirga. Jadi … ternyata sedari tadi dia bersandar di dada bidang Dirga? Hal tersebut membuka kesempatan baginya untuk mencengkram kemeja depan pria tersebut.Alisa tidak sempat menyadari bahwa selain sopir, ada sosok lain yang menumpang di dalam mobil ini. Dia pun
Sorot maniknya yang lembut berubah tajam. “Jangan harap aku akan membiarkanmu pulang begitu saja!”Tapi, Alisa terus memberikan pemberontakan. Dia berusaha keras melepaskan tangannya dari cekalan Leo. Aksi keduanya itu sudah menarik perhatian pengunjung yang sedang sarapan pagi.Pun, akhirnya Alisa mengatakan sesuatu. Tapi, itu bukan penjelasan yang Leo inginkan.“Aku rasa tidak ada kewajiban untuk menjelaskan apapun pada Kak Leo. Toh, kita tidak ada hubungan, Kak. Jadi, tidak ada gunanya Kak Leo untuk tahu.”Jawaban Alisa membangkitkan sisi kasar Leo Salvador. Pria itu menarik agar Alisa berdiri dan menyeretnya ke luar dari meja.“K–Kak Leo,” ucap Alisa mencicit seperti tikus yang terjepit. “Aku mau pulang, tolong lepaskan!”Melihat Leo yang sepertinya akan mengajak Alisa pergi, Sabrina pun berdiri dan dengan cepat menghampiri Leo. Dia meraih tangan pria itu yang kosong.“Kak Leo,” panggil Sabrina dengan suara yang lembut. “Aku tahu mengenai cerita lengkap soal Alisa. Kalau Kak Leo m
Alisa terkesiap. Seperti ada alarm peringatan dari dalam dirinya, dia langsung menolehkan wajah ke belakang. “Kak Leo ….” Wajah tampan itu begitu dekat. Leo Salvador–kakak kelas Alisa di sekolahnya dulu dan sudah puluhan kali dia tolak permintaan cintanya berbaik hati mengambil alih gelas milik Alisa lalu mengisinya sampai penuh. “Kalau merasa tidak enak badan, kenapa kamu pergi keluyuran, Alisa?” tanyanya penuh perhatian. Dari sikap dan nada bicaranya, siapapun bisa membaca bahwa Leo adalah pria yang menaruh ketertarikan pada Alisa. Cepat-cepat, Alisa mencoba mengembalikan kesadarannya. Mata besarnya mengerjap pelan beberapa kali sebelum akhirnya membalas ucapan Leo, “Terima kasih, Kak Leo.” Pria itu tidak segera mengembalikan gelasnya. Dia menatap Alisa lekat-lekat. “Aku melihat Eshara dan yang lainnya sebelum kamu datang. Kamu bergabung bersama mereka?” Kalau sudah seperti ini, Alisa tidak mungkin berbohong. Dia menganggukkan kepalanya. Sesaat Alisa ragu. Namun, dia memutuska
Saat terbangun keesokan harinya, Alisa meraba dahinya dengan punggung tangan. Ada rasa hangat yang terasa menjalar. Dia demam.‘Sepertinya aku tidak akan ke luar rumah untuk beberapa waktu,’ batin Alisa memutuskan.Meski bisa saja dia menutupi diri dengan pakaian serba tertutup, tetap saja lebih baik beristirahat di rumah dan merawat luka-lukanya agar cepat pulih.Untungnya, pekerjaannya sebagai penulis tidak mengharuskannya datang ke kantor. Dengan begitu, dia terhindar dari bombardir pertanyaan yang pasti akan membuatnya harus mencari-cari alasan.Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Alisa segera meraih ponsel di atas nakas. Begitu data dinyalakan, layar langsung dipenuhi notifikasi.Bibirnya refleks mengulas senyum, tetapi detik berikutnya dia meringis. “Aduh .…” Luka di sudut bibirnya mulai mengering berkat salep yang dia oleskan semalam, namun tetap saja perih.Meski begitu, rasa sakit itu tersamarkan ketika matanya menangkap komentar hangat para pembaca. Mereka merespons pengumuma
Secepat kilat, Utari langsung menatap tajam ke arah putrinya. “Jika itu terjadi, maka aku bisa menikah dengan Kak Leo,” lanjut Sabrina dengan serius. Saat mendengar nama yang cukup tak asing, Utari melempar novel di tangannya ke lantai begitu saja. Dia menaikkan satu alisnya, “Leo teman kakakmu itu, Sabrina?” tanyanya memastikan. Dia melanjutkan dengan nada suara yang tidak ramah, “Memangnya ada hubungan apa kamu dengannya?” Selama ini, Utari mengetahui anak laki-lakinya menjalin hubungan pertemanan dengan Leo. Demikian, pria itu kerap kali berkunjung ke rumahnya. Meskipun sejujurnya, Utari tidak begitu menyukai putranya bergaul dengan Leo karena pria tersebut berprofesi sebagai pengacara. Utari berjaga-jaga saja, takut jika tingkah busuknya ke Alisa sampai diketahui publik. Sabrina sudah membulatkan tekad untuk mulai memberitahu soal Leo pada ibunya. “Aku cukup dekat dan merasa yakin bisa menjadi calon istrinya Kak Leo, Ma.” Dia menjelaskan, “Mangkanya sejak awal, aku ngga
‘Astaga, apalagi maksud pria ini?’ Alih-alih kesal, justru Alisa merasa sudah lelah memberikan tanggapan–tidak, sejujurnya dia takut salah bicara dan berakhir menambah daftar kemarahan sang bibi. Baru dia berpikir demikian, Utari langsung membuka suara. “Nak Dirga,” panggilnya berusaha terdengar ramah. “Sekalipun kamu sekarang sudah menjadi calon suami Alisa, rasanya tidak pantas kalau dia masih berkeliaran di luar saat malam-malam.” Begitu mengalihkan pandangan ke arah Alisa, senyum Utari memudar. “Apalagi semalam anak ini tidak pulang ke rumah. Tante khawatir keluarga besar Gunawan mendapatkan citra yang buruk.” Dirga mendengus kasar. Dia mengernyitkan dahinya lantas menatap tajam ke arah Utari. “Dibandingkan Tante mengkhawatirkan citra Alisa, bagaimana dengan citra Sabrina sendiri?” Tatapan menusuk Dirga kini beralih pada Sabrina yang hanya bisa menahan napas. “Alisa tidak pulang semalam bukan berarti kesalahan ada pada dia sepenuhnya.” Dengan kata lain, kesalahan itu juga me