ログインPertanyaan Alisa membuat alis Sabrina terangkat tinggi, tapi senyum yang terlukis di bibir wanita cantik itu tidak menghilang. “Kenapa memangnya? Apa ada masalah?”
Kali ini, emosi Alisa jadi tidak tertahan. “Apa ada masalah?” ulangnya. “Jelas ada masalah! Aku tidak pulang semalaman! Apa kamu tidak bingung atau khawatir sedikit pun alasannya apa?!” Alisa mengepalkan tangan dan membuang muka, merasa malu dengan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, hatinya menginginkan jawaban, jadi dia kembali menatap Sabrina dan bertanya, “Intinya, aku curiga obat yang kamu berikan ke pelayan untuk Dirga bukanlah obat tidur!” Di saat ini, ekspresi Sabrinalah yang berubah kaget. “Obat tidur?” ulangnya, sebelum kemudian … sudut bibirnya terangkat dan ekspresinya berubah menjadi agak mengejek. “Memangnya kapan aku pernah bilang ‘bala bantuan’ yang kukirimkan padamu adalah obat tidur?” DEG! Tubuh Alisa bergetar, ketakutan menyelimuti hatinya. “Jadi … kalau bukan obat tidur, obat yang kamu berikan adalah—” Sabrina menggelengkan kepala dan sedikit tertawa. “Ya, obat yang bisa membuat seorang pria tidak rela melepaskanmu hingga pagi, apa lagi kalau bukan obat perangsang?” Seketika wajah Alisa memucat, tubuhnya agak kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh kalau bukan karena tangannya memegang ujung meja. “Apa katamu…?” Hati Alisa bak tertusuk ratusan pisau. Dia tidak percaya, bagaimana bisa Sabrina–sepupu yang sudah dia anggap adik kecilnya sendiri–tega melakukan hal semacam ini!? “Kenapa?!” teriak Alisa, satu tangan mencengkeram dadanya yang terasa sakit. “Walau aku meminta imbalan kecil, tapi aku berbaik hati ingin membantumu lepas dari perjodohan yang tidak kamu suka! Jadi, kenapa?!” “Apa sih yang begitu sulit untuk kamu mengerti, Al?” balas Sabrina santai seiring berdiri dari kursi riasnya dan menatap Alisa lurus. “Ya, karena bukan hanya aku bisa lepas dari perjodohan konyol, tapi ini juga kesempatan emas untuk menyingkirkan duri dalam daging sepertimu!” “Apa?” Alisa terperangah. Sabrina melipat kedua tangannya. “Sudah bertahun-tahun semenjak Paman Haru dan Bibi Tasya meninggal. Kalau kamu sadar diri, harusnya sebagai anak angkat mereka, kamu sudah lama minggat dari kediaman ini, bukannya malah terus-terusan jadi parasit untuk keluargaku!” Alisa tercengang. Duri dalam daging? Benalu untuk keluarga Sabrina? Kata-kata itu menusuk hati Alisa, memaksanya kembali menyadari status yang selama ini dia simpan rapat-rapat. Ya, memang benar, Alisa hanyalah anak angkat yang ditemukan oleh Haru Gunawan dan Tasya Hanova di salah satu kamar hotel milik mereka, dua puluh lima tahun lalu. Saat itu, Alisa masih bayi. Dia hanya dibalut selimut tipis, dengan kalung giok melingkar di leher kecilnya. Karena teknologi dan sistem informasi yang masih terbatas, tidak ada yang tahu siapa yang meninggalkannya di sana. Di waktu yang sama, Haru dan Tasya telah lama menikah tanpa dikaruniai anak. Alhasil, mereka menganggap pertemuan itu sebagai titipan Tuhan dan tanpa ragu mengangkat Alisa sebagai putri mereka. “Dia cuma anak angkat, tapi kalian perlakukan seperti permata. Kalian yakin dia tahu cara berbakti nanti? Anak kandung saja belum tentu, apalagi yang tidak sedarah!” Itulah kalimat yang sering dilontarkan keluarga besar. Namun Haru dan Tasya selalu membela Alisa. Mereka marah besar setiap kali ada yang menyinggung soal itu. Dan sejak saat itu, tak ada lagi yang berani membicarakannya—setidaknya tidak secara terang-terangan. Sampai akhirnya, kecelakaan tragis itu terjadi. Haru dan Tasya meninggal dunia saat Alisa baru berusia sepuluh tahun, meninggalkan warisan besar kepada putri angkat mereka. “Haru mewariskan enam puluh persen saham hotel kepada anak angkat itu!? Apa dia sudah gila?” “Tak hanya itu, Utari harus merawatnya kalau ingin bagian dari bisnis hotel? Sungguh tak masuk akal!” Meski keluarga besar penuh keberatan, keputusan itu tak bisa dibantah. Alisa akhirnya diasuh oleh sang bibi—Utari, adik kandung Haru—yang juga merupakan ibu dari Sabrina. Pun Alisa tahu bibi dan pamannya merasa terbebani karena harus mengurusnya, tapi dia tidak pernah merasakan penolakan dari Sabrina. Mereka tumbuh besar bersama. Bahkan sampai lulus kuliah, hubungan mereka terasa amat dekat. Jadi, bagaimana mungkin Alisa bisa sadar kalau selama ini Sabrina menyimpan kebencian? Yang lebih menyakitkan, rumah tempat mereka tinggal saat ini adalah milik orang tuanya. Kemewahan yang dinikmati Sabrina sejak kecil pun datang dari bisnis milik ayahnya. Demikian, pun jika Alisa hanyalah anak angkat, dengan hak apa Sabrina, yang hanya keponakan Haru dan Tasya, menghakiminya sebagai benalu?! “Pun kamu membenciku dan menganggapku benalu, tapi kenapa kamu begitu tega menjebakku dengan pria lain, Sabrina?!” Mencengkeram dadanya yang sesak, Alisa berseru, “Kenapa tidak secara terbuka mengusirku saja?!” Melihat air mata terjatuh dari wajah Alisa, Sabrina hanya melipat kedua tangannya dan tersenyum dengan keji. “Tentu saja karena masih ada kegunaan lain dibandingkan mengusirmu begitu saja.” “Kegunaan lain?” ulang Alisa dengan suara yang nyaris tak terdengar. Sabrina mendengus. “Karena hanya dengan begitu, barulah Kak Leo bisa sepenuhnya melupakanmu dan menerimaku.” Sontak, kening Alisa berkerut. Kenapa Sabrina mengungkit nama seniornya di masa kuliah itu? “Apa hubungannya aku dengan Kak Leo?!” Alisa tahu, Leo yang dimaksud oleh Sabrina adalah Leo Salvador, putra tunggal keluarga Salvador sekaligus teman baik kakak laki-laki Sabrina. Seorang pemuda tampan dengan prestasi cukup tersohor di dunia perdagangan, sesuatu yang diteruskan dari didikan keras sang ayah yang merupakan seorang kepala bank ternama dan sang ibu yang adalah pebisnis terkenal. Memang, Leo pernah menyatakan perasaannya pada Alisa dulu, tapi jelas dia sudah menolaknya! Ekspresi Sabrina berubah marah. Iri dan benci terpancar jelas dari matanya. “Karena sampai sekarang, Kak Leo masih mengejarmu! Apa kamu tidak sadar bagaimana dia selalu datang ke rumah di akhir minggu untuk bertemu denganmu?! Kalau kamu masih terus melajang, sampai kapan pun Kak Leo tidak akan bisa menerimaku!” Alisa terperangah. Jadi … jadi hanya karena itu … Sabrina berujung menjebaknya agar tidur dengan pria yang sama sekali tidak dia kenal?! Bukan karena ingin kabur dari perjodohan saja, tetapi juga untuk mengusirnya dari rumah sekaligus Sabrina ingin menyingkirkan saingan cinta?! Tangan Alisa mengepal kuat, matanya yang berkaca-kaca memancarkan kemarahan. “Kamu—!!” BRAKKK “SABRINA!” Suara pintu yang dibanting terbuka dan juga teriakan nyaring yang mengikuti menghentikan kalimat Alisa. Dia dan Sabrina menoleh, lalu mendapati sosok wanita paruh baya dengan make up tebal dan penampilan mewah berlari tergopoh-gopoh menghampiri mereka. Itu adalah Utari, bibi angkat Alisa sekaligus ibu Sabrina. “M–Mama?” Sabrina tampak agak terkejut, begitu pula Alisa. Walau perdebatan mereka sempat mencapai puncak terpanas, tapi melihat Utari datang membuat mereka merasa sedikit was-was. Apa wanita itu mendengar percakapan mereka?! Namun, saat menyadari keberadaan Alisa, Utari malah mengerutkan dahi. “Alisa? Bukannya kamu pergi bersama teman-temanmu? Kenapa di sini?” tanyanya. Ditanya begitu, Alisa sedikit tergagap. Dia melirik ke Sabrina, yang menatapnya tajam, seperti memperingatkannya untuk tutup mulut. Tanpa disuruh, Alisa juga tahu untuk tidak berbicara sembarangan. Jadi, dia menjawab, “Acaranya dibatalkan, Bi. Jadi aku pulang lagi.” “Oh …?” Khawatir ibunya akan menyelidiki lebih jauh, Sabrina cepat angkat suara, “Mama tadi manggil aku. Kenapa?” Pertanyaan itu menyadarkan Utari akan tujuan utamanya, lalu dia pun menoleh dan tersenyum lebar pada Sabrina. “Mama ada kabar bagus, sayang!” Entah kenapa, melihat ekspresi Utari yang begitu berbinar, perasaan tidak enak menyelimuti hati Alisa. Lalu, bom itu pun dijatuhkan. “Keluarga Disastra ingin melanjutkan perjodohan dan mengundang kita semua makan malam ini!” Sontak, wajah Alisa pun memucat. ****Sebelum Dirga bersedia menjelaskan tentang apa yang terjadi, dia menyempatkan diri untuk membuatkan Alisa teh hangat setelah mengetahui bahwa wanita itu mengaku perutnya merasa tidak enak. Dirga juga menyodorkan minyak angin. Yang satu itu Alisa tolak. “Tidak usah,” gelengnya. “Ini saja sudah cukup.” Diangkatnya secangkir teh yang ada dalam genggaman tangannya. Hal itu membuat Dirga menghela napas lantas menaruh minyak angin yang dibawanya di atas nakas. Dia pun duduk di hadapan Alisa yang menyandarkan tubuhnya ke punggung ranjang tidur. “Jelaskan, Dirga,” pinta Alisa tidak sabaran. Sesaat, dia mencicipi teh hangat itu kemudian menaruhnya di nakas. Sejujurnya, kalau boleh diberikan pilihan, Dirga enggan memberikan penjelasan. Namun, menyembunyikannya malah bisa membuat buruk hubungannya dengan Alisa. Pria itu tampak mengusap wajahnya. “Kamu juga muntah malam itu,” beritahu Dirga. Manik hitamnya menyorot Alisa tajam. “Kalau tidak bisa minum sama sekali, kenapa malah memesan wine?
Pasangan suami istri yang tampak menginginkan satu sama lain itu malah berakhir saling menatap selama beberapa detik.Alisa yang tidak kuat berlama-lama bersinggungan dengan manik hitam legam Dirga segera memutus pandangan. Dia beralih menatap ke arah tubuhnya yang kini sudah mengenakan kaos hitam berukuran oversize.“Aku tidak menemukan pakaian yang cocok. Jadi, aku pinjam kausmu. Apa … boleh?” tanyanya, memutus keheningan yang tercipta.Sekilas Dirga mengarahkan fokusnya untuk menatap kaus yang dikenakan Alisa. Tanpa berpikir banyak, dia menganggukkan kepala. Kemudian, dia mengayunkan langkah ke arah ranjang tidur. Dirga berkata, “Bukankah sudah kukatakan? Apa yang kita punya jadi milik bersama.”Di tempatnya, Alisa tersenyum dan menganggukkan kepala. Mendengar itu, ada rasa hangat yang menjalar di dadanya. Selagi Dirga di kamar mandi, Alisa sudah membulatkan tekadnya.Toh tidak ada bedanya melakukannya sekarang dan nanti. Pada akhirnya, kegiatan intim di atas ranjang tidak bisa te
Mendengar itu, wajah Alisa terasa memanas. Dia khawatir jantungnya akan meledak karena detaknya sangat tidak bisa dikendalikan.Memberanikan diri, Alisa bertanya dengan nada suaranya yang terdengar sedikit serak. “Kamu mau kita melakukan itu?” todongnya to the point.Alisa hanya mencoba menerjemahkan kalimat ‘menginginkan’ yang Dirga ucapkan. Apakah konteksnya mengarah pada apa yang baru saja dia tanyakan?“Pertanyaan itu seharusnya untuk dirimu sendiri, Alisa,” jawab Dirga seraya terkekeh pelan.Napas Alisa tercekat. Dia semakin mencengkram erat ujung handuk yang melilit tubuhnya. “Maksudnya? Aku tidak paham," gelengnya sambil menaikkan satu alisnya.Sebelum menjawab pertanyaan Alisa, Dirga menyempatkan diri untuk melepas kancing kemeja terakhirnya dan melepaskan kemejanya.Detik berikutnya, refleks Alisa membuang wajah. Dia tak ingin melihat tubuh atasan pria yang berstatus suaminya itu.Dalam keadaan seperti ini, rasanya itu membahayakan. Dirga termasuk pria yang menjaga bentuk fis
Karena langkah Dirga yang sudah semakin dekat, kegugupan Alisa juga meningkat. Dia memaksakan kakinya berbelok untuk kembali masuk ke kamar mandi. Alisa bisa memakai pakaian yang sebelumnya. Rasanya terlalu lama kalau saat ini dia harus memilih pakaian di lemari saat Dirga ada di dalam kamar. Namun, sialnya, karena melangkah dengan terburu, kaki Alisa malah tersandung kakinya sendiri sehingga menyebabkan tubuhnya limbung. Nyaris saja dia tersungkur ke depan dan berakhir mendarat di lantai yang keras jika saja Dirga tidak sigap menarik lengan Alisa lalu mendekapnya. Alisa hanya bisa memejamkan matanya erat-erat dengan jantung yang terus-menerus bertalu. "Tidak bisakah kamu berhati-hati?" Suara Dirga terdengar kesal. Pria itu menundukkan pandangannya, bermaksud memandang ke arah wajah Alisa. Hanya saja, pandangannya sedikit meleset. Manik hitamnya memandang lebih turun ke arah area bawah pundak Alisa. Beberapa menit lalu saat Dirga masuk ke dalam kamar, pandangannya sudah terku
Apapun? Firasat Alisa seketika berubah menjadi tidak enak, seolah dia bisa mengetahui bahwa Dirga memiliki permintaan yang kedengarannya mungkin akan membahayakan. Suara dalam batin Alisa tertawa hambar, ‘Bagaimana kalau Dirga menyuruhku menambahkan jalan harianku jadi lima belas atau dua puluh putaran?!’ pikirnya. Diam-diam Alisa berharap semoga saja Dirga meminta hal yang mudah untuk dikabulkan. Suara berat Dirga kembali mengudara. “Kenapa tidak menjawab?” Terdengar dengusan samar di ujung ucapannya. Alisa membasahi bibir bawahnya dan membalas singkat, “Apa yang kamu inginkan?” Pepatah mengatakan, lebih baik bertanya daripada tersesat di jalan. Selagi menunggu jawaban Dirga, Alisa menggigit bibir bawahnya. “Akan kuberitahu saat di rumah nanti.” Sekon berikutnya, Dirga menambahkan, “aku tutup teleponnya.” Mulut Alisa terbuka tanpa sempat menjawab sepatah kata apapun. Dia menurunkan ponselnya tanpa tenaga setelah panggilan diakhiri begitu saja. Lantas wanita itu terdiam. "Bai
“Alisa akan terlibat dalam proyek ini?” Selagi menanyakan itu, Gia tampak memelotot horror ke arah Dirga. Reaksi itu menyeret Dirga ke dalam asumsi bahwa Gia benar-benar sudah bulat untuk menolak proyek filmnya ini. Dia membalas, "Ya, tapi kalau kamu tetap tidak bersedia– "Dirga, heii ... kapan aku mengatakan tidak bersedia?" potong Gia cepat. Wanita itu terkekeh hambar. Alih-alih terlihat marah dan tidak terima, raut wajah Gia justru menunjukkan sebaliknya. Bibirnya membingkai senyuman dan air wajahnya tampak ramah. Wanita itu menarik napas panjang dan menatap Dirga penuh arti. “Aku,” jedanya tertahan karena membasahi bibir bawahnya. Gia lantas melanjutkan, “aku bersedia mempertimbangkan pembatalan kontrak kita. Aku ingin bertemu Alisa untuk mendiskusikan ulang skenario ini.” Suaranya terdengar yakin tanpa keraguan.Satu detik setelah mendengar itu, Dirga sempat dibuat terdiam. Dia bertanya-tanya, apa yang membuat Gia mengubah keputusannya dalam waktu yang singkat?Baru akan men







