Mustahil!
Melanjutkan perjodohan setelah apa yang terjadi semalam?! Apa Dirga Disastra benar-benar sudah kehilangan kewarasannya?! Terlepas sedihnya Alisa dengan kenyataan kesuciannya direnggut begitu saja oleh seorang pria asing, tapi dia masih sangat bingung bagaimana Dirga berujung ingin menikahi dirinya. Bukankah dia seharusnya terlihat seperti seorang wanita murahan yang bersedia tidur dengan sembarang pria!? Jadi, kenapa pria yang berstatus pewaris itu malah melanjutkan perjodohan?! “Aku tidak bisa melanjutkan perjodohan ini, Ma!” Belum habis rasa keterkejutan Alisa, celetukan Sabrina membuatnya kembali sadar. Mendengar itu, Utari langsung melerai pelukan dengan Sabrina. Matanya tampak menyala-nyala. “Berani kamu menolak perjodohan ini, Sabrina?!” Air wajah Utari yang semula memancarkan kebahagiaan berubah menjadi keruh dalam sekejap. Susah-payah dia menggunakan koneksi dari kelompok arisannya untuk menggaet calon besan kaya, tapi putrinya malah menyia-nyiakan niat baiknya?! Sebelum Utari memuntahkan kemarahannya, Sabrina langsung menunjuk Alisa. “Ma, yang menemui Dirga semalam bukan aku, tapi Alisa! Mereka bahkan sudah tidur bersama!” Alisa terperangah, dan Utari melotot. “Apa?! Apa maksudnya itu!?” teriaknya nyaring, selagi bergantian menatap Sabrina dan Alisa. “Bibi, aku—” “Alisa dengar kalau aku akan dijodohkan dengan pria yang katanya kaya, jadi dia memohon untuk menggantikanku,” potong Sabrina, sebelum kemudian menundukkan kepala dan menghela napas tak berdaya. “Dan karena aku juga tidak terburu-buru … jadi aku mengalah padanya … siapa yang sangka dia akan menggoda pria itu sampai tidur dengannya!? Dia sudah merusak reputasi keluarga kita!” Mata Alisa membesar mendengar ucapan Sabrina. Bisa-bisanya Sabrina mengarang cerita konyol seperti itu!? Walau benar dia berakhir tidur dengan Dirga, tapi semua itu juga karena ulah Sabrina! “Itu bohong, Bi! Sabrina yang—” PLAK! Sebuah tamparan keras dilayangkan oleh Utari ke wajah Alisa, membuat gadis itu terkejut. “Dasar anak nggak tahu diri! Sudah lama aku mengurusmu sejak kecil, tapi kamu malah balas budi dengan merebut dan menggoda jodoh Sabrina hingga tidur bersamamu!? Apa kamu masih ada rasa malu?! Apa kamu ada hati nurani, Alisa!?” Alisa menyentuh pipinya yang panas dan menatap bibinya nanar. “Bi, bukan begitu ceritanya. Aku—” “Aku nggak peduli ceritamu seperti apa! Tapi sekarang kalau sudah begini, mukaku mau ditaruh di mana, hah?!” seru Utari dengan urat menonjol di pelipisnya. Dia menatap sang putri. “Kamu juga! Baik boleh, tapi jangan tolol! Mama sudah susah-susah menjalin koneksi dan mendapatkan perjodohan ini. Eh! Kamu malah sia-siakan perjuangan Mama untuk anak nggak tahu diri ini!” Teguran Utari membuat Sabrina memasang wajah bersalah—sebuah kepura-puraan. “Maaf, Ma. Aku hanya kasihan karena Alisa sudah lama ditinggal Bibi Tasya dan Paman Haru. Aku juga nggak sangka dia sampai senekat ini …,” ucapnya sambil berpura-pura terisak. Alisa sungguh kehabisan kata-kata. Bahkan di depan ibu kandungnya sendiri, Sabrina begitu piawai memainkan peran! “Kalau memang sudah terlanjur, sebaiknya kita jujur dan batalkan perjodohannya saja, Ma. Aku yakin pihak teman Mama paham dan memang lebih setuju membatalkan,” usul Sabrina akhirnya, masih fokus pada tujuan utamanya. Namun, Utari menggeleng. “Nggak. Perjodohan ini harus tetap dilanjutkan.” Sabrina menegang. “Hah?” “Pria tidur dengan sembarang wanita di luar nikah adalah hal yang biasa. Kalau kita jelaskan latar belakang dan situasi Alisa, pasti dia nggak akan berpikir dua kali untuk membatalkan perjodohan ini dan berganti haluan ke kamu.” Ekspresi Sabrina berubah panik. Dia tidak menyangka ibunya sekeras kepala ini! Bahkan setelah tahu pria bernama Dirga itu sudah meniduri Alisa, ibunya masih ingin menjadikan pria itu suami Sabrina!? Tega sekali! “Tapi, Ma!” “Nggak ada tapi-tapian!” teriak Utari kencang. “Malam ini, Alisa ikut dengan kita. Dan dia harus menjelaskan semuanya, selagi kamu harus tetap melanjutkan perjodohan dengan Dirga Disastra kalau kamu nggak mau karir kamu Mama ganggu!” Alisa dan Sabrina terdiam. Terlepas apa pemikiran mereka masing-masing saat ini, tapi kalimat Utari jelas adalah perintah yang tidak bisa dilawan sama sekali. *** Sekitar beberapa jam kemudian, Alisa pun tiba bersama dengan Utari dan Sabrina ke sebuah restoran mewah. Mereka duduk di dalam ruangan VIP yang sudah dipesan, lalu menunggu kedatangan Dirga dengan ibunya. Berdasarkan informasi yang Utari sampaikan di taksi tadi, Alisa mengetahui bahwa ayah Dirga sedang sibuk dengan suatu hal, jadi masalah perjodohan ini diserahkan kepada ibunya saja. Walau demikian, hal itu tidak kian membuat hatinya lebih tenang. Lagi pula, entah itu dengan maupun tanpa ayah Dirga, menjelaskan bahwa dia telah menggantikan Sabrina untuk perjodohan pasti akan membuat pihak Dirga marah besar! Namun, Alisa tidak memiliki pilihan selain melakukan semua itu, sebab Utari mengancam akan membuang barang-barang pribadi milik mendiang kedua orang tuanya. Tidak lama pintu ruangan VIP terbuka. “Mereka datang!” bisik Utari memperingatkan. Mendengar itu, Alisa yang sedari tadi duduk dengan kaki yang tidak bisa diam mendadak menegang. Punggungnya pun menegak, tidak lagi bersandar pada kursi. “Selamat malam, Utari. Maaf, membuatmu menunggu lebih dulu.” Sosok wanita berpakaian anggun datang dalam balutan busananya yang berkelas. Rambut panjangnya yang bergelombang dibiarkan tergerai, memberikan aura elegan yang memesona. Saat melihat Utari, bibirnya melemparkan senyum lembut nan sopan. Utari bangkit dari duduknya. Dia menyambut kedatangan wanita itu–ibu Dirga yang bernama Larissa, dengan sapaan hangat, lalu keduanya saling menempelkan pipi. “Aku juga baru tiba, Sa,” jawab Utari seadanya. Toh memang dia baru tiba beberapa menit lebih awal dibandingkan lawan bicaranya itu. Usai bercipika-cipiki, tak sengaja pandangan Larissa jatuh ke arah Alisa yang secara tidak sadar menatapnya sejak tadi. Begitu Larissa menatapnya balik, Alisa tersentak. Mata besarnya langsung menghindari pandangan. “Ah, itu Sabrina?” Larissa menanyakan Sabrina, akan tetapi sosok yang ditatapnya adalah Alisa. Sekilas, penampilan Alisa berhasil menyihir pandangannya. Gaun sederhana berwarna putih tulang. Rambut panjang di atas pinggangnya dibiarkan tergerai, dan wajahnya dirias dengan tampilan natural, menunjukkan kecantikan yang sangat alami. “Sudah kuduga, dia memang cantik. Mata besarnya indah sekali,” puji Larissa menganggukkan kepalanya. Tidak heran putranya yang selama ini selalu menolak semua wanita yang dijodohkan langsung setuju, ternyata dia terpikat bunga semanis ini. Namun, tiba-tiba terdengar suara Utari mengabarkan dengan canggung, “Sa, itu bukan Sabrina. Itu Alisa, keponakanku.” ***Tanpa memperdulikan apapun lagi, Dirga segera ke luar menggendong tubuh Alisa.Meskipun memejamkan mata, Alisa menyadari jika Dirga sudah membawanya masuk ke dalam mobil. Kepalanya bersandar pada sesuatu yang keras. Anehnya, dia merasa nyaman, ditambah aroma maskulin yang menenangkan. Penasaran, perlahan Alisa mencoba membuka matanya.Tepat ketika itu, suara Dirga mengudara, “Kita ke hotel.”“Hotel?”Di depan sana, tepat di samping sopir, suara pria lain langsung menimpali ucapan Dirga.Sementara itu, sang sopir segera menyalakan mesin mobil. “Baik, Pak.”“Jangan ke hotel,” cegah Alisa, nyaris terdengar seperti bisikan. Wajahnya mendongak untuk menatap Dirga. Jadi … ternyata sedari tadi dia bersandar di dada bidang Dirga? Hal tersebut membuka kesempatan baginya untuk mencengkram kemeja depan pria tersebut.Alisa tidak sempat menyadari bahwa selain sopir, ada sosok lain yang menumpang di dalam mobil ini. Dia pun
Sorot maniknya yang lembut berubah tajam. “Jangan harap aku akan membiarkanmu pulang begitu saja!”Tapi, Alisa terus memberikan pemberontakan. Dia berusaha keras melepaskan tangannya dari cekalan Leo. Aksi keduanya itu sudah menarik perhatian pengunjung yang sedang sarapan pagi.Pun, akhirnya Alisa mengatakan sesuatu. Tapi, itu bukan penjelasan yang Leo inginkan.“Aku rasa tidak ada kewajiban untuk menjelaskan apapun pada Kak Leo. Toh, kita tidak ada hubungan, Kak. Jadi, tidak ada gunanya Kak Leo untuk tahu.”Jawaban Alisa membangkitkan sisi kasar Leo Salvador. Pria itu menarik agar Alisa berdiri dan menyeretnya ke luar dari meja.“K–Kak Leo,” ucap Alisa mencicit seperti tikus yang terjepit. “Aku mau pulang, tolong lepaskan!”Melihat Leo yang sepertinya akan mengajak Alisa pergi, Sabrina pun berdiri dan dengan cepat menghampiri Leo. Dia meraih tangan pria itu yang kosong.“Kak Leo,” panggil Sabrina dengan suara yang lembut. “Aku tahu mengenai cerita lengkap soal Alisa. Kalau Kak Leo m
Alisa terkesiap. Seperti ada alarm peringatan dari dalam dirinya, dia langsung menolehkan wajah ke belakang. “Kak Leo ….” Wajah tampan itu begitu dekat. Leo Salvador–kakak kelas Alisa di sekolahnya dulu dan sudah puluhan kali dia tolak permintaan cintanya berbaik hati mengambil alih gelas milik Alisa lalu mengisinya sampai penuh. “Kalau merasa tidak enak badan, kenapa kamu pergi keluyuran, Alisa?” tanyanya penuh perhatian. Dari sikap dan nada bicaranya, siapapun bisa membaca bahwa Leo adalah pria yang menaruh ketertarikan pada Alisa. Cepat-cepat, Alisa mencoba mengembalikan kesadarannya. Mata besarnya mengerjap pelan beberapa kali sebelum akhirnya membalas ucapan Leo, “Terima kasih, Kak Leo.” Pria itu tidak segera mengembalikan gelasnya. Dia menatap Alisa lekat-lekat. “Aku melihat Eshara dan yang lainnya sebelum kamu datang. Kamu bergabung bersama mereka?” Kalau sudah seperti ini, Alisa tidak mungkin berbohong. Dia menganggukkan kepalanya. Sesaat Alisa ragu. Namun, dia memutuska
Saat terbangun keesokan harinya, Alisa meraba dahinya dengan punggung tangan. Ada rasa hangat yang terasa menjalar. Dia demam.‘Sepertinya aku tidak akan ke luar rumah untuk beberapa waktu,’ batin Alisa memutuskan.Meski bisa saja dia menutupi diri dengan pakaian serba tertutup, tetap saja lebih baik beristirahat di rumah dan merawat luka-lukanya agar cepat pulih.Untungnya, pekerjaannya sebagai penulis tidak mengharuskannya datang ke kantor. Dengan begitu, dia terhindar dari bombardir pertanyaan yang pasti akan membuatnya harus mencari-cari alasan.Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Alisa segera meraih ponsel di atas nakas. Begitu data dinyalakan, layar langsung dipenuhi notifikasi.Bibirnya refleks mengulas senyum, tetapi detik berikutnya dia meringis. “Aduh .…” Luka di sudut bibirnya mulai mengering berkat salep yang dia oleskan semalam, namun tetap saja perih.Meski begitu, rasa sakit itu tersamarkan ketika matanya menangkap komentar hangat para pembaca. Mereka merespons pengumuma
Secepat kilat, Utari langsung menatap tajam ke arah putrinya. “Jika itu terjadi, maka aku bisa menikah dengan Kak Leo,” lanjut Sabrina dengan serius. Saat mendengar nama yang cukup tak asing, Utari melempar novel di tangannya ke lantai begitu saja. Dia menaikkan satu alisnya, “Leo teman kakakmu itu, Sabrina?” tanyanya memastikan. Dia melanjutkan dengan nada suara yang tidak ramah, “Memangnya ada hubungan apa kamu dengannya?” Selama ini, Utari mengetahui anak laki-lakinya menjalin hubungan pertemanan dengan Leo. Demikian, pria itu kerap kali berkunjung ke rumahnya. Meskipun sejujurnya, Utari tidak begitu menyukai putranya bergaul dengan Leo karena pria tersebut berprofesi sebagai pengacara. Utari berjaga-jaga saja, takut jika tingkah busuknya ke Alisa sampai diketahui publik. Sabrina sudah membulatkan tekad untuk mulai memberitahu soal Leo pada ibunya. “Aku cukup dekat dan merasa yakin bisa menjadi calon istrinya Kak Leo, Ma.” Dia menjelaskan, “Mangkanya sejak awal, aku ngga
‘Astaga, apalagi maksud pria ini?’ Alih-alih kesal, justru Alisa merasa sudah lelah memberikan tanggapan–tidak, sejujurnya dia takut salah bicara dan berakhir menambah daftar kemarahan sang bibi. Baru dia berpikir demikian, Utari langsung membuka suara. “Nak Dirga,” panggilnya berusaha terdengar ramah. “Sekalipun kamu sekarang sudah menjadi calon suami Alisa, rasanya tidak pantas kalau dia masih berkeliaran di luar saat malam-malam.” Begitu mengalihkan pandangan ke arah Alisa, senyum Utari memudar. “Apalagi semalam anak ini tidak pulang ke rumah. Tante khawatir keluarga besar Gunawan mendapatkan citra yang buruk.” Dirga mendengus kasar. Dia mengernyitkan dahinya lantas menatap tajam ke arah Utari. “Dibandingkan Tante mengkhawatirkan citra Alisa, bagaimana dengan citra Sabrina sendiri?” Tatapan menusuk Dirga kini beralih pada Sabrina yang hanya bisa menahan napas. “Alisa tidak pulang semalam bukan berarti kesalahan ada pada dia sepenuhnya.” Dengan kata lain, kesalahan itu juga me