“O-ohh? Dia bukan Sabrina?” Larissa mengerjapkan mata, merasa kaget dan canggung sendiri.
Utari langsung mendaratkan tangannya di pundak Sabrina. “Ini Sabrina Gunawan, putriku,” jelasnya dengan senyum terpaksa akibat rasa tersinggung dalam hati. Saat diberitahu, Larissa langsung menatap Sabrina yang asli, agak meringis saat melihat wanita itu tampak mencolok dengan rambut cokelat terangnya yang bergelombang, kentara dicat. Bahkan make-up Sabrina kentara cukup tebal. Walau demikian, Larissa tetap melontarkan senyum keibuannya. “Oh, maaf sekali Sabrina! Tante salah mengenali!” Dia menambahkan, “Rambutmu cantik sekali loh!” Larissa memberikan pujian di akhir ucapannya. Sabrina balas tersenyum, agak kecut. “Terima kasih, Tante.” “Mana Dirga, Larissa?” Utari dengan cepat mengalihkan topik. Saat itu, Alisa saling menekuk jari-jari kakinya. Suara dalam batinnya berbisik, ‘Aku harap dia berhalangan hadir!’ “Ahh, Dirga tadi—” “Maaf, aku terlambat.” Suara berat milik seorang pria mengudara tepat ketika pintu ruangan VIP terbuka. Kedatangannya diikuti dengan wangi maskulin yang menyebar ke seluruh ruangan, memikat dan mendominasi. Semua orang pun menoleh, lalu terpaku di tempat saat melihat sosok Dirga. Pria itu begitu menawan bak model, dan hal tersebut membuat Sabrina dan Utari tampak terpana. Sementara itu, Alisa cepat-cepat meraih buku menu dan seperti berusaha bersembunyi di baliknya. “Salam kenal, Dirga!” Utari langsung tersenyum lebar dan mengulurkan tangan, sesuatu yang langsung disambut Dirga. “Duduk, duduk!” ucapnya mempersilakan pria itu dan juga sang ibu. Di saat Utari sebenarnya sengaja membiarkan kursi di sebelah Sabrina tetap kosong agar Dirga bisa duduk di sebelah putrinya itu, pria tersebut malah melewati kursi kosong di sebelah Sabrina dan duduk di sebelah Alisa! Semua orang agak terkejut, termasuk Larissa sendiri. Tidak pernah dia melihat putranya bersedia duduk di sebelah seorang wanita, terlebih lagi ketika calon pria tersebut adalah Sabrina, bukan Alisa! Dan untuk Alisa, dia hanya bisa tertunduk dan merasa ingin menangis, terutama ketika saat dia berusaha mencuri lihat sosok Dirga, pria itu hanya meliriknya dengan wajah datar dengan tatapan penuh arti. “Jadi, mengenai perjodohan ini …” Larissa tiba-tiba buka suara dengan senyum lembut, tampak tidak sabar. “Seperti yang sudah kukatakan, Dirga sudah setuju melanjutkan perjodohan, dan jelas Sabrina juga, bukan? Oleh karena itu, kita bisa lanjut membicarakan tentang acara pernikah—” “Sebentar, Larissa.” Utari terpaksa memotong pembicaraan. “Sebelum kita melanjutkan pembahasan mengenai perjodohan, ada sebuah kesalahpahaman yang terjadi dan harus segera diluruskan.” Sontak hal itu membuat Larissa kebingungan. “Kesalahpahaman apa, Tari?” Kemudian terdengar Utari berdeham cukup keras sehingga membuat Alisa menurunkan buku menu yang menutupi wajahnya. Keduanya saling bertatap muka. Utari melemparkan senyum dengan mata yang sedikit melotot, “Cepat minta maaf!” Suhu tubuh Alisa terasa panas dingin, tapi dia langsung memaksakan diri untuk berdiri, lalu membungkuk rendah, membuat Larissa terkejut, selagi Dirga tetap menatapnya datar. “M-maaf, Tante …,” ucap Alisa dengan tangan meremas erat gaunnya sendiri. Larissa terbelalak dan langsung berdiri untuk menghampiri Alisa, menegapkan tubuhnya. “Astaga, Nak! Kenapa kamu tiba-tiba melakukan ini!? Kenapa harus minta maaf?!” Dia menoleh ke arah Utari. “Tari, ini apa maksudnya?!” Utari menghela napas kasar. “Aku yakin kamu dan Dirga bingung, jadi aku akan langsung ke intinya saja. Sebenarnya, orang yang menemui Dirga tadi malam adalah Alisa, bukan Sabrina.” Larissa mengerjapkan mata. “Apa?” Kepala Utari mengangguk, lalu dia menatap Alisa dengan ekspresi kecewa. “Alisa adalah anak angkat mendiang kakak laki-lakiku. Semenjak dia meninggal, aku merawat Alisa dan membesarkannya selayaknya aku membesarkan putriku sendiri. Tapi … sepertinya kasih sayangku tidak cukup sampai dia selalu merasa iri pada apa yang Sabrina miliki, termasuk perjodohan ini … jadi dia memohon pada Sabrina untuk menggantikannya, dan putri bodohku ini malah mengalah dan mengiakan.” Mendengar penjelasan Utari, suasana menjadi lebih sunyi. Alisa hanya bisa menggigit bibir bawah bagian dalamnya. Dia ingin memprotes, mengatakan bahwa semua itu tidak benar. Akan tetapi, ancaman bahwa sang bibi yang akan membuang barang-barang peninggalan kedua orang tuanya melekat di pikiran. Sementara itu, Larissa yang masih kebingungan, berujung melihat Utari dan Alisa yang masih berada di sisinya secara silih berganti. “Ini … jadi–?” “Jadi, mungkin acara pertemuan makan malam ini bukan hanya untuk membicarakan acara pernikahan, tapi juga untuk memperkenalkan lagi putriku, Sabrina, pada putramu, Dirga,” ungkap Utari seraya tersenyum kepada Larissa dan Dirga. Namun— “Aku rasa itu tidak perlu.” Bukan hanya Utari, tapi semua orang ikut terkejut. Mereka menoleh, tak menyangka Dirga yang akan angkat bicara. Utari masih memaksakan senyuman, merasa gugup entah kenapa saat melihat ke dalam sepasang manik hitam kelam milik Dirga. “Maksud Nak Dirga …?” Dirga berdiri dari kursinya, lalu menghampiri Alisa, membuat wanita itu menengadah dengan ekspresi gugup. “Terlepas dari kesalahpahaman yang terjadi, aku tetap akan menikahi Alisa.” ****Dirga menjauhkan wajahnya. Namun, tetap membuat keduanya ada dalam jarak yang aman. Sudut bibirnya menyunggingkan senyum yang membuat Alisa kehilangan kata-kata untuk bersuara.Batinnya menjerit keras, ‘Kita berdua sama-sama sudah kehilangan kewarasan!’Pria di hadapannya berdeham lantas berkata, “Kita hanya belum saling mengenal. Tapi, aku tahu beberapa hal tentangmu … Alisa.”Mendengar itu, Alisa mengernyitkan dahi. Bukankah baru beberapa saat yang lalu Alisa mengaku tentang identitasnya?“M-memangnya apa yang kamu tahu?” tanya Alisa dengan suara yang sedikit gemetar.“Selain dari apa yang bibimu sampaikan, aku tahu tidak semua yang dia katakan itu benar.” Selagi menjawab, Dirga melonggarkan dasi yang dikenakannya. Tapi, tak sedikitpun mengalihkan tatapan tajamnya dari Alisa.Di tempatnya, Alisa semakin kuat meremat sisi gaunnya. Kedua tangannya sudah berkeringat bercampur debar yang dia rasakan di dada, menunggu ucapan Dirga berikutnya.“Setelah orang tua angkatmu wafat, bibimu mem
Pernyataan Dirga membuat semua orang terkejut, khususnya Utari yang kini melayangkan protes, “Menikahi Alisa dan bukan Sabrina, Nak Dirga?!” Dirga menganggukkan kepala. “Ya, aku akan menikahi Alisa.” Selagi mengatakan itu, dia menoleh untuk menatap Alisa yang wajahnya sudah memucat. Sudut bibir Dirga terangkat, membentuk senyuman yang tak bisa diartikan. “Aku … jatuh cinta sejak pertama kali melihatnya.” Mendengarnya, Alisa menatap Dirga dengan tatapan horror. Jatuh cinta dengan sikap gila yang dirinya perlihatkan di malam itu?! Batin Alisa meringis, ‘Itu jelas-jelas tidak mungkin!’ Selain Utari, Sabrina pun tidak kalah kesal. Muncul penyesalan karena sudah melewatkan kesempatan emas yang seharusnya menjadi miliknya. Alih-alih senang karena perjodohannya batal, dia merasa kesal sebab Dirga malah memilih ingin menikahi Alisa dan bukan dirinya. Rasanya seperti dikalahkan. Ada ketidakrelaan. Dibandingkan Alisa yang tampak biasa, Sabrina merasa dirinya dua kali lipat lebih baik dari s
“O-ohh? Dia bukan Sabrina?” Larissa mengerjapkan mata, merasa kaget dan canggung sendiri. Utari langsung mendaratkan tangannya di pundak Sabrina. “Ini Sabrina Gunawan, putriku,” jelasnya dengan senyum terpaksa akibat rasa tersinggung dalam hati. Saat diberitahu, Larissa langsung menatap Sabrina yang asli, agak meringis saat melihat wanita itu tampak mencolok dengan rambut cokelat terangnya yang bergelombang, kentara dicat. Bahkan make-up Sabrina kentara cukup tebal. Walau demikian, Larissa tetap melontarkan senyum keibuannya. “Oh, maaf sekali Sabrina! Tante salah mengenali!” Dia menambahkan, “Rambutmu cantik sekali loh!” Larissa memberikan pujian di akhir ucapannya. Sabrina balas tersenyum, agak kecut. “Terima kasih, Tante.” “Mana Dirga, Larissa?” Utari dengan cepat mengalihkan topik. Saat itu, Alisa saling menekuk jari-jari kakinya. Suara dalam batinnya berbisik, ‘Aku harap dia berhalangan hadir!’ “Ahh, Dirga tadi—” “Maaf, aku terlambat.” Suara berat milik seorang pria mengu
Mustahil!Melanjutkan perjodohan setelah apa yang terjadi semalam?! Apa Dirga Disastra benar-benar sudah kehilangan kewarasannya?! Terlepas sedihnya Alisa dengan kenyataan kesuciannya direnggut begitu saja oleh seorang pria asing, tapi dia masih sangat bingung bagaimana Dirga berujung ingin menikahi dirinya. Bukankah dia seharusnya terlihat seperti seorang wanita murahan yang bersedia tidur dengan sembarang pria!? Jadi, kenapa pria yang berstatus pewaris itu malah melanjutkan perjodohan?!“Aku tidak bisa melanjutkan perjodohan ini, Ma!”Belum habis rasa keterkejutan Alisa, celetukan Sabrina membuatnya kembali sadar.Mendengar itu, Utari langsung melerai pelukan dengan Sabrina. Matanya tampak menyala-nyala. “Berani kamu menolak perjodohan ini, Sabrina?!”Air wajah Utari yang semula memancarkan kebahagiaan berubah menjadi keruh dalam sekejap. Susah-payah dia menggunakan koneksi dari kelompok arisannya untuk menggaet calon besan kaya, tapi putrinya malah menyia-nyiakan niat baiknya?!Se
Pertanyaan Alisa membuat alis Sabrina terangkat tinggi, tapi senyum yang terlukis di bibir wanita cantik itu tidak menghilang. “Kenapa memangnya? Apa ada masalah?”Kali ini, emosi Alisa jadi tidak tertahan. “Apa ada masalah?” ulangnya. “Jelas ada masalah! Aku tidak pulang semalaman! Apa kamu tidak bingung atau khawatir sedikit pun alasannya apa?!” Alisa mengepalkan tangan dan membuang muka, merasa malu dengan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, hatinya menginginkan jawaban, jadi dia kembali menatap Sabrina dan bertanya, “Intinya, aku curiga obat yang kamu berikan ke pelayan untuk Dirga bukanlah obat tidur!”Di saat ini, ekspresi Sabrinalah yang berubah kaget. “Obat tidur?” ulangnya, sebelum kemudian … sudut bibirnya terangkat dan ekspresinya berubah menjadi agak mengejek. “Memangnya kapan aku pernah bilang ‘bala bantuan’ yang kukirimkan padamu adalah obat tidur?”DEG!Tubuh Alisa bergetar, ketakutan menyelimuti hatinya. “Jadi … kalau bukan obat tidur, obat yang kamu berikan adalah—”
Ranjang yang berantakan, pakaiannya berserakan, dan dirinya yang hanya mengenakan pakaian dalam. Dan paling penting, ini bukan kamarnya! Dia masih di hotel!Tiba-tiba arus ingatan mengalir ke dalam benak Alisa. Dia meminum satu gelas anggur, lalu seketika tubuhnya terasa aneh, dan perlahan kesadarannya membuyar, hingga berikutnya … Alisa mencium Dirga! Tidak hanya itu, Alisa bahkan mendorong pria itu ke tempat tidur dan– dan–!"AAHHH!" Alisa berteriak selagi membenamkan wajahnya ke bantal. Dia memaki-maki kebodohan dirinya, “Bodoh bodoh bodoh! Di mana letak kewarasanmu, Alisa?!”Apa segelas wine bisa merenggut kewarasannya dalam hanya beberapa detik? Alisa jadi mempertanyakan, sebenarnya obat apa yang Sabrina berikan?!“Aku … aku harus segera pulang! Aku harus segera menemui Sabrina dan menanyakan kebenaran atas obat itu!” putusnya di sela benak yang berkecamuk.Dia sudah tidak pulang semalaman dan pastinya bibinya akan menyadari ada yang salah dengannya. Kalau sang bibi–yang menggan