ログインPernyataan Dirga membuat semua orang terkejut, khususnya Utari yang kini melayangkan protes, “Menikahi Alisa dan bukan Sabrina, Nak Dirga?!”
Dirga menganggukkan kepala. “Ya.” Dia menoleh untuk menatap Alisa yang wajahnya sudah memucat. Sudut bibir Dirga terangkat, membentuk senyuman yang tak bisa diartikan. “Aku … jatuh cinta sejak pertama kali melihatnya.” Mendengarnya, Alisa menatap Dirga dengan horor. Jatuh cinta dengan sikap gila yang dirinya perlihatkan di malam itu?! Batin Alisa berteriak, ‘Itu jelas-jelas tidak mungkin!’ Selain Utari, Sabrina pun tidak kalah kesal. Muncul penyesalan karena sudah melewatkan kesempatan emas yang seharusnya menjadi miliknya. Alih-alih senang karena perjodohannya batal, dia merasa tidak terima dan kehilangan sebab Dirga malah memilih ingin menikahi Alisa. Pun dia tidak akan menerima pria itu, tapi paling tidak menolak pria setampan Dirga adalah sebuah pencapaian! Selagi semua orang terkejut, Alisa sendiri malah gelagapan, situasinya menjadi jauh lebih rumit dari perkiraan. Dia tahu membela diri akan terdengar sia-sia, apalagi di hadapan Utari. Maka, Alisa memutuskan harus melakukan tindakan ekstrem. “Kamu!” Alisa mencekal lengan Dirga. “Kita harus bicara!” Lalu, dia menghadap orang lain di ruangan itu seraya berucap, “Kami permisi sebentar!” Tanpa menunggu jawaban, Alisa menarik Dirga menjauh ke luar dari ruangan VIP. Keduanya pergi tanpa menghiraukan suara-suara di belakang yang meminta mereka untuk kembali. Selang beberapa menit, keduanya berhenti di tempat yang lumayan sepi, tidak jauh dari parkiran. Kini, Alisa dan Dirga saling berhadapan. “Apa tujuanmu?!” Alisa langsung menodong pria itu dengan pertanyaan. Alis kanan Dirga terangkat. “Tujuanku?” Alisa menggertakkan gigi. “Kalimatmu jelas-jelas tidak masuk akal.” Lalu dia membatin, ‘Jatuh cinta pada pandangan pertama?’ Pria waras mana yang akan jatuh cinta pada seorang wanita yang bertindak gila seperti kemarin?!” “Jadi kamu tahu tindakanmu kemarin sangat gila?” Melihat senyuman sinis di bibir Dirga, napas Alisa tercekat. Wanita itu menyadari Dirga mengambil langkah maju, refleks dia pun mundur ke belakang, terus … sampai punggungnya membentur dinding di belakang. “Apa yang—!” BRAK! Alisa tersentak kala Dirga mendaratkan dua tangannya di dinding, mengurung dirinya agar tidak melarikan diri. Debar di dada Alisa bertalu keras. Jujur saja, dia … takut. Namun, dia berusaha memberanikan diri. “Apa … apa yang kamu lakukan? Kenapa … kenapa kamu mengatakan ingin menikahiku?” Pertanyaan itu membuat sudut bibir Dirga meninggi dan suara beratnya kembali mengudara, “Setelah kamu mempermainkanku di malam itu, apa menurutmu aku akan melepaskanmu begitu saja?” “A-aku ….” Alisa merasa napasnya sesak, tapi dia menelan ludah dan berusaha bicara. “Kalau kamu tersinggung, aku minta maaf, sungguh.” Dia mencoba menatap mata Dirga lurus, tapi tatapan pria itu begitu mengintimidasi, sehingga secara otomatis Alisa mengalihkan pandangan, menghindarinya. “Akan tetapi, aku hanya berniat menolong sepupuku dari perjodohan yang tidak dia inginkan! Aku sama sekali tidak berniat mempermainkanmu!” “Begitukah?” tanya Dirga sebelum akhirnya menjepit dagu Alisa, memaksa wanita itu untuk menatapnya. “Tapi bagaimana? Aku merasa dipermainkan. Jadi, kita harus menikah.” Alisa menggigit bibirnya. “Tidak … tidak bisakah kamu menganggap yang terjadi semalam adalah kecelakaan?” balasnya, mencoba mencari jalan keluar terbaik untuk semua orang. Kalau Dirga sungguh melanjutkan perjodohan dengannya, entah apa yang akan Utari lakukan pada semua peninggalan orang tua Alisa. Walau memang peninggalan itu kebanyakan berupa benda mati yang tidak berharga bagi orang lain, tapi bagi Alisa … itu sama saja dengan kenangan terakhir bersama kedua orang yang paling menyayanginya dalam hidup ini. Alisa tidak rela kehilangan semua itu, jadi dia harus meyakinkan Dirga untuk melanjutkan perjodohan dengan Sabrina. Namun— “Kecelakaan?” Suara dalam Dirga terdengar tidak senang, dan ekspresi pria itu menajam. “Jadi bagimu … malam itu hanya kecelakaan?” ucapnya rendah, nyaris seperti geraman tertahan seekor binatang buas yang berada di ambang batas kesabaran. “Aku ….” Belum sempat Alisa menjawab, tangan Dirga menelusup ke pinggangnya. Dan dalam satu gerakan licin, dia menarik tubuh Alisa mendekat, membuat tubuh mereka nyaris rapat. “Apa yang—! Nggh!” Seketika tubuh Alisa tersentak dan lenguhan kabur dari bibirnya saat pria itu mencium sisi lehernya. Tangan kanan Dirga menekan pinggulnya, sementara tangan kiri pria tersebut menjerat kedua pergelangan tangan Alisa dan menahannya di atas kepala. Posisi ini—sentuhan ini—dan embusan napas panas di kulitnya, semua menyeret Alisa kembali pada malam itu. Ingatan samar yang berusaha dia tolak mulai muncul. Sentuhan. Napas. Desahan. “Berhenti …,” bisik Alisa, suara yang keluar terdengar lemah, nyaris terengah. Tubuhnya bereaksi, tak bisa membohongi memori dari malam itu. Tiba-tiba, suara rendah Dirga terdengar, begitu dekat dengan telinga Alisa. “Kalau tubuhmu masih bereaksi seperti ini, bagaimana bisa kita sebut apa yang terjadi di antara kita sebagai kecelakaan?” bisiknya. “Kamu tidak bisa menolakku, Alisa.” Pernyataan itu menghantam kesadaran Alisa dan dengan segenap tenaga yang tersisa, dia mendorong dada Dirga hingga pria itu sedikit mundur. “Pria gila!” maki Alisa, napasnya masih terengah. Dia menyentuh lehernya yang masih terasa panas. “Kita bahkan tidak saling mengenal! Jadi jangan anggap kejadian itu memberi hak padamu untuk mengikatku seolah-olah aku milikmu!” Dirga tertawa pelan. Dingin. “Oh, tapi sayangnya … aku memang sudah mengikatmu.” Alisa mengerutkan alis. “Apa maksudmu?” Dirga menyilangkan tangan, terlihat tenang. “Kalau kamu tidak bersedia menikah denganku, aku akan membongkar kejadian semalam pada semua orang,” ucapnya datar. “Menurutmu, apa yang akan terjadi jika keturunan keluarga Gunawan, entah angkat atau kandung, terlibat skandal semacam ini?” Alisa memucat. Dia tidak menyangka Dirga akan mengancamnya dengan kejam seperti ini! Tapi dia tak bersedia kalah. “Dan apa kamu kira keluargamu tidak akan kehilangan reputasi juga?” Dirga mengangkat satu alis. “Di antara pria dan wanita, menurutmu siapa yang akan lebih dirugikan oleh ‘skandal’ seperti ini?” Senyumnya meremehkan. “Bukankah tindakan bibimu yang ingin melanjutkan perjodohanku dengan sepupumu adalah bukti yang cukup jelas?” Seketika, Alisa tercekat. Kata-kata itu menyadarkannya. Ya, jelas wanita yang lebih dirugikan. Bahkan setelah bibinya itu tahu dirinya sudah tidur dengan Dirga, sang bibi lebih peduli pada kelangsungan koneksi, bukan kenyataan Dirga sudah pernah tidur dengan perempuan lain! Kesucian dalam dunia ini memang selalu dibebankan di pundak perempuan! Melihat perubahan ekspresi Alisa, Dirga melangkah maju. Refleks, Alisa mundur satu langkah. Tapi Dirga tak membiarkannya menjauh. Dalam satu tarikan cepat, pria itu kembali menyeret tubuh Alisa mendekat sebelum kemudian tangan besarnya mendarat di perut bagian bawah Alisa, membuat wajah wanita itu merona sekaligus mulai meronta. “Lagi pula, apa kamu tidak ingat aku mengeluarkannya di dalam?” Selama sesaat, Alisa bingung. “Apa …?” Sudut bibir Dirga terangkat, dan dia mengatakannya dengan lebih jelas, “Benihku ada di dalam rahimmu, Nona Alisa Gunawan. Mengetahui ini, apa kamu masih menolak pernikahan kita?” Sontak, wajah Alisa memucat. ***Sebelum Dirga bersedia menjelaskan tentang apa yang terjadi, dia menyempatkan diri untuk membuatkan Alisa teh hangat setelah mengetahui bahwa wanita itu mengaku perutnya merasa tidak enak. Dirga juga menyodorkan minyak angin. Yang satu itu Alisa tolak. “Tidak usah,” gelengnya. “Ini saja sudah cukup.” Diangkatnya secangkir teh yang ada dalam genggaman tangannya. Hal itu membuat Dirga menghela napas lantas menaruh minyak angin yang dibawanya di atas nakas. Dia pun duduk di hadapan Alisa yang menyandarkan tubuhnya ke punggung ranjang tidur. “Jelaskan, Dirga,” pinta Alisa tidak sabaran. Sesaat, dia mencicipi teh hangat itu kemudian menaruhnya di nakas. Sejujurnya, kalau boleh diberikan pilihan, Dirga enggan memberikan penjelasan. Namun, menyembunyikannya malah bisa membuat buruk hubungannya dengan Alisa. Pria itu tampak mengusap wajahnya. “Kamu juga muntah malam itu,” beritahu Dirga. Manik hitamnya menyorot Alisa tajam. “Kalau tidak bisa minum sama sekali, kenapa malah memesan wine?
Pasangan suami istri yang tampak menginginkan satu sama lain itu malah berakhir saling menatap selama beberapa detik.Alisa yang tidak kuat berlama-lama bersinggungan dengan manik hitam legam Dirga segera memutus pandangan. Dia beralih menatap ke arah tubuhnya yang kini sudah mengenakan kaos hitam berukuran oversize.“Aku tidak menemukan pakaian yang cocok. Jadi, aku pinjam kausmu. Apa … boleh?” tanyanya, memutus keheningan yang tercipta.Sekilas Dirga mengarahkan fokusnya untuk menatap kaus yang dikenakan Alisa. Tanpa berpikir banyak, dia menganggukkan kepala. Kemudian, dia mengayunkan langkah ke arah ranjang tidur. Dirga berkata, “Bukankah sudah kukatakan? Apa yang kita punya jadi milik bersama.”Di tempatnya, Alisa tersenyum dan menganggukkan kepala. Mendengar itu, ada rasa hangat yang menjalar di dadanya. Selagi Dirga di kamar mandi, Alisa sudah membulatkan tekadnya.Toh tidak ada bedanya melakukannya sekarang dan nanti. Pada akhirnya, kegiatan intim di atas ranjang tidak bisa te
Mendengar itu, wajah Alisa terasa memanas. Dia khawatir jantungnya akan meledak karena detaknya sangat tidak bisa dikendalikan.Memberanikan diri, Alisa bertanya dengan nada suaranya yang terdengar sedikit serak. “Kamu mau kita melakukan itu?” todongnya to the point.Alisa hanya mencoba menerjemahkan kalimat ‘menginginkan’ yang Dirga ucapkan. Apakah konteksnya mengarah pada apa yang baru saja dia tanyakan?“Pertanyaan itu seharusnya untuk dirimu sendiri, Alisa,” jawab Dirga seraya terkekeh pelan.Napas Alisa tercekat. Dia semakin mencengkram erat ujung handuk yang melilit tubuhnya. “Maksudnya? Aku tidak paham," gelengnya sambil menaikkan satu alisnya.Sebelum menjawab pertanyaan Alisa, Dirga menyempatkan diri untuk melepas kancing kemeja terakhirnya dan melepaskan kemejanya.Detik berikutnya, refleks Alisa membuang wajah. Dia tak ingin melihat tubuh atasan pria yang berstatus suaminya itu.Dalam keadaan seperti ini, rasanya itu membahayakan. Dirga termasuk pria yang menjaga bentuk fis
Karena langkah Dirga yang sudah semakin dekat, kegugupan Alisa juga meningkat. Dia memaksakan kakinya berbelok untuk kembali masuk ke kamar mandi. Alisa bisa memakai pakaian yang sebelumnya. Rasanya terlalu lama kalau saat ini dia harus memilih pakaian di lemari saat Dirga ada di dalam kamar. Namun, sialnya, karena melangkah dengan terburu, kaki Alisa malah tersandung kakinya sendiri sehingga menyebabkan tubuhnya limbung. Nyaris saja dia tersungkur ke depan dan berakhir mendarat di lantai yang keras jika saja Dirga tidak sigap menarik lengan Alisa lalu mendekapnya. Alisa hanya bisa memejamkan matanya erat-erat dengan jantung yang terus-menerus bertalu. "Tidak bisakah kamu berhati-hati?" Suara Dirga terdengar kesal. Pria itu menundukkan pandangannya, bermaksud memandang ke arah wajah Alisa. Hanya saja, pandangannya sedikit meleset. Manik hitamnya memandang lebih turun ke arah area bawah pundak Alisa. Beberapa menit lalu saat Dirga masuk ke dalam kamar, pandangannya sudah terku
Apapun? Firasat Alisa seketika berubah menjadi tidak enak, seolah dia bisa mengetahui bahwa Dirga memiliki permintaan yang kedengarannya mungkin akan membahayakan. Suara dalam batin Alisa tertawa hambar, ‘Bagaimana kalau Dirga menyuruhku menambahkan jalan harianku jadi lima belas atau dua puluh putaran?!’ pikirnya. Diam-diam Alisa berharap semoga saja Dirga meminta hal yang mudah untuk dikabulkan. Suara berat Dirga kembali mengudara. “Kenapa tidak menjawab?” Terdengar dengusan samar di ujung ucapannya. Alisa membasahi bibir bawahnya dan membalas singkat, “Apa yang kamu inginkan?” Pepatah mengatakan, lebih baik bertanya daripada tersesat di jalan. Selagi menunggu jawaban Dirga, Alisa menggigit bibir bawahnya. “Akan kuberitahu saat di rumah nanti.” Sekon berikutnya, Dirga menambahkan, “aku tutup teleponnya.” Mulut Alisa terbuka tanpa sempat menjawab sepatah kata apapun. Dia menurunkan ponselnya tanpa tenaga setelah panggilan diakhiri begitu saja. Lantas wanita itu terdiam. "Bai
“Alisa akan terlibat dalam proyek ini?” Selagi menanyakan itu, Gia tampak memelotot horror ke arah Dirga. Reaksi itu menyeret Dirga ke dalam asumsi bahwa Gia benar-benar sudah bulat untuk menolak proyek filmnya ini. Dia membalas, "Ya, tapi kalau kamu tetap tidak bersedia– "Dirga, heii ... kapan aku mengatakan tidak bersedia?" potong Gia cepat. Wanita itu terkekeh hambar. Alih-alih terlihat marah dan tidak terima, raut wajah Gia justru menunjukkan sebaliknya. Bibirnya membingkai senyuman dan air wajahnya tampak ramah. Wanita itu menarik napas panjang dan menatap Dirga penuh arti. “Aku,” jedanya tertahan karena membasahi bibir bawahnya. Gia lantas melanjutkan, “aku bersedia mempertimbangkan pembatalan kontrak kita. Aku ingin bertemu Alisa untuk mendiskusikan ulang skenario ini.” Suaranya terdengar yakin tanpa keraguan.Satu detik setelah mendengar itu, Dirga sempat dibuat terdiam. Dia bertanya-tanya, apa yang membuat Gia mengubah keputusannya dalam waktu yang singkat?Baru akan men







