‘Sial, sial, sial!’ maki Claudia dalam hati sambil menutup wajah. Dia tidak menyangka rencana untuk melupakan patah hatinya malah berujung kekacauan.
Sekarang, Claudia sudah berada di dalam taksi. Setelah tadi tahu dirinya salah orang, Claudia tanpa pikir panjang langsung kabur dari hotel. Dia tidak lagi berpamitan dengan Ryuga karena malu setengah mati mengenai seluruh kesalahpahaman ini.
Tentu saja, Claudia tidak pergi begitu saja. Dia meninggalkan beberapa lembaran uang di atas nakas untuk Ryuga. Anggap saja sebagai bentuk permintaan maaf karena telah menyangka pria itu sebagai gigolo.
Namun, setelah dipikir-pikir lagi. Untuk apa ya dia kasih uang ke Ryuga!? Kan ‘jasa’ pria itu juga tidak Claudia pakai!?
‘Bodoh kamu Claudia, bodoh! Nggak sadar apa kamu sendiri sudah rugi bandar karena harus bayar lebih si Mami!’ gerutu wanita itu seraya menangis dalam hati.
Ya, walau dirinya tidak jadi menggunakan jasa anak si Mami, Claudia tetap harus membayar penuh sesuai dengan perjanjian awal, bahkan dengan sedikit tambahan karena Mami beralasan anaknya itu sakit karena kelamaan menunggu Claudia.
Claudia sempat ingin nego, tapi Mami malah mengancam akan menyebarkan data pribadinya. Alhasil, Claudia tidak ada pilihan selain membayar Mami sampai-sampai tabungan daruratnya habis!
“Nona, kita sudah sampai,” ucap sopir taksi, menyadarkan Claudia yang sedari tadi meratapi nasib.
“O-oh, iya. Makasih, Pak.”
Turun dari taksi dan masuk ke dalam rumah, Claudia menggertakkan gigi. Dia terus memikirkan rekeningnya yang sekarang kosong melompong.
“Ini salah Pak Ryuga! Kenapa juga dia mau-mau aja pas aku ajak!? Haduuh!” gerutu Claudia.
“Siapa itu Pak Ryuga?”
Sebuah suara yang mendadak terdengar di tengah kegelapan sontak membuat Claudia melompat. “Ah!”
Claudia menoleh cepat, melihat seorang pemuda bertubuh jangkung sedang berdiri tegak dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam hoodie. Sepasang manik hitamnya yang misterius terlihat memerhatikan dirinya lurus.
“Dirga?!” seru Claudia kaget.
Dirga Disastra, itulah nama pemuda berparas tampan yang sekarang sedang menatap Claudia dengan pandangan menyelidik. Dirga merupakan teman masa kecil adik Claudia sekaligus putra dari pemilik kamar loteng yang Claudia sewa saat ini.
“Mbak dari mana?” tanya Dirga lagi dengan wajah dingin, membuat wanita itu merasa sedikit terintimidasi.
“Dari … dari ….” Claudia cepat-cepat membelokkan topik. “Kamu dari tadi di sini?”
Dirga memicingkan mata. “Gue nanya, kenapa malah ditanya balik?” balasnya seraya menghampiri Claudia. “Tadi baru datang sebentar ke pesta pertunangan Bang Sam, Mbak malah langsung menghilang. Gue kira Mbak sakit, tapi ternyata malah baru pulang sekarang,” tuturnya. “Sekarang, jawab. Habis dari mana?”
Rentetan pertanyaan dari Dirga membuat Claudia tersenyum tak berdaya.
Sesuai ucapan pemuda itu, malam ini memang malam pesta pertunangan Sambara, sepupu Dirga sekaligus pujaan hati Claudia sejak dulu. Namun, karena terlalu sakit melihat Sambara berada di atas panggung berdampingan dengan wanita lain, Claudia memutuskan pergi lebih awal untuk bertemu dengan gigolo pesanannya.
Siapa yang menyangka semua kacau karena pria bernama Ryuga? Dan jelas … kekonyolan yang terjadi tidak bisa dia ceritakan pada Dirga, bukan?
Memikirkan itu, tangan Claudia pun meninju kecil sisi lengan Dirga. “Khawatir nih ceritanya, Dir?” Mengalihkan topik dengan menggoda pemuda itu.
“Ck, apa sih? Gue cuma nanya.” Dirga membuang wajah. “Kalau bukan karena semua orang tadi nanyain Mbak ke gue, buat apa gue peduli?”
Awh, adik kecil yang manis. Khawatir, tapi malu mengakui.
“Iya deh iya, Dirga. Mbak percaya,” sahut Claudia terkekeh pelan. Tangannya kali ini mendarat di puncak kepala Dirga dan mengacak poni pemuda itu. “Tapi, besok aja ya Mbak ceritanya. Mbak mau istirahat,” ucap Claudia.
Diacak-acak rambutnya, Dirga langsung menepis tangan Claudia. “Ya kalau nggak mau cerita, nggak usah cerita. Pake acak-acak rambut orang segala.” Pemuda itu berbalik dan melangkah ke kamarnya. “Jangan lupa besok hari pertama Mbak kerja di kampus!”
BRUK!
Pintu ditutup kencang, membuat Claudia mengernyit. “Elah … udah gede kenapa jadi galak banget sih?” gerutunya. “Ya sudahlah, yang penting masalah malam ini kelar semua …,” gumam wanita itu dengan lemah.
Seperti yang Dirga bilang, besok adalah hari penting yang tak boleh Claudia lewatkan. Jadi, Claudia memutuskan tak memikirkan hal lain lebih lanjut dan segera tidur.
Namun, tanpa sepengetahuan Claudia, masalah tidak semudah itu selesai. Akibat ulahnya yang kabur dari ruang hotel tanpa berpamitan, sekelompok pria berpakaian hitam dipanggil oleh atasan mereka untuk berkumpul di depan sebuah ruang hotel.
“Pak Presdir,” panggil seorang pria yang mengenakan kemeja putih dan kacamata hitam, tampaknya dia adalah asisten pribadi pria tersebut, juga perwakilan para pria berjas hitam di luar ruangan.
Dipanggil demikian, pria dengan jubah malam yang menampakkan tubuh atletisnya itu menoleh. Ternyata, pria itu Ryuga!
Dengan gelas wine di tangan kiri dan kaki yang disilangkan, Ryuga memanggil sang asisten, “Riel.”
“Ya, Pak.” Riel menunduk sopan.
“Saya tahu kamu sudah dengar apa terjadi.” Ryuga sudah menjelaskan semuanya di telepon tadi, jadi dia ingin langsung ke inti pembicaraan.
“Benar, Pak.”
Ryuga bangkit dari duduknya, lalu menghadap ke arah jendela besar hotel. Dia bisa menangkap pantulan dirinya di kaca, juga kasur yang sempat menjadi tempat dirinya dan Claudia bergumul panas beberapa saat lalu.
Bayangan itu membuat wajah Ryuga menjadi semakin dingin. “Bagaimanapun caranya, cari gadis yang bersamaku tadi sampai dapat.” Dia mencengkeram erat gelas wine di tangannya dan menatap Riel dengan tatapan tajam, “Aku tidak menerima kegagalan.”
Mendengar nada bicara Ryuga yang dingin dan penuh ancaman, Riel tahu tuannya itu bersungguh-sungguh perihal kalimatnya. Alhasil, dia langsung membalas, “Baik, Pak!”
Pria itu pun gegas melaksanakan perintah Ryuga dan menyuruh para pengawal untuk mencari tahu segala informasi tentang gadis yang menyinggung sang atasan.
Sementara itu, Ryuga melirik beberapa lembar uang di tangan, benda yang ditinggalkan Claudia karena merasa bersalah. ‘Menghinaku seperti ini … jangan harap kamu bisa kabur, Claudia!’
**
Pertemuan pagi itu tidak berjalan dengan baik. Suasana hati Ryuga buruk. Tanpa banyak bicara, dia meninggalkan kediaman Azzata dengan Cherrish yang tertidur dalam gendongannya. Kedua tangannya tetap kokoh memeluk sang putri seolah sedang menenangkan dirinya sendiri. Claudia mengikuti dari belakang. Dia berusaha menyesuaikan langkah suaminya yang tiga kali berjalan lebih cepat. “Terima kasih untuk tehnya. Kami pamit dulu, Bu Sandra.” Itu adalah ucapan terakhir yang Claudia layangkan pada Sandra. Dia tak yakin, apakah setelah ini akan ada pertemuan selanjutnya? Tidak ingin berpikir lebih jauh, Claudia cepat menyusul Ryuga yang sudah lebih dulu menuruni anak tangga depan. Bibir cherry Claudia terbuka, bersiap memanggil nama suaminya. Namun, yang terucap dari bibirnya adalah, “Pras?!” Sontak langkah Claudia terhenti. Matanya terbelalak melihat pria itu kini berdiri hanya beberapa meter dari Ryuga. Dari raut wajah Pras, Claudia bisa tahu jika pria itu sama terkejutnya. Sementara Ryug
Cepat-cepat sosok itu menggelengkan kepala dan menutup tirai. Semua sudah terlambat, batinnya.“Sadarlah, Sandra!”Ya, wanita yang kini berdiri membelakangi jendela besar itu adalah Sandra Azzata–Mami Pras, yang sempat menaruh perasaan pada Ryuga sewaktu masa sekolah dulu.Sandra pernah membuat surat pengakuan pada Ryuga. Namun, sayangnya, surat tersebut tidak pernah sampai ke tangan Ryuga dan malah jatuh ke tangan yang salah. Entah bagaimana surat pengakuan yang Sandra titipkan pada temannya berakhir di tangan … Natasha Blair.Ketukan pintu terdengar.“Maaf, Nyonya Sandra, tamu Anda sudah menunggu di bawah.” Ucapan pemberitahuan itu membuat kesadaran Sandra sepenuhnya kembali.“Aku akan ke sana,” jawabnya sedikit mengeraskan suara.Sejenak, Sandra mencoba menenangkan diri. Dia menepuk pakaian depannya lantas memperlihatkan senyumnya yang anggun. Perlahan, kakinya yang terbalut sepatu mahal melangkah menuju pintu.Pertemuan ini akhirnya terjadi. Jika bukan karena sikap Pras semalam ya
Usai memastikan kebutuhan Gara aman pada Diana, baru Claudia dan Ryuga pergi meninggalkan rumah. “Ryugara, yang tidak bisa kamu lakukan, minta bantuan pada Tante Diana.” Bocah itu mengangguk saat diberi wejangan-wejangan singkat dari Claudia. Pagi itu Ryuga memutuskan untuk menyetir sendiri karena sopir pribadinya diliburkan oleh Claudia. Sejujurnya dia merasa kesal, tapi tetap tidak bisa marah. Lagipula … mereka akan menuju tempat penting saat ini, jadi sebaiknya tidak perlu banyak orang yang tahu. Di balik kemudi, Ryuga melirik Claudia yang duduk diam di sampingnya. Sementara Cherrish duduk di car seat sambil memainkan boneka beruang coklat kecil–pemberian dari Aland yang menjadi boneka favorit Cherrish. Wajah Claudia tampak tenang. Namun, sorot matanya memancarkan keresahan. Melihat itu, tangan Ryuga turun untuk mengusap punggung tangan istrinya. “Aku bersamamu,” bisik Ryuga dengan suara rendahnya. Claudia balas mengusap tangan Ryuga. Dia membasahi bibir bawahnya lalu meliri
Keesokan paginya, Diana bangun lebih awal dari biasanya. Setelah semalam Dimitri mampir dan mengajaknya lari pagi, seharusnya hari ini dia sudah bersiap di taman seperti biasa. Namun, rencana itu batal seketika setelah ponselnya berbunyi pelan. Satu pesan masuk dari Ryuga.[Pak Ryuga: Kalau kamu tidak sibuk, bisa mampir ke rumah, Diana?]Diana menatap pesan itu beberapa saat, tampak menimbang. Dia menebak jika itu bukan permintaan kerja. Tapi entah mengapa, jarinya mengetik jawaban tanpa berpikir panjang.[Diana: Tentu, Pak. Saya tidak sedang sibuk.]Usai membalas, Diana terdiam di atas sofa. Dia baru mengikat satu tali sepatunya. “Memangnya aku sibuk apa?” gumamnya pelan, setengah geli.Keningnya mengernyit samar. Bukankah dia ada acara lari bersama Dimitri?“Minggu depan saja,” gumam Diana.Pagi itu Diana memutuskan untuk membatalkannya saja dan memilih memenuhi panggilan Ryuga. Diana tahu betul, ini bukan urusan pekerjaan. Mungkin urusan Aruna. Atau … bisa jadi sesuatu yang lebih
Berbeda di rumah sakit, di sisi lain, tepatnya di apartemen Diana, sosok Dimitri sudah masuk ke dalam dan menikmati kopi yang dia bawa dari luar. Pria itu diminta menunggu selagi Diana mengganti pakaiannya di dalam kamar.“Di, lama banget di dalam. Kamu tidak lupa kalau aku datang ‘kan?” teriak Dimitri, terdengar tidak sabaran karena Diana tak kunjung ke luar.“Sebentar lagi!” Diana balas berteriak.Dimitri menghela napas. Ini bukan kunjungan pertamanya. Jadi, dia bersikap santai seolah sudah sering datang ke sini. Jika dihitung-hitung, melebihi dari jari-jari di tangan.“Tumben, biasanya juga gerak cepat,” geleng Dimitri.Bahkan di pertemuan keduanya dalam kencan buta yang direncanakan oleh Aruna, Diana yang datang sepuluh menit lebih awal. Dan … Dimitri datang dua puluh menit dari waktu yang dijanjikan. Mungkin itu yang membuat Diana pada akhirnya mengatakan kencan buta itu harus berakhir di pertemuan pertama.Terdengar bunyi klik.Diana ke luar dengan pakaian tidur bermotif bunga-b
Pras dan Aland baru saja dipindahkan ke ruang opname. Sebenarnya mereka sudah bisa pulang ke rumah, hanya saja kedua pria itu sama-sama tidak memiliki alasan kuat untuk dijadikan alibi. “Gue nggak mau pulang, malas diinterogasi Kakek karena wajah tampan gue tiba-tiba bertato.” Itu alasan yang dilontarkan Aland. Sementara Pras juga memiliki alasan lain untuk tidak pulang malam ini. “Lo tahu sendiri Mami akan bereaksi berlebihan.” Kamar inap yang dipilih adalah VIP, jadi ruangannya cukup luas. Namun, berada di kamar rumah sakit apalagi melihat ranjang tidur pasien membuat Garvi merasa phobia. Selama proses pemulihan di tahun pertama, setiap kali harus pergi ke rumah sakit, dia akan meminta untuk ditemani. Aruna atau siapa pun itu. Meskipun sudah lewat beberapa tahun, Garvi masih merasa kesulitan bernapas. Pria itu berdiri di tengah Aland dan Pras. “Pras … Al, kalian sudah sama-sama berakhir di sini. Jadi cukup. Jangan dilanjutkan bagian dua. Sekarang waktunya buat kalian sama-s