“Maksud Ibu … saya tidak jadi mengajar di kelas siang?” tanya Claudia dengan alis tertaut.
Sekarang, Claudia sudah berada di ruangan prodi dan sedang berbicara dengan Bu Rika, sang kepala program studi. Namun, di luar dugaan, Bu Rika menyampaikan adanya perubahan yang membuat Claudia memasang wajah kecewa.
“Benar, Bu Claudia. Saya paham Ibu pasti kaget karena perubahannya mendadak, tapi ini perintah dari atas. Saya harap Ibu bisa menerima,” ujar Bu Rika selagi menampakkan wajah bersalah.
Claudia termenung. Sungguh tak dia sangka, dirinya yang seharusnya mengajar di kelas reguler atau kelas siang, malah diubah menjadi pengajar di kelas non-reguler atau kelas malam.
Itu tidak sesuai keinginan Claudia. Bukan hanya karena jadwalnya agak sulit, tapi dia juga takut kemampuannya tidak mumpuni.
Kelas non reguler dihuni oleh mahasiswa dengan usia beragam dan mayoritas adalah pekerja, rata-rata dari mereka pasti memiliki lebih banyak pengalaman dibandingkan dirinya. Kalau misal Claudia melakukan sedikit saja kesalahan, akan lebih besar kemungkinan dia dilaporkan.
“Kalau Ibu keberatan, maka saya juga tidak masalah kalau Ibu mundur. Ini memang kelalaian dari pihak kami,” imbuh Bu Rika saat melihat keraguan di wajah Claudia.
Mendengar itu, Claudia tersentak. Menjadi guru adalah impian mendiang sang ibu untuknya, dan hal itu menjadi impian Claudia juga. Jadi, dia tidak bisa kehilangan kesempatan ini!
“Tidak masalah, Bu Rika. Saya bisa,” angguk Claudia. “Tapi, kalau boleh tahu mengapa saya tidak jadi mengajar di kelas reguler?
“Ah, itu.” Bu Rika tampak tidak enak membahas masalah ini. “Sebenarnya … sudah ada dosen yang akan mengisi di kelas reguler, dia–”
Ketukan di pintu membuat ucapan Bu Rika terhenti. Ketua prodi itu menoleh, pun dengan Claudia ke arah pintu.
“Permisi, Bu Rika. Saya– Eh? Claudia?”
Claudia kenal suara indah itu, juga wajah cantik yang saat ini menatapnya dengan ekspresi terkejut.
“Kamu di sini ternyata, Clau!” seru wanita cantik itu seraya menghampiri dirinya.
Dengan tenggorokan yang terasa kering, Claudia pun memaksakan diri untuk memanggil wanita tersebut, “Claire …?”
Claire Lee, teman terdekat Claudia, wanita yang memiliki segala hal terbaik di dunia ini, sekaligus pria yang Claudia cintai.
Ya, Claire Lee adalah tunangan Sambara, pria yang sampai saat ini masih singgah di hati Claudia.
**
Setiap orang di dunia pasti memiliki paling tidak satu teman terdekat di hidupnya, dan bagi Claudia … orang itu adalah Claire. Cantik, pintar, berlatar belakang kuat, dan disukai banyak orang, Claire adalah sosok sempurna yang bahkan sempat membuat Claudia mengidolakan dirinya sejak SMA.
Namun, semua berubah ketika Claudia tahu bahwa Claire berujung berpacaran dengan Sambara semasa kuliah, tepat setelah Claudia memberi tahu gadis tersebut perihal perasaannya terhadap pria itu.
“Clau, jangan marah, ya. Niatku awalnya cuma mau ngecek aja apa dia udah suka sama perempuan lain atau nggak buat kamu, tapi … ternyata dia malah terima aku. Sekarang, aku sudah terlanjur suka sama Kak Sam, jadi aku nggak bisa putus sama dia. Sebagai sahabat aku, kamu pasti merestui hubungan kita, ‘kan?”
Itu yang dikatakan oleh Claire ketika Claudia menanyakan alasan kenapa teman baiknya itu melakukan hal tersebut. Dan karena kalimat itu juga, Claudia merasa dirinya adalah teman terburuk lantaran masih menyimpan rasa tidak suka tiap kali melihat Sambara dan Claire bersama, sama seperti di pesta pertunangan yang terjadi di malam sebelumnya.
“… Clau … Claudia!”
Panggilan itu menyentak Claudia dari lamunannya. Dia mengangkat pandangan dari layar komputer yang menyala, menuju wajah cantik milik Claire yang terduduk di sebelahnya.
Ah, ya. Sekarang mereka sudah di ruang dosen.
“Kok lo ngelamun sih?” tanya Claire sambil tersenyum. “Kenapa? Kaget ya?” Dia lanjut berbicara, “Memang ini gila, sih. Gue masih nggak nyangka kita ngajar di kampus yang sama dan meja kita juga sebelahan!”
Claudia memaksakan senyuman. “Iya, kebetulan banget.”
Jujur, Claudia masih tidak menyangka bahwa Claire akan kerja satu universitas dengannya, bahkan teman baiknya itu adalah alasan Claudia tidak jadi mengajar di kelas reguler.
Ya, wanita itu yang menggantikannya.
“Clau, kenapa?” tanya Claire yang mendapati Claudia banyak murung saat ke luar dari ruangan prodi. “Lo nggak seneng ya gue juga ikutan ngajar di sini?”
Pertanyaan itu membuat Claudia mematung.
Sudah lama perasaan tidak nyaman ini Claudia miliki ketika bersama Claire. Bukan apa-apa, tapi Claudia merasa apa pun yang dirinya sukai, maka Claire pasti akan mengambilnya.
Dimulai dari hal kecil seperti gelang yang Claudia lihat di pinggir jalan ketika bersama Claire, atau mungkin merk cat lukis premium yang tidak mampu Claudia beli, bahkan sampai gaya berpakaian yang Claudia miliki. Yang paling jauh … adalah pria yang Claudia sukai.
Sekarang, Claire juga mengambil posisi dosen yang sebelumnya telah dijanjikan kampus untuk Claudia? Apa ini kebetulan? Tapi … kebetulan macam apa yang terjadi berkali-kali?
Sadar dia mulai berpikir buruk tentang sahabatnya sendiri, Claudia langsung menepis pikiran itu dan berusaha tersenyum. “Enggak, Claire, perasaan kamu aja,” elaknya. “Aku cuma kurang istirahat semalam. Masih agak ngantuk.”
“Beneran? Lo nggak marah 'kan sama gue?” Claire menarik kursinya agar lebih dekat dengan Claudia.
“Untuk apa marah?” tanya Claudia sembari merapikan dokumen di atas meja, matanya tidak menatap Claire.
Claire memandang Claudia lurus. “Lo nggak mikir kalau gue yang minta ke Kak Liam buat nempatin gue di kelas reguler?”
Claudia terdiam, lalu menatap Claire.
Betul, salah satu alasan Claudia meragukan semua ini adalah karena dia ingat bahwa Claire memiliki kakak laki-laki bernama Liam Lee, pria yang merupakan salah satu donatur tetap di kampus ini. Demikian, cukup sulit bagi Claudia untuk mengatakan kalau ini semua adalah kebetulan.
Jadi, apakah Claire sungguh sengaja meminta bantuan kakaknya untuk menggeser posisi Claudia?
“Om!”Terlambat satu detik saja seruan itu mengudara, mungkin Argus benar-benar akan menghilangkan nyawa sesosok wanita yang terbaring lemah tak berdaya di atas ranjang pasien. Setengah tidak rela, Argus melepaskan cengkeramannya.Di belakang sana, Pras menghela napas lega. Dia terkejut saat berhasil tiba di pintu dan disuguhkan oleh pemandangan yang nyaris membuatnya mengumpat.Lantas Pras menolehkan wajah untuk melihat keadaan Aruna. Kekasihnya itu pasti terkejut sampai-sampai mematung dan tidak bisa berkata satu kata patah pun.“Aruna,” panggil Pras dengan ragu.UHUKK UHUKKKPasien wanita itu terbatuk-batuk hebat. Dia merabai lehernya dengan tangan yang gemetaran sambil menatap Argus penuh ketakutan.“Ini peringatan, Asha.”Suara Argus mengudara. Tidak peduli jika dua bocah di belakangnya ikut mendengarkan. Pria itu terkesan tenang, seolah tidak memiliki perasaan bersalah setelah aksinya barusan.“Dalam kondisi sekarat, seharusnya kamu bertobat.” Argus mendengus kasar. “Atau paling
“Aku akan meminta maaf pada Tante Diana sepulang dari sini.’ Aruna mencoba meyakinkan diri bahwa keputusannya untuk mendatangi Riel bukan sesuatu yang salah. Rasanya memang tidak ada orang lain yang bisa menggantikan Riel dengan kinerjanya yang luar biasa. “Berubah pikiran, Runa?” Suara Pras di sebelahnya menyadarkan lamunan Aruna. Cepat, dia menolehkan wajah dan menggelengkan kepalanya. Dengan suara yang tegas, dia menyahut, “No, ayo temui Om Yel. Aku juga penasaran ingin melihat seberapa mirip Om Yel dengan versi junior-nya.” Benar Aruna merasa kecewa dengan apa yang Riel lakukan. Namun, bayi yang sudah lahir itu sama sekali tidak memiliki kesalahan apapun. Dalam lubuk hatinya, Aruna bersyukur bahwa meskipun bayi itu hadir sebelum Riel dan Lilia menikah, Riel mau bertanggung jawab. Aruna membuang wajah, bermaksud untuk menepis pemikiran yang datang tanpa diundang. ‘Nggak seperti Argus yang tidak mau bertanggung jawab– Suara di dalam batin Aruna terputus sebab tak sengaja di saa
Jika bukan karena adik dari Dimitrio dan ternyata teman dari kakaknya Garvi, Aruna tidak akan mengenali pemuda dengan lengan kanannya yang penuh dengan tato. Dimitrian Yudhistira. Aruna segera membuang wajahnya dari pemuda tersebut. “Aku tidak memiliki kepentingan apa-apa denganmu.” Selain karena saat ini Aruna tengah ingin sendiri dan tidak ingin diganggu, dia tidak akrab dengan pemuda kenalan kakak laki-lakinya itu. Sementara tanpa diduga, Dimitrian memutuskan duduk di samping Aruna. Dengan santai, ikut menikmati pemandangan yang ada di hadapannya. “Aku juga tidak ada kepentinganmu.” Dia menolehkan wajah ke arah Aruna dan berkata lagi, “Karena suasana hatiku buruk, aku tidak akan mengadukanmu pada Garvi.” Semenjak Garvi mulai pulih dan melanjutkan kehidupannya, teman-teman lama pemuda itu banyak memberikan bantuan dukungan. Aruna yang dalam beberapa kesempatan ada di samping Garvi, mau tidak mau Garvi kenalkan pada teman-temannya. Salah satunya Dimitrian. Keduanya sempat bert
Keesokan harinya, Claudia terbangun dengan mata yang super sembab akibat menangis semalaman sampai tertidur pulas. Kepalanya terasa berat dan matanya terasa panas. Isi pikirannya didominasi oleh hal-hal buruk. Yang terburuk adalah kemungkinan– –nyaris saja Claudia memikirkannya! Dia ingin membuang pikiran itu jauh-jauh! Lantas oandangannya mengedar ke sekeliling kamar. Dia hanya sendirian di kamar ini. Ryuga …. Suaminya itu jelas tidak ada di kamar karena Claudia mengunci pintunya. Semalam, sayup-sayup sebelum dia beralih ke alam mimpi, dia mendengar ketukan di pintu. Ibu hamil itu buru-buru bangkit dari duduknya, sebelum ke luar dari kamar dia menolehkan wajah untuk menatap jam yang ada di dinding. Jam menunjukkan pukul sembilan siang. Mata Claudia terbelalak. “Ya ampun! Aku kesiangan!” pekiknya tertahankan. Sudah bisa dipastikan Ryuga sudah berangkat bekerja. Dan omong-omong, kemarin, Ratih sempat mengirimkannya pesan bahwa kelas Yoga akan dimulai pukul sepuluh lagi. CEKLE
Setengah penjelasan dari Ryuga membuat Claudia yang mendengarnya mengipasi wajah. Mendadak wajahnya terasa panas.Claudia membatin, “Bisa-bisanya Ryuga mengancam Natasha?!”Tidak bisa dipungkiri bahwa Claudia menaruh rasa simpati pada keadaan Natasha. Hanya membayangkannya saja, seorang diri, tanpa ditemani kerabat keluarga, bukankah sangat menyedihkan?Akan tetapi, tetap saja muncul perasaan yang tidak bisa diterima Claudia. Dia sudah menutup rapat-rapat apa yang terjadi di masa lalu. Claudia tidak ingin ingatan itu mempengaruhinya. Tapi, tetap saja ingatan itu melintas.“Lalu apa rencanamu sekarang, Mas Ryuga?” tanya Claudia penasaran. “Kamu akan merawat Natasha?” Netra matanya menatap Ryuga dalam-dalam. “Selain mendorong kursi roda untuk Natasha, kamu tidak berencana menamaninya untuk bermalam juga?”Mendengar ucapan yang terdengar menyerupai tuduhan, Ryuga menautkan alis. Ini sudah tidak benar.“Hentikan apapun yang ada dalam pikiranmu sekarang,” titah Ryuga dengan tegas.Keduanya
“Aku sedang serius, Mas Ryuga.” Menurut Claudia, perasaannya lebih dari sekadar ‘cemburu’. Atau bisa jadi … bukan, karena sangat tidak bisa dideskripsikan. “Dan tolong jangan libatkan Mas!” Pandangannya lalu turun ke arah perutnya. Sebagai seorang ibu yang baik, dia tidak ingin melibatkan anaknya pada pertengkaran orang tua. Baik pada calon anaknya yang belum lahir maupun Aruna yang saat ini tidak ada di apartemen. Dengan wajah Claudia yang serius, seketika menyadarkan Ryuga bahwa istrinya itu benar-benar sedang tidak bisa digoda seperti biasanya. Ryuga menghela napas lalu menganggukkan kepala. “Oke, baik, Claudia. Kemarin aku bertemu Natasha di rumah sakit,” akuinya. “Kamu boleh marah, tapi tolong dengarkan aku sampai selesai.” Manik hitam Ryuga menatap dalam-dalam Sang istri. Ada sedikit penyesalan dalam benak Ryuga karena tidak langsung memberitahu Claudia. *Yang Terjadi Malam Itu [Tirta: Temui aku di rumah sakit, Ryu.] Sesaat sebelum Ryuga menjalankan mobilnya, dia sempa
Claudia tidak menghitung pasti berapa lama dirinya menghabiskan waktu di kamar mandi. Namun, saat dia ke luar dari sana, sosok suaminya itu tidak ada di kamar. Namun, sebagai gantinya pandangan Claudia menangkap sesuatu yang lain. “Bunga Peony?” Persis di atas ranjang tidur, buket bunga Peony tergeletak di sana bersama sepotong catatan yang ditinggalkan. [Aku minta maaf untuk apa yang aku lakukan hari ini di rumah sakit. Maaf, membuatmu takut, Claudia. Rawr.] Demi membaca baris terakhir yang dituliskan Ryuga, sudut bibir cherry Claudia menyunggingkan senyum. Kalau begini, bisa-bisa Claudia cepat luluh. Bibir cherry-nya mengerucut lucu. “Kenapa aku tidak bisa marah pada Mas Ryuga lama-lama?” Usai memeluk buket bunga itu sebentar, Claudia memilih untuk berpakaian terlebih dahulu. Pakaiannya jatuh pada sebuah terusan ibu hamil berwarna biru muda. Selagi menata rambut, dia bertanya-tanya, “Wangi apa ini?” Pasalnya tercium aroma masakan dari luar kamar yang membuat perut Claudia ter
Sadar jika dirinya butuh ruang untuk menenangkan diri, Claudia tidak memilih pulang ke rumah atau ke mansion keluarga Daksa. Satu-satunya yang bisa dijadikan tempat pelarian adalah … apartemen Ryuga.“Aku pikir di sini akan jauh lebih baik,” pikir Claudia setelah merebahkan kepalanya di atas bantal sofa. “Ternyata tetap mengingat Mas Ryuga.”Terlalu banyak kenangan yang hilir mudik dalam kepalanya. Hampir semuanya kenangan manis. Makan malam pertama keduanya, makan malam romantis, dilamar, Claudia melukis Ryuga, merayakan ulang tahun Ryuga, semua dilakukan di apartemen ini.Claudia mengembuskan napas berat. “Aku menjadikanmu pusat duniaku, Ryu.”Sudut bibir cherry-nya tersenyum. Dia jadi bertanya-tanya, “Apa karena saling mencintai, tanpa sadar kita sudah menyakiti satu sama lain, ya?”Jelas tak ada jawaban. Claudia menundukkan pandangan untuk bisa melihat tonjolan di perutnya. Lalu dia mengusapnya penuh kasih sayang.“Mommy tidak biasanya sekesal ini pada Daddy-mu kok, Mas.” Claudia
Claudia menyadari penuh atas apa yang dia katakan barusan. Kedengarannya agak sedikit berlebihan, tapi itulah yang dirasakannya saat ini. ‘Daripada aku semakin kesal, lebih baik aku tidak melihat wajah Ryuga untuk sementara waktu,’ pikirnya. Susah payah Claudia mencoba bangkit dari duduknya dengan menggeser ke samping. Pasalnya Ryuga sama sekali tidak mau menarik diri agar memberikan Claudia ruang untuk ke luar. Tirta dan Valky masih ada di sana, ikut mendengarkan celetukkan Claudia. Pun, Riel dari jaraknya yang tidak begitu jauh, masih ikut memantau. Sadar jika keributan kecilnya dengan Ryuga menjadi tontonan oleh orang terdekat membuat Claudia malu sendiri. “M-maaf atas yang terjadi barusan,” ucap Claudia penuh sesal. Dia meneguk ludahnya. Tidak seharusnya percikan api kecil dalam hubungannya tampak seperti api besar di mata orang lain. “Mas Valky …,” jeda Claudia sambil kembali menatapnya. “Claudia pulang dulu, ya.” Satu alis Ryuga naik dengan sudut bibirnya terangkat, terse