Ryuga kalo ngomong, bikin nyelekitt yee :")
“Diana Rachel.”Setiap kali Garvi memanggilnya seperti itu dengan suaranya yang dalam dan berat, sebagian dalam diri Diana dibuat bergidik. Dia merasa diinginkan dan dilihat … sebagai seorang wanita.Dan karena itulah Diana selalu protes ketika Garvi menyebut namanya tanpa embel-embel yang lebih formal atau sopan. Dia tidak berani menginginkan lebih.Kemudian Diana menurunkan jinjitan kakinya perlahan. Dia masih tidak percaya kalimat yang terlontar dari mulutnya barusan. “Tidak ada salahnya mencoba, ‘kan?”Sial. Itu terlalu vokal. Padahal, semalaman dia masih dibuat bimbang. Sudah lama semenjak Diana terakhir kali menangisi seorang pria.Dia banyak memikirkan tentang Garvi.Apakah dia cukup layak untuk menjadi teman kencan pria sekelas Garvi Adiwilaga? Pria itu … dua tahun lebih muda. Garvi juga berasal dari keluarga terpandang. Diana mengetahui dia sedang dipersiapkan untuk menjadi penerus dari Adiwilaga Group.Namun, di sisi lain, siapa Diana Rachel? Hanya wanita biasa tanpa keluarg
Penampilan Argus Adiwilaga beserta sikapnya dinilai arogan dan menakutkan. Banyak kolega bisnis dan musuhnya menganggap demikian. Semua orang merasa segan saat berhadapan dengannya. Tapi, sebenarnya Argus hanya manusia biasa. Dia memiliki perasaan dan bisa berbuat kesalahan, sama seperti manusia lainnya. Dan kesalahan Argus adalah … bertemu Natasha. Namun, di sisi lain Argus tak menyalahkan atas kehadiran Aruna. Dia justru membenci dirinya sendiri dan juga membenci Natasha sebab wanita itu meninggalkan Aruna beberapa jam setelah melahirkan. Membayangkan tidak ada Ryuga saat itu, pernikahan Argus dan Kinara mungkin tidak akan bisa diselamatkan. Di usianya yang begitu muda untuk menjadi seorang ayah, Ryuga mengatakan, “Bukan Natasha ataupun kamu yang akan merawatnya. Melainkan, aku.” Siapa pula pria yang sudi bertanggung jawab untuk merawat anak yang bukan kandung bahkan menikahi gadis yang sudah mengandung anak orang lain? Ryuga Daksa … agak berbeda. Tapi, pria itu lebih pantas
Keesokan hari, pagi-pagi sekali, Garvi sudah bersiap untuk menjemput Aruna di bandara nanti pukul sembilan siang. Dia tak ingin terlambat. Bahkan sarapan bersama orang tuanya pun ingin Garvi lewatkan kalau Kinara tak memanggilnya lebih dulu. “Vi, sarapan dulu. Kamu belum makan apa-apa sejak kemarin sore 'kan?” suara Mamanya–Kinara terdengar dari arah dapur. Dengan helaan napas pendek, Garvi mengangguk lalu berjalan ke meja makan. Dia memang tidak berselera untuk melakukan apa-apa semenjak kepulangannya dari kediaman Ryuga. ‘Pak Ryuga tahu bahwa aku tidak sedikitpun menyukainya.’ Ucapan Diana berhasil menghantui Garvi semalaman. “Siapa saja yang pergi? Ryuga dan Claudia ikut juga?” tanya Kinara sambil menuangkan teh untuk putranya. “Tentu saja nggak, Ma,” jawab Garvi santai, setengah malas menjawab. Bahunya mengedik pelan. “Aku dan Aland yang akan pergi.” Sebenarnya Garvi sudah menghubungi Pras, tapi belum ada jawaban. “Prasandji kekasihnya Aruna tidak ikut?” Sang Mama ber
Garvi … akan berhenti?Seharusnya Diana merasa lega. Namun, alih-alih lega, dia malah merasa sesak yang ada. Tangannya meremas sprei Gara.‘Kenapa reaksiku begini …?’ batinnya tidak mengerti.Apa ini terlalu mendadak? Dan Diana belum sempat mempersiapkan apa––Tunggu, memangnya apa yang harus dia siapkan?“Aku akan ke luar,” beritahu Garvi. Suaranya pelan, takut membangunkan Gara yang tidurnya tampak nyenyak.Lantas tangan Garvi menyentuh sisi lengan Diana. Pria itu memberikan usapan lembut. “Istirahatlah.”Tanpa menunggu balasan, Garvi turun dari ranjang tempat Gara tertidur dan melangkah keluar. Terdengar suara pintu yang dibuka lalu ditutup pelan-pelan.Diana memejamkan mata, menuruti ucapan Garvi untuk beristirahat. Namun, seberapa keras dia memaksa, rasanya tidak bisa.Embusan napasnya berat. Dia membuka mata dan menatap Gara. Dia berkata lirih, "Uncle Garvi bisa bersama seseorang yang lebih baik dari Aunty, 'kan, Gara?"Dibandingkan dirinya yang bukan siapa-siapa, Garvi pantas m
“Kamu tidak perlu tahu.”Saat kalimat itu meluncur dari bibir Garvi, pria itu tersenyum ringan. Tapi senyum itu menyiratkan sesuatu. Dalam gerakan tenang, dia mengambil jaketnya, berdiri, dan menatap Karina untuk yang terakhir kalinya.“Yang perlu kamu tahu, Karina … aku tidak tertarik. Sudahi saja pertemuan ini.” Dia berucap tegas.Bukan Garvi tak menyayangi Aruna. Tapi jika dia menuruti rencana Karina, Garvi yakin dia bukan hanya akan menghancurkan adiknya, melainkan dia juga akan menyakiti seseorang yang sudah lama mengisi kekosongan di dalam dirinya.Tanpa sepatah kata lagi, Garvi melangkah pergi. Di belakangnya, Karina mengepalkan tangan. Bibirnya bergetar, menahan rasa kalah yang pahit.“Jadi karena ada wanita lain?” desisnya pelan.Suaranya terdengar hampir seperti ancaman. “Lihat saja apa yang akan aku lakukan!”****Di rumah Ryuga, suasananya mendadak sepi. Itu karena saat tidur siang tiba, Diana sudah membawa Gara ke kamar atas permintaan bocah laki-laki itu sendiri.“Ya amp
Mau bicara apa soal Aruna?”Itu bukan lagi suara Ryuga yang berada di apartemen, melainkan Garvi yang baru saja tiba di salah satu cafe. Kalau bukan karena nama Aruna disebut dalam panggilan telepon dari Karina, dia tidak akan menemuinya dan berakhir meninggalkan Diana.Sesaat Garvi merasa kesal karena tiba-tiba saja Karina bisa mendapatkan nomor ponselnya. “Duduk dulu baru kita bicara … soal Aruna,” kata Karina, mempersilakan sambil mendongakkan kepala untuk menatap pria super tinggi di hadapannya.Garvi hanya mendengus pelan tapi tak ayal duduk berhadapan dengan Karina. Tapi, sebelum itu Garvi sempat melepaskan jaket kulit yang dipakainya, memperlihatkan dia dalam balutan kaos santai.Jujur saja, penampilan Garvi tampak sesuai dengan kriteria pria yang Karina sukai. Dia nyaris tidak berkedip menonton tindakan kecil Garvi barusan.Namun, cepat Karina mengendalikan diri. “Terima kasih sudah mau datang,” ujarnya. Suaranya dikendalikan, tidak terlalu manis. Tapi, senyumnya tidak bisa