Share

Bab 3. Kepergian Devi

Pagi semakin terang, fajar mulai semakin percaya diri menampakan cahayanya. Dua sejoli berjalan terburu-buru masuk kedalam mobil, lalu tancap gas meninggalkan pekarangan rumah, seolah-olah sedang dikejar babi hutan.

“Kenapa sih harus terburu-buru? Masih pagi juga!” Mulut Dewi monyong sambil merilik Devan yang sedang sibuk memutar stir mobil.

“Bukan begitu, kalo kesiangan dikit nanti tetangga tahu kamu di rumah. Kamu mau mereka lihat kamu?” tanya Devan santai.

Dewi mengeleng pelan, wajahnya sedikit kusut karena kecewa. Memang sial nasib seorang wanita simpanan. Ia harus bersembunyi seperti pencuri, walapun sama-sama suka. Sebenarnya Dewi sudah muak dengan semua ini, tapi apa daya perasaan yang sudah terlanjur dalam, sulit untuk menjauh dari Devan, sedetik pun.

“Sudah jangan cemberut! Nanti aku kasih uang buat ke salon ya!” Devan menoleh kea rah Dewi sambil tersenyum mempesona.

“Oke!” Dewi menoleh, kini wajahnya yang sedikit lonjong dihiasi senyuman.

Sampai depan rumah Dewi, mobil Devan berhenti, secepat kilat Dewi keluar mobil lalu dengan cepat Devan tancap gas sebelum banyak orang mengetahui keberadaanya. Nafas Dewi mendekus, menatap mobil Devan yang sudah menghilang setelah berbelok di tikungan. Kini ia membayangkan jika Devan benar-benar menjadi miliknya seutuhnya dan dia satu-satunya wanita di hidup Devan. Mungkin tidak akan merepotkan seperti ini.

Selalu bersembunyi, takut ketahuan orang lain yang mengancam reputasinya. Hal yang sangat menjengkelkan untuk Dewi.

*

Di lain tempat Devi berusaha tegar, mengumpulkan sisa semangat hidupnya demi anak yang di kandung saat ini dan ibunya, satu–satu keluarga yang Devi miliki. Kini hatinya hancur, kepercayaanya luluh lantak tak berbentuk, dirinya terus berusaha berfikir sejernih mungkin walau pun sulit.

Pelan-pelan Devi menekan pundaknya dan menijit perlahan, badanya terasa pecah. Capek dan letih telah berpadu, matanya nampak sembap nan sayu. Siapa pun yang melihatnya pasti tahu jika Devi sedang merasakan kelelahan yang luar biasa.

Lelahnya fisik Devi setelah perjalanan luar kota, seorang diri menyetir dari Surabaya- Solo kurang lebih lima jam lamanya. Lelahnya fisik mudah diobati tapi lelahnya hati dokter mana yang punya penawar.

Tangannya meraih minyak urut milik Namy di atas meja, lalu beberapa tetes sudah di telapak tangan, membalurkan ke betis dan punggung berharap merasa lebih baik setelah itu.

Aroma khas sere menusuk hidungnya, segar masuk kedalam rongga indra penciumanya.  Dulu dia masa sekali tidak suka, entahlah mengapa kini ia suka sekali dengan aroma itu. Devi sendiri sedikit binggung dengan perubahan itu, tapi ia tidak memikirkan lebih jauh. Mungkin pengaruh hamil muda.

“Ternyata baunya unik.” Batin Devi dalam hati.

Kini kedua bola matanya melirik jam dinding bulat warna putih menunjukan pukul tujuh. Waktunya ia harus segera bersiap menuju kantor, pasti hari ini menjadi hari suram untuknya. Ia meninggalkan rapat di Surabaya begitu saja, walapun semua sudah dipasrahkan rekannya, tapi pagi ini Devi harus siap jika Mario memakinya.

Satu jam berlalu, kini Devi sudah berada di meja kerja Mario. Wajahnya lesu, terlihat pucat, lingkar hitam di area mata. Jelas sekali ia kurang istirahat. Mario menarik nafas panjang setelah mendengar kata “resign”, matanya terus memandang wajah Devi yang terus saja tetunduk.

“Aku tidak mempermasalahkan kamu yang tiba-tiba meninggalkan rapat di Surabaya hari ini. Tapi yang membuat saya kecewa itu … kamu mengundurkan diri semendadak ini,” ujar Mario.

“Saya tahu ini buruk, tapi saya benar-benar tidak  bisa berada di sini.” Devi sekilas mengangkat dagu lalu tertunduk kembali.

“Kali ketiga saya bertanya, apa alasan logis kamu mengundurkan diri sebenarnya apa? Gajimu kurang? Kita bisa negosasi, atau kamu mau jabatan lebih tinggi lagi?”

Kini Devi berusaha menatap Mario, sejenak ia memandang luar ruangan lewat candela tepat di belakang Mario. “Aku ingin keluar dari kota ini!”

“Berikan alasan yang masuk akal Devi!” pungkas Mario mulai gemas.

“Devan telah menghianatiku, aku benar-benar dibuat frustasi oleh hal itu. Aku ingin keluar dari kota ini.” Mata sayu Devi menatap Mario.

Mario menarik nafas panjang, sekilas memijat keningnya. “Kemana kamu mau pergi?”

“Kota Pahlawan.”

Devi menjabat sebagai manager marketing di salah satu hotel bintang lima di bawah naungan  Liem Corp di Solo dua tahun. Dari seorang seles lapangan yang sering wora wiri luar kota, dari tahun ke tahun karir terus meroket hingga tahun ke empat predikat sebagai manager marketing Devi dapatkan.

Kemampuan merilik pasar, stragegi bisnis yang jitu, korelasi yang baik dengan agen travel Devi terus jalin  membuat penjualan terus meningkat. Devi juga memanfaatkan canggihan teknologi untung promosi semakin membuat hotel tempat ia berkerja digandungi kaum milinial, tidak heran jika Mario suka dengan kinerja Devi.

Kalo pun Devi minta gaji dua kali lipat pasti Mario berikan. Tapi semua tahu jika Devi adalah wanita pintar, si kutu buku yang sangat keras kepala. Siapa yang bisa melawan keputusanya? Tidak ada. Termasuk Mario sekalipun.

“Gimana kalo kamu kerja di hotel saya di Surabaya? Kamu tidak perlu mengundurkan diri.” Senyum percaya diri Mario merekah.

“Maaf untuk sekian kalinya, saya tetap tidak bisa menerima tawaran itu,” pungkas Devi dengan mantap.

Mario meraih secangkir kopi dingin di hadapanya, mencicipi sedikit lalu diletakkan kembali.

“Aku tidak mengerti jalan pikiranmu Devi, apakah ada perusahan lain yang menawar dengan gaji lebih tinggi?”

“Tidak.”

“Lalu?” Mario mengerutkan kedua alisnya.

“Aku akan menjadi seorang ibu, sekaligus aku sigle parent. Aku ingin membuat usaha sendiri agar aku bisa merawat bayiku nanti.” Devi tersenyum manis.

Kepala Mario mulai pening, salah satu pegawai yang ia eluh-eluhkan membuatnya binggung. Yang pertama ia ingin mengundurkan diri karena suaminya selingkuh, yang kedua sekarang kini ia berbadan dua.

Sekilas Mario memijat keningnya, menarik nafas panjang berusaha mengisi oksigen ke dalam dadanya yang terasa sempit.

“Oke, jika itu keputusanmu, saya izinkan kamu mengundurkan diri.” Mario berusaha tersenyum walapun terpaksa.

“Te-terimaksih.” Devi tertunduk, kedua bola matanya mulai basah.

Bagaimana pun hotel tempat ia berkerja saat ini adalah tempat yang membesarkan dirinya hingga saat ini. Mustahil jika tidak ada rasa sedih dengan keputusannya mengundurkan diri.

“Lalu kamu mau usaha apa di sana? Butuh modal berapa?” celetuk Mario.

Devi mengangkat wajahnya, lalu mengeleng pelan. “Belum tahu.”

“Oh Tuhan.”

Untuk sekian kali Mario memijat keningnya. Ia tak habis pikir dengan keputusan Devi kali ini. masalah yang ia hadapai saat ini benar-benar membuatnya terlihat sedikit bodoh. Devi yang biasanya adalah wanita tajam pikiranya, tahu benar keputusan yang ia ambil, tapi lain dengan hari ini, ia linglung nyari seperti orang tolol.

Mario mencoba mengerti keadaan Devi untuk saat ini, biar bagaimana pun Devan adalah separuh hidupnya, sudah bisa dipastikan dia juga fakto bahagia dan juga kesediahan Devi.

“Oke, mengundurkan diri dari sini adalah hak mu. Tapi saya akan memberikan kesempatan jika kamu ingin bergambung dengan Liem Corp. Kamu bebas ingin memilih di mana hotel tempatmu berkerja.” Mario menatap penuh harapan pada Devi.

Mario Liem adalah pewaris tunggal kelurga Disung Liem dengan segudang kekayaan dan perusahan besar di Indonesia. Ayah Mario, Disung Liem meninggal saat Mario berulang tahun ke 30 tahun. Saat itu baru saja Devi baru satu minggu menjadi Manager Marketing, secara otomatis semua aset dan perusahan jatuh hanya pada Mario, anak satu-satunya.

Liem Corp mampu bersaing dengan pasar global dan terus berkembang membangun sebuah perusahan bonafit. Mario berhasil mengaet investor asing membangun jaringan bisnis di berbagai bidang termasuk industry dan pariwisata. Pabrik makanan telah berdiri gagah di beberapa kota di pulau Jawa dan Sumatra. Perumahan, apartemen dan hotel bitang lima berdiri dengan megah di kota-kota besar di Indonesia.

Devi masih sama tertunduk, menahan air mata yang ingin terus memaksa keluar. Kedua sudut bibirnya berusaha tersenyum. Mario yang melihat Devi meneteskan air mata, saat itu menarik satu lembar tisu di laci meja kerjanya.

“Terimakasih.” Devi menerima tisu, perlahan menghapus air matanya.

“Aku tahu penghianatan itu menyakitkan Devi. Tapi kamu harus tahu… hidup ini masih terus berlanjut.” Mario berusaha memberi semangat Devi. “Kamu harus kembali semangat, untuk dirimu sendiri … untuk cabang bayimu!

Devi tersenyum, berkali-kali menganggukan kepala, setuju dengan ucapan Mario. “Ma-maafkan saya!”

“Tidak perlu minta maaf Devi. Semangat!” Kini wajah Mario lebih sumeringah dari sebelumnya.

Jauh kilometer Devi berada Devan melaju ke kantor, sambil memutar musik di dalam mobil. Sekilas dirinya menatap layar ponselnya tanggal lima Januari. Tepat satu tahun pernikahannya.

Tidak ada telefon, pesan singkat apa lagi kejutan dari Devi. Devan mencoba mengalihkan pikirannya, berusaha tidak peduli  toh sudah ada Dewi yang menyenangkan hatinya.

Setengah hari sudah berlalu, di tengah kesibukannya ia kembali melihat layar ponselnya. Notifikasi lima pesan semua dari Dewi, mengirim foto sehabis spa di salon tubuhnya hanya terbalut handuk kimono warna merah jambu dengan belahan dada dalam dan lebar tapi sedikit pun Devan tak bergairah seperti biasanya, pikirnya sekarang hanya pada Devi.

“Ah mungkin ia mau memberi aku kejutan. Hari ini-kan dia pulang dari Surabaya.” Batin Devan santai.

Tanpa rasa bersalah apa lagi firasat buruk Devan melakukan aktivitas seperti biasa, dirinya yakin benar jika hubungannya dengan Dewi aman, tidak ada yang tahu.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Sapar Khan
lanjutt yah
goodnovel comment avatar
Sapar Khan
msh nyimak tp menarik sih
goodnovel comment avatar
Wilinda Willie
awal crt lsg sedih,jd tertarik bacanya ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status