Udara malam kali ini terasa dingin seakan dinginya menembus tulang namun hal itu tidak dirasa oleh dua orang yang sedang asik saling menatap dan berbincang. Kedatangan Rangga malam ini seolah pengobat sepi yang dirasakan Devi saat tidak ada Susi yang menemani atau renyah tawa Jessy.
Semuanya mengalir begitu saja di antara mereka, semua hal bisa jadi topik pembicaraan yang menarik untuk dibahas. Rangga yang usianya lima tahun lebih muda mampu mengimbangi kedewasaan Devi. Setelah hampir satu jam berlalu mereka mulai mengingat kesalah pahaman yang terjadi kemarin.
“Maaf kemarin aku benar-benar terbawa suasana!” Devi memaksa bibirnya tersenyum. “Itu benar-benar di luar kendali.”
Rangga tersenyum dua matanya melihat Devi dengan tatapan hangat. “Ya, semoga aku bisa memaafkan.”
Devi tidak menjawab apa pun hanya saja bibirnya cemberut, membuat wajahnya terkesan sangat lucu
Seekor cicak sebesar telunjuk orang dewasa berlari mengejar cicak betina di pojok dinding rumah Devi seakan iri melihat ciuman mesra yang terjadi di ruang tamu. Cicak jantan terus berusaha mendekati cicak betina sampai di sudut tembok. Si Cicak jantan dengan suaranya yang nyaring mengkecik sambil menindih tubuh cicak betina. Dan terjadilah kawin paksa.Sialnya, kecikan itu cukup menganggu dua manusia yang sedang larut dalam emosi. Kecikan keras si cicak membuat Rangga Dan Devi tersadar kemudian melepas bibir yang telah menyatu. Rangga yang salah tingkah meraih teh dingin di meja. Devi yang menyadari kesalahanya berdiri. “Aku ke kamar mandi dulu!” Tanpa menunggu jawaban Rangga dirinya meninggalkan lelaki tersebut.Keresahan bukan itu saja Rangga yang merasakan pusakanya bereaksi setelah ciuman panas dengan Devi membuat celananya terasa sesak. Di tambah Devi yang tiba-tiba ke kamar mandi membuat dirinya sedikit gusar dan malu
Pukul delapan pagi saat mentari hangat menyinari bumi dengan sinar surya hangat penuh vitamin D, Susi dengan sangat malas memasukan koper ke bagasi. Dengan sangat terpaksa dirinya menuruti pemintaan Devi yang ingin balik Surabaya pagi itu juga.Bukan tak mau balik ke Surabaya hanya saja membayangkan mengemudikan mobil antar kota dan baru pertama kali membuatnya sedikit cemas. Terlebih lagi bersama seorang anak kecil yang sedang aktif bergerak. Membayangkan saja sudah membuatnya lelah, namun biar bagaimana pun dia harus balik. Karena tak ingin sendirian tinggal di Solo.Yang semangat meningalkan kota Solo hanyalah Devi, karena dengan cara itu dia bisa menghindari Devan dan juga adiknya.Devi mulai berfikir jika kedekatanya dengan Rangga tak dicegah mungkin hal buruk akan terjadi. Kejadian semalam mungkin saja akan terulang kembali, jika masih menghabiskan waktu dengan bersama. Oleh karena itu Devi memutuskan minggat
Kesedihan Devan sangat mendalam, bahkan Dewi tak pernah menemui suaminya sekalut itu. Malam itu Devan insomania dirundung rindu putrinya. Dewi yang melihat suaminya nampak sedih mencoba menghibur dengan cara melepas baju menyisakan BH yang melingkar di dada. Kemudian memeluk dan mencium Devan.Berharap Devan terangsang dan mau berhubungan badan agar sejenak melupakan kesedihan itu. Namun, Devan sama sekali tak berekasi. Pusakanya pun masih tetap lemas setelah Dewi sentuh beberapa kali.“Aku lagi capek,” ucap Devan memberi isyarat halus pada Dewi untuk menghentikan aksi nakalnya.Dengan kecewa Dewi menjauh lalu turun dari tempat tidur mengambil sesuatu dari dalam laci.Devan melirik sekilas penasaran dengan sesuatu yang Dewi telan. “Apa itu?”Tangan Dewi meletakan gelas yang telah kosong. “Obat tidur. Kau mau?” jawab sengit Dewi.&n
“Maafkan aku.”Hanya kalimat singkat itu yang tertulis di kertas ini membuat Devi benar-benar binggung siapa orang misterius yang mengirim buket bunga itu.Buket bunga di atas meja kerja kini dibiarkan pindah ke tangan kecil Jessy. Warna merah menyala dari bunga mawar itu berhasil menarik perhatian Jessy. Jemari kecil Jessy menarik satu demi satu kelopak mawar membuat ruangan kerja Devi begitu kotor penuh kelopak mawar.Devi yang masih binggung dengan kejadian aneh yang terjadi belakangan ini memilih merenung sambil melihat Jessy asik bermain buket mawar merah. Entah mengapa kali ini perasaan penarasan telah berubah menakutkan.Mungkin benar apa kata Susi jika orang itu penggemar rahasia yang terobsesi dengan Devi. Rasa itu semakin merong-rong kedalam otaknya menghasilkan ketakutan di luar nalar.Bahkan Devi mulai membayangkan orang itu bukan hanya mengirimkan makanan ke kantornya,
Ruangan itu hening, yang terdengar hanya suara dengung AC yang berusaha keras membuat ruangan itu dingin. Devi masih berdiri tempat yang sama bola matanya berputar-puta seakan tak mau tenang. Dan Rangga berpura-pura sibuk dengan Jessy. Namun sekian detik yang beku antara dirinya dengan Devi membuat Rangga semakin tak nyaman. Dirinya sadar jika kehadirannya tak begitu diinginkan. Rangga merasa salah tingkah lantas berkata, “silahkan duduk Mbak!” “Oh ... aku harus kerja. Jika kamu masih rindu Jessy, kalian bisa berada di sini dan aku akan keruanganku.” Devi dengan sedikit rasa gugup meninggalkan ruangan tamu kemudian melangkah ke ruangan kerja di berada di sebelah. Tak disangka Jessy begitu bahagia bertemu dengan Rangga. Apa pun terasa asik dan mengundang tawa yang begitu mengemaskan hingga terdengar di ruang kerja Devi, yang berada disebelah ruang tamu. Pikiran Devi seka
Ruangan itu masih remang dengan sumber cahaya lampu kecil dan sinar matahari senja. Ucapan Rangga yang terakhir kalinya berhasil membuat Devi terdiam membisu. Di binggung harus bahagia atau malah sebaliknya. “Sebenarnya apa maumu?” Devi melangkah kemudian menjatuhkan badannya kebokong. Rangga ikut duduk disamping Devi sekilas kedua bola matanya menatap Devi yang teramat kacau. “Jika aku katakan apa mauku apa kamu akan mengabulkannya?” Devi menoleh. “Apa harus aku?” “Hanya kamu yang bisa.” Detik itu juga jantung Devi merasakan getaran hebat sebagai wanita dewasa tahu betul arah pembicaraan Rangga. Kini Rangga yang menatap wajah Devi. “Aku sayang sama kamu.” “Apa?” Devi memastikan apa yang ia dengar adalah kekeliruan. Namun Rangga enggan menjawab, justru tangannya meraih jemari Devi kemudian meremasnya pelan. “Maaf aku
Di meja makan seperti malam sebelumnya, Dewi menyiapakan malam dan Devan duduk tenang di meja makan seperti anak sekolah yang memperhatikan guru menerangkan materi. “Mas, aku hari Minggu sudah janjian sama dokter kalo Mas, ngak sibuk anteri ya!” Dewi meletakan dua piring nasih putih yang masih mengepul. Devan menatap istrinya kemudian mengakat jempolnya. “Siap komandan!” Dewi yang gemas dengan suaminya lantas membungkukan badan di hadapan Devan. “Cium dulu kalo gitu!” Pipi Dewi sudah berada tepat di wajah Devan. Dua kali ciuman selama sedetik membasahi bibir Dewi lalu dirinya melangkah ke kulkas mengambil air dingin. Kali ini Dewi begitu berbungga-bungga Devan telah kembali ke dirinya yang dulu. Kehilangan Jessy membuat Devan begitu bersemangat untuk melakukan progam hamil. Bangkit dari rasa terpuruk yang mengerogoti mentalnya dalam waktu dua bulan. Di situl
Perlahan Devi mendorong tubuh Rangga dengan ujung piring yang berisi melon dan semangka yang ia bawa. Devi tak akan membiarkan ciuman itu terjadi meskipun dalam hatinya menginginkan hal itu lagi. “Oh ... sory aku hanya bercanda!” Rangga mundur selangkah kemudian tersenyum sambil menatap Devi dengan sendu. Devi berlalu begitu saja tak perduli dengan celoteh Rangga. Jelas lelaki itu tidak bercanda. Semua tampak nyata, dengan sengaja memhimpit tubuh Devi kemudian dengan manis mencoba mencicipi kembali bibir Devi. Handai saja dirinya tidak mendorongnya, pasti ciuman itu akan terjadi lagi, pikir Devi. Pertemuan demi pertemuan terus terjalin di cela-cela kesibukan mereka. Semakin dekat semakin erat. Rangga yang mempu mengisi hal-hal manis, konyol dan mengundang kerinduan yang membuat Devi tersiksa jika beberapa hari tak bertemu. Atau sehari tanpa kabar. Dua orang tersiksa dalam hubungan entah