“Ada yang mencarimu.” Susi berdiri tepat di samping meja repsesionis sengaja menyambut kedatangan Devi.
Kening Devi berkerut. “Siapa?”
“Rangga. Dia sedikit mabuk.”
“Suruh pergi!” Wajah Devi merah padam, dengan badan tetap tenang.
“Sudah aku suruh dia pergi, tapi dia tidak peduli.”
“Di mana sekarang keparat itu?”
“Di ruang tamu.”
Langkah Devi berlanjut, gerakan tubuhnya tenang, wajahnya semakin culas ia naik ke lantai dua langsung menuju ruangan khusus menerima tamu. Susi pun berjalan mengikuti dari belakang. Dengan kasar Devi mendorong pintu, bau khas alkohol menusuk hidung.
Tubuh Rangga terlentang tak berdaya di atas sofa dengan kaki bersepatu. Dua matanya tertutup rapat, dengan mulut sedikit terbuka, bulu-bulu halus penuh di sekitar wajahnya tak terawat. Devi menatap dengan mata culas sekian detik, seperti menatap sebongkah kotoran binatang.
Buang muka dan meninggalkan pria itu begitu saja. Sedangkan Susi masi
Jangan lupa dukung karya ini dengan cara rate bintang lima dan berikan gem di setiap bab yang kalian baca ya....terimakasih.
Paparan peristiwa kala Rangga bersama seorang wanita kembali mengusik kepala Devi. Bagimana bisa pria itu bisa cepat berubah kehendak hatinya? Bahkan hingga detik ini benar-benar tak pernah terpikirkan mengapa sosok itu kembali menuntut sebuah penjelasan. Bukankah dia sudah bersama wanita yang lain? Untuk apa berada di sini? Sebenarnya siapa yang membutuhkan penjelasan? Dirinya sendiri atau Rangga. Batin Devi ragu. “Kamu gila Rangga!” desis Devi. Rangga tersenyum masam dengan ucapan sengit Devi, sedikit pun ia tidak tersinggung. Yang jelas ia sedikit gemas menatap wajah Devi yang sedang marah. “Iya aku memang gila.” Seketika itu Rangga semakin kaku. “Pergilah!” Devi tetap buang muka. “Jelaskan semuanya! Aku hanya ingin tahu yang sebenarnya.” Rangga kembali berdiri lalu menatap jendela. Terlihat awan biru berubah kekuningan, matahari pun mulai redup. Devi masih enggan untuk bicara, penjelasan seperti apa yang pria itu inginkan, sejatinya ia sudah pernah berkata apa adanya dan akh
“Mbak, mohon maaf saya ganggu. Ini Dek Jessy tidur tapi seperti pingsan. Terus pengasuhnya ngak ada di rumah. Kalau bisa Mbak Devi pulang sekarang juga saya takut terjadi apa-apa sama Dek Jessy.” Panggilan telefon dengan informasi singkat itu menjadi akhir perdebatan Devi dangan Rangga. Melahirkan perasaan yang lebih kacau dari pada berdebat dengan Rangga, kini wajah Devi tanpak tegang. Dengan gerakan cepat ia matikan komputer yang masih menyala dan bergegas meninggalkan kantor. “Ada apa?” tanya Rangga sambil melangkah mengikuti Devi. Devi diam tak peduli dengan pertanyaan Rangga. Dengan langkah tergopoh-gopoh ia melewati tangga sambil memesan taxi online lalu kembali menelfon ARTnya. “Mbok, bawa Jessy ke Nasional Hospital. Saya sudah telfon taxi online. Jadi kita ketemu di rumah sakit.” “Tapi Mbak, saya takut...” suara itu terdengar ragu. Devi menarik napas panjang lalu bicara dengan nada keras. “Nurut apa kata saya Mbok!
Jessy terkapar lemas tak berdaya di ranjang rumah sakit, wajahnya lesu, bibir pucat pasi dengan kelopak mata tertutup rapat persis seorang manusia dengan mimpi indah. Di sisi lain perempuan yang berusia hampir lima puluh tahun itu duduk tepat di samping Jessy, dua matanya berkaca-kaca sambil menatap gadis kecil yang berbaring dihadapnya. Ia semakin gundah gulanan kala sang tuan tak kunjung datang. Sedangkan suster dan dokter sudah dua kali bertanya di mana orang yang bertanggung jawab atas Jessy. Dan ia hanya bisa menjawab, “tunggu ibu dari anak ini akan segera datang.” Lima belas menit terasa terlalu lama untuk hal menunggu akhirnya sosok itu datang. Devi langsung memeluk Jessy, seluruh wajah bocah itu dikecup dengan air mata berlinang. Beberapa kali ia juga memanggil nama Jessy, tapi bocah itu tidak memberikan respon apa pun. Hati Devi seketika remuk, tak pernah ia menatap putrinya dalam kondisi sedemikian mengerikan. Dan tak lama kemudian dokter kembali datang memeriksa kondisi
Kalimat terakhir yang terlontar dari bibir Rangga kembali mengelitik Devi, namun tidak memancing amarahnya kali ini. Karena ada hal yang lebih penting dari pada harus meladeni Rangga. Salah satu mata Devi melirik Rangga sejenak lalu kembali fokus pada ponsel di genggamnya. “Mungkin.” “Apa salahnya aku ingin tahu tentang Jessy?” Devi berdehem. “Sejak kapan kamu peduli dengan anakku?” Rangga terdiam, ingatnya melayang kepada kenyataan siapa sesungguhnya gadis kecil yang pernah ia anggap seperti bagian dari dirinya itu. Namun sebenarnya kenyataan yang sekarang tidak merubah rasa kasih sayang dirinya dengan Jessy. Rangga tahu benar jika Jessy adalah gadis kecil yang tak tahu mengapa ia harus hadir di antara orang dewasa yang runyam. “Saya tahu, kamu tidak akan bisa peduli dengan Jessy, setelah kamu tahu siapa sebenaranya.” Devi tersenyum sinis. “Sama seperti kamu pergi dari aku dan membesarkan egomu.” Rangga sejenak menatap Devi, lalu kembali fokus dengan kemudi. “Asal kamu tahu. Kam
Darah mengalir lebih cepat, memacu jantung semakin berdetak semakin cepat. Kini kepala Devi semakin kepayang, dengan suhu tubuh semakin panas. Kelakuhan nakal Rangga benar-benar membangunkan singa betina yang sudah lama menahan lapar. Bahkan ketika detik ini mangsa telah di dalam tikaman, Devi masih menahan lapar itu.Sedangkan Rangga semakin melayang, dua tangannya kini bergerak liar di punggung Devi, mengusap lembut penuh kasih sayang. Bibirnya pun semakin bergerak erotis. Dua menit ciuman sudah berhasil mengoyahkan bentang kokoh yang perkasa.Devi mendorong tubuh Rangga menjauh. “Kamu gila.”Sedangkan Rangga yang sedang dibakar api asmara hanya menatap Devi dengan kepayahan. Tak mungkin ia akan meraih tubuh Devi kemudian kembali melupat bibir manis itu. “Maaf.”“Tolong jangan mengambil kesempatan dalam kesusahanku.” Devi berdiri melangkah semakin menjauh, mencoba mengantur napas serta emosi yang semakin meluap-luap. camp“Aku tidak mengambil kesempatan.” Rangga ikut berdiri. Betapa
Ruang rawat inap dengan fasilitas VIP, terdiri dari dua kamar. Satu kamar yang terdiri dari sofa-sofa berbahan bludru lengkap dengan televisi besar, di tengah-tengah terdapat meja lengkap dengan buah-buahan serta beberapa botol air mineral. Di situlah sekarang Rangga berasa, memainkan ponselnya. Sedangkan ruangan satunya di mana Jessy terbaring lemah, di sampingnya Devi duduk terus memandangi wajah pucat putrinya. Tepat di sebelah Devi terdapat ranjang dengan bantal dan selimut yang masih tertata rapi. Terdengar lamat-lamat suara Rangga sedang bicara dengan seseorang, meminta di antarkan makanan dan juga pakaian. Hal itu hanya membuat kedua alis Devi mengkerut; pria itu masih sama seperti dahulu, keras kepala. Bisik hati Devi. Tubuh yang letih satu paket dengan perut yang kosong kini telah mengusai tubuh Devi. Meskipun atas nakas, di sebelahnya terdapat buah-buahan entah mengapa ia tidak berselera makan. Bahkan jika diingat sejak mendapatkan kabar Jessy di rumah sakit, setetes air
Mata Jessy masih terlihat sayu, dengan lingkar hitam kecoklatan. Tubuhnya lunglai, hanya saja senyuman di bibirnya masih sama, merekah sempurna seperti mawar yang baru mekar. Siapa pun yang melihat tawa dan senyum itu pasti akan ikut mesem bahagia.Dan kebahagiaan itu bukan saja menular ke Devi dan Rangga tapi pada semua yang ikut adil dalam merawat Jessy. Termasuk dokter dan para suster. Berkali-kali memuji bagaimana bocah itu melawan racun dalam tubuhnya, dengan banyak tersenyum ceria tanpa drama rewel. Atau entah, ia hanya anak kecil yang engan merasakan sakit.Jessy pun dengan lahap menghabiskan satu porsi sup dari tangan Rangga, khusus pria itu yang bisa menyuapi bocah itu. Apa bila Devi yang mengambil alih sendok ia menolak membuka bibir. Setelah empat jam terjaga akhirnya Jessy kembali tertidur, kali ini Devi dan Rangga membiarkan bocah kecil itu menutup mata. Karena sebenarnya sejak dua jam lalu bocah itu terus menguap, menahan kantuk. Begitu kuat efek obat yang di berikan A
Ciuman hangat lekat di pipi dan kening Jessy yang mengemaskan, dengan perasaan berat dan terpaksa Devi memberikan tubuh bocah perempuan itu dipelukan seorang pengasuh. “Mama janji nanti mama ke sini lagi jam makan siang.” Sepucuk kertas Devi keluarkan dari dalam tas, kemudian ia berikan pada pengasuh itu. “Saya sudah tulis semua makanan yang tidak boleh dikonsumsi oleh Jessy. Oh ya...jangan lupa kalo ada apa-apa segera hubungi saya.” “Oh iya Buk. Siap.” Pengasuh itu menurunkan Jessy dari pelukannya, karena bocah itu memaksa turun setelah melihat ke dalam ruangan besar di sebarang pintu. Binar mata Jessy benar-benar bersinar cerah ketika melihat sebuah play ground dengan banyak wahana bermain. Terlihat beberapa anak seusia Jessy sedang bermain ke sana kemari ditemani para pengasuh berseragam yang sama. Dan tanpa menunggu lama Jessy langsung berlari masuk ke dalam play ground. Terpaksa pembicaraan Devi dan pengasuh itu hanya sampai di situ. Karena pengasuhi itu harus mengikuti Jessy