"Dia meminta pembalut?" tanya Fritz dengan sebelah alis terangkat. "Memangnya ada masalah dengan itu?" "Bukankah Tuan ingin memanfaatkan tubuh Nona Anna?" tanya asisten Fritz dengan kedua alis yang terangkat. "Kau tidak mungkin melakukannya saat dia sedang mendapat tamu bulanan bukan?" "Kenapa memangnya? Tidak boleh?" Si tua Fritz malah balas bertanya. "Itu jelas bukan hal yang sehat, Tuan." Kini si asisten makin mengerutkan kening. "Memangnya kau pikir apa gunanya karet pengaman?" Kini giliran Fritz yang menaikkan kedua alis. "Lagi pula kau pikir kenapa sampai sekarang aku masih sehat, walau sudah meniduri banyak lelaki dan perempuan? Aku tidak pernah melewatkan menggunakan proteksi." "Jadi kau berhentilah membicarakan masalah kesehatan dan lakukan sesuai rencana. Masukkan obat ke dalam apa pun yang dimakan oleh Anna dan beritahu aku kalau obatnya sudah bekerja." "Aku akan meminta orang-orang agar memantau CCTV di kamar itu lebih seksama." Mau tidak mau, si asisten menurut
"Tunggu dulu, Nona." Seorang lelaki, menghalangi seorang perempuan yang memaksa masuk melewati pagar. "Kau tidak bisa masuk seenaknya.""Apa yang kau maksud dengan tidak bisa masuk seenaknya?" tanya Megumi dengan mata melotot. "Aku ini datang dengan undangan pemilik rumah, aku ini pacarnya.""Kami mengerti kau mungkin pacar Tuan." Lelaki yang lain mencoba untuk menjelaskan dengan lebih pelan. "Tapi biar bagaimana, sekarang ini Tuan kami sedang tidak bisa diganggu. Jadi mungkin ....""Omong kosong." Megumi malah mendorong lelaki yang baru saja bicara. "Kalau kau tidak ingin aku dan mobilku masuk, maka biarkan aku masuk sendiri saja. Aku bisa jalan kaki, walau nanti kakiku bisa lecet.""Nona, kami mohon." Lelaki kedua kembali mencoba dengan lembut."Kalau kau tidak ingin celaka, mungkin lebih baik kau pergi saja." Berbeda dengan lelaki kedua, lelaki pertama memilih cara yang lebih kasar. "Kau bahkan tidak mau membiarkan kami melapor pada Tuan.""Oh, kau berani kurang ajar padaku
"Bagaimana mungkin aku bisa menikahi pria yang hanya lebih muda dua tahun dari papaku sendiri. Ini gila dan AKU TIDAK MAU!""Ini sama sekali tidak gila, Anna. Ini demi kita semua. Kau anak berbakti yang mau membantu keuangan keluarga kan?" Suara terdengar dari ponsel yang tertempel di telinga Anna."Waktu Papa bilang usia Pak Fritz itu berbeda jauh, Anna pikir itu cuma berbeda paling banyak lima belas tahun. Aku berpikir dia itu lelaki akhir tiga puluhan atau awal empat puluh, bukan akhir lima puluh, Pa.""Sayang, usia itu hanyalah angka dan sama sekali tidak penting." Tentu saja sang papa berusaha untuk merayu putrinya. "Lagi pula, Pak Fritz itu lelaki dewasa, kaya raya dan baik. Dia pasti bisa mengayomi dan membimbingmu dengan baik. Kau satu-satunya harapan kami."Anna yang mengurung diri di dalam bilik toilet, memijat pangkal hidungnya dengan keras. Jujur saja, dia merasa tidak nyaman dengan apa yang dikatakan sang ayah. Tapi, Anna juga tidak bisa jika pria yang akan dia teman
Anna mengangkat kedua tangan, dengan tatapan cemas tertuju ke depan. Dia bergantian menatap lelaki yang terbaring di atas ranjang dan pistol yang terarah padanya. Ya. Pistol."Maaf, Pak." Perawat yang berdiri di sebelah Anna mencoba untuk berdiskusi. "Kami di sini hanya untuk menyelamatkan nyawa seseorang, tapi kenapa malah ditodong dengan senjata?""You'd better keep quiet or you'll regret it." Lelaki yang memegang pistol itu mendesis pelan. "Bawa Pak Alaric pergi dari sini," lanjutnya, memberi perintah pada dua orang lelaki yang lain."Kau tidak bisa membawa dia pergi." Tentu saja Anna akan melarang dan dia mengatakan itu dalam bahasa Inggris. "Biar bagaimana, dia baru saja dioperasi.""Justru karena kau melakukan operasi tanpa izin, kami bisa menuntut. Siapa yang tahu kalau kalian malah mengambil organ atasan kami.""Hei, aku ini dokter." Dengan raut wajah kesal, Anna menghardik. "Bagaimana mungkin aku melakukan hal seperti itu? Apalagi ini adalah rumah sakit besar. Sekarang
"Bisakah kau menjauh?" tanya Anna dengan napas yang memburu karena merasa terkejut, sekaligus terancam. "Tidak akan, sebelum kau mengatakan siapa yang menyuruhmu untuk menyerangku," desis Alaric dengan rahang yang mengetat. Sayang sekali, Anna tidak bisa menjawab. Seumur hidup, dia sama sekali tidak pernah diancam dan ditindas seperti sekarang ini. Hal yang membuat Anna jadi ketakutan, bahkan kesulitan untuk bernapas. "Tuan." Pengawal perempuan memanggil. "Nona ini adalah dokter yang membawa Anda ke rumah sakit untuk menjalani operasi usus buntu." "Dokter?" Alaric kembali bertanya dengan sebelah alis yang terangkat. "Aku dokter." Anna refleks mengangguk. Tentu saja Alaric tidak langsung percaya. Dia terlebih dahulu menatap perempuan di bawahnya dengan lekat, sebelum akhirnya mengingat apa yang terjadi. Alaric ingat bagaimana dia menabrak seorang perempuan kecil. "Your scent." Alaric berdesis pelan, sembari menarik napas dalam-dalam di dekat leher Anna. "I smell it somewhe
"Dasar bajingan mesum," umpat Anna dengan tangan menyilang di depan dada. "Siapa yang kau bilang bajingan mesum?" Pengawal lelaki sudah melangkah maju, tapi kembali ditahan oleh Alaric."Aku mengerti jika kau berpikiran negatif." Alaric mengangguk pelan. "Kata-kata yang kugunakan mungkin salah, tapi yang aku maksud adalah pernikahan.""Pernikahan?" Tentu saja Anna akan bertanya."Ya." Alaric kembali mengangguk. "Lakukan pernikahan kontrak denganku dan aku akan membayarkan semua utang keluargamu. Itu tawaranku."Refleks, Anna memegang kepala dengan kedua tangan. Mendapat penawaran yang terdengar seperti dialog dalam film, membuatnya pusing tujuh keliling. Apalagi, dia ini baru dua puluh lima tahun dan tidak punya pengalaman dengan lelaki."Aku hanya bisa menyinggung perasaan para lelaki," gumam Anna masih tampak terkejut, bahkan tidak bisa menutup mulutnya dengan rapat. "Bagaimana bisa menikah? Yang ada aku akan disembelih.""Apa kau baru saja mengumpat?" tanya Alaric dengan k
"Selamat malam, namaku ...." Belum juga Anna selesai berbicara, dia sudah merasakan panas di pipi kirinya. Bukan hanya itu, kepalanya bahkan tertoleh sembilan puluh derajat karena tamparan yang dia terima barusan. Tamparan pertama yang pernah Anna rasakan seumur hidupnya. "Mom." Alaric menaikkan intonasi suaranya, ketika melihat apa yang terjadi. Tentu saja dia melindungi Anna, dengan menarik perempuan itu sedikit menjauh dari pelaku. "Berani-beraninya kau membawa perempuan tidak jelas begini menjadi istrimu." Perempuan yang dipanggil Mom barusan berteriak. Tidak terlalu nyaring, tapi semua orang tahu perempuan itu sedang marah. "Siapa yang bilang kalau Anna tidak jelas?" Alaric bertanya dengan intonasi suara yang sudah jauh lebih tenang. "Dia ini dokter, ayahnya juga dokter. Walau tentu saja tidak berkarir di negara kita." "Mana aku tahu gelar dokternya itu palsu atau tidak." Sang ibu masih terlihat marah dan tidak terima. "Sekali pun dia dokter, kita tidak tahu benar bagai
"Ini kamarku?" tanya Anna dengan kening berkerut. "Lalu kamarmu di mana? Tidak di sini juga kan?" "Memangnya ada masalah dengan itu?" Alaric membalas dengan pertanyaan juga. Anna menaikkan sebelah alisnya. Dia sudah setuju untuk ikut ke rumah Alaric, dengan anggapan akan ada pelayan di sana dan mereka tidak akan berdua saja. Tapi mereka akan sekamar? "Tentu saja bermasalah." Anna langsung protes. "Walau nanti kita akan menikah, tapi bukan berarti aku akan tidur sekamar denganmu. Apalagi sebelum menikah." "Siapa yang mengatakan aku akan tidur sekamar denganmu?" tanya Alaric dengan kening berkerut. "Loh, bukankah tadi kau mengatakan seperti itu?" Anna membalas dengan pertanyaan. "Aku tidak mengatakan seperti itu." Alaric sudah akan beranjak pergi, tapi ditahan. "Ketika aku bertanya tentang kamarmu, kau mengatakan apa ada masalah dengan itu. Menurutmu apa yang akan ada dipikiranku, ketika kau mengatakan sesuatu seperti itu?" Kening Alaric berkerut. Padahal dia sudah berb
"Tunggu dulu, Nona." Seorang lelaki, menghalangi seorang perempuan yang memaksa masuk melewati pagar. "Kau tidak bisa masuk seenaknya.""Apa yang kau maksud dengan tidak bisa masuk seenaknya?" tanya Megumi dengan mata melotot. "Aku ini datang dengan undangan pemilik rumah, aku ini pacarnya.""Kami mengerti kau mungkin pacar Tuan." Lelaki yang lain mencoba untuk menjelaskan dengan lebih pelan. "Tapi biar bagaimana, sekarang ini Tuan kami sedang tidak bisa diganggu. Jadi mungkin ....""Omong kosong." Megumi malah mendorong lelaki yang baru saja bicara. "Kalau kau tidak ingin aku dan mobilku masuk, maka biarkan aku masuk sendiri saja. Aku bisa jalan kaki, walau nanti kakiku bisa lecet.""Nona, kami mohon." Lelaki kedua kembali mencoba dengan lembut."Kalau kau tidak ingin celaka, mungkin lebih baik kau pergi saja." Berbeda dengan lelaki kedua, lelaki pertama memilih cara yang lebih kasar. "Kau bahkan tidak mau membiarkan kami melapor pada Tuan.""Oh, kau berani kurang ajar padaku
"Dia meminta pembalut?" tanya Fritz dengan sebelah alis terangkat. "Memangnya ada masalah dengan itu?" "Bukankah Tuan ingin memanfaatkan tubuh Nona Anna?" tanya asisten Fritz dengan kedua alis yang terangkat. "Kau tidak mungkin melakukannya saat dia sedang mendapat tamu bulanan bukan?" "Kenapa memangnya? Tidak boleh?" Si tua Fritz malah balas bertanya. "Itu jelas bukan hal yang sehat, Tuan." Kini si asisten makin mengerutkan kening. "Memangnya kau pikir apa gunanya karet pengaman?" Kini giliran Fritz yang menaikkan kedua alis. "Lagi pula kau pikir kenapa sampai sekarang aku masih sehat, walau sudah meniduri banyak lelaki dan perempuan? Aku tidak pernah melewatkan menggunakan proteksi." "Jadi kau berhentilah membicarakan masalah kesehatan dan lakukan sesuai rencana. Masukkan obat ke dalam apa pun yang dimakan oleh Anna dan beritahu aku kalau obatnya sudah bekerja." "Aku akan meminta orang-orang agar memantau CCTV di kamar itu lebih seksama." Mau tidak mau, si asisten menurut
"Maaf, aku membutuhkan pembalut. Apa kalian punya yang cukup panjang dan bersayap?" tanya Anna menggunakan telepon interkom yang tergantung di dekat pintu. "Sekalian saja bawakan aku pakaian dalam baru dan lebih banyak cokelat, air, juga camilan." Setelah mengatakan apa yang dia inginkan, Anna berjalan menuju jendela lagi. Hari kini sudah mulai makin malam, tapi untungnya penerangan masih bagus. Setidaknya, Anna masih bisa melihat penjaga yang sedang bertugas. "Aku membawakan yang kau minta." Seorang perempuan berbeda dari yang pertama kali, masuk dengan wajah masam. "Lalu tolong tahu dirilah sedikit." "Apa ada masalah?" tanya Anna dengan kedua alis yang terangkat. "Bukankah si Tua Bangka Fritz itu membebaskan aku melakukan dan meminta apa pun, selagi aku ada di dalam kamar ini." "Itu benar, tapi setidaknya tahu dirilah," hardik pelayan perempuan tadi, sama sekali tidak menyembunyikan amarahnya. "Jangan hanya karena kau adalah mainan baru dan masih disayang, lantas kau berniat
"Untuk sementara ini, aku akan membiarkanmu istirahat. Tapi besok, kau harus bekerja keras, agar aku bisa menghancurkan Alaric." Kalimat Fritz terngiang-ngiang di kepala Anna. Demi apa pun, dia sama sekali tidak menyangka kalau pria tua yang dulu dijodohkan dengannya adalah iparnya. Sekarang, Anna tahu kenapa dia merasa familiar dengan foto keluarga sang suami. "Padahal mereka sama sekali tidak mirip," gumam Anna yang kini sudah bisa bebas mondar-mandir di dalam kamar. "Dari segi tampang dan sifat, mereka sama sekali tidak mirip." "Tapi masalahnya sekarang bukan itu, Anna. Sekarang masalahnya adalah kau harus segera kabur." Kini Anna mendekat ke arah jendela untuk melihat keadaan. Kabur lewat jendela jelas bukan sesuatu yang aman. Selain karena kamarnya berada di lantai tiga, Anna bisa melihat ada penjaga yang lalu-lalang di bawah jendela kamarnya. Mereka tidak terlihat membawa senjata, tapi tetap saja berbahaya. Pilihan berikutnya jelas adalah pintu kamar, tapi itu juga jel
"Sepertinya kau sudah melupakanku ya?" ucap Fritz dengan senyum miring yang membuat lawan bicaranya gemetar. "Padahal rasanya, aku sudah memberitahumu dengan jelas bukan?" "Layani aku atau mati," lanjut Fritz dalam desisan pelan. Anna sampai perlu menjauhkan wajahnya, karena wajah pria tua yang berbicara dengannya itu terlalu dekat. Wajah yang terlalu dekat itu, membuat Anna makin ketakutan saja. Dia bahkan nyaris mengigit lidah sendiri karenanya. "Kenapa kau malah gemetar?" tanya Fritz yang kini membelai wajah perempuan di depannya, kali ini membuat Anna berjengit pelan. "Apa kau takut?" "Menurutmu?" tanya Anna setelah menelan liur sebanyak dua kali, berusaha sekuat tenaga untuk terlihat biasa saja. "Apa kau pantas ditakuti?" "Tentu saja," balas pria tua itu, menepuk pipi sanderanya dengan pelan. "Sudah seharusnya semua orang patuh dan takut padaku." "Sayang sekali, tapi aku tidak," balas Anna makin mengeraskan kepalan tangannya, demi memupuk sedikit saja keberanian. "Bag
"Aku sedang membayar," jawab Anna memaksakan senyum. "Tapi aku melihat kau sedang menelepon." Pak sopir yang menghampiri, langsung membantah. "Memangnya aku tidak boleh menelepon?" tanya Anna berusaha untuk tenang. Petugas kasir yang merasa bingung, hanya bisa memperhatikan dua orang yang sepertinya sedang berdebat itu. Dia sebenarnya ingin menyela dan segera meminta bayaran, tapi situasi tidak begitu mendukung. "Sayangnya, kau tidak diizinkan untuk menelepon." Ekspresi ramah sang sopir, kini berubah menjadi lebih kaku. Dia bahkan tidak segan untuk merampas ponsel Anna. "Hei, itu ponselku." Tentu saja Anna berusaha untuk mengambil kembali miliknya. Sayang sekali, sepertinya sang sopir sudah kehabisan kesabaran dan memilih untuk menodongkan pistol. "Bersikap baiklah, atau kau akan tahu akibatnya," ucapnya terlihat sedikit kesal. Mau tidak mau, Anna mengangkat kedua tangan tanda menyerah. Bahkan petugas kasir minimarket pun melakukan hal yang sama. "Sekarang, jalan di de
Langkah Anna terlihat cepat ketika melintasi koridor penjara. Dia tentu saja sudah ingin pulang dan segera menelepon sang suami untuk mengkonfirmasi sesuatu. Namun, Anna tidak ingin melakukannya di area rumah sakit. "Nona Anna?" Seseorang tiba-tiba saja menghampiri, saat perempuan yang disebut namanya itu keluar dari pintu utama penjara. "Maaf, tapi aku tidak mengenalimu." Tentu saja Anna akan menghindar sebisa mungkin. "Aku tahu kau mungkin akan khawatir, tapi aku bukan orang jahat. Aku datang menjemputmu atas perintah ...." "Oh, apakah Megumi?" Tiba-tiba saja Anna memotong ucapan lelaki di depannya. "Apakah kau salah satu ... teman dekatnya?" "Ya." Lelaki tadi menganggu. "Lebih tepatnya hanya seorang sopir dari teman dekat Nona Megumi, jadi mari biar aku antar kau." Kening Anna berkerut mendengar ucapan lelaki di depannya. Terdengar meyakinkan, tapi dia juga sedikit ragu. Biar bagaimana, dia sudah pernah diculik dan tidak ingin hal itu terulang lagi. "Biar aku menghubu
"Dasar bedebah sialan." Alaric mendesis pelan, dengan sebelah tangan di kepala dan tangan yang satunya lagi memegang ponsel yang diarahkan ke wajahnya. "Kenapa kau tidak bilang kalau tujuanmu dan Anna sama?" "Tentu saja karena aku ingin mengerjaimu," jawab Levi diikuti dengan tawa keras yang jelas-jelas saja mengejek. "Sialan." Alaric tidak behenti mengumpat. "Sekarang aku menyesal mengangkat panggilan videomu." "Apa pun yang terjadi, kau pasti akan mengangkatnya." Levi masih saja tertawa. "Kau tidak lupa kalau semalam kau itu mabuk kan? Sopirku sampai mengantarmu pulang loh." Alaric kini menggeram marah. Dia rasanya masih ingin memaki, tapi ada hal yang jauh lebih penting untuknya. "Apakah kau bertemu dengan Anna? Atau mungkin kau punya cukup banyak waktu untuk mengunjungi rumahnya?" "Hei, kau pikir tempat ini kecil?" Levi memutar bola matanya dengan gemas. "Sudah pesawat kami berbeda, aku juga datang ke sini untuk bekerja. Aku sibuk tahu." "Kau kan punya waktu luang sa
"Bagaimana mungkin kau malah meneleponku untuk datang menjemputmu? Memangnya kau tidak punya teman atau keluarga lagi?" Seorang perempuan mengeluh dengan kedua tangan di pinggang. "Aku punya teman, tapi rasanya tidak enak juga merepotkan mereka," ucap Anna dengan senyum lebar. "Apalagi, papaku kan pernah membuat masalah di tempat mereka. Aku jadi tidak enak." "Lalu aku?" Perempuan yang lebih tua dari Anna itu kembali bersuara, kali ini dengan tatapan melotot. "Aku bahkan tidak akrab denganmu dan kau malah meminta tolong padaku? Lagi pula, dari mana kau tahu nomor teleponku?" "Aku rasa sekarang kau pasti sudah tahu siapa suamiku kan?" Alih-alih menjawab, Anna malah balik bertanya. "Menurutmu, bagaimana cara kami mencari tahu data orang?" "Ya. Ya." Perempuan teman bicara Anna memutar bola matanya karena gemas. "Aku rasa, kau hanya akan jadi makin besar kepala kalau aku bicara. Jadi ayo." "Terima kasih ya, Megumi." Setelah mengucapkan rasa terima kasihnya, Anna dengan senang