"Bisakah kau menjauh?" tanya Anna dengan napas yang memburu karena merasa terkejut, sekaligus terancam.
"Tidak akan, sebelum kau mengatakan siapa yang menyuruhmu untuk menyerangku," desis Alaric dengan rahang yang mengetat. Sayang sekali, Anna tidak bisa menjawab. Seumur hidup, dia sama sekali tidak pernah diancam dan ditindas seperti sekarang ini. Hal yang membuat Anna jadi ketakutan, bahkan kesulitan untuk bernapas. "Tuan." Pengawal perempuan memanggil. "Nona ini adalah dokter yang membawa Anda ke rumah sakit untuk menjalani operasi usus buntu." "Dokter?" Alaric kembali bertanya dengan sebelah alis yang terangkat. "Aku dokter." Anna refleks mengangguk. Tentu saja Alaric tidak langsung percaya. Dia terlebih dahulu menatap perempuan di bawahnya dengan lekat, sebelum akhirnya mengingat apa yang terjadi. Alaric ingat bagaimana dia menabrak seorang perempuan kecil. "Your scent." Alaric berdesis pelan, sembari menarik napas dalam-dalam di dekat leher Anna. "I smell it somewhere." "Yes." Anna mengangguk pelan. "Ini parfumku yang sudah aku pakai sejak pagi. Mungkin kau mencium wanginya saat menjatuhiku di depan toilet perempuan, yang entah bagaimana hampir kau masuki." Kening Alaric berkerut. Dia berusaha mengingat apa yang terjadi. Walau masih mengingat dengan samar-samar, tapi Alaric mengingat bau parfum yang dia cium di depan toilet. "Kenapa perempuan ini ada di sini?" Pada akhirnya, Alaric bergeser dan duduk bersandar pada kepala ranjang. "Pak Ketua membawa dia ke sini." Pengawal perempuan memberitahu. "Akan gawat jika perempuan ini menyebarluaskan tentang keadaan Tuan yang sedang sakit." "Tentu saja." Alaric mengangguk pelan. "Sainganku akan datang berkerumun seperti semut. Berusaha untuk menjatuhkanku." "Excuse me, Sir." Anna yang sudah berdiri di sebelah ranjang kamar hotel, langsung mengangkat tangan. "Tapi untuk apa aku menyebarkan berita tentang lelaki yang tidak aku kenali?" Sebelah alis Alaric terangkat ketika mendengar pernyataan perempuan mungil di depannya. Dia menatap pengawal perempuan dan rupanya pengawal itu juga memberikan ekspresi bingung yang sama. "Kau tidak tahu siapa aku?" Alaric kembali bertanya dengan tatapan yang tajam. "Apakah aku harus mengenalmu?" tanya Anna dengan kening berkerut. "Apakah kau selebriti dari luar negeri?" "Kau sungguh tidak tahu aku?" Kening Alaric makin berkerut. "Jika aku tahu, aku tidak mungkin bertanya Tuan Selebriti. Aku tidak mengerti kenapa kalian semua susah sekali memercayai orang lain." Anna tentu saja tidak akan melewatkan kesempatan untuk bertemu. Alaric menatap perempuan asing di sebelah ranjangnya dengan tatapan bingung, tapi itu hanya bertahan sebentar saja. Dia tidak punya banyak waktu, jadi harus segera memutuskan apa yang harus dilakukan pada perempuan itu. "Kau akan ikut denganku, sampai aku tahu apa maumu yang sebenarnya." *** "Tidakkah ini keterlaluan?" Anna mengembuskan napas keras untuk yang kesekian kalinya. "Aku sudah menolongmu, tapi kau malah menculikku dan membawaku entah ke mana." Alaric melirik pada perempuan yang kini duduk di depannya. Dia dengan terpaksa harus mengalihkan pandangan dari tablet yang dipegang sejak tadi, ke arah perempuan yang mengaku bernama Anna dan berprofesi sebagai seorang dokter. "Kau bukan dokter," ucap Alaric dengan kedua tangan yang mengatup di depan dada, seolah sedang berdoa. "Aku ini dokter." Berkali-kali diragukan, Anna pada akhirnya marah. "Mungkin aku terlihat seperti anak kecil di matamu, tapi aku ini dokter yang membawamu ke rumah sakit karena menemukan kau terkena usus buntu." "Lalu asal kau tahu, pasien tidak boleh sembarangan keluar dari rumah sakit tanpa menandatangani surat persetujuan. Apalagi kau baru saja operasi dan sekarang malah duduk tenang di atas pesawat jet pribadi." Setelah keluar dari hotel tempat Alaric menginap, mereka memang langsung ke bandara. Tentu saja Anna tidak setuju karena kondisi lelaki itu tidak memungkinkan, tapi sang dokter malah diancam jika tidak mau ikut. Mereka bahkan tidak menanyakan tentang paspor. "Anna Gavesha." Alaric kembali meraih tabletnya. "Dua puluh lima tahun dan sedang menempuh pendidikan dokter spesialis," lanjutnya sambil membaca. "Sedang menempuh pendidikan dokter spesialis." Alaric mengulang. "Itu artinya kau belum benar-benar menjadi seorang dokter, apalagi aku lihat kau belum pernah praktik sendiri." "Bagaimana kau tahu semua itu?" Tentu saja Anna akan bertanya dengan mata membulat karena terkejut. "Kau menyelidikiku seperti yang ada di film-film?" "Aku menyelidikimu seperti yang ada di film." Alaric tanpa ragu mengangguk, tapi dengan tatapan waspada yang tidak berubah. "Kau terlihat bersih, tapi aku tetap harus membawamu." "Kenapa?" hardik Anna masih tidak bisa mengerti. "Kenapa aku harus dibawa, diancam dan harus mengikuti orang sepertimu?" "Tentu saja karena aku harus memastikan kau tutup mulut. Lagi pula, kau itu dokter yang mungkin bisa membantuku. Walau sebenarnya kau belum lulus juga." "Tadi pengawalmu membawa dokter datang." Tentu saja Anna akan membela diri. "Kenapa tidak dia saja yang menjadi dokter pribadimu?" "Dia memang dokter pribadiku, tapi harus pulang lebih cepat karena satu dan lain hal." Anna menggeram kesal karena dia sama sekali tidak berdaya dan tidak bisa melawan. Bahkan sampai sekarang pun Anna masih tidak tahu identitas lelaki di depannya, tapi identitasnya malah sudah ketahuan. "Kau itu sebenarnya siapa?" tanya Anna dengan kedua tangan terlipat di depan dada. "Kau mencari informasi tentangku, tapi aku malah tidak tahu apa-apa tentangku." "Kau tidak tahu tentang tuanku?" Pengawal lelaki yang tadi menodong senjata, bertanya dengan kening berkerut. "Tidakkah kau tentang dunia luar? Negara kami ...." Pengawal lelaki itu menghentikan omongannya, ketika sang tuan menaikkan sebelah tangan. Itu tentu saja adalah tanda untuk berhenti bicara. "Panggil saja aku Al." "Aku tidak butuh nama panggilan, karena itu bisa saja dibuat-buat." "Alaric dan hanya itu yang perlu kau tahu. Aku tidak ingin kau mencari tahu tentangku di internet." Anna kembali menggeram kesal. Dia tidak mengerti, bagaimana lelaki di depannya itu bisa tahu apa yang dia rencanakan. "Tapi mari kita lupakan sejenak tentang identitas." Alaric kembali bersuara. "Walau kau mencurigakan, tapi aku tetap perlu berterima kasih karena sudah menolongku." Kini Anna mengerutkan kening. Dia sama sekali tidak menyangka akan mendengar hal seperti itu, dari lelaki menyeramkan di depannya. Tapi, kini Anna jadi punya ide yang bisa dibilang lumayan bagus. "Kau ingin berterima kasih dengan cara apa?" tanya Anna pura-pura bodoh. "Orang sepertimu biasanya hanya memikirkan uang, jadi sebutkan saja nominal yang kau inginkan." Untuk sekian kali, Anna menggeram kesal. Perempuan itu merasa lelaki di depannya itu adalah cenayang yang bisa melihat isi kepalanya. Hal yang membuat Anna selalu merasa kalah, tapi sekarang bukan itu yang penting. "Sejujurnya, aku tidak tahu berapa yang harus aku minta." Anna menjelaskan. "Yang jelas, aku butuh uang untuk melunasi utang ayahku." "Tidak kusangka negosiasi ini berjalan dengan cukup lancar." Alaric tersenyum miring. "Kalau menyangkut utang, seharusnya itu besar bukan?" Anna hanya bisa mengangguk. Dia sebenarnya tidak tahu berapa jumlah yang tepat, tapi kini rumahnya sudah disita dan harga rumah itu tidak sedikit. Belum ditambah dengan barang-barang yang lain. "Kalau begitu, ayo membuat kesepakatan." Alaric kini berubah serius. "Aku akan membayar utangmu dan kau cukup berikan saja tubuh dan jiwamu padaku.""Apa aku tidak terlihat kekanakan?" tanya Anna sambil berputar di depan cermin. "Demi Tuhan, Anna!" Astrid langsung protes dengan mata melotot. "Sudah berapa kali kau menanyakan hal seperti ini? Apa kau tidak bosan?" "Sama sekali tidak." Anna malah tersenyum lebar. "Soalnya aku harus memastikan tidak membuat Alaric terlihat jauh lebih tua dariku." "Lantas, apa kau ingin terlihat lebih tua?" Tentu saja Astrid akan makin melotot. "Bagiku sih tidak ada masalah. Lagi pula, ibu negara harus lebih berwibawa bukan? Orang yang lebih tua, biasanya lebih berwibawa." "Tidak juga, tapi sudahlah. Lebih baik kau bergegas saja, agar tidak terlambat. Aku dengar, Alaric sudah selesai," ucap Astrid sambil mengulurkan sepatu yang sudah dia pilih. "Oh, maaf Ash." Anna dengan terpaksa harus menggeleng. "Kakiku benar-benar sedang sakit, jadi aku tidak akan memakai sepatu dengan hak tinggi. Flat shoes saja please." "Setidaknya kau tidak meminta sneaker." Untungnya, Astrid tidak keberatan deng
"Itu sangat memalukan." Anna memijat kepalanya."Tapi aku lihat, Tuan memakainya dengan sangat bangga." Darcy malah tersenyum, ketika melihat sang nyonya terlihat sedikit menderita. "Bahkan Ian mengatakan Tuan menyukai hadiahnya."Yang benar saja." Anna langsung membentak. "Itu adalah hadiah paling kekanakan untuk lelaki dewasa.""Tapi aku melihat Tuan menggunakannya." Darcy mengedikkan bahunya dengan santai. "Hanya sekilas saja, tapi aku melihat dia memakainya.""Sekarang aku menyesal memilih hadiah itu dan menyesal memberinya di pagi buta tadi." Anna kini menyugar rambutnya dengan frustrasi."Nyonya, tolong rambutnya jangan dibuat berantakan." Darcy tentu saja langsung protes. "Para penata rambut itu baru saja mengeringkan rambutmu.""Baru dikeringkan, Darcy. Ini sama sekali belum ditata, jadi kau tidak perlu histeris seperti itu."Anna kembali memijat pangkal hidungnya. Dia kini merasa ingin segera kabur saja dari salon yang dia datangi, lalu nanti, Elizabeth dan Astrid jug
"Kenapa kau terus menatap kami seperti itu?" hardik Elizabeth dengan mata melotot. "Mom pikir pukulan kalian itu tidak sakit?" balas Alaric ikut melotot. "Siapa suruh bahasa yang kalian gunakan itu terlalu ambigu." Kali ini, Astrid yang protes. "Maaf." Tentu saja pada akhirnya Anna yang meringis karena merasa bersalah. "Lain kali, aku akan lebih memperjelas ucapanku." "Tidak perlu merasa bersalah, Nak. Yang seharusnya disalahkan ini adalah suamimu, karena tidak bisa meluruskan apa yang kau katakan." Elizabeth malah membela menantunya. Merasa tidak akan pernah bisa menang melawan para perempuan di keluarganya itu, Alaric memilih untuk mengangkat kedua tangannya ke udara. Mungkin lebih baik kalau dia melihat awan dari jendela pesawat pribadi yang mereka naiki. Setelah tinggal satu hari lagi, keluarga Crawford pada akhirnya memilih untuk segera pulang ke rumah. Walau Alaric sudah memutuskan ingin mundur dari jabatan menterinya, walau belum pelantikan, tapi banyak yang harus d
"Hei, maaf. Apa aku membangunkanmu?" Anna yang baru terbangun dari tidur panjangnya, langsung melebarkan senyum ketika dia mendengar suara itu. Walau masih agak mengantuk, tapi tentu saja dia bisa mengenali suara suaminya sendiri. "Tidurlah lagi," pinta Alaric ikut tersenyum, ketika sang istri malah mendekat padanya dan memberikan pelukan. "Aku ingin melakukannya, tapi aku juga mau mendengar petualanganmu," ucap Anna yang kini menjadikan dada sang suami sebagai bantalnya. "Petualangan?" Mau tidak mau Alaric tertawa pelan. "Petualangan apa yang kau maksud?" "Tentu saja petualanganmu menemukanku," jawab Anna masih dengan mata mengantuknya. "Aku ingin tahu lebih banyak lagi, sebelum nantinya kau sibuk dengan pekerjaan." "Oh, kau benar." Alaric baru teringat kalau masa jabatannya tinggal menunggu beberapa bulan lagi. "Tapi aku harus menyiapkan pesta ulang tahun dulu sebelumnya." "Nanti aku akan membantumu, jadi coba ceritakan padaku apa yang terjadi dan bagaimana kau menemuk
Pelayan yang tadi mengetuk pintu, tersentak pelan. Setelahnya, dia maju melangkah dengan sangat perlahan dan membuat apa yang tersembunyi di belakangnya terlihat."Hai, Brother." Sapa Alaric yang tengah menodongkan pistol pada pelayan di depannya."Wah, aku tidak menyangka kau bisa menemukan tempat ini." Walau kesal, Fritz masih tetap bisa tersenyum pada adik lain ibunya itu."Kau pikir hanya karena kau kaya, aku tidak tahu apa yang kau punya?" tanya Alaric masih menodongkan pistolnya. "Aku lebih kaya, Bro. Informasi tentangmu mengalir dengan cepat hanya karena uang.""Sombong," desis Fritz mulai marah. "Kita akan lihat sampai mana kesombonganmu itu bertahan."Fritz tiba-tiba saja melangkah cepat ke arah Anna. Dia sudah tua dan bisa dibilang lambat, tapi Alaric pun tidak bisa bergerak cepat karena ada sedikit halangan di depannya. Apalagi, jarak Fritz dengan Anna lebih dekat dibanding Alaric."Lepaskan istriku," ucap Alaric disertai dengan desisan pelan."Sayangnya, aku tidak
"Tuan, mobil sudah siap." Suara Caspian terdengar dari headset yang dipakai Alaric. "Tapi, kita agak kesulitan mendapatkan pengawal tambahan. Hanya ada dua yang bersamaku dan hanya sedikit yang ada di sekitar sana.""Carikan saja," balas Alaric yang masih duduk di dalam kokpit helikopter. "Aku juga sudah meminjam pengawal Levi yang dia bawa dan meminta tolong pada Megumi.""Oh, rupanya perempuan itu berguna juga." Caspian mendengus pelan. "Aku juga sudah mencari tahu lokasi terakhir mereka dan sepertinya cukup jauh.""Bagikan saja lokasinya dan aku akan mencoba untuk mencari tempat mendarat yang tepat," ucap Alaric yang kini menutup mata dan bersandar ke kursi. "Carikan juga cara, agar aku tidak ketahuan.""Tentu saja, Tuan. Aku akan tiba sebentar lagi."Alaric mengembuskan napas yang terasa sangat berat. Dirinya sudah sangat lelah setelah penerbangan yang sangat jauh, tapi tetap tidak bisa berbaring untuk istirahat karena Anna belum ditemukan."Kenapa juga belum ada kabar dari