Share

2. Alaric

Author: 5Lluna
last update Last Updated: 2025-01-11 18:17:53

Anna mengangkat kedua tangan, dengan tatapan cemas tertuju ke depan. Dia bergantian menatap lelaki yang terbaring di atas ranjang dan pistol yang terarah padanya. Ya. Pistol.

"Maaf, Pak." Perawat yang berdiri di sebelah Anna mencoba untuk berdiskusi. "Kami di sini hanya untuk menyelamatkan nyawa seseorang, tapi kenapa malah ditodong dengan senjata?"

"You'd better keep quiet or you'll regret it." Lelaki yang memegang pistol itu mendesis pelan. "Bawa Pak Alaric pergi dari sini," lanjutnya, memberi perintah pada dua orang lelaki yang lain.

"Kau tidak bisa membawa dia pergi." Tentu saja Anna akan melarang dan dia mengatakan itu dalam bahasa Inggris. "Biar bagaimana, dia baru saja dioperasi."

"Justru karena kau melakukan operasi tanpa izin, kami bisa menuntut. Siapa yang tahu kalau kalian malah mengambil organ atasan kami."

"Hei, aku ini dokter." Dengan raut wajah kesal, Anna menghardik. "Bagaimana mungkin aku melakukan hal seperti itu? Apalagi ini adalah rumah sakit besar. Sekarang aku menyesal sudah menolong tuanmu."

"Kau dokter?" Lelaki bersenjata itu bertanya dengan kening berkerut seolah tidak percaya.

"Aku dokter." Anna mengangguk dengan percaya diri. "Walau masih belum praktik sendiri, karena langsung melanjutkan ke program spesialis dan sekarang kuliahku malah terbengkalai."

Suara Anna menurun pada akhir kalimatnya, sehingga yang terdengar jelas hanya sampai melanjutkan ke program spesialis. Hal itu sudah cukup untuk membuat lelaki di depannya menatap dengan tatapan tidak percaya.

"Kalau begitu, kau ikut dengan kami." Setelah berpikir cukup lama dan setelah lelaki yang dipanggil Alaric sudah berpindah ke ranjang pasien lipat, si lelaki bersenjata akhirnya memutuskan.

"Kenapa aku harus ikut?" Tentu saja Anna akan keberatan.

"Tentu saja karena kau sudah terlanjur mengetahui keadaan atasan kami. Mau tidak mau, kau harus ikut agar kami bisa menutup mulutmu dengan rapat."

Kedua mata Anna membelalak mendengar hal itu. Berbagai bayangan negatif sudah muncul di kepalanya, tapi dia sama sekali tidak sempat bertindak. Dua orang lelaki berpakaian hitam lain, sudah memegangi kedua lengannya.

***

"Tuan Alaric sepertinya mengalami usus buntu." Seorang pria paruh baya menjelaskan dalam bahasa Inggris. "Melakukan operasi dengan cepat, sudah merupakan tindakan yang benar."

"Apa aku bilang." Anna langsung mendengus pelan, sebagai bentuk ejekan. "Dasar orang-orang tidak tahu terima kasih," lanjutnya tidak segan mencibir.

"Kalau begitu, biar kami mengantar dokter kembali." Lelaki yang tadi menodong senjata, menuntun pria paruh baya yang dipanggil dokter itu keluar. "Sebaiknya kau menjaga Tuan Alaric dengan baik sampai aku kembali," lanjutnya menatap Anna dengan tajam, tidak peduli dengan ejekan yang sebelumnya.

"Astaga! Kenapa ada orang yang tidak bisa percaya pada orang lain seperti itu." Anna langsung protes, ketika hanya tinggal dirinya, Alaric dan seorang perempuan yang juga berpakaian serba hitam.

"Kakak juga kenapa terus berdiri diam di sana?" tanya Anna pada perempuan yang satunya. "Apa tidak lelah?"

Sayangnya, Anna tidak mendapat respon sama sekali. Perempuan yang tampak seperti bodyguard itu, hanya menatap lurus ke depan. Hal yang membuat Anna harus menghela napas panjang.

"Ini sangat membosankan," ucap Anna seraya mengeluarkan ponsel dari dalam tas.

Kedua alis Anna terjungkit naik ketika dia mendapatkan pesan dari sang ayah dan nomor tidak dikenal. Tidak ingin melihat tulisan penuh dengan ceramah, Anna memilih untuk membuka pesan dari nomor tidak dikenal lebih dulu. Lebih tepatnya nomor yang tersimpan dengan nama '?'.

"Sialan!" gumam Anna nyaris saja memutar bola matanya, membuat perempuan di sebelahnya melirik. "Aku lupa menyimpan nomor Si Tua Bangka Fritz dengan benar."

[?: Sepertinya kau masih sangat terkejut dengan perjodohan ini, jadi aku akan memberikanmu waktu untuk berpikir. Pergilah berwisata dengan teman-temanmu untuk menyegarkan pikiran. Aku akan mengirim uangnya.]

Anna menghela napas ketika melihat notifikasi lain yang berasal dari bank. Rupanya Pak Fritz baru saja mengirimkan uang yang cukup banyak. Tapi, sekarang ini Anna tidak bisa memedulikan hal itu. Ada pasien yang merintih di depannya.

"Tuan." Anna refleks bangkit dan mendekat, begitu pun pengawal perempuan tadi. "Apa Tuan sudah sadar? Perlu aku panggilkan tenaga medis atau mungkin pengawalmu yang lain?"

Sayangnya, lelaki yang berbaring itu hanya terus mengerang. Hal yang membuat Anna mau tidak mau harus melakukan sesuatu.

"What are you doing?" Pengawal perempuan mencegah dengan memegang pundak Anna. Lebih tepatnya mencengkeram.

"Aku hanya akan mengecek tanda vitalnya," jawab Anna dalam bahasa Inggris. "Kau tidak perlu setakut itu, karena aku tidak akan mencelakai tuanmu. Aku ini dokter."

Dengan ekspresi yang sangat ragu, pengawal perempuan itu melepaskan cengkeramannya. "Jangan melakukan hal aneh," ucapnya berdiri sedekat mungkin.

"Dasar kumpulan orang insecure." Anna hanya bisa berdecak dan menggeleng pelan, sebelum mengulurkan tangan. Dia perlu mengecek pergelangan tangan pasiennya, untuk mengukur denyut nadi.

Tapi baru juga Anna menyentuh sedikit, tiba-tibasaja mata Alaric terbuka lebar. Dengan gerakan cepat, dia balik mencengkeram pergelangan tangan Anna. Dengan sama cepatnya, Alaric juga membalikkan keadaan.

Lelaki yang masih tampak pucat itu, bangkit dan mendorong (nyaris membanting) tubuh Anna ke atas ranjang. Saking cepatnya gerakan itu, Anna bahkan belum sempat berkedip.

"Siapa kau dan apa maumu?" desis Alaric dengan kening berkerut juga berpeluh, dan tatapan tajam pada Anna yang tertindih di bawahnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pesona Sang Penguasa   161. Pelantikan Penuh Kebahagiaan (END)

    "Apa aku tidak terlihat kekanakan?" tanya Anna sambil berputar di depan cermin. "Demi Tuhan, Anna!" Astrid langsung protes dengan mata melotot. "Sudah berapa kali kau menanyakan hal seperti ini? Apa kau tidak bosan?" "Sama sekali tidak." Anna malah tersenyum lebar. "Soalnya aku harus memastikan tidak membuat Alaric terlihat jauh lebih tua dariku." "Lantas, apa kau ingin terlihat lebih tua?" Tentu saja Astrid akan makin melotot. "Bagiku sih tidak ada masalah. Lagi pula, ibu negara harus lebih berwibawa bukan? Orang yang lebih tua, biasanya lebih berwibawa." "Tidak juga, tapi sudahlah. Lebih baik kau bergegas saja, agar tidak terlambat. Aku dengar, Alaric sudah selesai," ucap Astrid sambil mengulurkan sepatu yang sudah dia pilih. "Oh, maaf Ash." Anna dengan terpaksa harus menggeleng. "Kakiku benar-benar sedang sakit, jadi aku tidak akan memakai sepatu dengan hak tinggi. Flat shoes saja please." "Setidaknya kau tidak meminta sneaker." Untungnya, Astrid tidak keberatan deng

  • Pesona Sang Penguasa   160. Hadiah Ulang Tahun

    "Itu sangat memalukan." Anna memijat kepalanya."Tapi aku lihat, Tuan memakainya dengan sangat bangga." Darcy malah tersenyum, ketika melihat sang nyonya terlihat sedikit menderita. "Bahkan Ian mengatakan Tuan menyukai hadiahnya."Yang benar saja." Anna langsung membentak. "Itu adalah hadiah paling kekanakan untuk lelaki dewasa.""Tapi aku melihat Tuan menggunakannya." Darcy mengedikkan bahunya dengan santai. "Hanya sekilas saja, tapi aku melihat dia memakainya.""Sekarang aku menyesal memilih hadiah itu dan menyesal memberinya di pagi buta tadi." Anna kini menyugar rambutnya dengan frustrasi."Nyonya, tolong rambutnya jangan dibuat berantakan." Darcy tentu saja langsung protes. "Para penata rambut itu baru saja mengeringkan rambutmu.""Baru dikeringkan, Darcy. Ini sama sekali belum ditata, jadi kau tidak perlu histeris seperti itu."Anna kembali memijat pangkal hidungnya. Dia kini merasa ingin segera kabur saja dari salon yang dia datangi, lalu nanti, Elizabeth dan Astrid jug

  • Pesona Sang Penguasa   159. Hadiah

    "Kenapa kau terus menatap kami seperti itu?" hardik Elizabeth dengan mata melotot. "Mom pikir pukulan kalian itu tidak sakit?" balas Alaric ikut melotot. "Siapa suruh bahasa yang kalian gunakan itu terlalu ambigu." Kali ini, Astrid yang protes. "Maaf." Tentu saja pada akhirnya Anna yang meringis karena merasa bersalah. "Lain kali, aku akan lebih memperjelas ucapanku." "Tidak perlu merasa bersalah, Nak. Yang seharusnya disalahkan ini adalah suamimu, karena tidak bisa meluruskan apa yang kau katakan." Elizabeth malah membela menantunya. Merasa tidak akan pernah bisa menang melawan para perempuan di keluarganya itu, Alaric memilih untuk mengangkat kedua tangannya ke udara. Mungkin lebih baik kalau dia melihat awan dari jendela pesawat pribadi yang mereka naiki. Setelah tinggal satu hari lagi, keluarga Crawford pada akhirnya memilih untuk segera pulang ke rumah. Walau Alaric sudah memutuskan ingin mundur dari jabatan menterinya, walau belum pelantikan, tapi banyak yang harus d

  • Pesona Sang Penguasa   158. Benar-Benar Selingkuh

    "Hei, maaf. Apa aku membangunkanmu?" Anna yang baru terbangun dari tidur panjangnya, langsung melebarkan senyum ketika dia mendengar suara itu. Walau masih agak mengantuk, tapi tentu saja dia bisa mengenali suara suaminya sendiri. "Tidurlah lagi," pinta Alaric ikut tersenyum, ketika sang istri malah mendekat padanya dan memberikan pelukan. "Aku ingin melakukannya, tapi aku juga mau mendengar petualanganmu," ucap Anna yang kini menjadikan dada sang suami sebagai bantalnya. "Petualangan?" Mau tidak mau Alaric tertawa pelan. "Petualangan apa yang kau maksud?" "Tentu saja petualanganmu menemukanku," jawab Anna masih dengan mata mengantuknya. "Aku ingin tahu lebih banyak lagi, sebelum nantinya kau sibuk dengan pekerjaan." "Oh, kau benar." Alaric baru teringat kalau masa jabatannya tinggal menunggu beberapa bulan lagi. "Tapi aku harus menyiapkan pesta ulang tahun dulu sebelumnya." "Nanti aku akan membantumu, jadi coba ceritakan padaku apa yang terjadi dan bagaimana kau menemuk

  • Pesona Sang Penguasa   157. Manusia Rendahan

    Pelayan yang tadi mengetuk pintu, tersentak pelan. Setelahnya, dia maju melangkah dengan sangat perlahan dan membuat apa yang tersembunyi di belakangnya terlihat."Hai, Brother." Sapa Alaric yang tengah menodongkan pistol pada pelayan di depannya."Wah, aku tidak menyangka kau bisa menemukan tempat ini." Walau kesal, Fritz masih tetap bisa tersenyum pada adik lain ibunya itu."Kau pikir hanya karena kau kaya, aku tidak tahu apa yang kau punya?" tanya Alaric masih menodongkan pistolnya. "Aku lebih kaya, Bro. Informasi tentangmu mengalir dengan cepat hanya karena uang.""Sombong," desis Fritz mulai marah. "Kita akan lihat sampai mana kesombonganmu itu bertahan."Fritz tiba-tiba saja melangkah cepat ke arah Anna. Dia sudah tua dan bisa dibilang lambat, tapi Alaric pun tidak bisa bergerak cepat karena ada sedikit halangan di depannya. Apalagi, jarak Fritz dengan Anna lebih dekat dibanding Alaric."Lepaskan istriku," ucap Alaric disertai dengan desisan pelan."Sayangnya, aku tidak

  • Pesona Sang Penguasa   156. Ruang Rahasia

    "Tuan, mobil sudah siap." Suara Caspian terdengar dari headset yang dipakai Alaric. "Tapi, kita agak kesulitan mendapatkan pengawal tambahan. Hanya ada dua yang bersamaku dan hanya sedikit yang ada di sekitar sana.""Carikan saja," balas Alaric yang masih duduk di dalam kokpit helikopter. "Aku juga sudah meminjam pengawal Levi yang dia bawa dan meminta tolong pada Megumi.""Oh, rupanya perempuan itu berguna juga." Caspian mendengus pelan. "Aku juga sudah mencari tahu lokasi terakhir mereka dan sepertinya cukup jauh.""Bagikan saja lokasinya dan aku akan mencoba untuk mencari tempat mendarat yang tepat," ucap Alaric yang kini menutup mata dan bersandar ke kursi. "Carikan juga cara, agar aku tidak ketahuan.""Tentu saja, Tuan. Aku akan tiba sebentar lagi."Alaric mengembuskan napas yang terasa sangat berat. Dirinya sudah sangat lelah setelah penerbangan yang sangat jauh, tapi tetap tidak bisa berbaring untuk istirahat karena Anna belum ditemukan."Kenapa juga belum ada kabar dari

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status