Share

Bab. 5 Bisa dan Mampu

Salju sudah berhenti turun ketika Fjola membuka mata. Udara dalam gua masih lembap, namun tidak sedingin sebelumnya. Tulangnya terasa ngilu. Meski begitu, ia mampu bangkit. Di sampingnya Arnor tampak memanggang sesuatu. Pemuda itu sudah memakai pakaian di balik jubah putihnya. Menyadari hal itu, mata Fjola membelalak. Jangan-jangan, dia telah mencopot kemeja Fjola. Tetapi ternyata tidak. Gadis itu melihat kemejanya masih melekat di tubuhnya. Kalau begitu, dari mana Arnor mendapat baju itu?

Di dekat tempat sang peri duduk teronggok sesuatu yang tak asing bagi Fjola. Setelah diamati lebih teliti lagi, rupanya benda itu adalah jaket berbulu milik pemburu yang mengejarnya dulu. Fjola ingat betul bentuk dan warna bulunya yang abu-abu. Rupanya, dari mereka, atau sisa tubuh merekalah Arnor mendapatkannya.

“Kau lapar? Apa kau mau makan?” tanya Arnor tanpa mengalihkan pandangan dari benda yang dipanggagnya di atas bara api. “Cari sendiri,” tambahnya kemudian.

Fjola memutar bola matanya. Dengan tubuh sempoyongan ia berdiri. Ia melangkah ke mulut gua. Cacing dalam perutnya seolah berorasi.

“Aku cuma bercanda,” sahut Arnor menghentikan langkah gadis itu. “Sini, kemarilah! Duduklah di sampingku. Ada jamur lezat yang siap kau santap.”

Wangi jamur panggang itu membuat perut Fjola bergemuruh. Sialan, batinnya. Sebenarnya, dia tidak mau duduk bersama sang peri, apalagi makan bersamanya. Ia takut jamur itu diberi racun, atau sihir. Gadis itu melanjutkan langkahnya.

“Hm .... Jamurnya lembut sekali. Kematangannya sempurna. Astaga, aku pandai sekali memasak,” puji Arnor pada dirinya sendiri.

Fjola menggigit bibirnya. Perutnya sudah memprotes, kakinya pun. Ia tak kuat menahan lapar. Alhasil, ia berbalik. Matanya memandang sang pemuda yang menikmati makanannya dengan terang-terangan. Rupanya selain memanggang jamur, pemuda itu juga membuat sup. Ia bahkan menyeruput kuah supnya dengan suara berisik. Hal itu membuat liur Fjola terproduksi lebih banyak. Sungguh sialan peri itu.

Setelah melihat Fjola duduk di seberangnya, Arnor tak langsung menawari gadis itu. “Bukankah kau mau pergi?” tanyanya menggoda.

Fjola mendengkus kesal. “Sebenarnya, kau menawariku makan atau tidak?”

Kening Arnor berkerut. Bibirnya mengerucut. Ia seolah sedang mempertimbangkan pertanyaan Fjola dengan serius.

Hal itu membuat sang gadis jengkel. “Ya sudah, lupakan! Aku akan cari makanan sendiri.” Fjola lantas kembali bangkit. Namun, baru setengah mengangkat pantat, Arnor mencegahnya.

“Bilang saja kau mau. Susah sekali, sih!” gerutu Arnor.

“Baiklah. Ya. Aku mau makanan itu,” ujar Fjola dengan hati mendongkol. Kalau tubuhnya tidak lemah sekarang, ia bertekad bakal menghajar Arnor habis-habisan.

“Kau punya tangan, kan? Kalau iya, ambil sendiri makananmu.”

Fjola mengelus dadanya supaya sabar. Ia lantas merangkak mendekati Arnor, sebab sup dan jamur itu terletak di antara sang peri dan dinding gua. Jadi, kalau ingin mengambilnya, ia harus melewati Arnor terlebih dahulu.

Setelah mengambil wadah yang terbuat dari kulit buah yang keras, Fjola mengulurkan tangannya ke panci untuk mengambil sup. Lengannya tak sengaja menyenggol tubuh Arnor. Tak hanya itu, wajahnya berada sangat dekat dengan wajah sang peri. Jatungnya bakal berdetak kencang seandainya Arnor tidak meringis. Meski tampan, rautnya terlihat konyol. Fjola yakin telinga milik pemuda itu pastilah palsu. Sebab, dari ilustrasi buku yang pernah dibacanya dulu, peri merupakan makhluk yang anggun. Arnor tak mencerminkan keanggunan sama sekali.

“Bisakah kau minggir? Aku kesulitan mengambil sup itu,” pinta Fjola.

Masih meringis, Arnor menggeleng. “Bilang dulu, please.”

Please,” beo Fjola menggerakkan gigi.

Arnor tambah nyengir. Ia lantas mundur dan berpindah tempat, memberi keleluasaan terhadap gadis itu. Sup buatan sang peri ternyata memang lezat. Toping berupa jamur panggang membuatnya kaya rasa. Fjola sampai tak sadar telah menghabiskan dua mangkuk.

“Apa kau tak takut kalau sup itu kumasukan racun?” tanya Arnor tiba-tiba.

Fjola menggeleng. “Kau sudah memakannya tadi. Dan, kau baik-baik saja. Jadi, tidak mungkin sup ini beracun.”

“Bukan racun yang akan membuatmu mati, tetapi racun yang akan membuatmu menuruti segala perintahku.”

Gadis itu tersedak. Ia bahkan sampai terbatuk-batuk. Seketika, ia ingin memuntahkan sup itu. “Berengsek, kau!”

Melihat Fjola menghujaninya dengan sumpah serapah, Arnor terbahak. Ia tergelak sampai sudut matanya basah. Setelah puas tertawa, ia berkata, “Aku cuma bercanda.”

“Tidak lucu!” Fjola lantas bangkit, meninggalkan sisa sup pada mangkuk ke-tiganya begitu saja. Ia mengulurkan sebelah tangannya dan berkata dengan serius kepada sang peri, “Aku berterima kasih padamu karena menyelamatkanku, tetapi aku harus pergi. Maaf aku tidak mau menjadi budakmu. Jadi, kumohon, kembalikan belatiku. Aku perlu benda itu. Aku tidak bisa bertahan hidup di sini tanpa belatiku.”

Bibir merah Arnor merengut. Ia tampak kecewa. Namun, ia mengangguk. Ia mencopot sabuk belati dari pinggangnya. Ia lalu mengembalikannya kepada Fjola.

Setelah mengaitkan sabuk yang berisi belati itu ke pinggang, gadis itu pun melangkah ke mulut gua. “Sekali lagi aku berterima kasih. Mungkin, kita tidak akan bertemu lagi. Namun, jika takdir berkata lain, aku akan membalas kebaikanmu. Aku berjanji.”

Arnor mengedikkan bahu kemudian berkata, “Baiklah. Hati-hati di jalan." Seulas senyum tersungging di bibirnya yang cantik. Hal itu membuatnya tampak seratus kali lebih tampan. Ia juga melambai.

Sekilas, hati Fjola bergetar. Namun, ia segera berbalik dan pergi. Baru beberapa langkah, Anror memanggilnya. Gadis itu pun menoleh. Ia mengira Arnor bakal mencegahnya pergi. Namun, rupanya tidak.

Sang peri malah berkata, "Jangan lupa bernapas."

Fjola memutar bola matanya. Ia meninggalkan gua dengan langkah pasti. Namun, setelah lumayan jauh dari gua langkahnya menjadi ragu. Sikap Arnor yang melepasnya begitu saja membuatnya curiga. Mungkinkah ia salah tentang peri? Apakah mereka sebenarnya baik?

Kalau dipikir-pikir, Arnor tak pernah berbuat kurang ajar kepadanya, kecuali mengganti bajunya tanpa izin dan  membuatnya selalu kesal dengan komentar-komentarnya. Meski begitu, dia telah menyelamatkannya. Dua kali malah.

Mendadak, Fjola tersentak. Ia heran dengan perasaannya sendiri yang seolah membela peri itu. Jangan-jangan hal itu karena sup yang dimakannya tadi. Pasti Arnor telah memasukkan sesuatu ke dalam sup itu. Lagi pula, ia baru sadar, nyeri yang dirasakannya tadi menghilang. Langkahnya ringan. Dingin yang mengusiknya juga lenyap.

Kurang ajar! Batin Fjola geram. Ia ingin kembali ke gua dan meminta penjelasan peri itu.

Akan tetapi, bagaimana kalau itu hanya prasangkasnya saja?

Tidak. Fjola tak mau kembali ke gua. Kalau memang benar sup itu dicampur ramuan, maka menjauhi pemuda itulah cara satu-satunya agar dia terbebas dari ancaman perbudakan.

Gadis itu mempercepat langkahnya. Salju masih menumpuk. Pohon-pohon mati mengelilingnya. Langit masih suram. Namun, seberkas cahaya matahari tampak menyorot di balik awan kelabu. Darinya, Fjola mampu menentukan arah. Ia mengira-ngira arah mana gerbang ke Negeri Veggur berada. Setelah yakin, ia melangkah ke sana.

Fjola terus berjalan. Tenggorokannya mulai kering lagi. Ia meraup setumpuk salju dan memakannya. Giginya langsung ngilu. Tetapi, Fjola tak peduli. Yang penting ia tidak dehidrasi.

Matahari semakin condong ke barat. Pohon-pohon mati yang dilewatinya mulai tertinggal. Suara air yang bergemericik membuat Fjola berhenti. Nalurinya mengatakan ia harus menemukan sumber air itu.

Mengandalkan pendengaran, ia pun mulai mencari sumber air tersebut.

Tak lama kemudian, ia menemukannya. Tak hanya itu, ia juga menemukan sarang telur di dekat sungai. Entah telur apa, yang jelas ukurannya besar, lebih besar dari telur angsa. Ada tiga telur yang terletak di tengah susunan daun-daun kering. Fjola merasa beruntung. Ia lantas berderap, menghampiri telur-telur itu. Kurang dari sejangkah ia dapat mengambil telur itu.

Namun, kakinya mendadak terjerat tali yang terkubur salju. Tubuhnya terangkat ke atas dalam posisi terbalik. Rambutnya yang panjang menggelantung ke bawah. Belatinya terlepas dari sarung dan terlempar ke tanah. Rupanya, itu adalah jebakan.

Suara kelontang segera terdengar. Siapa pun yang membuat jebakan itu pasti bakal cepat-cepat ke sana.

Fjola berusaha melepaskan diri. Namun, mustahil. Ia tak dapat menjangkau tali yang mengikat kakinya. Ia semakin panik ketika mendengar pekikan dalam bahasa yang tak asing dari jauh. Ditambah suara derap kuda yang mendekat, ia yakin bahwa pembuat jebakan itu adalah pemburu. Ia harus bergegas meloloskan diri kalau tidak, ia bakal mati.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status