Pisau mengayun, siap menancap ke leher Fannar. Matanya membelalak menatap ujungnya yang tajam dan berkilat. Udara terasa tersekat di keongkongannya. Gadis di depannya menampilkan ekspresi tanpa ampun. Anak muda itu menjerit, “A-aku ingin menjadi Garda!”Ayunan itu berhenti mendadak. Ujung pisau yang tajam nyaris mengenai kulitnya. Napas Fannar tersengal. Jatungnya berdebar sangat kencang. Tubuhnya pun gemetar. Sesuatu yang basah terasa di sela pahanya. Saking takutnya, ia kencing di celana.Sang gadis yang mengancam nyawanya pun mundur. Matanya melirik ke bawah dengan jijik. “Apa itu? Kau ngompol? Astaga!” Gadis itu terbahak.Menyadari perbuatannya, Fannar malu. Wajahnya sampai memerah. Ia juga marah kepada diri sendiri karena kepengecutannya. Ia kehilangan muka di depan anggota Garda.“Zoe!” Seorang lelaki mendekat. Pakaiannya sama dengan yang dikenakan sang gadis yang dipanggilnya. Posturnya lebih tinggi. “Apa kau sudah membereskannya? Kita harus cepat pergi.”Zoe mengusap sudut mat
Kereta yang ditumpangi Fannar berhenti di tengah kota yang padat. Setah turun dari pedati, pemuda itu dituntun memasuki gang sempit yang diapit dua bangunan. Salah satunya merupakan kedai makanan yang saat itu ramai. Bangunan yang lain merupakan milik pengrajin besi. Pemuda itu tak menyangka bahwa persembunyian Garda malah mencolok. Ia memuji pemikiran sang pemimpin yang memilih tempat itu sebagai persembunyian. Sebab, justru pada tempat-tempat seperti inilah mereka tak akan dicurigai. Bagaimanapun, seandainya dia adalah prajurit, dia akan mencari para Garda di hutan-hutan yang sepi, yang jauh dari pemukiman penduduk.Gang itu tidak terlalu panjang. Namun juga tidak pendek. Setelah membelok ke kanan satu kali, sampailah mereka ke sebuah bangunan. Mata Fannar semakin melebar saat melihat rumah tempat persembunyian Garda. Rumah itu merupakan bangunan yang umum dijumpai di Negeri Veggur. Warnanya tidak mencolok. Ditambah letaknya yang di tengah membuatnya tidak menonjol sama sekali. Pin
Fjola.Rasanya, darah Fjola mengumpul semua ke kepala. Hal itu membuatnya pusing. Pandangannya serba terbalik. Ia meronta tetapi ketika sia-sia ia pun berhenti. Ia menarik napas dalam-dalam. Sekuat tenaga, ia menekuk tubuhnya ke atas. Tangannya berusaha meraih tali yang mengikat kakinya. Ia mencoba melawan grafitasi. Namun sayang, rupanya grafitasi lebih unggul. Alih-alih berhasil, ia malah mengayun tubuhnya yang tergantung secara terbalik. Akibatnya, suara kelontang terdengar lagi. Sumpah serapah keluar dari bibirnya.“Butuh bantuan?” Arnor duduk di salah satu dahan pohon di seberang sungai. Ia duduk dengan posisi santai di sana. Punggungnya bersandar pada batang, satu kakinya berselonjor sejajar dahan. Satu tangannya memutar-mutar anak panah, sedangkan tangan lainnya memegang busur.Fjola yang memandang peri itu dalam posisi terbalik menjadi tambah pusing. “Apa kau mengikutiku?” tanyanya.Sebenarnya, ia enggan menerima bantuan peri itu lagi. Namun, ia tak memiliki pilihan sekarang.
Senjata tak berguna bagi Fjola. Sebab, musuh yang kali ini ia hadapai bukanlah musuh yang bernyawa, tetapi dapat mengancam nyawa. Uap berembus dari udara yang dikeluarkannya. Tubuhnya kaku. Ia harus hati-hati melangkah, salah-salah dirinya bisa tercebur ke danau yang dinginnya minta ampun. Ia bakal mati beku kalau hal itu sampai terjadi.Ia ingat pernah merasakan dingin itu, tetapi ia tak ingat kapan dan bagaimana dirinya bisa tercebur. Ingatan itu seolah-olah datang dari alam bawah sadarnya. Padahal sejak kecil ia selalu diwanti-wanti sang ibu supaya tidak mendekati danau. Ia juga yakin tak pernah mendekati danau. Jadi, bagaimana mungkin ia meniliki memori tercebur? Aneh sekali. Mungkin karena ia baru saja mengalami kejadian traumatis, memorinya masih tumpang tindih. Ia berpikir positif.Perlahan, Fjola menggerakkan kakinya ke belakang. Ia berniat mundur dan kembali ke tempat dia datang tadi. Retakan pada es di permukaan danau terbentuk ketika bobot tubuh tertumpu pada salah satu kak
Apakah peri tak pernah tidur? Fjola membatin. Sebab, ketika malam sudah larut, ia masih mendengar gerakan dari dalam gua. Ia sendiri tak bisa tidur. Bagaimana ia dapat memejamkan mata sementara peri yang bersamanya masih usil. Entah sedang mengerjakan apa, Fjola tak mau tahu. Ia juga tak dapat melihat karena sekarang ia tengah berbaring miring menghadap dinding gua. Ia hanya melihat bayangan Arnor yang menari-nari di dinding gua. Kemeja dan celananya yang basah disampirkan di dekat api. Untung jaket pemburu yang dikenkannya panjang. Jadi, dapat menutupi lutut Fjola yang telanjang. Sepatu bot ikut dijemur di dekat api.Gadis itu gelisah. Alas tidur yang keras tak mengganggunya, tetapi suara gesekan dua benda terdengar berisik di keheningan malam. Fjola jadi penasaran dengan kegiatan yang dilakukan oleh Arnor. Ia ingin mengintip. Namun, posisinya tidak memungkinkan dirinya mengintip. Bahkan untuk sekadar bergerak pun ia tak sanggup. Ia tak mau Arnor mengetahui bahwa dirinya belum terlel
Paginya langit kembali suram, seolah bersiap melakukan serangan. Butir-butir salju turun perlahan. Arnor kembali memakai kemejanya yang sudah kering. Jubah putihnya ia tanggalkan. Sebagai ganti, ia mengenakan jubah kamuflase. Tudungnya ia tutupkan ke kepala. Ia sedang merapikan peralatan yang digunakannya untuk memasak, memasukkannya ke sebuah tas besar. Setelah menginjak bara api supaya padam, ia membawa tas itu keluar gua. Fjola yang baru bangun pun terkejut. Di dekatnya tidur tampak sewadah bubur gandum. Akan tetapi, saat melihat Arnor mengemasi barang, gadis itu panik. Ia mengabaikan sarapannya. Ia segera bangkit dan menyusul sang peri. Ia takut pemuda itu meninggalkannya. Padahal, ia memerlukannya untuk membantu kembali ke Negeri Veggur. Dengan bertelanjang kaki, Fjola keluar gua. Kerikil dan batu yang diinjak membuat kakinya sakit. Namun, ia tak peduli. Ketika mencapai mulut gua, ia melihat Arnor tengah mencantolkan tasnya ke sisi pelana seekor kuda. Kuda itu tampak anggun, be
Fannar“Kau cukup menarik, Nak,” kata pemimpin Garda. Jemarinya yang berbonggol ia tautkan ke depan lutut. Matanya memandang Fannar yang masih berlutut. Zoe berdiri di belakang pemuda belia itu. Rowan di sisinya. Luke mengamati dari jauh, namun masih dalam jangkauan. Mereka semua diam, menanti keputusan krusial sang pimpinan.“Kau tahu?” lanjut sang ketua, “Garda bukanlah organisasi yang kecil. Menurutmu, bagaimana kami bisa mengambil sesuatu dari lokasi satu dan memberi sesuatu ke lokasi lainnya? Jumlah kami tidak kecil. Kami harus menjaga rahasia masing-masing kelompok. Nah, jika kau ingin nyawa pangeran, aku tidak bisa memberikannya.”Fannar menatap nanar pemimpin itu. Ia menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang kering. Dengan penuh keberanian, ia berkata, “Tapi, kalian pemberontak.”Sang ketua mengibaskan sebelah tangannya dengan tak acuh. “Itu bukan tujuan kami, asal kau tahu.”“Tapi—““Dengar,” sang ketua memajukan tubuh. Tangannya mencengkeram pundak Fannar. “Aku tahu
Malam sudah semakin larut, namun jalanan hampir tak pernah sepi. Di gang-gang sempit yang mereka lalui tercium bau pesing yang hampir sama, sepasang sejoli mabuk yang hampir serupa melakukan kegiatan yang juga serupa—memangut bibir, meraba tubuh, membuka gaun dan celana, dan mengerang. Mereka mengabaikannya.Salju sudah berhenti turun. Namun, dinginnya masih terasa menyesakkan. Tapak kaki kuda diikuti suara jentera yang beradu dengan bebatuan sesekali terdengar. Seruan kusir menghela kuda terdengar bagai intermezo di kesunyian malam.Fannar membawa para Garda ke jalanan kota. Mereka melangkah dalam diam. Begal, perampok, maupun pencuri yang masih beroperasi tak berani menyentuh, apalagi mendekati mereka. Hal itu disebabkan oleh ketua Garda yang profilnya bak raksasa. Meski jalannya sedikit timpang, ia mampu mengimbangi langkah para anak muda yang bersamanya.Zoe yang sudah mulai lelah memprotes. “Apa masih jauh?”“Sedikit lagi,” jawab Fannar tanpa menoleh. Keyakinannya begitu kuat sek