Beranda / Romansa / Pesona Sang Peri / Bab. 4 Sang Peri

Share

Bab. 4 Sang Peri

Penulis: IyoniAe
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-27 14:30:58

Salju yang turun dengan lebat menampar tubuh Fjola secara ganas. Langkahnya terseok-seok di undukan es yang menggunung. Tangannya ia rapatkan ke badannya yang gemetar. Giginya sampai bergemeletuk saat menahan dingin. Uap berembus dari mulutnya saat bernapas. Wajahnya yang cantik tampak begitu pucat hingga bibirnya membiru. Perutnya keroncongan. Fjola menoleh. 

Pandangannya terganggu karena salju yang sedari tadi tak henti-hentinya turun. Angin dingin menerpa tepi kemejanya yang longgar, mengepak-ngepakkanya keras, seolah ingin menariknya kembali ke gua. Namun, Fjola tak mau kembali. Ia harus melarikan diri.

Gadis itu terus melangkah. Pijakannya pada salju tampak ragu. Dalam hati, ia bertekad tak akan menyebut nama Arnor. Namun, setan seolah membisikkan nama itu terus menerus ke telinganya. Ia sampai harus menggigit bibirnya erat-erat. 

Perlahan namun pasti tenaga gadis itu melemah. Kelopak matanya ingin menutup. Namun, Fjola tak boleh menyerah sekarang. Ia tak boleh kalah. Rambutnya yang panjang dan kusut tertumpuk salju hingga rasanya seolah berendam di air dingin. Ia mengira-ngira, sampai kapan otaknya akan membeku? 

Gadis itu tak tahu berapa lama ia pergi dari gua, berapa langkah yang sudah ditempuhnya. Ia merasa sudah sangat lama berjalan. Matanya yang perih memicing, mencari-cari tempat perlindungan. Alih-alih, hanya warna putih yang tertangkap pandangannya. Fjola mempererat pelukannya. Ia merutuki cuaca yang sama sekali tak mendukungnya.

Mendadak, dia merindukan tidur berdempetan dengan ayah dan adiknya di rumahnya yang lama. Rumah Fjola kecil, reot pula. Ia bukanlah orang kaya. Ia hanya memiliki satu ruangan, satu perapian, dan satu tempat tidur yang terbuat dari tumpukan gombal. Saat musim dingin tiba, ia, Jon, dan Fannar akan tidur saling berdempetan di kasur itu. Kadang, kaki adiknya yang panjang menyepaknya. Kemudian, Fjola akan membalasnya.

Teringat itu membuat hati Fjola pedih. Kehidupan sederhana itu terasa sangat jauh sekarang. Ia tak mungkin dapat merasakannya lagi. Mereka telah merenggut kehidupan itu darinya. Maka dari itu, ia harus selamat. Ia akan membalas mereka. Fjola melangkah lagi.

Meski tekad Fjola untuk melanjutkan pelarian itu sangat kuat, tubuhnya tak mampu mengimbangi. Ia ambruk. Salju yang menggunung di tanah menahan tubuhnya dari benturan menyakitkan. Meski begitu, salju yang tercurah dari langit niscaya akan menguburnya tak lama lagi. Deru badai yang terdengar di telinganya perlahan melambat. Pandangannya pun pelan-pelan menggelap. Jemarinya tangannya kebas, begitupun kaki di balik sepatu bot. Kulit yang menempel ke salju mati rasa.

Dada Fjola rasanya ingin meledak. Akhirnya, kematian akan menjemputnya. Ia dapat melihat bayang-bayang sang malaikat maut sudah mendekat. Gadis itu menyambutnya dengan suka cita. Setidaknya, di sana nanti ia dapat bertemu dengan ayah dan ibunya. Ya, Fjola ingin menyerah saja.

***

Arnor yang keluar dari gua untuk mencari makanan tak langsung pergi begitu saja. Ia memilih bersembunyi di dekat mulut gua. Ia yakin gadis yang ditolongnya bakal lari. Dan, benar saja. Belum beberapa lama ia meninggalkan mulut gua, gadis itu keluar gua. Padahal, badai salju datang. Langkahnya tampak sempoyongan. Arnor membiarkannya saja. Ia ingin melihat betapa kuat gadis itu. 

Sebenarnya, Arnor tak ingin menolong Fjola. Ia memiliki misi sendiri. Ia diutus oleh kaumnya untuk mencari sang pemimpin yang menghilang. Dulu, ada tiga peri yang disebut oleh Bapak Peri yang menguasai dunia. Mereka adalah Haidur, Malakora, dan Ulimo. Haidur menguasai negeri abadi di seberang lautan yang dikuasai oleh Ulimo. Sedangkan Sargan menguasai dunia tengah.

Namun, Tuhan menciptakan makhluk lain di dunia tengah, seperti manusia, kurcaci, troll, pemburu, dll. Malakora tidak terima daerah kekuasaannya diganggu oleh mereka. Dia menghasut mereka supaya saling memusuhi.

Haidur yang melihat peri lain tersiksa karena keserakahan Malakora, mengundang para peri itu pergi ke negerinya untuk melindungi mereka dari kesemrawutan dunia tengah. Namun, setelah ke negeri itu, mereka tak boleh lagi kembali ke dunia tengah. Beberapa peri menerima undangan Haidur. Beberapa lagi menolak. Sebagian malah mengikuti hasutan Malakora. Mereka yang mengikuti Malakora disebut peri kegelapan. Merekalah yang selama ini menyiksa manusia. Mereka menganggap diri mereka di atas segalanya.

Sedangkan peri yang menerima undangan Haidur melakukan perjalanan jauh ke negeri abadi. Mereka berkelompok menuju ke sana. Arnor ikut dalam salah satu kelompok itu. Namun, saat di tengah jalan, Malakora yang marah kembali menghasut mereka, bahkan dengan licik menyerang mereka. Sebagian peri yang selamat berbalik dan ikut bergabung dengannya. Sebagian yang lain meneruskan perjalanan.

Akibat dari serangan itu, kelompok Arnor kehilangan sang pemimpin. Arnor berhasil membawa mereka ke lautan. Dari sana, Ulimo akan menyeberangkan mereka ke negeri abadi. Sedangkan Arnor sendiri diutus kembali dan mencari pemimpinnya.

Namun, saat mencium jejak sang pemimpin di dunia tengah, ia bertemu dengan Fjola. Entah kenapa, ia merasa ada sesuatu dengan gadis itu. Ia tak bisa menjelaskannya. Jadi, ketika melihat Fjola terancam bahaya, ia menyelamatkannya.

Dan sekarang, hanya berjarak dua puluh langkah dari mulut gua, gadis itu sudah ambruk. Arnor mendesah, lalu menghampirinya. Dengan satu tangan, ia menarik tubuh gadis itu dari tumpukan salju. Dengan ringan ia memanggul tubuh Fjola kembali ke gua.

“Kalau kau ingin melarikan diri, setidaknya lakukanlah dengan lebih baik. Masa baru melangkah dua puluh langkah sudah tumbang,” gerutunya membaringkan tubuh Fjola ke dekat api unggun. “Untung saja kau sudah kuberi ramuan itu. Kalau tidak, nyawamu sudah melayang sekarang.” 

Ia kemudian meraih tangan Fjola dan menggenggamnya. Jemarinya menekan nadi di pergelangan tangan gadis itu. Matanya tertutup. Ia mengonsentrasikan pikirannya ke aliran darah Fjola.

Kehangatan terpancar dari dalam diri Arnor, kemudian mengalir ke ujung jemarinya. Ia dapat merasakan kehangatan itu masuk ke nadi Fjola, menjalar ke jantung gadis itu, pusat nyawanya berada. Kehangatan itu lantas naik ke otak Fjola, memasuki saraf-saranya. Arnor dapat merasakan saraf yang yang tadinya beku mulai mencair.

Peri itu mengerutkan kening. Ia merasakan sensasi lain saat mencoba menyembuhkan Fjola. Sebelumnya ia tak pernah menyembuhkan manusia. Sebab, ia jarang bertemu dengan mereka. Selama ini ia hanya menggunakan anugerahnya kepada peri, hewan, dan tumbuhan.

Saat menyembuhkan Fjola, Arnor merasa ditarik ke kehidupan gadis itu. Ia mendapat kilasan kehidupan sang gadis, seperti kalaidoskop. Ketika  melihat kilasan-kilasan itu, ia memandang dunia lewat mata Fjola, seolah dialah gadis itu. Dia dapat merasakan lembutnya lengan ayah Fjola ketika membopong tubuh kecilnya saat lahir ke dunia. “Putri kecilku, Fjola,” kata sang ayah tersenyum.

Dia juga mampu merasakan perutnya yang lapar dan malah mengulurkan apel kisut kepada adiknya untuk dimakan. Ia bisa merasakan empati gadis itu.

Kemudian, kilasan tentang pertemuan awal mereka mendadak hadir. Waktu itu Fjola tengah mencari harimau yang berhasil diburunya di hutan terlarang.

“Hei! Apa yang kaulakukan? Aku yang membunuh harimau itu, jadi aku yang seharusnya mendapat dagingnya.” Melalui mata Fjola, Arnor dapat melihat profil dirinya sendiri yang tengah menoleh. Ia menatap sorot matanya sendiri dalam-dalam.

Mendadak, Arnor merasa perutnya jungkir balik. Ia tersentak dengan sensasi ang dirasakannya. Ia lantas melepaskan koneksinya, kemudian terhuyung mundur. Matanya menatap rona wajah Fjola yang sudah kembali. Mata gadis itu masih tertutup. 

Jantung Arnor berdetak kencang. Ia tak tahu apa yang menyebabkan jantungnya berdetak sekencang itu. Bahkan, ia tak yakin bahwa yang berdebar itu adalah jantung miliknya atau jantung milik Fjola. Tanpa berkata apa-apa ia pun pergi, meninggalkan gua untuk berburu makanan. Ia perlu menjauh dari gadis itu.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pesona Sang Peri   Ban 99. Tamat

    Fjola bakal percaya kalau dirinya sudah mati apabila makhluk buas yang tadi menyerangnya menghilang. Karena bagaimanapun, ia yakin bahwa makhluk sekeji itu tak mungkin dapat masuk ke dalam dunia kekal nan nyaman serta indah. Lagi pula, saat ia menengok ke samping, Barrant masih tertelungkup tak berdaya.Yang paling membuatnya yakin ini hanya mimpi adalah keberadaan Arnor yang berdiri di depannya, menahan pedang makhluk menyeramkan yang berniat membunuhnya. Padahal, dari kilasan yang pernah dikirimkan oleh Eleanor, saudara kembar Arnor yang memiliki kekuatan pikiran, ia mendapat kabar bahwa Arnor sudah mati. Ditambah ucapan Malakora ketika menyerangnya, Fjola kian yakin bahwa peri itu telah tiada. Namun sekarang, sang peri berdiri di depannya. Tubuhnya solid dan utuh. Meski baru bisa melihat punggungnya, gadis itu yakin Arnor baik-baik saja. Ia hidup.Hati Fjola lega luar biasa. Bahkan saking lega dan bahagia, ia sampai menitikan air mata. Dalam hati, ia bersyukur dapat bertemu lagi de

  • Pesona Sang Peri   Bab 98. Kembali

    Fannar merasa sia-sia melepaskan anak panah ke makhluk yang sedang mengayunkan pedang secara membabi buta di depannya. Pasalnya, kulit makhluk itu sulit dilukai hanya dengan sebuah panah bermata besi. Meski dalam jarak yang dekat serangannya tak mampu melukai lawan. Yang ada si lawan malah bertambah murka.Makhluk itu menusukkan pedangnya yang panjang ke tubuh kecil Fannar tanpa ampun. Dengan kegesitan yang luar biasa, pemuda belia itu mampu menghindar. Tangannya yang bebas meraih benda apa pun di dekatnya untuk dilempar ke makhluk itu. Ia malah tampak seperti anak kecil yang merajuk. Hal itu membuat si makhluk semakin jengkel.Makhluk yang adalah salah satu panglima terkuat Malakora itu pun menyapukan pedangnya memutar ke sekelilingnya. Hal itu menyebabkan baju bagian dada Fannar terkena ujungnya lalu robek.Zoe yang datang setelah memastikan kuda yang membawa lari Fjola dan Pangeran Barrant sudah melaju dan tak kembali pun menghujamkan belatinya ke punggung sang makhluk ketika lenga

  • Pesona Sang Peri   Bab 97. Makhluk Itu

    Langkah makhluk itu tampak mantap saat mendaki bukit. Meski tubuhnya berat sehingga mata kakinya terbenam dalam tumpukan salju, ia berjalan dengan langkah ringan. Seringai menghiasi wajahnya yang jelek, membuatnya semakin jelek. Pedangnya yang tajam dan panjang diseret hingga bagian ujungnya membelah salju di bawah, menciptakan bekas yang mengalur di samping jejaknya. Matanya menatap lurus ke tujuan. Setelah dua hari mengikuti, akhirnya ia mampu mengejar buruannya.Meski rajanya tidak memerintahkan secara langsung untuk memburu mereka, namun dari pengalamannya, Malakora selalu membunuh anggota kerajaan dari negeri yang diserangnya. Ia ingat ketika mereka menyerang salah satu kerajaan yang mayoritas penduduknya merupakan bangsa kurcaci. Waktu itu hampir semua prajurit mereka binasakan. Namun, Malakora tak berhenti membantai.“Sudahlah! Biarkan sisannya kita pekerjakan sebagai budak. Bukankah mereka pandai membuat senjata?” katanya.Malakora yang baru saja merenggut seorang bayi dari de

  • Pesona Sang Peri   Bab 96. Pelarian

    Sementara itu, di sebuah ruangan kecil di istana Malakora, sebuah kotak seluas 2 x 3 meter yang tingginya hanya satu meter dan terbuat dari baja, dengan kaca sebagai jendela, dikunci sedemikian rupa sehingga hanya lubang sepanjang kepalan tangan yang disekat teralis menjadi satu-satunya jalan untuk udara. Seorang peri berambut cokelat kayu dipernis terikat dengan kedua tangannya terentang. Ia tergantung dengan posisi setengah berlutut. Kakinya yang lemah tertekuk ke belakang. Kepalanya menunduk. Bajunya koyak, beberapa bagian tampak bekas terbakar. Darah dan kotoran menghiasi sosoknya.Seorang peri cantik berjalan masuk ke ruangan itu bersama dua pengawalnya yang setia. Salah seorang pengawal itu menarik kursi sampai di depan kotak baja. Setelahnya, peri cantik tadi duduk di sana, menyilangkan kaki dan bersedekap. Matanya memandang kotak dengan pongah. Ia mengibaskan tangan, menyuruh pengawalnya untuk membuka pintu kotak itu.Salah satu pengawal itu tergopoh-gopoh menuju kotak baja, m

  • Pesona Sang Peri   Bab 95. Kematian

    Istal istana kosong melompong. Tak ada kuda maupun kereta yang tersisa. Semuanya lenyap. Ada satu kuda yang berbaring di kandang. Keadaannya tak lebih baik dari mereka. Kuda itu kurus dan lemas. Bahkan untuk mengangkat kepala saja sulit. Fjola tak mungkin memaksanya membawa mereka bertiga, mustahil.“Lepaskan aku,” rintih Barrant. “Aku harus membunuh peri itu.”“Diamlah, Barrant!” Fjola yang kelelahan tambah frustrasi. “Kita ke pintu belakang. Semoga saja ada kuda yang dapat kita gunakan,” tambahnya memberi aba-aba kepada Ishak yang memapah sang pangeran di sisi satunya.Untungnya, pintu belakang istana tidak terkunci, bahkan menjeblak terbuka. Fjola menyeret tubuh Barrant yang langkahnya diseret melewati pintu besi itu. Namun, saat berhasil keluar, Fjola harus kecewa karena tak ada apa pun di sana kecuali seorang prajurit telanjang yang pingsan. Ia dan Ishak berusaha menyeret tubuh Barrant yang kini pingsan menjauh dari istana.Sebuah gerobak berisi tong-tong bekas makanan teronggok

  • Pesona Sang Peri   Bab 94. Penyerangan

    Fjola tengah ditanya apakah ia bersedia menerima Barrant apa adanya, dalam susah maupun senang, dalam sehat maupun sakit, dalam kaya maupun miskin, ketika guncangan itu terjadi. Ia memakai gaun terindah yang pernah dikenakannya, terlembut yang pernah disentuh oleh kulitnya, teringan yang pernah disangganya. Rambutnya yang pendek setengah teralin ke belakang. Sepatunya yang tinggi tampak mengilap dan bersih. Bunga yang disusun indah digenggamnya dengan mantap. Matanya yang sembap karena lagi-lagi menangis, berhasil ditutupi olesan bedak oleh Ishak.Meskipun demikian, kecantikan Fjola hanya menarik decak kagum dari tamu para tamu khusus itu sebentar saja. Sebab, setelah guncangan yang membuat gedung tempat dilaksanakan upacara pernikahan itu bergoyang, orang-orang yang ada di dalamnya terpekik terkejut. Dengung bagai lebah terdengar dari mulut mereka. Tak lama berselang, guncangan itu terjadi lagi. Saking besarnya sampai-sampai tanah bergetar, atap runtuh. Seketika keadaan menjadi kacau

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status