Share

Bab. 4 Sang Peri

Salju yang turun dengan lebat menampar tubuh Fjola secara ganas. Langkahnya terseok-seok di undukan es yang menggunung. Tangannya ia rapatkan ke badannya yang gemetar. Giginya sampai bergemeletuk saat menahan dingin. Uap berembus dari mulutnya saat bernapas. Wajahnya yang cantik tampak begitu pucat hingga bibirnya membiru. Perutnya keroncongan. Fjola menoleh. 

Pandangannya terganggu karena salju yang sedari tadi tak henti-hentinya turun. Angin dingin menerpa tepi kemejanya yang longgar, mengepak-ngepakkanya keras, seolah ingin menariknya kembali ke gua. Namun, Fjola tak mau kembali. Ia harus melarikan diri.

Gadis itu terus melangkah. Pijakannya pada salju tampak ragu. Dalam hati, ia bertekad tak akan menyebut nama Arnor. Namun, setan seolah membisikkan nama itu terus menerus ke telinganya. Ia sampai harus menggigit bibirnya erat-erat. 

Perlahan namun pasti tenaga gadis itu melemah. Kelopak matanya ingin menutup. Namun, Fjola tak boleh menyerah sekarang. Ia tak boleh kalah. Rambutnya yang panjang dan kusut tertumpuk salju hingga rasanya seolah berendam di air dingin. Ia mengira-ngira, sampai kapan otaknya akan membeku? 

Gadis itu tak tahu berapa lama ia pergi dari gua, berapa langkah yang sudah ditempuhnya. Ia merasa sudah sangat lama berjalan. Matanya yang perih memicing, mencari-cari tempat perlindungan. Alih-alih, hanya warna putih yang tertangkap pandangannya. Fjola mempererat pelukannya. Ia merutuki cuaca yang sama sekali tak mendukungnya.

Mendadak, dia merindukan tidur berdempetan dengan ayah dan adiknya di rumahnya yang lama. Rumah Fjola kecil, reot pula. Ia bukanlah orang kaya. Ia hanya memiliki satu ruangan, satu perapian, dan satu tempat tidur yang terbuat dari tumpukan gombal. Saat musim dingin tiba, ia, Jon, dan Fannar akan tidur saling berdempetan di kasur itu. Kadang, kaki adiknya yang panjang menyepaknya. Kemudian, Fjola akan membalasnya.

Teringat itu membuat hati Fjola pedih. Kehidupan sederhana itu terasa sangat jauh sekarang. Ia tak mungkin dapat merasakannya lagi. Mereka telah merenggut kehidupan itu darinya. Maka dari itu, ia harus selamat. Ia akan membalas mereka. Fjola melangkah lagi.

Meski tekad Fjola untuk melanjutkan pelarian itu sangat kuat, tubuhnya tak mampu mengimbangi. Ia ambruk. Salju yang menggunung di tanah menahan tubuhnya dari benturan menyakitkan. Meski begitu, salju yang tercurah dari langit niscaya akan menguburnya tak lama lagi. Deru badai yang terdengar di telinganya perlahan melambat. Pandangannya pun pelan-pelan menggelap. Jemarinya tangannya kebas, begitupun kaki di balik sepatu bot. Kulit yang menempel ke salju mati rasa.

Dada Fjola rasanya ingin meledak. Akhirnya, kematian akan menjemputnya. Ia dapat melihat bayang-bayang sang malaikat maut sudah mendekat. Gadis itu menyambutnya dengan suka cita. Setidaknya, di sana nanti ia dapat bertemu dengan ayah dan ibunya. Ya, Fjola ingin menyerah saja.

***

Arnor yang keluar dari gua untuk mencari makanan tak langsung pergi begitu saja. Ia memilih bersembunyi di dekat mulut gua. Ia yakin gadis yang ditolongnya bakal lari. Dan, benar saja. Belum beberapa lama ia meninggalkan mulut gua, gadis itu keluar gua. Padahal, badai salju datang. Langkahnya tampak sempoyongan. Arnor membiarkannya saja. Ia ingin melihat betapa kuat gadis itu. 

Sebenarnya, Arnor tak ingin menolong Fjola. Ia memiliki misi sendiri. Ia diutus oleh kaumnya untuk mencari sang pemimpin yang menghilang. Dulu, ada tiga peri yang disebut oleh Bapak Peri yang menguasai dunia. Mereka adalah Haidur, Malakora, dan Ulimo. Haidur menguasai negeri abadi di seberang lautan yang dikuasai oleh Ulimo. Sedangkan Sargan menguasai dunia tengah.

Namun, Tuhan menciptakan makhluk lain di dunia tengah, seperti manusia, kurcaci, troll, pemburu, dll. Malakora tidak terima daerah kekuasaannya diganggu oleh mereka. Dia menghasut mereka supaya saling memusuhi.

Haidur yang melihat peri lain tersiksa karena keserakahan Malakora, mengundang para peri itu pergi ke negerinya untuk melindungi mereka dari kesemrawutan dunia tengah. Namun, setelah ke negeri itu, mereka tak boleh lagi kembali ke dunia tengah. Beberapa peri menerima undangan Haidur. Beberapa lagi menolak. Sebagian malah mengikuti hasutan Malakora. Mereka yang mengikuti Malakora disebut peri kegelapan. Merekalah yang selama ini menyiksa manusia. Mereka menganggap diri mereka di atas segalanya.

Sedangkan peri yang menerima undangan Haidur melakukan perjalanan jauh ke negeri abadi. Mereka berkelompok menuju ke sana. Arnor ikut dalam salah satu kelompok itu. Namun, saat di tengah jalan, Malakora yang marah kembali menghasut mereka, bahkan dengan licik menyerang mereka. Sebagian peri yang selamat berbalik dan ikut bergabung dengannya. Sebagian yang lain meneruskan perjalanan.

Akibat dari serangan itu, kelompok Arnor kehilangan sang pemimpin. Arnor berhasil membawa mereka ke lautan. Dari sana, Ulimo akan menyeberangkan mereka ke negeri abadi. Sedangkan Arnor sendiri diutus kembali dan mencari pemimpinnya.

Namun, saat mencium jejak sang pemimpin di dunia tengah, ia bertemu dengan Fjola. Entah kenapa, ia merasa ada sesuatu dengan gadis itu. Ia tak bisa menjelaskannya. Jadi, ketika melihat Fjola terancam bahaya, ia menyelamatkannya.

Dan sekarang, hanya berjarak dua puluh langkah dari mulut gua, gadis itu sudah ambruk. Arnor mendesah, lalu menghampirinya. Dengan satu tangan, ia menarik tubuh gadis itu dari tumpukan salju. Dengan ringan ia memanggul tubuh Fjola kembali ke gua.

“Kalau kau ingin melarikan diri, setidaknya lakukanlah dengan lebih baik. Masa baru melangkah dua puluh langkah sudah tumbang,” gerutunya membaringkan tubuh Fjola ke dekat api unggun. “Untung saja kau sudah kuberi ramuan itu. Kalau tidak, nyawamu sudah melayang sekarang.” 

Ia kemudian meraih tangan Fjola dan menggenggamnya. Jemarinya menekan nadi di pergelangan tangan gadis itu. Matanya tertutup. Ia mengonsentrasikan pikirannya ke aliran darah Fjola.

Kehangatan terpancar dari dalam diri Arnor, kemudian mengalir ke ujung jemarinya. Ia dapat merasakan kehangatan itu masuk ke nadi Fjola, menjalar ke jantung gadis itu, pusat nyawanya berada. Kehangatan itu lantas naik ke otak Fjola, memasuki saraf-saranya. Arnor dapat merasakan saraf yang yang tadinya beku mulai mencair.

Peri itu mengerutkan kening. Ia merasakan sensasi lain saat mencoba menyembuhkan Fjola. Sebelumnya ia tak pernah menyembuhkan manusia. Sebab, ia jarang bertemu dengan mereka. Selama ini ia hanya menggunakan anugerahnya kepada peri, hewan, dan tumbuhan.

Saat menyembuhkan Fjola, Arnor merasa ditarik ke kehidupan gadis itu. Ia mendapat kilasan kehidupan sang gadis, seperti kalaidoskop. Ketika  melihat kilasan-kilasan itu, ia memandang dunia lewat mata Fjola, seolah dialah gadis itu. Dia dapat merasakan lembutnya lengan ayah Fjola ketika membopong tubuh kecilnya saat lahir ke dunia. “Putri kecilku, Fjola,” kata sang ayah tersenyum.

Dia juga mampu merasakan perutnya yang lapar dan malah mengulurkan apel kisut kepada adiknya untuk dimakan. Ia bisa merasakan empati gadis itu.

Kemudian, kilasan tentang pertemuan awal mereka mendadak hadir. Waktu itu Fjola tengah mencari harimau yang berhasil diburunya di hutan terlarang.

“Hei! Apa yang kaulakukan? Aku yang membunuh harimau itu, jadi aku yang seharusnya mendapat dagingnya.” Melalui mata Fjola, Arnor dapat melihat profil dirinya sendiri yang tengah menoleh. Ia menatap sorot matanya sendiri dalam-dalam.

Mendadak, Arnor merasa perutnya jungkir balik. Ia tersentak dengan sensasi ang dirasakannya. Ia lantas melepaskan koneksinya, kemudian terhuyung mundur. Matanya menatap rona wajah Fjola yang sudah kembali. Mata gadis itu masih tertutup. 

Jantung Arnor berdetak kencang. Ia tak tahu apa yang menyebabkan jantungnya berdetak sekencang itu. Bahkan, ia tak yakin bahwa yang berdebar itu adalah jantung miliknya atau jantung milik Fjola. Tanpa berkata apa-apa ia pun pergi, meninggalkan gua untuk berburu makanan. Ia perlu menjauh dari gadis itu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status