Salju yang turun dengan lebat menampar tubuh Fjola secara ganas. Langkahnya terseok-seok di undukan es yang menggunung. Tangannya ia rapatkan ke badannya yang gemetar. Giginya sampai bergemeletuk saat menahan dingin. Uap berembus dari mulutnya saat bernapas. Wajahnya yang cantik tampak begitu pucat hingga bibirnya membiru. Perutnya keroncongan. Fjola menoleh.
Pandangannya terganggu karena salju yang sedari tadi tak henti-hentinya turun. Angin dingin menerpa tepi kemejanya yang longgar, mengepak-ngepakkanya keras, seolah ingin menariknya kembali ke gua. Namun, Fjola tak mau kembali. Ia harus melarikan diri.
Gadis itu terus melangkah. Pijakannya pada salju tampak ragu. Dalam hati, ia bertekad tak akan menyebut nama Arnor. Namun, setan seolah membisikkan nama itu terus menerus ke telinganya. Ia sampai harus menggigit bibirnya erat-erat.
Perlahan namun pasti tenaga gadis itu melemah. Kelopak matanya ingin menutup. Namun, Fjola tak boleh menyerah sekarang. Ia tak boleh kalah. Rambutnya yang panjang dan kusut tertumpuk salju hingga rasanya seolah berendam di air dingin. Ia mengira-ngira, sampai kapan otaknya akan membeku?
Gadis itu tak tahu berapa lama ia pergi dari gua, berapa langkah yang sudah ditempuhnya. Ia merasa sudah sangat lama berjalan. Matanya yang perih memicing, mencari-cari tempat perlindungan. Alih-alih, hanya warna putih yang tertangkap pandangannya. Fjola mempererat pelukannya. Ia merutuki cuaca yang sama sekali tak mendukungnya.
Mendadak, dia merindukan tidur berdempetan dengan ayah dan adiknya di rumahnya yang lama. Rumah Fjola kecil, reot pula. Ia bukanlah orang kaya. Ia hanya memiliki satu ruangan, satu perapian, dan satu tempat tidur yang terbuat dari tumpukan gombal. Saat musim dingin tiba, ia, Jon, dan Fannar akan tidur saling berdempetan di kasur itu. Kadang, kaki adiknya yang panjang menyepaknya. Kemudian, Fjola akan membalasnya.
Teringat itu membuat hati Fjola pedih. Kehidupan sederhana itu terasa sangat jauh sekarang. Ia tak mungkin dapat merasakannya lagi. Mereka telah merenggut kehidupan itu darinya. Maka dari itu, ia harus selamat. Ia akan membalas mereka. Fjola melangkah lagi.
Meski tekad Fjola untuk melanjutkan pelarian itu sangat kuat, tubuhnya tak mampu mengimbangi. Ia ambruk. Salju yang menggunung di tanah menahan tubuhnya dari benturan menyakitkan. Meski begitu, salju yang tercurah dari langit niscaya akan menguburnya tak lama lagi. Deru badai yang terdengar di telinganya perlahan melambat. Pandangannya pun pelan-pelan menggelap. Jemarinya tangannya kebas, begitupun kaki di balik sepatu bot. Kulit yang menempel ke salju mati rasa.
Dada Fjola rasanya ingin meledak. Akhirnya, kematian akan menjemputnya. Ia dapat melihat bayang-bayang sang malaikat maut sudah mendekat. Gadis itu menyambutnya dengan suka cita. Setidaknya, di sana nanti ia dapat bertemu dengan ayah dan ibunya. Ya, Fjola ingin menyerah saja.
***
Arnor yang keluar dari gua untuk mencari makanan tak langsung pergi begitu saja. Ia memilih bersembunyi di dekat mulut gua. Ia yakin gadis yang ditolongnya bakal lari. Dan, benar saja. Belum beberapa lama ia meninggalkan mulut gua, gadis itu keluar gua. Padahal, badai salju datang. Langkahnya tampak sempoyongan. Arnor membiarkannya saja. Ia ingin melihat betapa kuat gadis itu.
Sebenarnya, Arnor tak ingin menolong Fjola. Ia memiliki misi sendiri. Ia diutus oleh kaumnya untuk mencari sang pemimpin yang menghilang. Dulu, ada tiga peri yang disebut oleh Bapak Peri yang menguasai dunia. Mereka adalah Haidur, Malakora, dan Ulimo. Haidur menguasai negeri abadi di seberang lautan yang dikuasai oleh Ulimo. Sedangkan Sargan menguasai dunia tengah.
Namun, Tuhan menciptakan makhluk lain di dunia tengah, seperti manusia, kurcaci, troll, pemburu, dll. Malakora tidak terima daerah kekuasaannya diganggu oleh mereka. Dia menghasut mereka supaya saling memusuhi.
Haidur yang melihat peri lain tersiksa karena keserakahan Malakora, mengundang para peri itu pergi ke negerinya untuk melindungi mereka dari kesemrawutan dunia tengah. Namun, setelah ke negeri itu, mereka tak boleh lagi kembali ke dunia tengah. Beberapa peri menerima undangan Haidur. Beberapa lagi menolak. Sebagian malah mengikuti hasutan Malakora. Mereka yang mengikuti Malakora disebut peri kegelapan. Merekalah yang selama ini menyiksa manusia. Mereka menganggap diri mereka di atas segalanya.
Sedangkan peri yang menerima undangan Haidur melakukan perjalanan jauh ke negeri abadi. Mereka berkelompok menuju ke sana. Arnor ikut dalam salah satu kelompok itu. Namun, saat di tengah jalan, Malakora yang marah kembali menghasut mereka, bahkan dengan licik menyerang mereka. Sebagian peri yang selamat berbalik dan ikut bergabung dengannya. Sebagian yang lain meneruskan perjalanan.
Akibat dari serangan itu, kelompok Arnor kehilangan sang pemimpin. Arnor berhasil membawa mereka ke lautan. Dari sana, Ulimo akan menyeberangkan mereka ke negeri abadi. Sedangkan Arnor sendiri diutus kembali dan mencari pemimpinnya.
Namun, saat mencium jejak sang pemimpin di dunia tengah, ia bertemu dengan Fjola. Entah kenapa, ia merasa ada sesuatu dengan gadis itu. Ia tak bisa menjelaskannya. Jadi, ketika melihat Fjola terancam bahaya, ia menyelamatkannya.
Dan sekarang, hanya berjarak dua puluh langkah dari mulut gua, gadis itu sudah ambruk. Arnor mendesah, lalu menghampirinya. Dengan satu tangan, ia menarik tubuh gadis itu dari tumpukan salju. Dengan ringan ia memanggul tubuh Fjola kembali ke gua.
“Kalau kau ingin melarikan diri, setidaknya lakukanlah dengan lebih baik. Masa baru melangkah dua puluh langkah sudah tumbang,” gerutunya membaringkan tubuh Fjola ke dekat api unggun. “Untung saja kau sudah kuberi ramuan itu. Kalau tidak, nyawamu sudah melayang sekarang.”
Ia kemudian meraih tangan Fjola dan menggenggamnya. Jemarinya menekan nadi di pergelangan tangan gadis itu. Matanya tertutup. Ia mengonsentrasikan pikirannya ke aliran darah Fjola.
Kehangatan terpancar dari dalam diri Arnor, kemudian mengalir ke ujung jemarinya. Ia dapat merasakan kehangatan itu masuk ke nadi Fjola, menjalar ke jantung gadis itu, pusat nyawanya berada. Kehangatan itu lantas naik ke otak Fjola, memasuki saraf-saranya. Arnor dapat merasakan saraf yang yang tadinya beku mulai mencair.
Peri itu mengerutkan kening. Ia merasakan sensasi lain saat mencoba menyembuhkan Fjola. Sebelumnya ia tak pernah menyembuhkan manusia. Sebab, ia jarang bertemu dengan mereka. Selama ini ia hanya menggunakan anugerahnya kepada peri, hewan, dan tumbuhan.
Saat menyembuhkan Fjola, Arnor merasa ditarik ke kehidupan gadis itu. Ia mendapat kilasan kehidupan sang gadis, seperti kalaidoskop. Ketika melihat kilasan-kilasan itu, ia memandang dunia lewat mata Fjola, seolah dialah gadis itu. Dia dapat merasakan lembutnya lengan ayah Fjola ketika membopong tubuh kecilnya saat lahir ke dunia. “Putri kecilku, Fjola,” kata sang ayah tersenyum.
Dia juga mampu merasakan perutnya yang lapar dan malah mengulurkan apel kisut kepada adiknya untuk dimakan. Ia bisa merasakan empati gadis itu.
Kemudian, kilasan tentang pertemuan awal mereka mendadak hadir. Waktu itu Fjola tengah mencari harimau yang berhasil diburunya di hutan terlarang.
“Hei! Apa yang kaulakukan? Aku yang membunuh harimau itu, jadi aku yang seharusnya mendapat dagingnya.” Melalui mata Fjola, Arnor dapat melihat profil dirinya sendiri yang tengah menoleh. Ia menatap sorot matanya sendiri dalam-dalam.
Mendadak, Arnor merasa perutnya jungkir balik. Ia tersentak dengan sensasi ang dirasakannya. Ia lantas melepaskan koneksinya, kemudian terhuyung mundur. Matanya menatap rona wajah Fjola yang sudah kembali. Mata gadis itu masih tertutup.
Jantung Arnor berdetak kencang. Ia tak tahu apa yang menyebabkan jantungnya berdetak sekencang itu. Bahkan, ia tak yakin bahwa yang berdebar itu adalah jantung miliknya atau jantung milik Fjola. Tanpa berkata apa-apa ia pun pergi, meninggalkan gua untuk berburu makanan. Ia perlu menjauh dari gadis itu.
***
Salju sudah berhenti turun ketika Fjola membuka mata. Udara dalam gua masih lembap, namun tidak sedingin sebelumnya. Tulangnya terasa ngilu. Meski begitu, ia mampu bangkit. Di sampingnya Arnor tampak memanggang sesuatu. Pemuda itu sudah memakai pakaian di balik jubah putihnya. Menyadari hal itu, mata Fjola membelalak. Jangan-jangan, dia telah mencopot kemeja Fjola. Tetapi ternyata tidak. Gadis itu melihat kemejanya masih melekat di tubuhnya. Kalau begitu, dari mana Arnor mendapat baju itu?Di dekat tempat sang peri duduk teronggok sesuatu yang tak asing bagi Fjola. Setelah diamati lebih teliti lagi, rupanya benda itu adalah jaket berbulu milik pemburu yang mengejarnya dulu. Fjola ingat betul bentuk dan warna bulunya yang abu-abu. Rupanya, dari mereka, atau sisa tubuh merekalah Arnor mendapatkannya.“Kau lapar? Apa kau mau makan?” tanya Arnor tanpa mengalihkan pandangan dari benda yang dipanggagnya di atas bara api. “Cari sendiri,” tambahnya kemudian.Fjola memutar bola matanya. Dengan
FannarOrang bilang, mereka adalah legenda. Walaupun tak ada yang pernah melihat mereka. Beberapa orang mengaku ditolong oleh mereka. Beberapa lagi mengaku keluarganya dibunuh oleh mereka. Mereka bukanlah hantu. Sebab, tak ada hantu yang dapat membawa gandum kepada masyarakat miskin, tak ada hantu yang mencuri harta para bangsawan, atau membunuhi petinggi yang zalim. Mereka bagai malaikat yang diam-diam dikirim Tuhan untuk menolong manusia yang pupus harapan.Namun bagi para bangsawan, mereka adalah perampok keji, begal, dan pencuri. Mereka sering menjarah barang dagangan para bangsawan kikir. Tak heran, mereka menjadi momok bagi bangsawan yang semena-mena.Bagi petinggi negeri, mereka merupakan musuh, perusak hirarki, dan pemberontak. Setiap prajurit diperintahkan untuk mengeksekusi mereka. Akan tetapi, baik masyarakat, para bangsawan, maupun para prajurit dan petinggi negeri tak tahu siapa mereka sebenarnya dan berapa anggota mereka. Orang-orang menyebut mereka Garda. Selama ini,
Pisau mengayun, siap menancap ke leher Fannar. Matanya membelalak menatap ujungnya yang tajam dan berkilat. Udara terasa tersekat di keongkongannya. Gadis di depannya menampilkan ekspresi tanpa ampun. Anak muda itu menjerit, “A-aku ingin menjadi Garda!”Ayunan itu berhenti mendadak. Ujung pisau yang tajam nyaris mengenai kulitnya. Napas Fannar tersengal. Jatungnya berdebar sangat kencang. Tubuhnya pun gemetar. Sesuatu yang basah terasa di sela pahanya. Saking takutnya, ia kencing di celana.Sang gadis yang mengancam nyawanya pun mundur. Matanya melirik ke bawah dengan jijik. “Apa itu? Kau ngompol? Astaga!” Gadis itu terbahak.Menyadari perbuatannya, Fannar malu. Wajahnya sampai memerah. Ia juga marah kepada diri sendiri karena kepengecutannya. Ia kehilangan muka di depan anggota Garda.“Zoe!” Seorang lelaki mendekat. Pakaiannya sama dengan yang dikenakan sang gadis yang dipanggilnya. Posturnya lebih tinggi. “Apa kau sudah membereskannya? Kita harus cepat pergi.”Zoe mengusap sudut mat
Kereta yang ditumpangi Fannar berhenti di tengah kota yang padat. Setah turun dari pedati, pemuda itu dituntun memasuki gang sempit yang diapit dua bangunan. Salah satunya merupakan kedai makanan yang saat itu ramai. Bangunan yang lain merupakan milik pengrajin besi. Pemuda itu tak menyangka bahwa persembunyian Garda malah mencolok. Ia memuji pemikiran sang pemimpin yang memilih tempat itu sebagai persembunyian. Sebab, justru pada tempat-tempat seperti inilah mereka tak akan dicurigai. Bagaimanapun, seandainya dia adalah prajurit, dia akan mencari para Garda di hutan-hutan yang sepi, yang jauh dari pemukiman penduduk.Gang itu tidak terlalu panjang. Namun juga tidak pendek. Setelah membelok ke kanan satu kali, sampailah mereka ke sebuah bangunan. Mata Fannar semakin melebar saat melihat rumah tempat persembunyian Garda. Rumah itu merupakan bangunan yang umum dijumpai di Negeri Veggur. Warnanya tidak mencolok. Ditambah letaknya yang di tengah membuatnya tidak menonjol sama sekali. Pin
Fjola.Rasanya, darah Fjola mengumpul semua ke kepala. Hal itu membuatnya pusing. Pandangannya serba terbalik. Ia meronta tetapi ketika sia-sia ia pun berhenti. Ia menarik napas dalam-dalam. Sekuat tenaga, ia menekuk tubuhnya ke atas. Tangannya berusaha meraih tali yang mengikat kakinya. Ia mencoba melawan grafitasi. Namun sayang, rupanya grafitasi lebih unggul. Alih-alih berhasil, ia malah mengayun tubuhnya yang tergantung secara terbalik. Akibatnya, suara kelontang terdengar lagi. Sumpah serapah keluar dari bibirnya.“Butuh bantuan?” Arnor duduk di salah satu dahan pohon di seberang sungai. Ia duduk dengan posisi santai di sana. Punggungnya bersandar pada batang, satu kakinya berselonjor sejajar dahan. Satu tangannya memutar-mutar anak panah, sedangkan tangan lainnya memegang busur.Fjola yang memandang peri itu dalam posisi terbalik menjadi tambah pusing. “Apa kau mengikutiku?” tanyanya.Sebenarnya, ia enggan menerima bantuan peri itu lagi. Namun, ia tak memiliki pilihan sekarang.
Senjata tak berguna bagi Fjola. Sebab, musuh yang kali ini ia hadapai bukanlah musuh yang bernyawa, tetapi dapat mengancam nyawa. Uap berembus dari udara yang dikeluarkannya. Tubuhnya kaku. Ia harus hati-hati melangkah, salah-salah dirinya bisa tercebur ke danau yang dinginnya minta ampun. Ia bakal mati beku kalau hal itu sampai terjadi.Ia ingat pernah merasakan dingin itu, tetapi ia tak ingat kapan dan bagaimana dirinya bisa tercebur. Ingatan itu seolah-olah datang dari alam bawah sadarnya. Padahal sejak kecil ia selalu diwanti-wanti sang ibu supaya tidak mendekati danau. Ia juga yakin tak pernah mendekati danau. Jadi, bagaimana mungkin ia meniliki memori tercebur? Aneh sekali. Mungkin karena ia baru saja mengalami kejadian traumatis, memorinya masih tumpang tindih. Ia berpikir positif.Perlahan, Fjola menggerakkan kakinya ke belakang. Ia berniat mundur dan kembali ke tempat dia datang tadi. Retakan pada es di permukaan danau terbentuk ketika bobot tubuh tertumpu pada salah satu kak
Apakah peri tak pernah tidur? Fjola membatin. Sebab, ketika malam sudah larut, ia masih mendengar gerakan dari dalam gua. Ia sendiri tak bisa tidur. Bagaimana ia dapat memejamkan mata sementara peri yang bersamanya masih usil. Entah sedang mengerjakan apa, Fjola tak mau tahu. Ia juga tak dapat melihat karena sekarang ia tengah berbaring miring menghadap dinding gua. Ia hanya melihat bayangan Arnor yang menari-nari di dinding gua. Kemeja dan celananya yang basah disampirkan di dekat api. Untung jaket pemburu yang dikenkannya panjang. Jadi, dapat menutupi lutut Fjola yang telanjang. Sepatu bot ikut dijemur di dekat api.Gadis itu gelisah. Alas tidur yang keras tak mengganggunya, tetapi suara gesekan dua benda terdengar berisik di keheningan malam. Fjola jadi penasaran dengan kegiatan yang dilakukan oleh Arnor. Ia ingin mengintip. Namun, posisinya tidak memungkinkan dirinya mengintip. Bahkan untuk sekadar bergerak pun ia tak sanggup. Ia tak mau Arnor mengetahui bahwa dirinya belum terlel
Paginya langit kembali suram, seolah bersiap melakukan serangan. Butir-butir salju turun perlahan. Arnor kembali memakai kemejanya yang sudah kering. Jubah putihnya ia tanggalkan. Sebagai ganti, ia mengenakan jubah kamuflase. Tudungnya ia tutupkan ke kepala. Ia sedang merapikan peralatan yang digunakannya untuk memasak, memasukkannya ke sebuah tas besar. Setelah menginjak bara api supaya padam, ia membawa tas itu keluar gua. Fjola yang baru bangun pun terkejut. Di dekatnya tidur tampak sewadah bubur gandum. Akan tetapi, saat melihat Arnor mengemasi barang, gadis itu panik. Ia mengabaikan sarapannya. Ia segera bangkit dan menyusul sang peri. Ia takut pemuda itu meninggalkannya. Padahal, ia memerlukannya untuk membantu kembali ke Negeri Veggur. Dengan bertelanjang kaki, Fjola keluar gua. Kerikil dan batu yang diinjak membuat kakinya sakit. Namun, ia tak peduli. Ketika mencapai mulut gua, ia melihat Arnor tengah mencantolkan tasnya ke sisi pelana seekor kuda. Kuda itu tampak anggun, be