Share

3. Dilema

Pesona Suami Kedua 

Oleh : Delly Rain Fello

Keenan berbaring di sofa dengan kondisi lesu serta tangan dan kepala diperban. Khanza duduk di dekat Keenan mengelap wajah Keenan cemas. Mereka saling bertatapan.

Keenan kesakitan megangin wajahnya yang luka. 

“Aaaauuuw!”

Khanza tampak cemas. “Eh, maaf. Sakit ya, Mas Keenan?”

Keenan tersenyum sambil geleng-geleng kepala. “Enggak, kok.”

Khanza lalu memberikan obat dan segelas minuman ke Keenan.

“Minum dulu obatnya, Mas biar cepat sembuh. Mas sih naik motornya sambil melamun.”

Keenan tersenyum. “Siap, Bu Dokter.”

Diam-diam Ida memperhatikan Keenan dan Khanza terharu.

Khanza mengupaskan apel kemudian menyulangi Keenan. Keenan jadi terharu dan memandang Khanza dengan rasa bersalah. Matanya berkaca-kaca. 

Apa yang sudah saya lakukan? Khanza wanita yang sangat baik. Saya tidak tega jika harus menyakitinya, batin Keenan. 

Khanza tersenyum sama Keenan. Keenan buru-buru malingkan wajah, diam-diam menyeka air matanya, lalu balas tersenyum ke Khanza.

***

Keenan masuk kerja dengan keadaan tangan diperban. Beberapa teman kerja menanyainya, tapi Keenan cuma tersenyum dan bercanda ringan dengan mereka kalau dia mau nostalgia kebut-kebutan di jalan seperti zaman SMA dulu.

Roman mendatangi Keenan.

“Gimana keadaan kamu, Nan?”

“Alhamdulillah udah agak baikan.”

Roman mengangguk dan tampak berpikir. “Ada yang ingin aku bicarain sama kamu, Keenan. Tentang Khanza ... gimana Khanza?”

Deg! Keenan mendadak gugup. Roman menatapnya curiga.

“B ... baik. Khanza baik-baik aja. Tapi, Roman, apa gak sebaiknya kita batalin aja rencana itu? Beneran aku gak tega sama Khanza.”

“Jangan bilang kalau kamu mau ingkar janji. Kamu masih ingat ‘kan perjanjian kita?”

Keenan tercekat. Termenung sejenak membayangkan wajah Khanza yang cantik dan perhatian Khanza padanya, tapi kemudian tersadar.

“Bukan gitu, Man. Aku cuma bingung gimana kalau Khanza sakit hati ....”

“Nggak bakalan Khanza sakit hati. Justru dia pasti senang karena kami bisa rujuk kembali. Hanya kamu satu-satunya yang bisa bantu biar kami bersatu lagi, Nan.” Roman menepuk bahu Keenan dan menatapnya yakin.

“Okay. Yaudah aku balik dulu ke ruanganku,” kata Roman lalu pergi ninggalin Keenan yang kelihatan bingung. Wajah Khanza masih terbayang dalam ingatan Keenan.

***

Siang itu di kafe, Keenan janji ketemuan dengan Mila. Mereka duduk di salah satu meja. Keduanya tampak galau. Ada dua minuman di depan mereka, tapi keduanya tampak tak berselera dan melamun.

“Kenapa Mas Keenan sekarang berubah? Mas Keenan nggak sayang sama Mila seperti dulu lagi.”

“Bukan gitu, Mila.” 

“Apa ini karena pertunangan Mas Keenan?”

Keenan kaget dengar perkataan Mila. “Ka ... kamu udah tahu?”

Mila tiba-tiba berkaca-kaca. “Mila udah tahu semuanya, Mas. Mila nggak nyangka Mas setega ini khianatin Mila. Mas jahat!” Mila bangkit dari kursi mau ninggalin Keenan, tapi Keenan buru-buru mengejarnya.

“La, dengar dulu penjelasan aku ....”

“Nggak perlu, Mas. Mila udah tahu kalau Mas Keenan sebenarnya bertuanganan sama dokter itu karena dia punya uang banyak ‘kan?”

Keenan tercekat. “Kamu nggak ngerti, Mila. Saya lakuin ini semua demi ibu.”

Keenan dan Mila saling bertatapan penuh emosi. Tepat saat itu sebuah mobil mewah berhenti di seberang jalan. Mila melirik ke arah mobil.

“Mila harus pergi, Mas. Seseorang udah menunggu Mila.”

Keenan jadi bingung dan ikutin arah pandangan Mila, ngelihat mobil mewah. “Seseorang? Siapa dia, La?”

Mila cuma menggeleng lalu pergi dengan sedih menuju mobil. Sementara Keenan memandangi galau kepergian Mila yang masuk ke dalam mobil sedan hitam dan pergi.

***

Khanza sedang bersama pasien anak perempuan yang lagi cemberut di koridor. Keenan perhatikan Khanza terpesona.

“Mira jangan takut, ya. Kalau rajin minum obat pasti nanti cepat sembuh.”

Anak perempuan itu seperti mau menangis. “Tapi Mira takut disuntik, Bu Dokter.”

Khanza memeluk anak perempuan itu lembut lalu membelai kepalanya. “Ah, enggak, kok, sayang. Nggak disuntik. Cuma minum obat aja.”

Anak perempuan jadi senang. “Beneran Mira nggak disuntik?”

Khanza mengangguk dan tersenyum. Anak perempuan melonjak kesenangan dan masuk ke dalam ruangan. Keenan datangin Khanza sambil bawa bunga. Khanza langsung kaget lihat Keenan datang.

“Lho? Mas Keenan udah lama ada di sini?”

“Iya. Lumayan lama lihat pemandangan yang indah, seorang dokter cantik lagi nenangin pasiennya.” Keenan memberikan bunga ke Khanza. “Ini buat kamu.”

Khanza tersipu malu sambil nerima bunga dari Keenan. Sementara Roman dari jauh diam-diam perhatikan Keenan dan Khanza cemburu dan geram.

Keenan dan Khanza saling membalas senyum dan berpandagan.

***

Keenan lagi jalan sendirian sambil senyam-senyum mengingat Khanza. Wajahnya berseri-seri. 

“Kenapa aku jadi keingat sama Khanza terus, ya? Aneh banget,” Keenan bicara sendiri. Tiba-tiba datang mobil Roman menyalip jalannya. Keenan kaget lihat Roman turun dari mobil dan dekatin dia dengan wajah emosi.

“Apa maksud kamu bersikap mesra sama Khanza seperti itu? Kamu mau melanggar perjanjian?”

Keenan seketika kaget. Kemudian tersenyum, tampak mantap sama sesuatu yang dipikirkannya.

“Roman, maaf, sepertinya aku nggak bisa nerusin rencana kamu. Khanza adalah wanita yang sangat baik dan aku nggak mau menyakiti dia.”

Roman menggertakkan gigi saking geramnya dan langsung meninju wajah Keenan. Keenan tersungkur jatuh.

“Berani macam-macam kamu, aku akan tuntut kamu. Jangan lupa kalau kamu udah nerima uang dari aku buat jadi muhalil,” seru Roman. 

Keenan pelan-pelan bangkit berdiri sambil megangin wajahnya yang biram. Memandang Roman yang balas memandangnya penuh emosi. 

“Saya nggak peduli. Saya tetap nggak mau nyakitin Khanza, karena saya juga punya adik perempuan. Saya janji akan kembalikan uang kamu, Roman.”

“Banyak omong kamu!”

Roman langsung menghajar Keenan lagi, meninju perut Keenan. Roman menarik kerah baju Keenan dan memepetkannya di tembok. Keenan diam tak mau membalas dengan wajah penuh penyesalan. Tak lama warga datang dan memisahkan Keenan dan Roman.

***

Setelah dilerai warga, terpaksa Roman memilih pergi meninggalkan Keenan. Roman mengendarai mobil dengan ekspresi penuh kemarahan. Berulang kali memukul dasbor emosi. Roman terbayang kembali kedekatan Keenan dan Khanza di rumah sakit tadi.

Roman berteriak emosi. “Aaaargh! Pembohong kamu, Keenan!”

Roman melajukan mobil dengan kencang. Beberapa kali banting setir menghindari kendaraaan di depannya, masuk ke jalanan sunyi.

Tak lama dua buah motor yang dikendarai preman menguntitnya di kanan kiri, berusaha memepet Roman. Roman lirik preman gak senang dan membunyikan klakson, tapi preman tidak peduli dan menyalip mobil Roman. Roman injak rem, hentikan mobil. Roman turun dari mobil dan nyamperin para preman.

“Wooooi! Apa-apaan lu? Cari gara-gara!”

Para preman menatap Roman sangar, perhatikan Roman dari atas ke bawah. Saling lirik, mengangguk, dan tersenyum licik.

“Sasaran empuk nih, Bray,” ujar preman. 

“Udah hajar aja,” sahut preman yang satunya. 

Kedua preman turun dari motor dan langsung mengarahkan tinju ke Roman. Roman berhasil mengelak. Tapi preman yang lain memiting Roman dari belakang. Roman berusaha melepaskan diri tapi gagal. Preman 1 ngeluarin pisau dari sakunya dan langsung nyerang Roman.

“Whooooa!”

Roman mengerang kesakitan, jatuh tersungkur. Sementara para preman tertawa dan mengambil dompetnyam dan seketika senang lihat uang Roman.

Preman melirik temannya. “Kita habisin aja nih orang. Ambil mobilnya.”

Preman narik Roman mau hajar lagi. Tiba-tiba seseorang datang mendorong preman dari Roman. Para preman kaget lihat seorang pria paruh baya di depan mereka pasang kuda-kuda siap menyerang. Sementara Roman jatuh tersungkur lagi kesakitan.

“Heh, perampok, Ayo hadapi gua! Zainuddin, jawara silat!” seru pria itu. 

Para preman geram dan nyerang Zainuddin, tapi dengan tangkas Zainuddin mengelak dengan jurus betawinya. 

Zainuddin berhasil menghajar kedua preman hingga babak belur. Perlahan-lahan pandangan Roman jadi gelap. Roman pingsan.

***

Malam itu Ida dan Hani duduk ngobrol di ruang tamu sambil nonton tivi. Tak lama Keenan masuk dengan wajah bonyok dan terluka. 

“Assalamualaikum.” Keenan memberi salam.

Ida dan Hani kaget lihat Keenan dan saling lirik bingung.

“Waalaikumsalam,” sahut Ida dan Hani bersamaan. 

Ida dan Hani langsung panik dan datangin Keenan. Ida mau pegang wajah Keenan, tapi Keenan buru-buru sembunyiin wajahnya.

“Masyaallah... kamu kenapa, Nak?” kata Ida. 

Keenan gugup. “Ah, enggak apa-apa, Bu. Tadi Keenan nggak sengaja jatuh nyungsep.”

“Jatuh? Tapi kok kayak dipukulin gitu?” tanya Ida sangsi. 

“Nggak, kok, Bu. Beneran tadi jalan gak lihat-lihat jadi jatuh. Ya udah Keenan masuk dulu ya ke kamar.” Keenan berlalu pergi masuk ke kamarnya. Ida dan Hani jadi curiga.

***

Keenan duduk melamun di tepian ranjang mandangin foto Khanza mengenakan seragam dokternya sambil megangin pipinya kesakitan. Hani masuk ke kamar. Keenan buru-buru bersikap biasa, gak megangin pipi lagi.

Hani dekatin Keenan dan mandang Keenan curiga. “Sebenarnya Mas Keenan kenapa? Nggak mungkin Mas Keenan jatuh sampai kayak gitu? Mas Keenan berantem?”

Keenan menghela napas berat. Tampak gelisah. Hani melirik foto Khanza. Keenan melirik ke luar dari arah pintu cemas. “Ssssst! Nanti kalau ibu dengar nanti jadi khawatir.”

Hani duduk di samping Keenan. “Apa ini ada hubungannya dengan Khanza dan uang pinjaman yang berhasil Mas Keenan dapat kemarin?”

Deg! Keenan tercekap, jadi gugup tidak mau lihat Hani.

“Dari awal Hani udah ngerasa pasti ada yang ga beres. Mas Keenan jangan simpan semuanya sendiri. Jika ini ada hubungannya dengan Ibu dan Mas Keenan, Hani berhak tahu, Mas.”

Keenan terdiam sejenak, berpikir dan menimbang-nimbang sesuatu. Lalu memadang Hani serius.

“Sebenarnya Mas terlibat perjanjian dengan Pak Roman, atasannya Mas untuk mendekati dan menikahi Khanza agar Pak Roman bisa rujuk kembali dengan Khanza. Dan imbalannya... uang lima puluh juta itu.”

Hani kaget bukan main. Langsung terpukul.

“Astaghfirullah ... jadi Mbak Khanza itu mantan istrinya Mas Roman?”

Keenan mengangguk murung. 

"Mas Keenan tahu apa yang Mas lakukan itu salah? Pernikahan seperti itu haram hukumnya. Dan Khanza juga adalah wanita baik-baik."

Keenan termenung sedih. “Mas juga nggak tega ngelakuin ini semua, Han. Makanya tadi Mas bilang ke Pak Roman untuk batalin rencana itu, tapi Pak Roman marah dan mau nuntut Mas.”

Hani menarik napas berat. “Sabar, ya, Mas Keenan. Hani yakin Mas pasti bisa melewati ini semua. Dan yang terpenting sekarang Ibu gak boleh sampai tahu tentang ini. Kemarin saja saat Ibu tahu bapak mau datang lagi, Ibu kena serangan jantung.”

Keenan kaget dengar perkataan Hani dan mandangin Hani bingung. Hani sendiri jadi gugup, nutupin mulutnya karena keceplosan.

“Apa kamu bilang? Bapak mau balik lagi?”

“Iya, Mas. Kemarin Bapak nemuin Ibu dan yakinin kalau dia udah bertaubat, nggak mabuk-mabukan lagi kayak dulu. Tapi Ibu masih sakit hati dan shock.”

Keenan memejamkan mata muram. Hani menepuk bahu Keenan berusaha menghibur.

“Tapi Hani jadi kepikiran sama Mila. Kasihan banget Mila kalau sampai tahu hal ini.”

“Udah terlambat, Han. Mila udah tahu. Mas udah jahat banget sama Mila.” Keenan semakin terpuruk sedih.

***

Di sebuah ruang rawat rumah sakit, Roman yang terbaring di ranjang baru saja siuman. Roman bingung mandang sekelilingnya dan meringis kesakitan megangin perutnya mau bangkit. Tak lama seorang suster datang dan menahannya bangkit.

“Sebaiknya Bapak jangan banyak bergerak dulu. Luka di perut Bapak belum sembuh,” kata suster. 

“Sus, sebenarnya apa yang terjadi sama saya?”

Suster memandang Roman prihatin. “Bapak mengalami perampokan di jalan dan dapat luka tusukan di perut. Untung saja seorang uztad menolong dan membawa Pak Roman ke rumah sakit.”

Roman termenung, mulai ingat. Samar-samar kilasan Zainuddin yang menolongnya terbayang kembali. Tak lama Zainuddin masuk ke dalam ruangan, tersenyum sama Roman. Roman berusaha bangkit lagi, terharu lihat Zainuddin. 

Roman terharu. “Terima kasih banyak karena Bapak telah menyelamatkan nyawa saya. Kalau tidak ada Bapak mungkin saya sudah nggak ada di sini.”

Roman segera memeluk Zainuddin penuh syukur. Zainuddin mengelus bahu Roman.

“Berterima kasihlah kepada Allah yang telah melindungi  kita semua, Nak.”

Roman mengucap syukur, penuh haru. Kondisinya masih lemah dan hanya bisa terbaring memejamkan mata. 

Tepat saat itu, Keenan yang mau jenguk Roman langkahnya tertahan di pintu begitu lihat Zainuddin ada di dekat Roman.

Keenan memandang Zainuddin penuh kebencian. “Kenapa dia ada di situ?”

Keenan tidak sengaja jatuhkan plastik buahan di tangannya. Buah-buahan jatuh berserakan di lantai. Seketika Zainuddin langsung berpaling ke arah Keenan.

“Keenan?” Zainuddin kaget lihat Keenan. 

Keenan dengan muka marah langsung pergi. Zainuddin cepat-cepat menyusul Keenan.

Zainuddin menarik Keenan yang jalan buru-buru dengan wajah emosi. Keenan segera menepis tangan Zainuddin.

“Kamu mau ke mana Keenan?”

“Keenan mau ke mana itu bukan urusan Bapak. Dan satu hal lagi yang perlu Bapak ingat, Bapak jangan pernah lagi nyakitin Ibu.”

Zainuddin jadi sedih, airmatanya berlinang sambil menatap Keenan sendu.

“Maafin Bapak, Keenan. Maafin karena Bapak selama ini udah banyak nyakitin keluarga kita. Tapi Bapak sudah bertaubat, Nak. Bapak sudah tinggalkan dunia hitam.”

Keenan tertawa sinis ngelihatin penampilan Zainuddin yang alim. “Alhamdulillah kalau menurut Bapak, Bapak udah berubah. Tapi rasa sakit hati Ibu dan aku nggak akan semudah itu hilang.”

Keenan pun pergi ninggalin Zainuddin yang melamun sedih.

***


Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status