Share

4. Maafkan Hati Seorang Playboy

Keenan dan Mila sedang bicara serius di sebuah taman. Keenan kelihatan gelisah dan tidak nyaman bahkan enggan menatap wajah Mila. Itu semua karena rasa bersalah yang berkecamuk dalam dadanya. Sementara mata Mila sudah memerah menahan air mata.

“ Mas Keenan kita nggak bisa gini terus. Mas Keenan nggak bisa gantung hubungan kita seperti ini terus. Mas Keenan harus melamar Mila secepatnya sebelum Mila melakukan sesuatu yang bakal Mas Keenan sesali seumur hidup,” ujar Mila.

Keenan tercekat.

“Mila, kamu tahu sendiri saat ini saya masih dalam keadaan sulit. Saya bingung harus bagaimana.”

“Baik. Kalau Mas Keenan nggak mau menikahi Mila, Mila janji akan bikin hidup Mas nggak tenang untuk selamanya.”

“Apa maksud kamu, Mila?” 

Keenan tampak bingung dan menahan Mila yang hendak pergi meninggalkannya dengan penuh emosi. Dari arah lain Khanza datang dan terkejut lihat Keenan dan Mila. Khanza menatap curiga bercampur cemburu. 

“Mas Keenan bingung apa karena dia?” tuding Mila sambil menunjuk Khanza yang berdiri di belakang Keenan. Keenan segera berbalik dan kaget begitu lihat Khanza.

KHANZA meperhatikan Keenan dan Mila secara bergantian.

Keenan mencoba tersenyum ke Khanza walaupun masih bingung. “Khanza? Kamu sedang apa di sini?”

Alih-alih menjawab pertanyaan Keenan, Khanza malah terus menatap penasaran Keenan dan Mila. Bungkusan belanjaan dari mini market di tangannya pun hampir terjatuh. 

“Sebenarnya ini ada apa? Siapa dia, Mas Keenan?” tanya Khanza. 

Mila maju mendekati Khanza. 

“Saya pacarnya Mas Keenan. Hubungan kami sudah terjalin selama sepuluh tahun dan mungkin akan segera menikah kalau saja kamu tidak hadir dalam kehidupan Mas Keenan!” seru Mila sinis. 

Khanza kaget bukan kepalang. Jadi sedih dan menatap Keenan tak percaya. Khanza buru-buru pergi sambil berurai airmata. Keenan mau mengejar Khanza, tapi ditahan Mila.

“Mas mau kemana? Dia itu cuma tunangan pura-pura Mas, ‘kan? Saya yang selama ini sudah setia menunggu Mas Keenan.”

Keenan terdiam dan memandang Mila sedih. 

“Maafkan saya, Mila. Saya tidak bisa membohongi perasaan saya terhadap Khanza. Tolong maafin saya udah nyakitin kamu. Saya berharap kamu bisa dapatkan lelaki yang jauh lebih baik dari saya.”

Keenan pun pergi ninggalin Mila yang patah hati dan menangis terisak. 

“Mas Keenan!” Tak peduli berapa kali pun Mila memanggil Keenan, tetap saja Keenan lebih memilih mengejar Khanza. 

Keenan tetap jalan pergi dengan ekspresi sedih tanpa mau berpaling.

***

Keenan mengejar Khanza yang berlari sambil menangis.

“Za, saya mohon dengar dulu penjelasan saya.”

Khanza menghentikan langkahnya, berbalik lihat Keenan.

“Nggak ada lagi perlu dijelasin, Mas. Saya udah tahu kalau wanita tadi adalah pacarnya Mas Keenan.”

“Mila hanya masa lalu. Sekarang Mas hanya mencintai kamu Khanza.”

Khanza malah menatap Keenan marah.

“Kenapa semudah itu Mas Keenan bilang dia adalah masa lalu Mas Keenan? Apa Mas Keenan akan katakan hal yang sama terhadap Khanza nantinya? Hubungan itu bukan main-main, Mas Keenan.”

Keenan mendekati Khanza. Tersenyum penuh arti.

“Saya mengerti Khanza dan saya nggak bisa membohongi hati saya. Satu-satunya wanita yang saya cintai adalah kamu. Saya mencintai kamu karena Allah.”

Khanza terkesiap, memandang Keenan terharu. Keenan memetik bunga di taman lalu bersimpuh di depan Khanza sambil menyodorkan bunga. 

“Khanza, apa kamu mau menikah dengan saya?”

Khanza terharu. Dia menatap Keenan tak percaya. 

“Kamu jangan bercanda, Mas. Nggak lucu tau! Mana main petik bunga sembarangan! Nggak boleh tau!” 

“Iya, maaf, cantik. Nanti aku akan berikan bunga dari toko, atau bunga dari planet Mars sekali pun buat kamu. Itu kalau kamu mau menikah sama aku.”

Khanza mau tak mau jadi tertawa. “Ada-ada aja! Kamu pikir aku alien!” 

“Ya udah, kamu mau nggak menikah sama aku?” tanya Keenan serius. 

Khanza terdiam lama. Lalu tersenyum dan mengangguk. Keenan bangkit dan melonjak kesenangan. “Yess!” serunya bahagia. 

“Harusnya alhamdulillah, dong, Mas,” ucap Khanza.

“Iya, eh, alhamdulillah. Makasih, ya. Kamu udah mau nerima lamaranku.”

“Jangan senang dulu, Mas.” Khanza menatap Keenan serius. “Kamu harus minta izin orang tuaku dulu di kampung.”

Keenan mengangguk. Senyumannya tak bisa hilang. Dia sangat senang dan rasanya ingin sekali memeluk Khanza, tapi jelas hal itu tidak boleh ia lakukan.

***

Satu bulan kemudian ....

Keenan dan Khanza sedang duduk berdampingan di depan penghulu untuk melakukan ijab qabul. Keduanya tampak cantik dan tampan menggunakan busana pengantin sederhana. Ida dan Hani duduk di dekat Keenan dan Khanza. Sementara orang tua Khanza tersenyum bahagia melihat Khanza akhirnya bisa menikah lagi dengan pria yang menurut mereka baik. 

Acara ijab qabul pun dimulai. Keenan bersalaman dengan ayah Khanza.

“Saya nikahkan anak saya Khanza Afilla binti Arsad dengan Keenan Juanda bin Zainuddin dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.”

Keenan tampak gugup. Semua orang memandang Keenan menunggunya bicara. 

“Saya terima nikahnya ....”

Gino tiba-tiba muncul, masuk ke ruangan mendekati Keenan dan Khanza. Semua orang terkejut. Raut muka Khanza dan Keenan berubah tegang. Proses ijab qabul pun tertunda. 

“Roman? Kenapa kamu datang kesini? Kamu, ‘kan, nggak diundang?” tuding salah seorang dari keluarga Khanza. Namun Ayah Khanza buru-buru menenangkan.

“Sudah. Biarkan dia hadir di acara pernikahan Khanza. Bagaimana pun dia pernah menjadi keluarga kita,” ucap Ayah Khanza.

Roman tersenyum. Raut wajahnya tampak sedih. Ia menatap Khanza penuh kesedihan. Khanza jadi sungkan dan menundukkan pandangannya. Sementara Keenan jadi semakin was-was. 

Roman berusaha bersikap dewasa. “Maafkan kalau kehadiran saya begitu tiba-tiba. Saya datang hanya ingin melihat Khanza bahagia. Saya sama sekali tidak bermaksud jahat,” ucap Roman. 

“Baik. Kalau begitu, sebaiknya akad pernikahan segera dimulai,” kata Ayah Khanza. Mereka lalu mengulangi proses pernikahan. Khanza tampak gugup di samping Keenan, sedangkan Roman terus curi-curi memandangnya. Rasanya ia tidak nyaman menikah dengan lelaki lain disaksikan oleh mantan suaminya. 

“Saya terima nikahnya Khanza Afilla binti Arsad dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.” Akhirnya kata-kata itu bisa diucapkan dengan lancar. Seketika penjuru ruangan dipenuhi ucapan syukur dan kebahagiaan. Khanza terharu dan menghapus air matanya. Keenan sangat bahagia dan mengusap pipi Khanza lembut. 

Roman mendengus kesal lalu pergi meninggalkan ruangan.

***

Keenan dan Khanza bersanding di pelaminan. Saling memandang malu-malu. Keenan jadi tertawa geli melihat tingkah mereka yang masih canggung. Ia sendiri tidak percaya kalau dia bisa menikahi Khanza. Dokter cantik yang mempunyai banyak keunggulan untuk menjadi istri idaman para lelaki. 

“Mas, kenapa ketawa, sih? Mukaku lucu, ya?” Khanza manyun.

Keenan malah semakin tertawa. Khanza kesal dan memukulnya. “Iya. Sebenarnya aku mau bilang daritadi kalau make-up kamu terlalu menor. Siapa sih penata riasnya?” 

Seketika Khanza jadi panik dan memegangi wajahnya malu. “Yang bener, Mas? Padahal ini Mbak MUA-nya langganan keluarga aku, lho, Mas. Hasilnya nggak pernah mengecewakan.” Khanza jadi bingung sendiri.

Keenan menangkap tangan Khanza, menatap Khanza dalam-dalam, lalu menggeleng. “Nggak, kok, sayang. Aku Cuma bercanda. Kamu, tuh, cantik banget.”

Khanza jadi emosi dan memukul-mukul Keenan lagi. Keenan tertawa dan berusaha mengelak. Keenan memang sudah berniat mulai sekarang setiap hari ia akan membuat Khanza bahagia. 

Tepat saat itu sosok yang tak mereka inginkan hadir. Roman menghampiri mereka, naik ke pelaminan dengan tampang sinis. Ia lalu tersenyum ke Khanza dan Keenan.

“Selamat, ya, aku nggak nyangka kamu mau menikah dengan karyawan aku sendiri, Zha,” celetuk Roman.

“Makasih, Mas.” Khanza geram, tapi lebih memilih untuk tidak meladeni ucapan Roman. 

Roman lalu menyalami Keenan dan pura-pura memeluknya ramah. “Keenan, aku percaya kamu akan jadi suami yang baik buat Khanza. Tolong jaga dia baik-baik,” kata Roman lantang.

“Pasti,” kata Keenan.

Roman merapatkan rahangnya saking geramnya lalu berbisik di telinga Keenan, “Jangan lu pikir gue rela lepasin Khanza. Lu menikah sama Khanza hanya sebagai muhalil. Sesuai perjanjian kita, lu harus segera menceraikan dia.”

Keenan tersentak kaget. Tidak menyangka Roman masih menuntutnya untuk mengikuti permainan mereka. Keenan segera menarik Roman menjauh. Khanza jadi khawatir dan bangkit ingin melerai Roman dan Keenan. Begitu juga beberapa keluarga jadi khawatir dan mendekat. Namun, Keenan dan Roman memberikan isyarat bahwa keadaan baik-baik saja.

“Roman, gue udah bilang berapa kali sama lu, gue nggak bisa jadi muhalil. Masalah utang gue sama lu, gue janji akan ngelunasin semuanya. Tapi gue beneran nggak bisa menceraikan Khanza. Gue cinta sama dia,” kata Keenan.

“Diam lu! Sebenarnya lu itu sama aja! Laki-laki bajingan! Lu baru kenal sama Khanza, tapi sok ngaku cinta sama dia. Itu cuma nafsu lu aja!”

“Walaupun gue sama Khanza baru kenal sebentar, tapi kami udah ngerasa saling dekat dan cocok, Man. Nggak butuh waktu lama bagi gue buat yakin kalau gue cinta sama Khanza.” Keenan masih berusaha menyakinkan Roman.

“Gua nggak peduli bacot lu! Yang jelas, kalau lu nggak menceraikan Khanza, gue akan bilang semuanya ke Khanza dan ibu lu kalau lu sebenarnya cuma seorang muhalil. Gua yakin, Khanza bakal kecewa berat dan ninggalin lu!” kata Roman.

“Tapi gimana pun gue udah menikah sama Khanza secara sah,” kata Keenan.

“Oke! Kalau itu memang mau lu, sekarang juga gue bakal kasi tahu ibu lu dari mana anaknya dapatin uang buat biaya operasi itu! Sekalian biar keluarga Khanza pada tahu siapa lu!” ancam Roman.

Keenan terhenyak dan buru-buru menahan Roman. Dengan sedih dia menatap ke arah Khanza yang dari jauh memperhatikannya khawatir, lalu ke arah ibunya yang masih terlihat pucat dan belum sembuh benar. 

“Ok, gue setuju buat lanjutin jadi muhalil sesuai keinginan lu. Tapi tolong jangan kasi tahu siapa pun tentang ini. Jangan sekarang. Ibu gue masih masa pemulihan dan gue nggak mau Khanza dan keluarganya nanggung malu.” Keenan terpaksa mengalah.

Roman tersenyum senang. “Nah, gitu, dong, baru namanya orang yang tepat janji. Lu kan guru ngaji, masa nggak tahu hukumnya ingkar janji dari kesepakatan?” Roman semakin menintimidasi Keenan.

“Iya, Man. Gue akan menepati janji gue sama lu buat ceraikan Khanza,” ucap Keenan getir.

“Kalau perlu, besok juga lu harus ceraikan Khanza.”

Keenan menghela napas berat dan menggeleng. “Nggak semudah itu, Roman. Ada satu syarat lagi biar lu bisa rujuk lagi sama Khanza,” kata Keenan.

Alis Roman bertaut bingung. “Apa itu?”

“Khanza harus berhubungan intim dulu sama gue, baru setelah itu gue bisa ceraikan dia sebagaimana muhalil,” jelas Keenan.

Ekspresi Roman berubah emosi dan dia mendorong Keenan kuat. Ayah Khanza dan saudara lainnya jadi heboh dan datang.

“Ada apa ini? Kenapa kalian bertengkar?” tanya Ayah Khanza.

Roman tertawa. “Nggak apa-apa, Yah. Kita Cuma bercandaan aja. Iya, ‘kan, Keenan?” 

Keenan mengangguk. Ayah Khanza dan lainnya pun bubar menjauh meski masih mengawasi Keenan dan Roman cemas. 

“Itu akal-akalan lu aja biar bisa nikmati si Khanza! Lu pikir gue nggak tahu pikiran busuk lu!” tuding Roman melanjutkan perselisihan mereka.

“Sama sekali nggak, Man. Lu, ‘kan, tahu sendiri waktu dijelaskan syarat itu sebelum kita deal masalah muhalil ini.”

“Tapi lu nggak perlu pakai sentuh Khanza segala. Gue cuma butuh status lu menikahi Khanza lalu cerein dia, Simple!”

“Gue nggak bisa lakuin itu, Man. Itu bukan cara yang bener. Lu sendiri yang suruh gue jadi muhalil. Sekarang lu juga maksa gue buat tetap jadi muhalil, berarti lu harus siap dengan semua syaratnya,” kata Keenan.

Roman menendang kursi yang ada di situ penuh emosi sampai kursi terbalik jatuh. Ia mengepalkan tangannya hendak memukul Keenan, tapi ia urungkan. Roman lalu pergi dengan amarah yang memuncak. Semua orang memandangi kepergian Roman penasaran. Sementara Keenan dengan lesu dan raut sedih kembali ke pelaminan. Khanza langsung menyambutnya khawatir.

“Ada apa, Mas? Kamu kenapa murung begitu? Roman pasti ngomong macam-macam sama kamu, ‘kan?” tanya Khanza.

Keenan menggeleng. “Nggak, kok. Kami Cuma ngobrol biasa aja,” jawab Keenan.

Sisa hari pesta pernikahan itu dilalui Keenan dengan muram dan gelisah. Ia bahkan enggan menatap wajah Khanza karena merasa sangat bersalah. Khanza bingung, tapi tidak terlalu curiga, karena mengira Keenan jadi badmood gara-gara Roman. 

***

Malam pengantin tiba. Para sepupu perempuan Khanza berkumpul dan tertawa-tawa menggoda Khanza yang didorong-dorong masuk ke kamar pengantin. Khanza tampak gugup begitu melihat Keenan sudah duduk di tepian ranjang. 

Keenan masih mengenakan kemeja putih setelan pakaian pengantinnya. Sementara Khanza sudah berganti pakaian dengan lingerie hitam yang seksi setelah dipaksa sepupunya yang usil. 

Khanza memandang Keenan yang tampak melamun dan belum menyadari kehadirannya. Keenan kelihatan sangat tampan. Kulit putih bersih, rambut hitam bermodel spike yang agak acak-acakan, alis tebal, hidung mancung, dan tubuhnya tinggi proporsional. 

Khanza mendadak gugup. Jantungnya berdetak tidak keruan. Padahal ini bukan pertama kalinya ia menjalani malam pertama. Namun, tetap saja sensasi istimewa malam pengantin membuatnya gemetaran dari ujung kaki hingga ujung kepala. 

Tiba-tiba Keenan memandang ke arah Khanza dan tampak sama terkejutnya dengan Khanza. Ia juga kelihatan bingung dan ragu-ragu. Khanza berusaha tersenyum, tapi Keenan membalas senyuman Khanza dengan ragu. Nyess! Seperti ada yang terasa menusuk hati Khanza. Namun, wanita itu berusaha untuk kuat dan berpikir positif. Ia menuangkan minuman ke gelas yang tersedia di meja dan memberikannya ke Keenan. Keenan menerima dan meminumnya.

Khanza duduk di samping Keenan. Keenan malah menggeser menjauh. Tanpa sanggup memandang wajah Khanza.

“Mas Keenan, Mas kenapa, sih? Mas ada masalah?” tanya Khanza penasaran.

Keenan beralih memandang Khanza. Hatinya terasa nyeri. Sebenarnya ia sangat ingin memeluk Khanza dan mendekapnya erat untuk selamanya. Khanza begitu cantik dan mempesona. Ini pertama kalinya ia bisa melihat helaian rambut kecokelatan Khanza dan kulitnya yang putih mulus. Sungguh wanita bidadari. 

“Khanza ....” Keenan menyentuh dagu Khanza dan menatapnya lekat. Khanza tersenyum dan menaruh tangannya di bahu Keenan. Mereka saling bertatapan untuk beberapa saat. Keenan merebahkan tubuh Khanza. Wanita itu memejamkan matanya. Saat itu juga Keenan semakin terpesona melihat kecantikan Khanza. 

Namun, kata-kata Roman terngiang di telinganya.

“Gua nggak peduli bacot lu! Yang jelas, kalau lu nggak menceraikan Khanza, gue akan bilang semuanya ke Khanza dan ibu lu kalau lu sebenarnya cuma seorang muhalil. Gua yakin, Khanza bakal kecewa berat dan ninggalin lu!”

Keenan tersentak dan segera menjauh dari Khanza dengan rasa sedih luar biasa. “Maaf, Khanza,” ujar Keenan sambil keluar dari kamar meninggalkan Khanza yang mulai menangis. Hatinya hancur berkeping-keping. Kecewa, sedih, merasa diabaikan bercampur aduk.

***


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status