LOGINTiga hari setelah "rapat takdir" di kafe itu, hidup Mei Lin berubah jadi tumpukan kalender, daftar belanja, dan … tekanan batin.
"Bu, aku belum siap!" "Kau pikir ibumu dulu siap? Siap itu dibuat, bukan ditunggu!" "Ini bukan lomba, Bu!" Ruang tamu keluarga Lin kini penuh dengan majalah pengantin, kain putih, dan dress yang bergelantungan seperti hantu-hantu cantik. Mei Lin berdiri di tengah ruangan dengan rambut berantakan, mengenakan hair roller dan wajah frustasi. "Aku belum tahu warna kesukaan calon suamiku!" "Dia suka abu-abu," sahut ibunya datar. "Ibu dengar dari Madam Zhang." "Abu-abu?" Mei Lin mencibir. "Ya, ya .... Dingin, serius, kaku. Warna itu pas untuk manusia tanpa emosi." "Jangan bicara begitu! Dia calon suamimu!" "Calon suami yang bahkan belum follow aku di I*******m!" "Kau pikir CEO sempat main I*******m? Lagipula dia sudah bilang tidak punya itu!" "Ada, Bu. Dan harusnya sempat dong, masa cuma aku yang sibuk stalking! Ini nggak adil!" Sang ibu memutar mata dan mengibas-ngibas tangan. "Aduh, Mei, tolong ya. Fokus. Kau harus ke butik nanti sore. Madam Zhang ingin kalian pakai pakaian tradisional untuk upacara kecil." "Upacara kecil? Bu, aku bahkan belum dilamar secara resmi! Ini kayak beli baju tanpa tahu ukurannya!" "Kau mau dilamar dulu?" "Iya dong! Minimal ada bunga atau … atau cincin atau ..." "Terlambat!" Suara bariton itu tiba-tiba terdengar dari pintu ruang tamu. Mei Lin menoleh cepat, hampir menjatuhkan hair roller-nya. Zhang Yichen berdiri di sana, tinggi, rapi, dan seperti biasa, wajahnya netral tanpa ekspresi. "T-Tuan Zhang?! Sejak kapan kau di sini?" "Sejak kau mulai membicarakan warna favoritku," jawabnya tenang. Wajah Mei Lin langsung panas. "Kau dengar semuanya?" "Termasuk bagian tentang 'manusia tanpa emosi'.” "Itu cuma ... ehm ... metafora!" Li Xiu Lan cepat-cepat berdiri, senyum canggung. "Nak Zhang, silakan duduk. Kau datang tepat waktu! Kami baru membicarakan persiapan pernikahanmu." "Sebenarnya," kata Yichen, "aku datang untuk itu." Ia berjalan mendekat, mengambil map dari jasnya, dan menyerahkannya ke calon ibu mertuanya. "Ini jadwal acara dan dokumen yang diperlukan. Keluargaku ingin semua selesai dalam seminggu." "Dalam seminggu?!" Mei Lin nyaris menjerit. "Aku bahkan belum hafal tanda tanganmu!" Zhang Yichen menatap Mei Lin lama. "Kau tidak perlu hafal tanda tanganku. Cukup tahu aku tidak mudah diubah pikiran." "Wah, bagus banget ya. Kau kayak kontrak eksklusif yang tidak bisa dibatalkan." Li Xiu Lin menepuk putrinya. "Sudah, Mei Lin. Jangan melawan dulu. Paling tidak dengarkan dulu rencana Nak Zhang." Zhang Yichen menatap ke arah Mei Lin, suaranya tenang tapi sedikit melembut. "Upacara sederhana, hanya keluarga inti. Tidak ada media, tidak ada publikasi. Setelah itu, kita akan menandatangani dokumen di kantor hukum." "Dan setelah itu?" "Kau bebas melanjutkan kuliahmu. Tidak ada yang berubah." Mei Lin memelototinya. "Tidak ada yang berubah? Aku menikah! Bagaimana bisa tidak ada yang berubah?!" Zhang Yichen menatapnya sebentar, lalu menjawab dengan nada datar. "Kau bisa menganggapnya ... seperti kontrak kerja jangka panjang." "Kontrak kerja?" Mei Lin ternganga. "Kau pikir aku ini karyawan magang di hatimu?!" Untuk pertama kalinya, sudut bibir Zhang Yichen bergerak. "Mungkin. Tapi aku harap kau bukan karyawan yang suka bolos." "ASTAGA!" Mei Lin menepuk dahinya. "Kalau aku nggak gila sekarang, aku bakal gila nanti pas resepsi." "Resepsi kecil," koreksi Zhang Yichen. "Resepsi kecil, kepala kau! Aku butuh mental besar buat hadapi semua ini!" Ibu Mei Lin menahan tawa. "Nak Zhang, kau harus sabar. Mei Lin ini memang cerewet dari lahir." Zhang Yichen menatap Mei Lin lagi, kali ini lebih lembut. "Aku tahu." Suasana hening sesaat. Mei Lin menatapnya balik, sedikit kaget karena nada suaranya terdengar ... jujur. Detik berikutnya, Zhang Yichen menatap jam tangan. "Aku harus kembali ke kantor. Sampai jumpa di sesi fitting nanti." Zhang Yichen melangkah keluar, meninggalkan Mei Lin yang masih mematung di tempat. Li Xiu Lin bersandar di kursi sambil terkekeh. "Anak itu tampan dan pintar. Kau beruntung." "Beruntung?!" Mei Lin memegangi dada. "Aku bahkan belum tahu apakah dia bisa bercanda!" "Ya, kau tahu sekarang. Sedikit." "Sedikit bukan cukup, Bu! Aku butuh banyak humor untuk hidup bersamanya!" Di saat bersamaan, ponsel Mei Lin berbunyi. Pesan dari nomor tak dikenal. “Jangan lupa datang jam empat untuk fitting. – ZY." Mei Lin memandangi layar itu lama, lalu menghela napas berat. "Tanda tangan ZY aja kaku. Tapi kenapa hatiku malah berdebar?" Gadis itu menatap pantulan dirinya di cermin. Rambut berantakan, pipi merah, mata membulat. "Ya Tuhan," gumamnya lirih, "aku benar-benar bakal menikah sama bos dingin itu .…"Kamar utama di rumah Zhang Yichen terasa berbeda malam itu. Lampunya redup, aroma lembut lavender memenuhi udara, dan di sudut ruangan kini berdiri sebuah lemari kaca raksasa yang belum ada kemarin.Mei Lin berdiri di depan lemari itu, melongo seperti turis di butik mewah."Ini … semua buat aku?"Yichen berdiri di belakangnya, tangan di saku, wajahnya tenang seperti biasa."Setelah kejadian lemari kamarmu penuh boneka bebek, aku pikir kau butuh ruang baru untuk baju yang lebih masuk akal."Mei Lin berbalik cepat. "Hei! Boneka bebek itu warisan emosional!""Emosi siapa? Anak TK?"Mei Lin mendengus, tetapi matanya tetap berbinar menatap isi lemari.Gaun-gaun cantik berjejer rapi, sepatu hak tinggi disusun dengan sempurna, bahkan ada satu rak berisi tas-tas mahal."Ya ampun, ini kayak mimpi! Ada baju buat tiap suasana hati!" Mei menarik satu gaun dan memeluknya. "Tuan Zhang, kau beli ini semua?"Zhang Yichen menatapnya sekilas. "Aku punya asisten personal shopper. Tapi, ya, aku yang meny
Hari pertama setelah berita besar itu reda, suasana rumah Zhang Yichen terasa damai. Tidak ada wartawan di depan pagar, tidak ada panggilan media, hanya keheningan dan aroma roti panggang dari dapur.Zhang Yichen melangkah keluar dari kamar dengan setelan santai. Ia menuruni anak tangga dengan hidung mengendus bau aroma dari arah dapur. Zhang Yichen langsung berhenti di ambang pintu. Pemandangan di depannya membuatnya terpaku.Mei Lin berdiri di dapur dengan celemek bergambar bebek kuning.Rambutnya dikuncir tinggi, wajahnya serius, ada noda tepung di pipi."Selamat pagi, Tuan Zhang," sapa Mei Lin dengan nada lembut yang mencurigakan. "Aku sudah menyiapkan sarapan."Zhang Yichen menyipitkan mata. "Kau siapa dan di mana istriku yang asli?"Mei Lin mendengus. "Aku sedang berevolusi, Zhang Yichen! Mulai hari ini, aku akan jadi istri rumah tangga sejati!""Hmm .... Dan ide ini muncul dari mana?""Dari artikel online," jawab Mei Lin bangga. "Katanya, istri ideal itu bangun pagi, masak, da
Tiga hari setelah wisuda, nama Mei Lin Zhang menjadi trending topik di seluruh Haicheng. Bukan karena prestasinya, tetapi karena satu video berdurasi dua menit dimana momen saat CEO Zhang Group dengan elegan mengumumkan, "Inilah istriku, Mei Lin Zhang."Berita itu menyebar lebih cepat dari rumor diskon toko mewah. Judul-judul artikel bermunculan. "CEO DINGIN TERNYATA SUDAH BERKELUARGA!""CINTA KANTOR ALA ZHANG GROUP: DARI MAGANG JADI ISTRI!""MAHASISWI TENGIL TAKLUKKAN BOS TERDINGIN DI HAICHENG!"Mei Lin hanya bisa menatap layar ponselnya dengan ekspresi antara malu dan frustasi."Judul terakhir itu keterlaluan banget" gumamnya.Dari seberang meja sarapan, Zhang Yichen hanya membaca koran dengan ekspresi tenang. "Menurutku cukup akurat.""Akurat kepala kau!" Mei menunjuk layar ponsel. "Kau tahu gak, sekarang semua orang memanggil aku Bu Bos!""Lebih baik itu daripada 'Bu Dosen'," balas Zhang Yichen santai.Sarapan sudah selesai. Masih ada sisa waktu u tuk bersantai. Keduanya pundak
Esok harinya. Haicheng Business Academy sudah dipenuhi para mahasiswa dengan toga hitam dan wajah bahagia.Di antara lautan toga itu, Mei Lin berdiri menatap panggung besar yang sudah dihias bunga putih dan pita emas. Tangannya sedikit gemetar saat memegang map ijazah kosong, simbol perjuangan panjang selama bertahun-tahun.Qian Qian datang menghampiri, wajahnya cerah. "Akhirnya, ya! Kita lulus!"Mei Lin menghela napas panjang. "Aku masih belum percaya kalau dosenku gak akan nyari-nyari kesalahan bab empat lagi."Qian Qian menepuk bahunya. "Santai! Hari ini cuma ada dua hal yang perlu kau pikirkan, yaitu senyum di kamera dan jangan tersandung di panggung.""Terima kasih atas tekanan tambahannya," ucap Mei Lin, memaksakan tersenyum. ---Sementara itu, di barisan tamu undangan, barisan keluarga Zhang tampak duduk rapi. Madam Zhang terlihat anggun dengan gaun pastel, sementara di sampingnya, Zhang Hairen, sang Komisaris besar Zhang Group, duduk tegak dan berwibawa.Ia jarang menunjukka
Langit pagi di Haicheng berwarna biru, nyaris tanpa awan.Di balkon rumah Zhang Yichen, Mei Lin sibuk menjemur toga hitamnya yang baru tiba semalam."Kenapa sih warnanya harus hitam? Rasanya kayak mau ke sidang lagi, bukan perayaan," gerutunya sambil memegang toga.Zhang Yichen yang duduk di kursi balkon menatap koran sambil menyeruput kopi. "Itu simbol formalitas, bukan duka.""Ya, tapi tetap saja bikin mood turun. Kalau aku boleh pilih, warnanya pink aja. Biar lebih cerah dan penuh cinta."Zhang Yichen menurunkan korannya pelan. "Toga bukan piyama, Mei Lin."Mei mendengus. "Kau selalu anti-romantis, ya?""Tidak juga. Aku hanya realistis," jawab Zhang Yichen santai. Mei Lin menoleh sambil berkacak pinggang. "Realistis itu kalau bicara bisnis, bukan wisuda!"Sesaat kemudian, bel rumah berbunyi. Mei Lin yang masih berkacak pinggang di balkon langsung bertanya-tanya. "Siapa pagi-pagi begini?"Mei Lin segera turun. Ketika pintu dibuka, dua sosok familiar muncul bersamaan. Ibu Mei Lin d
Rumah Zhang Yichen malam itu terasa hangat dan tenang. Lampu ruang makan menyala lembut, aroma sup ayam buatan Mei Lin memenuhi udara."Ahhh …" Mei Lin meregangkan bahu dengan puas. "Akhirnya, setelah berbulan-bulan bergelut dengan skripsi, aku bisa masak tanpa dihantui dosen pembimbing."Zhang Yichen yang duduk di meja makan menatapnya dengan senyum kecil. "Kau tahu, ada istilah baru yang cocok untukmu."Mei Lin menatap curiga. "Apa?""Chef akademik," jawab Zhang Yichen datar. "Masak sambil teori."Mei Lin mendengus. "Kau ini gak bisa puji orang secara normal, ya?""Bisa," katanya sambil menatap sup di hadapannya. "Rasanya … lebih baik dari waktu terakhir kau coba masak."Mei Lin menaikkan alis. "Yang waktu dapur nyaris kebakar itu?""Ya," jawabnya tenang. "Kemajuan besar."Tepat saat suasana mulai hangat, suara bel pintu terdengar.Ting! Tong!Mei Lin dan Zhang Yichen saling berpandangan."Siapa?" tanya Mei Lin pelan."Tidak tahu," jawab Zhang Yichen dengan nada waspada. Entah kenap







