LOGINHari istimewa tiba.
Langit sore di Haicheng tampak lembut, berwarna jingga muda seperti sapuan kuas di kanvas. Akan tetapi bagi Mei Lin, warna itu sama sekali tidak romantis. Itu warna … panik. "Bu! Aku nggak bisa jalan di sepatu ini! Tumitnya kayak tiang listrik!" "Kau harus kelihatan elegan!" sahut Li Xiu Lin sambil merapikan veil di rambut putrinya. "Aku kelihatan kayak anak ayam yang baru belajar terbang!" "Diam, Mei Lin! Jangan buat keluarga Zhang menyesal." Mei Lin mengembuskan napas keras, menatap dirinya di cermin besar ruang ganti. Gaun putih sederhana itu sebenarnya cantik, elegan, tidak berlebihan, sesuai permintaan Zhang Yichen. Tetapi wajahnya … jelas memancarkan kepanikan yang tidak bisa disembunyikan. "Oke, Mei Lin, tenang." Ia berbicara pada dirinya sendiri. "Kau cuma menikah, bukan mau ikut misi rahasia NASA." Pintu terbuka pelan. Madam Zhang masuk, mengenakan cheongsam merah elegan. Senyum lembutnya menenangkan. "Kau cantik sekali, Mei Lin." "Terima kasih, Tante. Tapi … aku belum siap." "Tidak ada yang benar-benar siap untuk menikah," ucap Madam Zhang bijak. "Tapi kadang, cinta datang setelah janji, bukan sebelumnya." Mei Lin menatapnya, diam. Lalu mengangguk pelan, walau hatinya masih menjerit, "Tapi aku bahkan belum tahu warna piyama suamiku!" --- Ruang taman Zhang Residence berubah menjadi aula kecil dengan bunga putih dan lentera gantung. Hanya keluarga inti dan dua saksi yang hadir. Tak ada musik orkestra, tak ada tamu ribuan. Hanya suara lembut angin sore dan … jantung Mei Lin yang berdetak lebih cepat dari metronom. Di sana, di ujung karpet putih, Zhang Yichen berdiri menunggunya. Setelan hitamnya rapi, wajahnya tetap dingin, tetapi entah kenapa hari ini dinginnya terlihat … tenang. Matanya menatap lurus padanya, membuat Mei Lin hampir lupa cara jalan. "Ayo, langkah kecil, jangan meleng," bisik ibunya dari belakang. "Kalau aku jatuh, tolong pura-pura pingsan juga ya, Bu," balas Mei Lin dengan senyum kaku. Setiap langkah terasa panjang. Akan tetapi, begitu berdiri di hadapan Zhang Yichen, dunia seolah menyusut menjadi hanya mereka berdua. Pendeta keluarga mulai membacakan doa pendek dalam bahasa Mandarin kuno. Mei Lin hanya mendengar potongan-potongan kata 'kesetiaan', 'keluarga', 'kebahagiaan'. Sampai akhirnya... "Kau, Zhang Yichen, bersediakah mengambil Mei Lin sebagai istrimu ...?" "Ya," jawab Zhang Yichen tenang, tanpa ragu sedikit pun. "Dan kau, Mei Lin …?" "Eh … apa tadi?" Semua menatapnya. "Oh iya! Ya, ya! Aku bersedia! Maaf, refleks!" Suara kecil tawa terdengar dari para saksi. Zhang Yichen bahkan menunduk sedikit, senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Pendeta mengangguk dan mengambil dua cincin sederhana berlapis perak. Saat Zhang Yichen menyematkan cincin itu ke jari manisnya, Mei Lin menatapnya diam-diam. Tangan pria itu dingin, tetapi hangat di waktu yang sama. "Kau yakin nggak salah orang?" tanya Mei Lin pelan. "Kalau salah, sudah terlambat," jawab Zhang Yichen tenang. "Aku serius, kau nggak keberatan nikah sama aku? Maksudku, aku cerewet, aku suka ngemil tengah malam dan --" "Aku sudah tahu." "Kau tahu dari mana?" "Kau bilang sendiri, lima menit lalu." Mei Lin memutar bola matanya. "Dingin banget sih, ngomong sesuatu yang romantis kek!" Zhang Yichen terdiam sebentar, menatap cincin di jarinya sendiri. "Cincin ini tidak terlalu berat," katanya pelan, "tapi aneh … rasanya seperti tanggung jawab." Mei Lin menatapnya, tak tahu harus menjawab apa. Untuk sesaat, wajahnya yang biasanya tanpa ekspresi itu tampak … manusiawi. "Itu kalimat paling romantis yang pernah kau ucapkan," katanya lirih. Zhang Yichen menatapnya balik. "Jangan biasakan aku bicara begitu." "Kenapa?" "Aku takut kau makin berisik." "ASTAGA!" Mei Lin menahan tawa. "Baru nikah lima menit, udah nyolot." Pendeta akhirnya menutup prosesi. "Dengan ini, kalian resmi menjadi pasangan suami istri." Semua bertepuk tangan kecil. Sementara Mei Lin hanya berdiri, masih antara terharu dan tidak percaya. "Ya Tuhan," bisiknya. "Aku benar-benar menikah. Dengan bos dingin." Zhang Yichen menatapnya. "Apa itu doa?" "Itu keputusasaan." Untuk pertama kalinya, Zhang Yichen tertawa kecil. Jujur, hangat, tanpa menahan. Dan di momen itu, sesuatu yang halus dan asing mulai tumbuh di dada Mei Lin. Bukan cuma gugup, tetapi rasa yang pelan-pelan melelehkan dingin. "Kalau begitu," kata Mei Lin, menatap Zhang Yichen dengan senyum kecil, "selamat, Tuan Zhang. Sekarang kau resmi punya istri yang cerewet." "Dan kau,” jawab Zhang Yichen pelan, "punya suami yang terlalu tenang untuk marah." Mei Lin terkekeh. "Kita pasangan aneh, ya." "Mungkin," katanya, “tapi aneh juga bisa bahagia." Seketika Zhang Yichen dan Me Lin terdiam. Entah, apakah memang akan berakhir bahagia? Tanpa cinta.Kamar utama di rumah Zhang Yichen terasa berbeda malam itu. Lampunya redup, aroma lembut lavender memenuhi udara, dan di sudut ruangan kini berdiri sebuah lemari kaca raksasa yang belum ada kemarin.Mei Lin berdiri di depan lemari itu, melongo seperti turis di butik mewah."Ini … semua buat aku?"Yichen berdiri di belakangnya, tangan di saku, wajahnya tenang seperti biasa."Setelah kejadian lemari kamarmu penuh boneka bebek, aku pikir kau butuh ruang baru untuk baju yang lebih masuk akal."Mei Lin berbalik cepat. "Hei! Boneka bebek itu warisan emosional!""Emosi siapa? Anak TK?"Mei Lin mendengus, tetapi matanya tetap berbinar menatap isi lemari.Gaun-gaun cantik berjejer rapi, sepatu hak tinggi disusun dengan sempurna, bahkan ada satu rak berisi tas-tas mahal."Ya ampun, ini kayak mimpi! Ada baju buat tiap suasana hati!" Mei menarik satu gaun dan memeluknya. "Tuan Zhang, kau beli ini semua?"Zhang Yichen menatapnya sekilas. "Aku punya asisten personal shopper. Tapi, ya, aku yang meny
Hari pertama setelah berita besar itu reda, suasana rumah Zhang Yichen terasa damai. Tidak ada wartawan di depan pagar, tidak ada panggilan media, hanya keheningan dan aroma roti panggang dari dapur.Zhang Yichen melangkah keluar dari kamar dengan setelan santai. Ia menuruni anak tangga dengan hidung mengendus bau aroma dari arah dapur. Zhang Yichen langsung berhenti di ambang pintu. Pemandangan di depannya membuatnya terpaku.Mei Lin berdiri di dapur dengan celemek bergambar bebek kuning.Rambutnya dikuncir tinggi, wajahnya serius, ada noda tepung di pipi."Selamat pagi, Tuan Zhang," sapa Mei Lin dengan nada lembut yang mencurigakan. "Aku sudah menyiapkan sarapan."Zhang Yichen menyipitkan mata. "Kau siapa dan di mana istriku yang asli?"Mei Lin mendengus. "Aku sedang berevolusi, Zhang Yichen! Mulai hari ini, aku akan jadi istri rumah tangga sejati!""Hmm .... Dan ide ini muncul dari mana?""Dari artikel online," jawab Mei Lin bangga. "Katanya, istri ideal itu bangun pagi, masak, da
Tiga hari setelah wisuda, nama Mei Lin Zhang menjadi trending topik di seluruh Haicheng. Bukan karena prestasinya, tetapi karena satu video berdurasi dua menit dimana momen saat CEO Zhang Group dengan elegan mengumumkan, "Inilah istriku, Mei Lin Zhang."Berita itu menyebar lebih cepat dari rumor diskon toko mewah. Judul-judul artikel bermunculan. "CEO DINGIN TERNYATA SUDAH BERKELUARGA!""CINTA KANTOR ALA ZHANG GROUP: DARI MAGANG JADI ISTRI!""MAHASISWI TENGIL TAKLUKKAN BOS TERDINGIN DI HAICHENG!"Mei Lin hanya bisa menatap layar ponselnya dengan ekspresi antara malu dan frustasi."Judul terakhir itu keterlaluan banget" gumamnya.Dari seberang meja sarapan, Zhang Yichen hanya membaca koran dengan ekspresi tenang. "Menurutku cukup akurat.""Akurat kepala kau!" Mei menunjuk layar ponsel. "Kau tahu gak, sekarang semua orang memanggil aku Bu Bos!""Lebih baik itu daripada 'Bu Dosen'," balas Zhang Yichen santai.Sarapan sudah selesai. Masih ada sisa waktu u tuk bersantai. Keduanya pundak
Esok harinya. Haicheng Business Academy sudah dipenuhi para mahasiswa dengan toga hitam dan wajah bahagia.Di antara lautan toga itu, Mei Lin berdiri menatap panggung besar yang sudah dihias bunga putih dan pita emas. Tangannya sedikit gemetar saat memegang map ijazah kosong, simbol perjuangan panjang selama bertahun-tahun.Qian Qian datang menghampiri, wajahnya cerah. "Akhirnya, ya! Kita lulus!"Mei Lin menghela napas panjang. "Aku masih belum percaya kalau dosenku gak akan nyari-nyari kesalahan bab empat lagi."Qian Qian menepuk bahunya. "Santai! Hari ini cuma ada dua hal yang perlu kau pikirkan, yaitu senyum di kamera dan jangan tersandung di panggung.""Terima kasih atas tekanan tambahannya," ucap Mei Lin, memaksakan tersenyum. ---Sementara itu, di barisan tamu undangan, barisan keluarga Zhang tampak duduk rapi. Madam Zhang terlihat anggun dengan gaun pastel, sementara di sampingnya, Zhang Hairen, sang Komisaris besar Zhang Group, duduk tegak dan berwibawa.Ia jarang menunjukka
Langit pagi di Haicheng berwarna biru, nyaris tanpa awan.Di balkon rumah Zhang Yichen, Mei Lin sibuk menjemur toga hitamnya yang baru tiba semalam."Kenapa sih warnanya harus hitam? Rasanya kayak mau ke sidang lagi, bukan perayaan," gerutunya sambil memegang toga.Zhang Yichen yang duduk di kursi balkon menatap koran sambil menyeruput kopi. "Itu simbol formalitas, bukan duka.""Ya, tapi tetap saja bikin mood turun. Kalau aku boleh pilih, warnanya pink aja. Biar lebih cerah dan penuh cinta."Zhang Yichen menurunkan korannya pelan. "Toga bukan piyama, Mei Lin."Mei mendengus. "Kau selalu anti-romantis, ya?""Tidak juga. Aku hanya realistis," jawab Zhang Yichen santai. Mei Lin menoleh sambil berkacak pinggang. "Realistis itu kalau bicara bisnis, bukan wisuda!"Sesaat kemudian, bel rumah berbunyi. Mei Lin yang masih berkacak pinggang di balkon langsung bertanya-tanya. "Siapa pagi-pagi begini?"Mei Lin segera turun. Ketika pintu dibuka, dua sosok familiar muncul bersamaan. Ibu Mei Lin d
Rumah Zhang Yichen malam itu terasa hangat dan tenang. Lampu ruang makan menyala lembut, aroma sup ayam buatan Mei Lin memenuhi udara."Ahhh …" Mei Lin meregangkan bahu dengan puas. "Akhirnya, setelah berbulan-bulan bergelut dengan skripsi, aku bisa masak tanpa dihantui dosen pembimbing."Zhang Yichen yang duduk di meja makan menatapnya dengan senyum kecil. "Kau tahu, ada istilah baru yang cocok untukmu."Mei Lin menatap curiga. "Apa?""Chef akademik," jawab Zhang Yichen datar. "Masak sambil teori."Mei Lin mendengus. "Kau ini gak bisa puji orang secara normal, ya?""Bisa," katanya sambil menatap sup di hadapannya. "Rasanya … lebih baik dari waktu terakhir kau coba masak."Mei Lin menaikkan alis. "Yang waktu dapur nyaris kebakar itu?""Ya," jawabnya tenang. "Kemajuan besar."Tepat saat suasana mulai hangat, suara bel pintu terdengar.Ting! Tong!Mei Lin dan Zhang Yichen saling berpandangan."Siapa?" tanya Mei Lin pelan."Tidak tahu," jawab Zhang Yichen dengan nada waspada. Entah kenap







