Se connecterSetelah acara selesai, Zhang Yichen membawa Mei Lin ke rumah pribadinya. Rumah dua lantai mewah minimalis, bahkan terlalu besar jika dihuni dua orang saja. Sunyi.
Terlalu sunyi, bahkan suara jarum jam di dinding terdengar seperti petir kecil bagi seseorang yang tidak terbiasa dengan keheningan. Seseorang itu, tentu saja, Mei Lin. Ia berdiri di tengah kamar tamu yang sekarang resmi jadi kamarnya meskipun statusnya sudah menikah. "Sumpah," gumamnya sambil menatap langit-langit tinggi, "rumah ini kayak hotel bintang sepuluh yang kehilangan suara manusia." Di atas meja rias, cincin peraknya berkilau di bawah cahaya lampu. Ia menatapnya, lalu bergumam, "Hei cincin, selamat datang di hidup yang membingungkan. Suamimu dingin, tapi lumayan tampan." --- Tok. Tok. Tok. Pintu kamarnya diketuk. Mei Lin refleks berdiri tegak, hampir menjatuhkan hairband dari kepalanya. "Masuk aja, pintunya nggak dikunci," katanya cepat. Dan tentu saja yang muncul di pintu adalah Zhang Yichen. Rapi, tenang, masih dengan kemeja putihnya yang dilipat rapi di pergelangan tangan. Seolah hari ini bukan hari pernikahannya, tetapi rapat direksi. "Kau belum tidur?" Zhang Yichen bertanya dengan suara datar. "Sulit tidur kalau barusan menikah, tahu!" "Tidak ada yang memintamu panik." "Kau pikir mudah? Aku menikah dengan bos paling kaku di Haicheng!" Zhang Yichen menatap istrinya dengan tatapan datar, tetapi sedikit geli. "Setidaknya sekarang kau tahu konsekuensinya." "Kau ngomong kayak aku tanda tangan kontrak pinjaman bank." "Hampir mirip," katanya tenang, "dan itu sebabnya aku datang." Ia berjalan masuk, duduk di kursi dekat jendela, lalu mengeluarkan satu berkas dari map hitam di tangannya. Mei Lin melotot. "Tunggu … kau bawa dokumen ke kamar istrimu di malam pertama?" "Ini bukan malam pertama," jawabnya datar. "Ini malam penandatanganan kesepakatan." "ASTAGA!" Mei Lin menepuk jidat. "Kau romantis banget ya. Dunia butuh tahu caramu merayakan pernikahan," lanjutnya. "Kau mau dengar isi perjanjiannya atau tidak?" Mei Lin mendengus. "Oke, fine. Tapi kalau isinya aneh, aku bakar kertasnya." Zhang Yichen menghela napas pendek. "Pasal satu: Pernikahan ini bersifat pribadi dan rahasia. Tidak boleh diketahui oleh pihak luar, termasuk media, teman, atau karyawanku." "Oke, masuk akal. Aku juga nggak mau jadi headline gosip: Cewek Cantik Anak Kampus Ternama Nikahi CEO Dingin. Apalagi, usianya jauh di atas aku. Tua!" "Apa kau bilang?!" Mei Lin tersenyum canggung. "Kau tampan! Lanjut!" Zhang Yichen mendengkus. "Pasal dua: Tidak ada kewajiban hubungan fisik maupun romantis." Mei Lin menatap pria itu tajam. "Wow. Kau tulis itu sendiri?' "Tentu!" "Kau sadar betapa sadisnya kalimat itu terdengar?" "Aku hanya ingin memastikan batasnya jelas." "Batas?!" Mei Lin bersedekap. "Aku ini istri, bukan staf HRD!" Zhang Yichen tetap tenang, meskipun sudut bibirnya hampir tersenyum. "Pasal tiga: Kami sepakat tetap hidup normal dan saling menghormati di bawah satu atap." "Hmm, oke, yang ini boleh. Kedengarannya seperti sinetron yang sopan." "Dan pasal empat: Pernikahan ini bisa berakhir jika salah satu pihak merasa tidak cocok, tanpa tuntutan apa pun." Mei Lin menatap Zhang Yichen lama. Tatapan yang tadi berapi-api perlahan berubah lembut. "Jadi … kau nggak mau aku merasa terjebak, ya?" Zhang Yichen menatap balik, kali ini tanpa ekspresi dingin. "Aku tidak ingin kau menyesal." Keheningan singkat menggantung di udara. Untuk pertama kalinya, nada suaranya terdengar … jujur. Mei Lin tersenyum kecil. "Kau tahu nggak, Tuan Zhang? Kadang aku bingung sama dirimu. Separuh robot, separuh manusia … tapi mungkin, dalamnya lembut kayak tahu sutra." Zhang Yichen mengerjap. "Itu analogi paling aneh yang pernah kudengar." "Tapi paling akurat!" Pria itu idak membalas. Namun, kali ini, Mei Lin yakin ia melihat senyum kecil di wajah Zhang Yichen. Senyum yang benar-benar nyata. "Baiklah," kata Mei Lin akhirnya sambil mengambil pena. "Aku tanda tangan." "Kau yakin?" "Aku udah telanjur menikah. Setidaknya biar kelihatan profesional." Mei Lin menandatangani dokumen itu dengan cepat, lalu mengembalikannya kepada Zhang Yichen. "Nah, selesai. Sekarang kita suami-istri legal dan … profesional." "Kau terdengar bangga." "Aku cuma mencoba bertahan." Zhang Yichen berdiri, menatap Mei Lin sebentar. "Kalau begitu, selamat malam, Nyonya Zhang." Mei Lin tertegun. "Eh --apa?” "Aku akan tidur di kamar atas." "Kau yakin nggak mau di sini aja?" "Kau yakin ingin aku di sini?" Mei Lin nyengir. "Oke, tidak jadi." Zhang Yichen berjalan pergi, tetapi sebelum keluar, ia berhenti sebentar. "Oh, satu hal lagi." "Apa?" "Pasal kelima," katanya pelan. "Jangan terlalu sering berisik setelah jam sepuluh malam." "Kau buat pasal tambahan cuma buat itu?!" Pria tampan itu sudah keluar sebelum Mei Lin sempat memprotes lebih jauh. Ia memandang pintu yang tertutup, lalu tertawa kecil sambil bergumam, "Dingin banget ... tapi kok rasanya justru hangat, ya?" Ia menatap cincin di jarinya, senyum kecil muncul di bibirnya. "Ya ampun, Mei Lin. Kau mulai jatuh cinta ke robot elegan itu." Jatuh cinta atau hanya mengagumi karena wajahnya yang tampan? Ya, wajah Zhang Yichen memang kriteria Mei Lin, tetapi sikapnya?Kamar utama di rumah Zhang Yichen terasa berbeda malam itu. Lampunya redup, aroma lembut lavender memenuhi udara, dan di sudut ruangan kini berdiri sebuah lemari kaca raksasa yang belum ada kemarin.Mei Lin berdiri di depan lemari itu, melongo seperti turis di butik mewah."Ini … semua buat aku?"Yichen berdiri di belakangnya, tangan di saku, wajahnya tenang seperti biasa."Setelah kejadian lemari kamarmu penuh boneka bebek, aku pikir kau butuh ruang baru untuk baju yang lebih masuk akal."Mei Lin berbalik cepat. "Hei! Boneka bebek itu warisan emosional!""Emosi siapa? Anak TK?"Mei Lin mendengus, tetapi matanya tetap berbinar menatap isi lemari.Gaun-gaun cantik berjejer rapi, sepatu hak tinggi disusun dengan sempurna, bahkan ada satu rak berisi tas-tas mahal."Ya ampun, ini kayak mimpi! Ada baju buat tiap suasana hati!" Mei menarik satu gaun dan memeluknya. "Tuan Zhang, kau beli ini semua?"Zhang Yichen menatapnya sekilas. "Aku punya asisten personal shopper. Tapi, ya, aku yang meny
Hari pertama setelah berita besar itu reda, suasana rumah Zhang Yichen terasa damai. Tidak ada wartawan di depan pagar, tidak ada panggilan media, hanya keheningan dan aroma roti panggang dari dapur.Zhang Yichen melangkah keluar dari kamar dengan setelan santai. Ia menuruni anak tangga dengan hidung mengendus bau aroma dari arah dapur. Zhang Yichen langsung berhenti di ambang pintu. Pemandangan di depannya membuatnya terpaku.Mei Lin berdiri di dapur dengan celemek bergambar bebek kuning.Rambutnya dikuncir tinggi, wajahnya serius, ada noda tepung di pipi."Selamat pagi, Tuan Zhang," sapa Mei Lin dengan nada lembut yang mencurigakan. "Aku sudah menyiapkan sarapan."Zhang Yichen menyipitkan mata. "Kau siapa dan di mana istriku yang asli?"Mei Lin mendengus. "Aku sedang berevolusi, Zhang Yichen! Mulai hari ini, aku akan jadi istri rumah tangga sejati!""Hmm .... Dan ide ini muncul dari mana?""Dari artikel online," jawab Mei Lin bangga. "Katanya, istri ideal itu bangun pagi, masak, da
Tiga hari setelah wisuda, nama Mei Lin Zhang menjadi trending topik di seluruh Haicheng. Bukan karena prestasinya, tetapi karena satu video berdurasi dua menit dimana momen saat CEO Zhang Group dengan elegan mengumumkan, "Inilah istriku, Mei Lin Zhang."Berita itu menyebar lebih cepat dari rumor diskon toko mewah. Judul-judul artikel bermunculan. "CEO DINGIN TERNYATA SUDAH BERKELUARGA!""CINTA KANTOR ALA ZHANG GROUP: DARI MAGANG JADI ISTRI!""MAHASISWI TENGIL TAKLUKKAN BOS TERDINGIN DI HAICHENG!"Mei Lin hanya bisa menatap layar ponselnya dengan ekspresi antara malu dan frustasi."Judul terakhir itu keterlaluan banget" gumamnya.Dari seberang meja sarapan, Zhang Yichen hanya membaca koran dengan ekspresi tenang. "Menurutku cukup akurat.""Akurat kepala kau!" Mei menunjuk layar ponsel. "Kau tahu gak, sekarang semua orang memanggil aku Bu Bos!""Lebih baik itu daripada 'Bu Dosen'," balas Zhang Yichen santai.Sarapan sudah selesai. Masih ada sisa waktu u tuk bersantai. Keduanya pundak
Esok harinya. Haicheng Business Academy sudah dipenuhi para mahasiswa dengan toga hitam dan wajah bahagia.Di antara lautan toga itu, Mei Lin berdiri menatap panggung besar yang sudah dihias bunga putih dan pita emas. Tangannya sedikit gemetar saat memegang map ijazah kosong, simbol perjuangan panjang selama bertahun-tahun.Qian Qian datang menghampiri, wajahnya cerah. "Akhirnya, ya! Kita lulus!"Mei Lin menghela napas panjang. "Aku masih belum percaya kalau dosenku gak akan nyari-nyari kesalahan bab empat lagi."Qian Qian menepuk bahunya. "Santai! Hari ini cuma ada dua hal yang perlu kau pikirkan, yaitu senyum di kamera dan jangan tersandung di panggung.""Terima kasih atas tekanan tambahannya," ucap Mei Lin, memaksakan tersenyum. ---Sementara itu, di barisan tamu undangan, barisan keluarga Zhang tampak duduk rapi. Madam Zhang terlihat anggun dengan gaun pastel, sementara di sampingnya, Zhang Hairen, sang Komisaris besar Zhang Group, duduk tegak dan berwibawa.Ia jarang menunjukka
Langit pagi di Haicheng berwarna biru, nyaris tanpa awan.Di balkon rumah Zhang Yichen, Mei Lin sibuk menjemur toga hitamnya yang baru tiba semalam."Kenapa sih warnanya harus hitam? Rasanya kayak mau ke sidang lagi, bukan perayaan," gerutunya sambil memegang toga.Zhang Yichen yang duduk di kursi balkon menatap koran sambil menyeruput kopi. "Itu simbol formalitas, bukan duka.""Ya, tapi tetap saja bikin mood turun. Kalau aku boleh pilih, warnanya pink aja. Biar lebih cerah dan penuh cinta."Zhang Yichen menurunkan korannya pelan. "Toga bukan piyama, Mei Lin."Mei mendengus. "Kau selalu anti-romantis, ya?""Tidak juga. Aku hanya realistis," jawab Zhang Yichen santai. Mei Lin menoleh sambil berkacak pinggang. "Realistis itu kalau bicara bisnis, bukan wisuda!"Sesaat kemudian, bel rumah berbunyi. Mei Lin yang masih berkacak pinggang di balkon langsung bertanya-tanya. "Siapa pagi-pagi begini?"Mei Lin segera turun. Ketika pintu dibuka, dua sosok familiar muncul bersamaan. Ibu Mei Lin d
Rumah Zhang Yichen malam itu terasa hangat dan tenang. Lampu ruang makan menyala lembut, aroma sup ayam buatan Mei Lin memenuhi udara."Ahhh …" Mei Lin meregangkan bahu dengan puas. "Akhirnya, setelah berbulan-bulan bergelut dengan skripsi, aku bisa masak tanpa dihantui dosen pembimbing."Zhang Yichen yang duduk di meja makan menatapnya dengan senyum kecil. "Kau tahu, ada istilah baru yang cocok untukmu."Mei Lin menatap curiga. "Apa?""Chef akademik," jawab Zhang Yichen datar. "Masak sambil teori."Mei Lin mendengus. "Kau ini gak bisa puji orang secara normal, ya?""Bisa," katanya sambil menatap sup di hadapannya. "Rasanya … lebih baik dari waktu terakhir kau coba masak."Mei Lin menaikkan alis. "Yang waktu dapur nyaris kebakar itu?""Ya," jawabnya tenang. "Kemajuan besar."Tepat saat suasana mulai hangat, suara bel pintu terdengar.Ting! Tong!Mei Lin dan Zhang Yichen saling berpandangan."Siapa?" tanya Mei Lin pelan."Tidak tahu," jawab Zhang Yichen dengan nada waspada. Entah kenap







