“Apa yang terjadi? Mengapa aku—?”
Elea bangun dalam keadaan bingung dan kacau, dirinya sadar atas apa yang dilakukan Ramdan malam tadi, Elea sudah berusaha untuk memberontak, tetapi tenanga Ramdan tidak bisa ia tandingi.
Ramdan bangin setelah mendengar suara teriakan diiringi tangis seorang wanita. Dia beringsut duduk sambil memegangi kepala yang terasa berat. Dia menggeleng lemah untuk mengembalikan kesadaran. Namun, belum sempat memahami situasi yang sedang terjadi, mendadak seseorang menamparnya. “Kamu jahat! Teganya kamu berbuat begini kepadaku, Ramdan!” Ramdan memegangi pipi kirinya yang terasa panas sebelum menoleh. Dia terkejut dan langsung mundur saat melihat Elea sedang menangis tersedu-sedu sambil mendekap erat selimut yang menutupi bagian atas tubuhnya. “Memangnya apa yang ....” Belum sempat melanjutkan pertanyaan, suara pintu yang berhasil didobrak membuatnya menoleh. Dia membeliak saat mendapati Harsa—pemilik rumah sekaligus ayah Elea—masuk bersama seorang pelayan. Pria paruh baya itu terkejut sesaat sebelum mendengkus kesal dan mendekati Ramdan. Dengan dipenuhi amarah, dia mengambil baju Ramdan yang berserak di lantai dan membuang ke wajahnya. “Dasar keparat! Pakai itu cepat!” Dengan sedikit tergesa, Ramdan mengambil baju dan berlari ke kamar mandi sebelum kembali menemui Harsa. Belum sempat membuka suara, satu bogem mentah berhasil mendarat mulus di rahang kiri Ramdan. Dia tersungkur dengan darah yang mengalir dari sudut bibirnya yang robek. Harsa menggeram kesal sebelum menarik kerah baju Ramdan dan memaksanya untuk berdiri. Dia menatap nyalang pria di depannya. Lalu, satu pukulan lagi dia sarangkan ke perut pria yang setahun terakhir bekerja sebagai sopir pribadinya itu. Ramdan seketika membungkuk dan terbatuk kecil. Namun, Harsa kembali menarik kerah bajunya. “Jadi inikah balasanmu, Ramdan! Setelah aku memberimu pekerjaan, kamu malah merusak anakku!” “Bu-bukan begitu, Pak. Ini ... ini hanya salah paham. Saya enggak mungkin berani untuk ....” “Halah, alasan! Mana ada maling mau ngaku, penjara bisa penuh! Sekarang ikut aku!” Harsa menyeret Ramdan keluar kamar. Sementara, pria itu melirik Elea yang masih terguguk di ranjang. Dia menggeleng lemah sebelum mengikuti Harsa dengan terseok-seok. Di ruang kerja yang ada di dekat tangga, Harsa menarik Ramdan masuk dan mendorongnya kasar hingga terhuyung. Lalu, secara membabi buta dia kembali melayangkan pukulan di wajah sopirnya. Sementara, Ramdan berusaha untuk menangkis pukulan, tetapi malah membuat Harsa makin menggila memukulnya. Lima menit berselang, Harsa menyudahi pukulannya. Dia duduk di sofa dan menatap penuh ejekan Ramdan yang terbaring di lantai dengan wajah penuh luka. Sementara, Ramdan beringsut duduk dan mundur perlahan sampai menabrak tembok. Dia mengusap bagian yang sakit sambil menatap penuh tanya pria paruh baya di depannya. “Pak, saya bisa jelaskan semuanya. Ini enggak seperti yang Bapak pikirkan. Saya enggak ....” “Halah, mau nyangkal apa lagi kamu, Ramdan! Semua bukti sudah jelas! Mana mungkin Elea mau sama kamu kalau bukan kamu yang maksa!” “Tapi, Pak ....” “Cukup! Kamu sudah buat aku marah, Ramdan! Aku akan laporkan kamu ke polisi sekarang!” Harsa mengambil ponsel dan hendak menghubungi polisi. Namun, Ramdan merangkak mendekat dan memegang kaki pria paruh baya itu. Dia mendongak dan menatap penuh permohonan. “Pak, tolong jangan laporkan saya ke polisi. Saya enggak salah, Pak. Ini semua hanya salah paham. Saya bisa ....” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Harsa yang menggeram kesal kembali menendang kaki Ramdan hingga mengerang kesakitan. Dia meremas kuat ponselnya sebelum bangkit dari duduk dan kembali menendang tubuh pria itu. Setelahnya, dia beranjak ke meja kerja dan membelakangi Ramdan. Harsa menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum berbalik menghadap sang sopir. “Oke, aku tidak akan melaporkanmu ke polisi, tapi ada satu syarat yang harus kamu lakukan.” “Syarat apa, Pak? Saya akan lakukan apa saja selama tidak dipenjara.” Harsa menyeringai sebelum berkata. “Nikahi Elea secepatnya!” Ramdan membeliak mendengar syarat yang diajukan Harsa. Dia tidak menyangka akan mendapat syarat yang begitu sulit. Namun, belum sempat pria itu menimpali, Elea yang sejak tadi menguping menerobos masuk. “Enggak, Pa! Elea enggak mau nikah sama dia! Dia itu hanya seorang sopir!” “Terus kamu maunya apa, El? Kamu mau semua orang tahu kalau kamu sudah diperawani sama pria tak bertanggung jawab, hah! Ini aib, El! Aib buat keluarga besar kita!” Harsa menyugar rambut sambil menghela napas panjang. Mendadak nyeri menyergap kepalanya. Dia mengempaskan tubuh ke sofa sambil memijat pelan pangkal hidungnya, sedangkan Elea duduk di sebelahnya. “Elea tahu, Pa. Tapi Elea enggak mau nikah sama dia! Penjarain aja dia!” seru Elea sambil menunjuk Ramdan dengan dagunya. “Jangan, Mbak. Tolong jangan penjarakan saya. Saya masih punya satu adik yang butuh biaya besar. Kalau saya dipenjara, bagaimana nasib adik saya?” “Itu bukan urusan aku, Ramdan! Salah sendiri kenapa kamu meniduri aku!” “Saya enggak mungkin lakukan itu, Mbak. Masuk ke kamar Mbak El saja, saya tidak berani apa lagi sampai ....” “Cukup!” seru Harsa sambil menatap Ramdan dan Elea bergantian. “Papa sudah ambil keputusan, El. Mau tidak mau, setuju tidak setuju, kamu harus tetap menikah dengan Ramdan secepatnya!” “Tapi, Pa ....” “Keputusan Papa mutlak, El. Nanti malam kamu menikah dengan dia!” seru Harsa sambil bangkit dari duduk dan beranjak keluar ruang kerja. Sementara, Elea segera bangkit dan menyusul ayahnya. Namun, saat melewati Ramdan, dia berhenti sejenak dan berjongkok. Dengan telunjuk teracung mengarah ke wajah Ramdan, dia berkata. “Aku pastikan kamu akan menyesal telah berbuat ini kepadaku, Ramdan!” Sepeninggal Elea, Ramdan beringsut bangkit. Dia mengusap bagian yang sakit sebelum menatap foto Harsa yang terpampang di belakang kursi kerjanya. Lalu, tatapannya beralih kepada pigura kecil yang memajang foto seorang pria tua sedang duduk di kursi. Dia menyeringai sebelum menyeka darah dari sudut bibirnya. “Akan aku pastikan kalian menerima hukuman secepatnya, Hadiwilaga.” Ramdan berjalan tertatih menuju kamar belakang yang memang disediakan khusus untuknya. Dia membuka baju dan menggantungnya di belakang pintu sebelum mengempaskan tubuh ke kasur. Tubuhnya luar biasa sakit, tetapi hatinya jauh lebih sakit karena difitnah. Dia tak habis pikir bagaimana bisa terbangun di kamar Elea, sedangkan semalam saja dia tidak bertemu dengannya. Ramdan kembali memutar ingatan tentang kejadian semalam. Namun, dia tak menemukan petunjuk apa-apa. Pria itu menyugar rambut sebelum mengantuk-antukkan kepala ke tembok. Dia mengerang kesakitan, menggigit bibir bawah, dan memejamkan mata karena kepalanya mendadak berdenyut nyeri. Ramdan mengusap kepala bagian belakangnya sebelum berbaring dengan posisi tertelungkup. Dia mulai memejamkan mata, tetapi sakit yang mendera membuatnya sulit untuk sekadar menarik napas. Dia kembali duduk dan mengedarkan pandangan. Sesaat, ingatannya tertuju pada CCTV yang terpasang di beberapa titik di rumah itu. Ramdan segera bangkit dan berlalu ke ruang keamanan. Namun, dia harus menelan kecewa karena semalam CCTV sedang mengalami perbaikan. “Siapa yang merencanakan semua ini?”
Ramdan kembali ke kamar, tetapi kasak-kusuk yang terdengar dari para pelayan di rumah itu diiringi tatapan mengintimidasi tertuju kepadanya.“Enak banget si Ramdan itu, baru setahun kerja di sini sudah berani macam-macam sama Mbak Elea. Mau cari mati kayaknya dia.”“Iya, begitulah kalau pengen kaya dengan cara yang instan. Ogah, repot makanya tiduri aja anak majikannya, beres.”“Betul banget. Kita mah boro-boro bisa kaya, enggak dipecat aja udah bersyukur banget. Emang kurang ajar banget si Ramdan itu. Udah dikasih kerjaan, eh, malah ngelunjak.”Entah berapa banyak lagi Ramdan mendengar hinaan tentang dirinya. Dia menghela napas panjang sebelum kembali masuk kamar dan merebah. Dia memejamkan mata sejenak dengan posisi duduk. Namun, gelebah yang ada dalam dada membuatnya sulit untuk terlelap. Dia kembali beringsut duduk dan memijat pelan tengkuknya. Kembali dia mengerang lirih merasakan sakit di sekujur tubuhnya.Tak lama berselang, terdengar suara ketukan di pintu kamar. Ramdan b
Elea mendorong kasar Ramdan hingga terhuyung sebelum kembali mendekat dan melayangkan tatapan tajam. “Sopir sepertimu patutnya tidur di sofa, bukan ranjang mewah milikku!”Ramdan tersenyum tipis sebelum melabuhkan tubuhnya di sofa yang terletak di sudut kamar. Dia menatap tajam sang istri yang nyaman berbaring di ranjang sambil mendekap erat selimutnya. Sementara, Elea balik menatap lekat dengan kesal yang menggerogoti dada.“Jangan pernah berpikir kamu akan mendapatkan jatah malam ini! Kamu hanya suami di atas kertas, enggak lebih! Aku lakukan ini hanya agar tidak dicoret dari keluarga Hadiwilaga!”Ramdan kembali tersenyum tipis sambil menatap lekat Elea. “Deal. Mulai detik ini, kita jalani urusan masing-masing. Tapi ingat, besok kita pulang ke rumah saya.”Ramdan menyambar jas dan dasi sebelum berlalu meninggalkan kamar Elea. Amarah yang membuncah membuatnya memilih pindah kamar demi menjaga kewarasan. Dia takut akan menyakiti Elea sebelum misinya berhasil dijalankan. Saat mel
Ramdan kembali membukakan pintu mobil begitu sampai di kantor Harsa. Lalu, melajukan mobil menuju tempat parkir yang khusus diperuntukkan bagi direktur dan CEO. Setelah melaksanakan tugasnya, Ramdan menunggu di suatu ruangan khusus sambil mencari nomor seseorang. Setelah, mendapatkannya, dia segera menelepon.“Apakah ada kabar? Tadi dia menghubunginya. Apa? Haruskah aku cari orang lain yang lebih kompeten daripada kamu! Cepat temukan dia dan seret ke hadapanku!”Telepon terputus. Ramdan menghela napas panjang sambil menyugar rambut. Lantas, mengeluarkan sebungkus rokok dan menyulutnya. Dia menyesap dalam lintingan nikotin dalam gamitan jemarinya, kemudian mengembuskan asap ke udara.Saat tengah bergelut dengan pikirannya sendiri, mendadak ponselnya berbunyi. Melihat nama Harsa yang terpampang di layar, dia bergegas menjawab panggilan.“Iya, Pak.”“Cepat ke sini! Antarkan aku ke restoran biasanya.”“Siap, Pak.”Ramdan menyudahi mengisap rokok. Dia membuang puntung ke tanah sebel
Ramdan melajukan mobil kembali ke kantor Harsa. Dia fokus menatap jalanan dan bungkam selama perjalanan, tetapi suara Harsa yang duduk di belakang sambil menatap layar ponsel membuatnya harus menajamkan telinga. “Jangan pernah anggap serius masalah tadi, Ramdan. El dan Evan sudah kenal lama. Mungkin kalau El tidak berbuat bodoh, pasti Evan yang akan jadi menantuku, bukan kamu!” Ramdan bergeming. Dia hanya bisa menghela napas panjang untuk meredam ketegangan yang ada. Sungguh, diperlakukan dengan tidak baik oleh mertua dan istri membuat pria itu meradang. Namun, sebisa mungkin dia tahan. Setibanya di kantor, Ramdan kembali membukakan pintu mobil untuk Harsa. Lalu, melajukan kendaraan menuju tempat parkir. Dia menunggu sambil mendengarkan musik dan memejamkan mata. Lelah yang mendera membuat pria itu tertidur. Namun, dia segera terjaga ketika mendengar ponselnya berdering nyaring. Usai melihat nama yang tertera di layar, Ramdan bergegas menjawabnya. “Hem? Yang benar? Oke, nanti mala
“Jangan begitu lagi, Al. Kamu hampir buat Kakakjantungan.” Ramdan masih berusaha mengembalikan denyut jantung Aleta yangsempat berhenti dengan mengompresi dan membuka jalan napasnya. Setelah usahanyayang kesekian kali, jantung gadis itu kembali berdenyut. Ramdan menghela napaspanjang penuh kelegaan sebelum tersenyum tipis. Lalu, mengusap kepala Aleta danmengecup keningnya.Tak lama berselang, pintu terbuka. Lalu, Edrik danseorang dokter setengah berlari mendekati ranjang. Ramdan beringsut bangkitdari ranjang dan bergeming menatap sang dokter yang sedang memeriksa Aleta.Setelahnya, dokter tadi memberikan penjelasan kepada Ramdan sambil tersenyum.“Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Tuan muda. Nona Muda baik-baik saja, mungkinada ledakan emosi yang membuatnya syok tadi.”“Hem.”“Kalau sudah tidak ada yang diperlukan lagi, saya pamit, Tuan Muda.”“Hem. Terima kasih, Dok.”“Anda yang harus berterima kasih pada diri Anda sendiri, Tuan Muda. Nona Mudamasih bisa selamat, karena usah
“Tolong tunjukkankartu membernya, Pak.”Ramdan melajukanmobil menuju sebuah kelab malam. Dia bergegas masuk, tetapi dua orang berbadangempal menahannya.Ramdan mendengkus kesal sebelum mengeluarkan dompet dan menyerahkan sebuahkartu seperti ATM berwarna hitam kepada kedua orang yang ada di depannya.Melihat kartu itu, salah satu orang menelisik Ramdan, lalu menyikut temannya.Kompak keduanya menunduk di depan Ramdan.“Maafkan kami yang tidak mengenali Bos. Silakan masuk, Bos!”Ramdan menyambar kartu yang disodorkan orang tadi dan bergegas masuk. Suaramusik yang mengentak diiringi minimnya cahaya, tak menyurutkan langkah Ramdanuntuk mencari keberadaan Elea. Ketika sedang mencari, seorang pria dengansetelan jas mendekati Ramdan.“Bos Akhtar,” panggil pria itu. Namun, Ramdan bergegas menempelkan telunjuk kebibir sebagai isyarat tutup mulut. Pria yang diketahui sebagai manajer kelabmalam itu mengangguk sekilas. “Bos cari siapa?”“Di mana Elea?” tanya Ramdan sambil mengedarkan pan
“Pagi, Tuan Muda.”Ramdan segera berlalu meninggalkan rumah diiringitatapan penuh tanya Elea. Dia bergegas masuk mobil dan melajukannya menujukediaman Hadiwilaga. Namun, di tengah jalan, dia berhenti dan keluar dari mobilsetelah sebuah motor menghadangnya. Ramdan mengangguk sekilas ketika melihatEdrik turun dari motor dan menghampirinya.“Pagi juga, Ed.”Ramdan segera menaiki motor dan kembali meneruskan perjalanan menuju kediamanHadiwilaga. Setibanya di sana, dia segera berlalu ke belakang dan kembalisambil membawa ember berisi air yang diberi sabun dan lap. Lalu, membersihkanmobil yang biasa dipakai Harsa dengan telaten. Dia pastikan semua bagian mobilbersih dan mengilat, kemudian seulas senyum dia sunggingkan di bibir.“Beres. Tak akan ada yang menyangka kalau seorang Akhtar bisa mencuci mobilsebersih ini.” Ramdan berkata sambil berkacak pinggang, bangga denganpekerjaannya. Dia mengedarkan pandangan dan memastikan tak ada yang mendengarucapannya tadi.Setelahnya, Ramdan
“Mau apa kamu ke sini?” Orang di depannya belum jugamenjawab, Ramdan kembali mengulang pertanyaan. “Maaf, Pak. Tadi di kantor ada undangan makan bersama dengan pimpinan dari HWGrup. Karena Bapak sulit dihubungi, makanya saya memutuskan untuk mewakiliperusahaan.”Ramdan menghela napas panjang sebelum berkata. “Oke, lanjutkan tugas kamu danlaporkan apa sebenarnya yang diinginkan pria tua itu.”“Siap, Pak. Nanti saya kabari lewat pesan singkat saja.”“Kirimkan saja lewat email. Nanti aku akan membukanya tengah malam, karenanomor lamaku untuk sementara tidak aktif.”“Siap, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu.”“Hem.”Ramdan mempersilakan Deni, manajer operasional di perusahaannya itu berlalu.Dia memaku pandangan kepada pria itu sampai mengulang di balik pintu.Setelahnya, dia memilih menunggu di dalam mobil sambil mendengarkan musik.Lelah yang mendera membuatnya perlahan memejamkan mata.Satu jam berselang, Ramdan tergagap bangun ketika mendengar suara kaca diketuk.Dia menoleh da