Share

Pesona Suami yang Diremehkan
Pesona Suami yang Diremehkan
Author: Afnasya

1. Semua Berawal

“Apa yang terjadi? Mengapa aku—?”

Elea bangun dalam keadaan bingung dan kacau, dirinya sadar atas apa yang dilakukan Ramdan malam tadi, Elea sudah berusaha untuk memberontak, tetapi tenanga Ramdan tidak bisa ia tandingi.

Ramdan bangin setelah mendengar suara teriakan diiringi tangis seorang wanita. Dia beringsut duduk sambil memegangi kepala yang terasa berat. Dia menggeleng lemah untuk mengembalikan kesadaran. Namun, belum sempat memahami situasi yang sedang terjadi, mendadak seseorang menamparnya.

“Kamu jahat! Teganya kamu berbuat begini kepadaku, Ramdan!”

Ramdan memegangi pipi kirinya yang terasa panas sebelum menoleh. Dia terkejut dan langsung mundur saat melihat Elea sedang menangis tersedu-sedu sambil mendekap erat selimut yang menutupi bagian atas tubuhnya.

“Memangnya apa yang ....”

Belum sempat melanjutkan pertanyaan, suara pintu yang berhasil didobrak membuatnya menoleh. Dia membeliak saat mendapati Harsa—pemilik rumah sekaligus ayah Elea—masuk bersama seorang pelayan. Pria paruh baya itu terkejut sesaat sebelum mendengkus kesal dan mendekati Ramdan. Dengan dipenuhi amarah, dia mengambil baju Ramdan yang berserak di lantai dan membuang ke wajahnya.

“Dasar keparat! Pakai itu cepat!”

Dengan sedikit tergesa, Ramdan mengambil baju dan berlari ke kamar mandi sebelum kembali menemui Harsa. Belum sempat membuka suara, satu bogem mentah berhasil mendarat mulus di rahang kiri Ramdan. Dia tersungkur dengan darah yang mengalir dari sudut bibirnya yang robek.

Harsa menggeram kesal sebelum menarik kerah baju Ramdan dan memaksanya untuk berdiri. Dia menatap nyalang pria di depannya. Lalu, satu pukulan lagi dia sarangkan ke perut pria yang setahun terakhir bekerja sebagai sopir pribadinya itu. Ramdan seketika membungkuk dan terbatuk kecil. Namun, Harsa kembali menarik kerah bajunya.

“Jadi inikah balasanmu, Ramdan! Setelah aku memberimu pekerjaan, kamu malah merusak anakku!”

“Bu-bukan begitu, Pak. Ini ... ini hanya salah paham. Saya enggak mungkin berani untuk ....”

“Halah, alasan! Mana ada maling mau ngaku, penjara bisa penuh! Sekarang ikut aku!”

Harsa menyeret Ramdan keluar kamar. Sementara, pria itu melirik Elea yang masih terguguk di ranjang. Dia menggeleng lemah sebelum mengikuti Harsa dengan terseok-seok.

Di ruang kerja yang ada di dekat tangga, Harsa menarik Ramdan masuk dan mendorongnya kasar hingga terhuyung. Lalu, secara membabi buta dia kembali melayangkan pukulan di wajah sopirnya. Sementara, Ramdan berusaha untuk menangkis pukulan, tetapi malah membuat Harsa makin menggila memukulnya.

Lima menit berselang, Harsa menyudahi pukulannya. Dia duduk di sofa dan menatap penuh ejekan Ramdan yang terbaring di lantai dengan wajah penuh luka. Sementara, Ramdan beringsut duduk dan mundur perlahan sampai menabrak tembok. Dia mengusap bagian yang sakit sambil menatap penuh tanya pria paruh baya di depannya.

“Pak, saya bisa jelaskan semuanya. Ini enggak seperti yang Bapak pikirkan. Saya enggak ....”

“Halah, mau nyangkal apa lagi kamu, Ramdan! Semua bukti sudah jelas! Mana mungkin Elea mau sama kamu kalau bukan kamu yang maksa!”

“Tapi, Pak ....”

“Cukup! Kamu sudah buat aku marah, Ramdan! Aku akan laporkan kamu ke polisi sekarang!”

Harsa mengambil ponsel dan hendak menghubungi polisi. Namun, Ramdan merangkak mendekat dan memegang kaki pria paruh baya itu. Dia mendongak dan menatap penuh permohonan.

“Pak, tolong jangan laporkan saya ke polisi. Saya enggak salah, Pak. Ini semua hanya salah paham. Saya bisa ....”

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Harsa yang menggeram kesal kembali menendang kaki Ramdan hingga mengerang kesakitan. Dia meremas kuat ponselnya sebelum bangkit dari duduk dan kembali menendang tubuh pria itu. Setelahnya, dia beranjak ke meja kerja dan membelakangi Ramdan. Harsa menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum berbalik menghadap sang sopir.

“Oke, aku tidak akan melaporkanmu ke polisi, tapi ada satu syarat yang harus kamu lakukan.”

“Syarat apa, Pak? Saya akan lakukan apa saja selama tidak dipenjara.”

Harsa menyeringai sebelum berkata. “Nikahi Elea secepatnya!”

Ramdan membeliak mendengar syarat yang diajukan Harsa. Dia tidak menyangka akan mendapat syarat yang begitu sulit. Namun, belum sempat pria itu menimpali, Elea yang sejak tadi menguping menerobos masuk.

“Enggak, Pa! Elea enggak mau nikah sama dia! Dia itu hanya seorang sopir!”

“Terus kamu maunya apa, El? Kamu mau semua orang tahu kalau kamu sudah diperawani sama pria tak bertanggung jawab, hah! Ini aib, El! Aib buat keluarga besar kita!”

Harsa menyugar rambut sambil menghela napas panjang. Mendadak nyeri menyergap kepalanya. Dia mengempaskan tubuh ke sofa sambil memijat pelan pangkal hidungnya, sedangkan Elea duduk di sebelahnya.

“Elea tahu, Pa. Tapi Elea enggak mau nikah sama dia! Penjarain aja dia!” seru Elea sambil menunjuk Ramdan dengan dagunya.

“Jangan, Mbak. Tolong jangan penjarakan saya. Saya masih punya satu adik yang butuh biaya besar. Kalau saya dipenjara, bagaimana nasib adik saya?”

“Itu bukan urusan aku, Ramdan! Salah sendiri kenapa kamu meniduri aku!”

“Saya enggak mungkin lakukan itu, Mbak. Masuk ke kamar Mbak El saja, saya tidak berani apa lagi sampai ....”

“Cukup!” seru Harsa sambil menatap Ramdan dan Elea bergantian. “Papa sudah ambil keputusan, El. Mau tidak mau, setuju tidak setuju, kamu harus tetap menikah dengan Ramdan secepatnya!”

“Tapi, Pa ....”

“Keputusan Papa mutlak, El. Nanti malam kamu menikah dengan dia!” seru Harsa sambil bangkit dari duduk dan beranjak keluar ruang kerja. Sementara, Elea segera bangkit dan menyusul ayahnya. Namun, saat melewati Ramdan, dia berhenti sejenak dan berjongkok. Dengan telunjuk teracung mengarah ke wajah Ramdan, dia berkata.

“Aku pastikan kamu akan menyesal telah berbuat ini kepadaku, Ramdan!”

Sepeninggal Elea, Ramdan beringsut bangkit. Dia mengusap bagian yang sakit sebelum menatap foto Harsa yang terpampang di belakang kursi kerjanya. Lalu, tatapannya beralih kepada pigura kecil yang memajang foto seorang pria tua sedang duduk di kursi. Dia menyeringai sebelum menyeka darah dari sudut bibirnya.

“Akan aku pastikan kalian menerima hukuman secepatnya, Hadiwilaga.”

Ramdan berjalan tertatih menuju kamar belakang yang memang disediakan khusus untuknya. Dia membuka baju dan menggantungnya di belakang pintu sebelum mengempaskan tubuh ke kasur. Tubuhnya luar biasa sakit, tetapi hatinya jauh lebih sakit karena difitnah. Dia tak habis pikir bagaimana bisa terbangun di kamar Elea, sedangkan semalam saja dia tidak bertemu dengannya.

Ramdan kembali memutar ingatan tentang kejadian semalam. Namun, dia tak menemukan petunjuk apa-apa. Pria itu menyugar rambut sebelum mengantuk-antukkan kepala ke tembok. Dia mengerang kesakitan, menggigit bibir bawah, dan memejamkan mata karena kepalanya mendadak berdenyut nyeri.

Ramdan mengusap kepala bagian belakangnya sebelum berbaring dengan posisi tertelungkup. Dia mulai memejamkan mata, tetapi sakit yang mendera membuatnya sulit untuk sekadar menarik napas. Dia kembali duduk dan mengedarkan pandangan. Sesaat, ingatannya tertuju pada CCTV yang terpasang di beberapa titik di rumah itu. Ramdan segera bangkit dan berlalu ke ruang keamanan. Namun, dia harus menelan kecewa karena semalam CCTV sedang mengalami perbaikan.

“Siapa yang merencanakan semua ini?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status