“Jangan begitu lagi, Al. Kamu hampir buat Kakak jantungan.” Ramdan masih berusaha mengembalikan denyut jantung Aleta yang sempat berhenti dengan mengompresi dan membuka jalan napasnya. Setelah usahanya yang kesekian kali, jantung gadis itu kembali berdenyut. Ramdan menghela napas panjang penuh kelegaan sebelum tersenyum tipis. Lalu, mengusap kepala Aleta dan mengecup keningnya.
Tak lama berselang, pintu terbuka. Lalu, Edrik dan seorang dokter setengah berlari mendekati ranjang. Ramdan beringsut bangkit dari ranjang dan bergeming menatap sang dokter yang sedang memeriksa Aleta. Setelahnya, dokter tadi memberikan penjelasan kepada Ramdan sambil tersenyum. “Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Tuan muda. Nona Muda baik-baik saja, mungkin ada ledakan emosi yang membuatnya syok tadi.” “Hem.” “Kalau sudah tidak ada yang diperlukan lagi, saya pamit, Tuan Muda.” “Hem. Terima kasih, Dok.” “Anda yang harus berterima kasih pada diri Anda sendiri, Tuan Muda. Nona Muda masih bisa selamat, karena usaha Tuan Muda tadi.” Ramdan menatap Aleta yang masih terbaring tak sadarkan diri di depannya. Lalu, dia mengangguk sekilas usai sang dokter kembali pamit undur diri. Ramdan menghela napas panjang. Dia meraup wajah dan menyugar rambut dengan memberikan sedikit penekanan pada kulit kepala karena nyeri yang mendadak menyerang. Dia kembali menghela napas panjang sebelum berlalu meninggalkan kamar. Langkah berat membawa pria itu menuju balkon yang terletak di antara kamarnya dan kamar Aleta. Dia berdiri sambil bertumpu pada besi balkon. Lalu, menatap hamparan padang hijau di depannya. “Tuan Muda,” panggil Edrik begitu mengetahui Ramdan termenung di balkon. “Kenapa dunia begitu kejam pada Aleta, Ed? Kenapa dunia tak membiarkan gadis kesayanganku bahagia, Ed? Apa salah Aleta sampai harus menderita begini? Aku benci mereka, Ed! Sangat benci!” Ramdan kembali menghela napas panjang. Dia meraup wajah kasar sebelum menengadah sambil memejamkan mata sejenak untuk mengusir ketegangan yang ada. Sementara, Edrik bergeming. Pria paruh baya itu tak berani menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan sang majikan. Ramdan kembali menatap padang hijau yang biasanya menjadi tempat dia bermain golf bersama Aleta. Dia menggeram kesal sebelum memukul besi pagar balkon untuk meluapkan kekesalannya. “Kenapa di saat Aleta terluka dan memendam sakitnya sendirian, mereka justru menikmati hidup! Tertawa puas dan bangga dengan pencapaian mereka, padahal ada seseorang yang menderita di sini!” Ramdan berbalik dan melayangkan tatapan tajam kepada Edrik. Pria paruh baya itu mulai menunduk karena tak ingin menambah kemarahan yang sudah menggerogoti dada sang majikan. “Dunia benar-benar enggak adil padaku, Ed! Di mana sebenarnya penjahat itu! Aaargh!” Ramdan meninju angin sebelum berlalu meninggalkan Edrik yang mematung di tempat. Dia berlalu ke kamar dan membanting pintu. Lalu, mengambil sebungkus rokok dan korek sebelum membawanya ke balkon kamarnya. Dia mengempaskan kasar tubuhnya di kursi, lalu mengeluarkan sebatang rokok, dan menyulutnya. Dia mengisap dalam lintingan nikotin sebelum mengepulkan asap kelabu ke udara. Ketika sedang menikmati kesendiriannya, suara pintu diketuk membuat Ramdan menoleh. Melihat Edrik yang masuk, pria itu kembali menyesap rokok. “Ada apa lagi, Ed?” “Maaf, Tuan Muda. Saya lihat ada luka di sudut bibir Tuan Muda. Boleh saya bersihkan?” “Hem.” Ramdan bergeming kala Edrik membersihkan dan mengobati luka karena pukulan Evan. Rasa sakit yang ditimbulkan tak sepadan dengan sakit hati yang ditorehkan oleh seseorang. Usai diobati, Ramdan menatap langit yang dipenuhi bintang sambil terus menyesap dalam nikotin dalam gamitan jarinya. “Ed, cara apa lagi yang harus aku lakukan sekarang? Kenapa penjahat itu seperti menghilang ditelan bumi. Licik sekali keluarga Hadiwilaga itu. Penjahat yang seharusnya mendekam di penjara, sekarang malah bebas berkeliaran bahkan menghilang.” “Memangnya belum ada kabar dari Toni, Tuan Muda?” “Bukan cuma Toni, aku sudah menyuruh Alfred, Will, Big, dan Spike. Tapi, mereka sama sekali belum memberikan hasil. Sialan!” “Lalu, informasi dari dalam bagaimana, Tuan Muda?” “Aaargh! Mereka sama saja! Setiap kali aku tanya tentang keberadaan penjahat itu, mereka bungkam dan langsung pergi! Sialan! Jalanku buntu, Ed! Buntu!” “Sabar, Tuan Muda. Kenapa tidak dekati saja Nona Elea?” “Wanita bodoh itu tahu apa! Dia hanya tahu cara memuaskan diri dengan para pria! Jijik aku melihatnya!” “Tapi, bukankah lebih gampang mencari informasi dari Nona Elea, Tuan Muda? Coba aja dekati terus, siapa tahu dia malah membongkar semuanya.” “Sialan! Jadi kamu mau aku mengemis ke wanita bodoh itu! Aaargh!” Ramdan langsung bangkit dari kursi, membuang rokok, dan menendang meja sebelum berlalu ke dalam. Sementara, Edrik yang sempat mengulum senyum langsung menunduk dan mengekor sang majikan. “Maaf, Tuan Muda. Bukan maksud saya untuk ....” Edrik langsung berlalu. Jika sudah melihat Ramdan marah, tak ada siapa pun yang berani mendekat. Kalau dulu dia akan segera main tangan begitu tersulut amarahnya. Namun, sekarang pria itu lebih bisa meredam amarah meskipun belum sepenuhnya. Sepeninggal Edrik, Ramdan berdiri di ambang pintu yang mengarah ke balkon sambil berkacak pinggang. Namun, dia segera menoleh saat mendengar suara ponselnya berdering nyaring. Usai, membaca nama yang tertera di layar, Ramdan mendengkus kesal sebelum menjawab panggilan. Suara di seberang telepon berhasil membuat kesal yang berkecamuk di dada makin membuncah. Dia bergegas berganti baju dan berjalan keluar kamar dengan tergesa.
“Pergilah, Ed! Sebelum aku makin marah dan mematahkan rahangmu!”
“Tolong tunjukkankartu membernya, Pak.”Ramdan melajukanmobil menuju sebuah kelab malam. Dia bergegas masuk, tetapi dua orang berbadangempal menahannya.Ramdan mendengkus kesal sebelum mengeluarkan dompet dan menyerahkan sebuahkartu seperti ATM berwarna hitam kepada kedua orang yang ada di depannya.Melihat kartu itu, salah satu orang menelisik Ramdan, lalu menyikut temannya.Kompak keduanya menunduk di depan Ramdan.“Maafkan kami yang tidak mengenali Bos. Silakan masuk, Bos!”Ramdan menyambar kartu yang disodorkan orang tadi dan bergegas masuk. Suaramusik yang mengentak diiringi minimnya cahaya, tak menyurutkan langkah Ramdanuntuk mencari keberadaan Elea. Ketika sedang mencari, seorang pria dengansetelan jas mendekati Ramdan.“Bos Akhtar,” panggil pria itu. Namun, Ramdan bergegas menempelkan telunjuk kebibir sebagai isyarat tutup mulut. Pria yang diketahui sebagai manajer kelabmalam itu mengangguk sekilas. “Bos cari siapa?”“Di mana Elea?” tanya Ramdan sambil mengedarkan pan
“Pagi, Tuan Muda.”Ramdan segera berlalu meninggalkan rumah diiringitatapan penuh tanya Elea. Dia bergegas masuk mobil dan melajukannya menujukediaman Hadiwilaga. Namun, di tengah jalan, dia berhenti dan keluar dari mobilsetelah sebuah motor menghadangnya. Ramdan mengangguk sekilas ketika melihatEdrik turun dari motor dan menghampirinya.“Pagi juga, Ed.”Ramdan segera menaiki motor dan kembali meneruskan perjalanan menuju kediamanHadiwilaga. Setibanya di sana, dia segera berlalu ke belakang dan kembalisambil membawa ember berisi air yang diberi sabun dan lap. Lalu, membersihkanmobil yang biasa dipakai Harsa dengan telaten. Dia pastikan semua bagian mobilbersih dan mengilat, kemudian seulas senyum dia sunggingkan di bibir.“Beres. Tak akan ada yang menyangka kalau seorang Akhtar bisa mencuci mobilsebersih ini.” Ramdan berkata sambil berkacak pinggang, bangga denganpekerjaannya. Dia mengedarkan pandangan dan memastikan tak ada yang mendengarucapannya tadi.Setelahnya, Ramdan
“Mau apa kamu ke sini?” Orang di depannya belum jugamenjawab, Ramdan kembali mengulang pertanyaan. “Maaf, Pak. Tadi di kantor ada undangan makan bersama dengan pimpinan dari HWGrup. Karena Bapak sulit dihubungi, makanya saya memutuskan untuk mewakiliperusahaan.”Ramdan menghela napas panjang sebelum berkata. “Oke, lanjutkan tugas kamu danlaporkan apa sebenarnya yang diinginkan pria tua itu.”“Siap, Pak. Nanti saya kabari lewat pesan singkat saja.”“Kirimkan saja lewat email. Nanti aku akan membukanya tengah malam, karenanomor lamaku untuk sementara tidak aktif.”“Siap, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu.”“Hem.”Ramdan mempersilakan Deni, manajer operasional di perusahaannya itu berlalu.Dia memaku pandangan kepada pria itu sampai mengulang di balik pintu.Setelahnya, dia memilih menunggu di dalam mobil sambil mendengarkan musik.Lelah yang mendera membuatnya perlahan memejamkan mata.Satu jam berselang, Ramdan tergagap bangun ketika mendengar suara kaca diketuk.Dia menoleh da
“Inikah yang disebut merapikan, Mbak?”Ramdan bergegas ke dapur dan terkesiap melihat airmulai membasahi seluruh lantai. Dia bergegas ke wastafel dan menutup keran yangpatah sebelum mematikan saluran air utama. Dia menghela napas panjang danberkacak pinggang melihat lebih banyak kekacauan yang terjadi.Ramdan menggeleng lemah sambil menjambak rambut karena frustasi. Lalu,mengepalkan tangan dan menengadah. Dia menajamkan mata sejenak untuk meredamketegangan yang ada sebelum berbalik dan menatap Elea.“Memang bukan. Tapi, aku sudah berusaha, kan? Lagipula kenapa nyuruh-nyuruhaku! Ini rumahmu, jadi kamu yang harus membereskan!”Elea segera berlalu tanpa rasa bersalah. Sementara, Ramdan menggeram kesal danmemilih segera berlalu ke kamar. Dia mengambil ponsel dan menghubungi Edrik.Begitu teleponnya dijawab, pria itu langsung memberi perintah.“Kirimkan dua orang untuk membereskan rumahku sekarang, Ed!”Ramdan segera mematikan panggilan. Dia kembali menjambak rambut sebelum meninju
Ramdan menggeram kesal ketika pertanyaannya malah dijawab dengan tawa berderai. Dia beringsut bangkit sambil memegang perutnya yang masih terasa sakit. Dia bergeming sejenak sebelum berlari sambil melayangkan kepalan tinjunya. Lalu, membabi buta memukul keempat pria itu. Ramdan tak mampu fokus dengan serangannya karena kepala yang kembali berdenyut hebat akibat pengaruh alkohol. Tak ingin terpojok, Ramdan sebisa mungkin menahan dan melawan. Namun, kalah jumlah membuatnya harus tersungkur dengan lebam yang ada di sudut bibirnya. Dia mengerang kesakitan sebelum mencoba kembali bangkit. Namun, saat hendak kembali menyerang, sebuah pukulan di belakang kepala membuatnya terkapar tak sadarkan diri.Saat terjaga, Ramdan sudah berada di sebuah ruangan yang gelap. Dia mengedarkan pandangan dan berusaha untuk bergerak, tetapi susah. “Sialan! Apa mau mereka sebenarnya! Aaargh!”Ramdan kembali bergerak, berusaha untuk membebaskan diri, tetapi hanya sakit yang terasa di pergelangan tangan da
Ramdan mengambil baju dan keluar kamar. Dia berjalan menuju kamar sang adik dan membuka pintunya. Seulas senyum dia sunggingkan sambil mengikis jarak dengan ranjang. Lalu, dia duduk di tepi ranjang dan mengusap lembut rambut Aleta.“Kapan kamu bangun, Al? Kakak kesepian. Maafkan Kakak karena belum berhasil membawa penjahat itu ke sini. Tapi, Kakak janji akan segera menemukannya.”Ramdan mengecup lama kening Aleta. Lalu, bangkit dari duduk dan berlalu keluar kamar. Dia berjalan ke balkon dan bergeming. Menatap hamparan Padang hijau dalam kegelapan dan dinginnya malam. Dia menghela napas panjang dan hendak berbalik. Namun, dia terkesiap ketika melihat Edrik sudah berdiri di ambang pintu.“Kamu sudah dapat apa yang aku perintahkan, Ed?”“Sudah, Tuan Muda.”“Bagus. Katakan apa yang kamu dapat!”“Mereka sengaja menyekap Tuan Muda atas perintah seseorang. Orang itu sakit hati karena pernah diusir dari rumah Tuan Muda, sehingga dia memberi sedikit pelajaran. Orang ini juga tidak terima
“Tuan Muda ....”Hanya kata itu yang didengar Ramdan saat pertama kali membuka mata. Dia beringsut duduk sambil memegang kepala yang berdenyut nyeri. Lalu, menyandarkan punggung pada kepala ranjang. Ramdan menggeleng berulang kali, tetapi rasa sakit yang membebat kepala makin menjadi.“Tuan Muda, tidak apa-apa? Apa perlu saya panggilkan dokter? Tadi Tua Muda pingsan di dekat ranjang. Saya juga menemukan memar di kepala Tuan Muda.”Ramdan menggeleng lemah, kemudian mengibaskan tangan meminta Edrik pergi. Setelahnya, dia menajamkan mata dengan posisi setengah duduk. Namun, dia kembali membuka mata kala melihat Edrik masuk sambil membawa nampan berisi roti lapis isi tuna dan segelas teh hangat.“Sarapannya, Tuan Muda. Sekalian obat pereda nyeri yang disarankan dokter.”“Makasih, Ed. Belikan aku ponsel baru beserta nomornya. Ponselku kemarin diambil mereka.”“Siap, Tuan Muda.”Edrik berlalu dari hadapan Ramdan. Sementara, pria itu beringsut mengambil sarapan dan mengunyahnya perlah
“Hai, Dad? How are you?”“Fine, Son. What’s about you?”“I’m fine too, Dad.”“Aleta?”“Masih sama seperti tiga tahun lalu, Pi. Belum ada perkembangan sama sekali.”“Tidakkah sebaiknya kita bawa Aleta berobat di sini saja, Tar?”“Pengobatan dalam negeri tak kalah bagus, Pi. Hanya butuh kesabaran saja sampai Aleta sadar lagi.”Terdengar helaan napas panjang dari ujung telepon. Ramdan tahu sang ayah juga merasakan hal yang sama sepertinya. Namun, setelah semua usaha yang dilakukan, saatnya pasrah dan berharap keajaiban datang menyapa sang adik.“Kabari Papi kalau ada apa-apa, Tar. Papi kangen Aleta, tapi pekerjaan di sini tak dapat Papi tinggalkan.”“It’s okay, Dad. Akhtar akan selalu kasih kabar tentang perkembangan Aleta. Salam buat Mami, kapan-kapan Akhtar akan pergi ke sana untuk mengunjungi kalian. Tentunya bersama Aleta.”“Lalu, menantu Papi? Oh, ayolah, Tar! Papi sama Mami semakin tua, sudah saatnya melihat kamu menikah dan punya cucu.”“Nanti saja kalau penjahat itu su