Share

6. Luka Lama

“Jangan begitu lagi, Al. Kamu hampir buat Kakak jantungan.” Ramdan masih berusaha mengembalikan denyut jantung Aleta yang sempat berhenti dengan mengompresi dan membuka jalan napasnya. Setelah usahanya yang kesekian kali, jantung gadis itu kembali berdenyut. Ramdan menghela napas panjang penuh kelegaan sebelum tersenyum tipis. Lalu, mengusap kepala Aleta dan mengecup keningnya.

Tak lama berselang, pintu terbuka. Lalu, Edrik dan seorang dokter setengah berlari mendekati ranjang. Ramdan beringsut bangkit dari ranjang dan bergeming menatap sang dokter yang sedang memeriksa Aleta. Setelahnya, dokter tadi memberikan penjelasan kepada Ramdan sambil tersenyum.

“Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Tuan muda. Nona Muda baik-baik saja, mungkin ada ledakan emosi yang membuatnya syok tadi.”

“Hem.”

“Kalau sudah tidak ada yang diperlukan lagi, saya pamit, Tuan Muda.”

“Hem. Terima kasih, Dok.”

“Anda yang harus berterima kasih pada diri Anda sendiri, Tuan Muda. Nona Muda masih bisa selamat, karena usaha Tuan Muda tadi.”

Ramdan menatap Aleta yang masih terbaring tak sadarkan diri di depannya. Lalu, dia mengangguk sekilas usai sang dokter kembali pamit undur diri.

Ramdan menghela napas panjang. Dia meraup wajah dan menyugar rambut dengan memberikan sedikit penekanan pada kulit kepala karena nyeri yang mendadak menyerang. Dia kembali menghela napas panjang sebelum berlalu meninggalkan kamar. Langkah berat membawa pria itu menuju balkon yang terletak di antara kamarnya dan kamar Aleta. Dia berdiri sambil bertumpu pada besi balkon. Lalu, menatap hamparan padang hijau di depannya.

“Tuan Muda,” panggil Edrik begitu mengetahui Ramdan termenung di balkon.

“Kenapa dunia begitu kejam pada Aleta, Ed? Kenapa dunia tak membiarkan gadis kesayanganku bahagia, Ed? Apa salah Aleta sampai harus menderita begini? Aku benci mereka, Ed! Sangat benci!”

Ramdan kembali menghela napas panjang. Dia meraup wajah kasar sebelum menengadah sambil memejamkan mata sejenak untuk mengusir ketegangan yang ada. Sementara, Edrik bergeming. Pria paruh baya itu tak berani menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan sang majikan.

Ramdan kembali menatap padang hijau yang biasanya menjadi tempat dia bermain golf bersama Aleta. Dia menggeram kesal sebelum memukul besi pagar balkon untuk meluapkan kekesalannya.

“Kenapa di saat Aleta terluka dan memendam sakitnya sendirian, mereka justru menikmati hidup! Tertawa puas dan bangga dengan pencapaian mereka, padahal ada seseorang yang menderita di sini!”

Ramdan berbalik dan melayangkan tatapan tajam kepada Edrik. Pria paruh baya itu mulai menunduk karena tak ingin menambah kemarahan yang sudah menggerogoti dada sang majikan.

“Dunia benar-benar enggak adil padaku, Ed! Di mana sebenarnya penjahat itu! Aaargh!”

Ramdan meninju angin sebelum berlalu meninggalkan Edrik yang mematung di tempat. Dia berlalu ke kamar dan membanting pintu. Lalu, mengambil sebungkus rokok dan korek sebelum membawanya ke balkon kamarnya. Dia mengempaskan kasar tubuhnya di kursi, lalu mengeluarkan sebatang rokok, dan menyulutnya. Dia mengisap dalam lintingan nikotin sebelum mengepulkan asap kelabu ke udara.

Ketika sedang menikmati kesendiriannya, suara pintu diketuk membuat Ramdan menoleh. Melihat Edrik yang masuk, pria itu kembali menyesap rokok.

“Ada apa lagi, Ed?”

“Maaf, Tuan Muda. Saya lihat ada luka di sudut bibir Tuan Muda. Boleh saya bersihkan?”

“Hem.”

Ramdan bergeming kala Edrik membersihkan dan mengobati luka karena pukulan Evan. Rasa sakit yang ditimbulkan tak sepadan dengan sakit hati yang ditorehkan oleh seseorang. Usai diobati, Ramdan menatap langit yang dipenuhi bintang sambil terus menyesap dalam nikotin dalam gamitan jarinya.

“Ed, cara apa lagi yang harus aku lakukan sekarang? Kenapa penjahat itu seperti menghilang ditelan bumi. Licik sekali keluarga Hadiwilaga itu. Penjahat yang seharusnya mendekam di penjara, sekarang malah bebas berkeliaran bahkan menghilang.”

“Memangnya belum ada kabar dari Toni, Tuan Muda?”

“Bukan cuma Toni, aku sudah menyuruh Alfred, Will, Big, dan Spike. Tapi, mereka sama sekali belum memberikan hasil. Sialan!”

“Lalu, informasi dari dalam bagaimana, Tuan Muda?”

“Aaargh! Mereka sama saja! Setiap kali aku tanya tentang keberadaan penjahat itu, mereka bungkam dan langsung pergi! Sialan! Jalanku buntu, Ed! Buntu!”

“Sabar, Tuan Muda. Kenapa tidak dekati saja Nona Elea?”

“Wanita bodoh itu tahu apa! Dia hanya tahu cara memuaskan diri dengan para pria! Jijik aku melihatnya!”

“Tapi, bukankah lebih gampang mencari informasi dari Nona Elea, Tuan Muda? Coba aja dekati terus, siapa tahu dia malah membongkar semuanya.”

“Sialan! Jadi kamu mau aku mengemis ke wanita bodoh itu! Aaargh!”

Ramdan langsung bangkit dari kursi, membuang rokok, dan menendang meja sebelum berlalu ke dalam. Sementara, Edrik yang sempat mengulum senyum langsung menunduk dan mengekor sang majikan.

“Maaf, Tuan Muda. Bukan maksud saya untuk ....”

Edrik langsung berlalu. Jika sudah melihat Ramdan marah, tak ada siapa pun yang berani mendekat. Kalau dulu dia akan segera main tangan begitu tersulut amarahnya. Namun, sekarang pria itu lebih bisa meredam amarah meskipun belum sepenuhnya.

Sepeninggal Edrik, Ramdan berdiri di ambang pintu yang mengarah ke balkon sambil berkacak pinggang. Namun, dia segera menoleh saat mendengar suara ponselnya berdering nyaring. Usai, membaca nama yang tertera di layar, Ramdan mendengkus kesal sebelum menjawab panggilan. Suara di seberang telepon berhasil membuat kesal yang berkecamuk di dada makin membuncah. Dia bergegas berganti baju dan berjalan keluar kamar dengan tergesa.

“Pergilah, Ed! Sebelum aku makin marah dan mematahkan rahangmu!”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Brader Jr.
bayar ternyata
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status