“Pagi, Tuan Muda.”Ramdan segera berlalu meninggalkan rumah diiringitatapan penuh tanya Elea. Dia bergegas masuk mobil dan melajukannya menujukediaman Hadiwilaga. Namun, di tengah jalan, dia berhenti dan keluar dari mobilsetelah sebuah motor menghadangnya. Ramdan mengangguk sekilas ketika melihatEdrik turun dari motor dan menghampirinya.“Pagi juga, Ed.”Ramdan segera menaiki motor dan kembali meneruskan perjalanan menuju kediamanHadiwilaga. Setibanya di sana, dia segera berlalu ke belakang dan kembalisambil membawa ember berisi air yang diberi sabun dan lap. Lalu, membersihkanmobil yang biasa dipakai Harsa dengan telaten. Dia pastikan semua bagian mobilbersih dan mengilat, kemudian seulas senyum dia sunggingkan di bibir.“Beres. Tak akan ada yang menyangka kalau seorang Akhtar bisa mencuci mobilsebersih ini.” Ramdan berkata sambil berkacak pinggang, bangga denganpekerjaannya. Dia mengedarkan pandangan dan memastikan tak ada yang mendengarucapannya tadi.Setelahnya, Ramdan
“Mau apa kamu ke sini?” Orang di depannya belum jugamenjawab, Ramdan kembali mengulang pertanyaan. “Maaf, Pak. Tadi di kantor ada undangan makan bersama dengan pimpinan dari HWGrup. Karena Bapak sulit dihubungi, makanya saya memutuskan untuk mewakiliperusahaan.”Ramdan menghela napas panjang sebelum berkata. “Oke, lanjutkan tugas kamu danlaporkan apa sebenarnya yang diinginkan pria tua itu.”“Siap, Pak. Nanti saya kabari lewat pesan singkat saja.”“Kirimkan saja lewat email. Nanti aku akan membukanya tengah malam, karenanomor lamaku untuk sementara tidak aktif.”“Siap, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu.”“Hem.”Ramdan mempersilakan Deni, manajer operasional di perusahaannya itu berlalu.Dia memaku pandangan kepada pria itu sampai mengulang di balik pintu.Setelahnya, dia memilih menunggu di dalam mobil sambil mendengarkan musik.Lelah yang mendera membuatnya perlahan memejamkan mata.Satu jam berselang, Ramdan tergagap bangun ketika mendengar suara kaca diketuk.Dia menoleh da
“Inikah yang disebut merapikan, Mbak?”Ramdan bergegas ke dapur dan terkesiap melihat airmulai membasahi seluruh lantai. Dia bergegas ke wastafel dan menutup keran yangpatah sebelum mematikan saluran air utama. Dia menghela napas panjang danberkacak pinggang melihat lebih banyak kekacauan yang terjadi.Ramdan menggeleng lemah sambil menjambak rambut karena frustasi. Lalu,mengepalkan tangan dan menengadah. Dia menajamkan mata sejenak untuk meredamketegangan yang ada sebelum berbalik dan menatap Elea.“Memang bukan. Tapi, aku sudah berusaha, kan? Lagipula kenapa nyuruh-nyuruhaku! Ini rumahmu, jadi kamu yang harus membereskan!”Elea segera berlalu tanpa rasa bersalah. Sementara, Ramdan menggeram kesal danmemilih segera berlalu ke kamar. Dia mengambil ponsel dan menghubungi Edrik.Begitu teleponnya dijawab, pria itu langsung memberi perintah.“Kirimkan dua orang untuk membereskan rumahku sekarang, Ed!”Ramdan segera mematikan panggilan. Dia kembali menjambak rambut sebelum meninju
Ramdan menggeram kesal ketika pertanyaannya malah dijawab dengan tawa berderai. Dia beringsut bangkit sambil memegang perutnya yang masih terasa sakit. Dia bergeming sejenak sebelum berlari sambil melayangkan kepalan tinjunya. Lalu, membabi buta memukul keempat pria itu. Ramdan tak mampu fokus dengan serangannya karena kepala yang kembali berdenyut hebat akibat pengaruh alkohol. Tak ingin terpojok, Ramdan sebisa mungkin menahan dan melawan. Namun, kalah jumlah membuatnya harus tersungkur dengan lebam yang ada di sudut bibirnya. Dia mengerang kesakitan sebelum mencoba kembali bangkit. Namun, saat hendak kembali menyerang, sebuah pukulan di belakang kepala membuatnya terkapar tak sadarkan diri.Saat terjaga, Ramdan sudah berada di sebuah ruangan yang gelap. Dia mengedarkan pandangan dan berusaha untuk bergerak, tetapi susah. “Sialan! Apa mau mereka sebenarnya! Aaargh!”Ramdan kembali bergerak, berusaha untuk membebaskan diri, tetapi hanya sakit yang terasa di pergelangan tangan da
Ramdan mengambil baju dan keluar kamar. Dia berjalan menuju kamar sang adik dan membuka pintunya. Seulas senyum dia sunggingkan sambil mengikis jarak dengan ranjang. Lalu, dia duduk di tepi ranjang dan mengusap lembut rambut Aleta.“Kapan kamu bangun, Al? Kakak kesepian. Maafkan Kakak karena belum berhasil membawa penjahat itu ke sini. Tapi, Kakak janji akan segera menemukannya.”Ramdan mengecup lama kening Aleta. Lalu, bangkit dari duduk dan berlalu keluar kamar. Dia berjalan ke balkon dan bergeming. Menatap hamparan Padang hijau dalam kegelapan dan dinginnya malam. Dia menghela napas panjang dan hendak berbalik. Namun, dia terkesiap ketika melihat Edrik sudah berdiri di ambang pintu.“Kamu sudah dapat apa yang aku perintahkan, Ed?”“Sudah, Tuan Muda.”“Bagus. Katakan apa yang kamu dapat!”“Mereka sengaja menyekap Tuan Muda atas perintah seseorang. Orang itu sakit hati karena pernah diusir dari rumah Tuan Muda, sehingga dia memberi sedikit pelajaran. Orang ini juga tidak terima
“Tuan Muda ....”Hanya kata itu yang didengar Ramdan saat pertama kali membuka mata. Dia beringsut duduk sambil memegang kepala yang berdenyut nyeri. Lalu, menyandarkan punggung pada kepala ranjang. Ramdan menggeleng berulang kali, tetapi rasa sakit yang membebat kepala makin menjadi.“Tuan Muda, tidak apa-apa? Apa perlu saya panggilkan dokter? Tadi Tua Muda pingsan di dekat ranjang. Saya juga menemukan memar di kepala Tuan Muda.”Ramdan menggeleng lemah, kemudian mengibaskan tangan meminta Edrik pergi. Setelahnya, dia menajamkan mata dengan posisi setengah duduk. Namun, dia kembali membuka mata kala melihat Edrik masuk sambil membawa nampan berisi roti lapis isi tuna dan segelas teh hangat.“Sarapannya, Tuan Muda. Sekalian obat pereda nyeri yang disarankan dokter.”“Makasih, Ed. Belikan aku ponsel baru beserta nomornya. Ponselku kemarin diambil mereka.”“Siap, Tuan Muda.”Edrik berlalu dari hadapan Ramdan. Sementara, pria itu beringsut mengambil sarapan dan mengunyahnya perlah
“Hai, Dad? How are you?”“Fine, Son. What’s about you?”“I’m fine too, Dad.”“Aleta?”“Masih sama seperti tiga tahun lalu, Pi. Belum ada perkembangan sama sekali.”“Tidakkah sebaiknya kita bawa Aleta berobat di sini saja, Tar?”“Pengobatan dalam negeri tak kalah bagus, Pi. Hanya butuh kesabaran saja sampai Aleta sadar lagi.”Terdengar helaan napas panjang dari ujung telepon. Ramdan tahu sang ayah juga merasakan hal yang sama sepertinya. Namun, setelah semua usaha yang dilakukan, saatnya pasrah dan berharap keajaiban datang menyapa sang adik.“Kabari Papi kalau ada apa-apa, Tar. Papi kangen Aleta, tapi pekerjaan di sini tak dapat Papi tinggalkan.”“It’s okay, Dad. Akhtar akan selalu kasih kabar tentang perkembangan Aleta. Salam buat Mami, kapan-kapan Akhtar akan pergi ke sana untuk mengunjungi kalian. Tentunya bersama Aleta.”“Lalu, menantu Papi? Oh, ayolah, Tar! Papi sama Mami semakin tua, sudah saatnya melihat kamu menikah dan punya cucu.”“Nanti saja kalau penjahat itu su
Ramdan menelan ludah dengan susah payah saat melihat Harsa menatapnya lekat. Namun, belum sampai orang di sebelahnya menjawab, suara dering ponsel milik Harsa berdering. Pria paruh baya itu bergegas menyingkir untuk menjawab panggilan setelah meminta izin. Setelahnya, Ramdan mendekati orang yang menjadi klien Harsa itu.“Saya tidak menyangka akan bertemu dengan Bapak Akhtar di sini. Tapi, kenapa Bapak harus berpenampilan begini?” tanya orang itu sambil menelisik Ramdan dari atas sampai bawah.Ramdan mendekati orang itu dan berkata dengan nada lirih, nyaris seperti berbisik. “Yang jelas saya tidak bisa mengatakan alasannya sekarang, Pak Bima. Tapi, saya mohon kerja samanya. Anggap kita tidak saling kenal.”Ramdan segera berlari untuk membukakan pintu mobil. Namun, dia bergeming saat melihat Harsa mendekati Bima. Dia menghela napas panjang dan melirik Bima yang sedang berbicara dengan Harsa. Spontan, dia menajamkan telinga untuk mendengar percakapan mereka.“Maafkan saya, Pak Bima.