Share

5. Janji Ramdan

Ramdan melajukan mobil kembali ke kantor Harsa. Dia fokus menatap jalanan dan bungkam selama perjalanan, tetapi suara Harsa yang duduk di belakang sambil menatap layar ponsel membuatnya harus menajamkan telinga.

“Jangan pernah anggap serius masalah tadi, Ramdan. El dan Evan sudah kenal lama. Mungkin kalau El tidak berbuat bodoh, pasti Evan yang akan jadi menantuku, bukan kamu!”

Ramdan bergeming. Dia hanya bisa menghela napas panjang untuk meredam ketegangan yang ada. Sungguh, diperlakukan dengan tidak baik oleh mertua dan istri membuat pria itu meradang. Namun, sebisa mungkin dia tahan.

Setibanya di kantor, Ramdan kembali membukakan pintu mobil untuk Harsa. Lalu, melajukan kendaraan menuju tempat parkir. Dia menunggu sambil mendengarkan musik dan memejamkan mata. Lelah yang mendera membuat pria itu tertidur. Namun, dia segera terjaga ketika mendengar ponselnya berdering nyaring. Usai melihat nama yang tertera di layar, Ramdan bergegas menjawabnya.

“Hem? Yang benar? Oke, nanti malam aku ke sana.”

Seulas senyum tipis tersemat di bibir Ramdan usai menutup panggilan. Setelahnya, dia membuka galeri dan menatap foto seorang gadis cantik yang sedang tersenyum menatap ke arah kamera. Dia usap foto itu sambil menghela napas panjang. Tepat saat itulah panggilan dari Harsa masuk ke ponselnya. Dia bergegas melajukan mobil ke depan kantor usai menjawab panggilan Harsa.

“Kita langsung pulang.”

“Iya, Pak. Maaf, malam ini Bapak tidak ada acara, kan? Saya mau pulang.”

“Pergilah!”

“Terima kasih, Pak.”

Ramdan segera melajukan mobil menuju rumah Harsa. Setibanya di sana, dia segera mengganti baju dan kembali ke garasi. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Elea berdiri di samping mobilnya dengan pakaian sedikit terbuka. Pria itu hendak mendekat, tetapi Elea lebih dulu masuk mobil dan bergegas meninggalkan garasi.

Ramdan mengedikkan bahu sambil menghela napas panjang sebelum naik ke motor. Lalu, perlahan meninggalkan garasi. Dia melajukan kuda besinya perlahan menembus kegelapan malam yang dingin. Jalanan padat kendaraan yang dilaluinya perlahan berubah menjadi penuh pepohonan. Dia menghela napas panjang sambil mengulas senyum ketika melihat sebuah rumah besar yang berdiri kokoh di balik rimbunnya pepohonan.

Ramdan terus melajukan motor memasuki rumah itu usai melewati gerbang hitam yang terbuka secara otomatis. Senyumnya makin lebar ketika sampai di depan rumah itu. Dia segera turun dan bergegas menaiki anak tangga menuju pintu depan. Setelahnya, dia membuka jaket dan melemparkan kepada orang yang baru saja datang menyambutnya.

“Tuan muda, akhirnya Anda datang juga.”

“Kabar bagus tidak seharusnya dilewatkan bukan, Ed?” tanya Ramdan sambil menggulung lengan kemejanya sebatas siku. Lalu, membuka dua kancing teratas kemejanya.

“Betul, Tuan Muda.”

“Jadi gimana keadaannya, Ed?” tanya Ramdan sambil berkacak pinggang dan menatap Edrik yang berdiri di depannya.

“Tadi waktu saya suntikkan obatnya, tak lama dia menggerakkan jarinya, Tuan Muda. Hanya sekilas memang, tapi bukankah itu suatu perkembangan yang bagus?”

“Tentu saja. Terima kasih, Ed. Sekarang pergilah! Siapkan mandi untukku.”

“Siap, Tuan Muda.”

Ramdan menaiki anak tangga sampai ke lantai dua. Lalu, berbelok ke kanan dan kembali melangkah hingga ke ujung. Dia bergeming sejenak ketika sampai di depan pintu kamar berwarna putih. Pria itu menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum membuka pintu. Senyum yang tadi sempat menghilang kembali disematkannya saat memasuki ruangan.

Ramdan mengikis jarak dengan ranjang. Lalu, menatap lekat gadis yang terpejam di ranjang dengan beberapa selang yang menempel di tubuhnya. Perlahan, dia duduk di tepi ranjang dan mengusap kepala gadis itu. Tak sampai di situ, dia juga mengecup kening gadis itu kemudian mengusap pipinya lembut.

“Malam, Al. Apa kabarmu hari ini? Baikkah? Kata Ed, kamu sudah bisa menggerakkan jari, benarkah? Coba tunjukkan ke Kakak sekarang.”

Satu menit berlalu, tetapi gadis yang dipanggil Al oleh Ramdan itu belum juga menggerakkan jarinya. Ramdan meraup wajah sebelum kembali tersenyum getir.

“Jadi kamu mau ngerjain Kakak, Al? Teganya kamu. Awas kalau nanti kamu bangun, tak ada ampun bagimu.”

Hanya hening yang menjawab ucapan Ramdan. Dia kembali menghela napas panjang sebelum meraih jemari gadis itu dan menggenggamnya erat.

“Sampai kapan kamu begini, Al? Sudah tiga tahun berlalu, tapi kamu masih betah tidur. Tak kasihankah kamu pada Kakak, Al?”

Kali ini suara mesin elektrokardiogram yang ada di samping ranjang menjawab pertanyaan Ramdan. Sungguh, bukan begini yang diharapkan pria itu. Dia hanya ingin Aleta segera bangun dari tidur panjangnya. Bercanda dan menemaninya setiap saat, bahkan menangis di pangkuannya ketika ada yang menyakitinya. Namun, harapan tinggal harapan karena gadis itu nyatanya hanya bisa berbaring tanpa meresponsnya.

Andai bisa memutar waktu, tak akan pernah Ramdan membiarkan Aleta mengenal arti cinta. Karena cinta begitu kejam mengoyak gadis kecil itu hingga membawanya ke jurang penderitaan.

Ramdan meraup wajahnya kasar dan menghela napas panjang. Dia menengadah sambil memejamkan mata sejenak untuk meredam ketegangan yang ada. Lalu, kilasan peristiwa yang terjadi tiga tahun lalu membuatnya segera menggeleng kuat untuk menepisnya.

“Enggak! Aku enggak boleh lemah begini! Aku harus bisa membawa dia ke sini dan bersimpuh minta maaf di hadapanmu, Al!”

Setelahnya, Ramdan bangkit dari duduk dan berlalu meninggalkan kamar usai membetulkan selimut yang melurubi tubuh Aleta. Dia berlalu menuju kamar dan segera merebah. Tepat saat itulah pintu kamar mandi terbuka.

“Tuan Muda, air hangatnya sudah siap.”

“Makasih, Ed.” Ramdan beringsut duduk dan tersenyum getir.

Melihat hal itu, Edrik mengernyit heran dan bertanya. “Ada yang mengganjal di hati, Tuan Muda?”

Ramdan menggeleng lemah dan turun dari ranjang. “Aleta ternyata masih marah padaku, Ed. Dia tak mau menggerakkan jarinya meskipun sudah aku suruh.”

“Mana mungkin Nona Muda marah? Selama ini, kan, Tuan Muda yang setia menemani dan merawatnya?”

“Entahlah, Ed. Hanya perasaanku saja mungkin.”

“Air hangatnya sudah siap, Tuan Muda.”

“Hem. Makasih.”

Ramdan berlalu ke kamar mandi, sedangkan Edrik bergegas meninggalkan kamar. Sepuluh menit berlalu, saat Ramdan tengah memejamkan mata sambil berendam di bathub, suara gedoran membuatnya mengumpat kasar. Dia segera keluar bathub dan menyambar handuk kimono sebelum membuka pintu. Pria itu mendengkus kesal melihat Edrik berdiri di depan pintu dengan wajah pias.

“Ada apa lagi, Ed! Tak bisakah kamu biarkan aku santai sebentar!”

“Maaf, Tuan Muda. Tapi ... tapi Nona Muda ....”

Merasa ada yang tidak beres, Ramdan bergegas berlari menuju kamar Aleta. Dia segera mengikis jarak dengan ranjang dan mencelus melihat apa yang terjadi di depannya. Usai menguasai diri, Ramdan menyuruh Edrik memanggil dokter. Sementara, dia mulai melakukan kompresi jantung untuk Aleta.

“Bangun, Al! Jangan buat Kakak khawatir begini, bangun!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status