Ramdan melajukan mobil kembali ke kantor Harsa. Dia fokus menatap jalanan dan bungkam selama perjalanan, tetapi suara Harsa yang duduk di belakang sambil menatap layar ponsel membuatnya harus menajamkan telinga.
“Jangan pernah anggap serius masalah tadi, Ramdan. El dan Evan sudah kenal lama. Mungkin kalau El tidak berbuat bodoh, pasti Evan yang akan jadi menantuku, bukan kamu!”Ramdan bergeming. Dia hanya bisa menghela napas panjang untuk meredam ketegangan yang ada. Sungguh, diperlakukan dengan tidak baik oleh mertua dan istri membuat pria itu meradang. Namun, sebisa mungkin dia tahan.Setibanya di kantor, Ramdan kembali membukakan pintu mobil untuk Harsa. Lalu, melajukan kendaraan menuju tempat parkir. Dia menunggu sambil mendengarkan musik dan memejamkan mata. Lelah yang mendera membuat pria itu tertidur. Namun, dia segera terjaga ketika mendengar ponselnya berdering nyaring. Usai melihat nama yang tertera di layar, Ramdan bergegas menjawabnya.“Hem? Yang benar? Oke, nanti malam aku ke sana.”Seulas senyum tipis tersemat di bibir Ramdan usai menutup panggilan. Setelahnya, dia membuka galeri dan menatap foto seorang gadis cantik yang sedang tersenyum menatap ke arah kamera. Dia usap foto itu sambil menghela napas panjang. Tepat saat itulah panggilan dari Harsa masuk ke ponselnya. Dia bergegas melajukan mobil ke depan kantor usai menjawab panggilan Harsa.“Kita langsung pulang.”“Iya, Pak. Maaf, malam ini Bapak tidak ada acara, kan? Saya mau pulang.”“Pergilah!”“Terima kasih, Pak.”Ramdan segera melajukan mobil menuju rumah Harsa. Setibanya di sana, dia segera mengganti baju dan kembali ke garasi. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Elea berdiri di samping mobilnya dengan pakaian sedikit terbuka. Pria itu hendak mendekat, tetapi Elea lebih dulu masuk mobil dan bergegas meninggalkan garasi.Ramdan mengedikkan bahu sambil menghela napas panjang sebelum naik ke motor. Lalu, perlahan meninggalkan garasi. Dia melajukan kuda besinya perlahan menembus kegelapan malam yang dingin. Jalanan padat kendaraan yang dilaluinya perlahan berubah menjadi penuh pepohonan. Dia menghela napas panjang sambil mengulas senyum ketika melihat sebuah rumah besar yang berdiri kokoh di balik rimbunnya pepohonan.Ramdan terus melajukan motor memasuki rumah itu usai melewati gerbang hitam yang terbuka secara otomatis. Senyumnya makin lebar ketika sampai di depan rumah itu. Dia segera turun dan bergegas menaiki anak tangga menuju pintu depan. Setelahnya, dia membuka jaket dan melemparkan kepada orang yang baru saja datang menyambutnya.“Tuan muda, akhirnya Anda datang juga.”“Kabar bagus tidak seharusnya dilewatkan bukan, Ed?” tanya Ramdan sambil menggulung lengan kemejanya sebatas siku. Lalu, membuka dua kancing teratas kemejanya.“Betul, Tuan Muda.”“Jadi gimana keadaannya, Ed?” tanya Ramdan sambil berkacak pinggang dan menatap Edrik yang berdiri di depannya.“Tadi waktu saya suntikkan obatnya, tak lama dia menggerakkan jarinya, Tuan Muda. Hanya sekilas memang, tapi bukankah itu suatu perkembangan yang bagus?”“Tentu saja. Terima kasih, Ed. Sekarang pergilah! Siapkan mandi untukku.”“Siap, Tuan Muda.”Ramdan menaiki anak tangga sampai ke lantai dua. Lalu, berbelok ke kanan dan kembali melangkah hingga ke ujung. Dia bergeming sejenak ketika sampai di depan pintu kamar berwarna putih. Pria itu menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum membuka pintu. Senyum yang tadi sempat menghilang kembali disematkannya saat memasuki ruangan.Ramdan mengikis jarak dengan ranjang. Lalu, menatap lekat gadis yang terpejam di ranjang dengan beberapa selang yang menempel di tubuhnya. Perlahan, dia duduk di tepi ranjang dan mengusap kepala gadis itu. Tak sampai di situ, dia juga mengecup kening gadis itu kemudian mengusap pipinya lembut.“Malam, Al. Apa kabarmu hari ini? Baikkah? Kata Ed, kamu sudah bisa menggerakkan jari, benarkah? Coba tunjukkan ke Kakak sekarang.”Satu menit berlalu, tetapi gadis yang dipanggil Al oleh Ramdan itu belum juga menggerakkan jarinya. Ramdan meraup wajah sebelum kembali tersenyum getir.“Jadi kamu mau ngerjain Kakak, Al? Teganya kamu. Awas kalau nanti kamu bangun, tak ada ampun bagimu.”Hanya hening yang menjawab ucapan Ramdan. Dia kembali menghela napas panjang sebelum meraih jemari gadis itu dan menggenggamnya erat.“Sampai kapan kamu begini, Al? Sudah tiga tahun berlalu, tapi kamu masih betah tidur. Tak kasihankah kamu pada Kakak, Al?”Kali ini suara mesin elektrokardiogram yang ada di samping ranjang menjawab pertanyaan Ramdan. Sungguh, bukan begini yang diharapkan pria itu. Dia hanya ingin Aleta segera bangun dari tidur panjangnya. Bercanda dan menemaninya setiap saat, bahkan menangis di pangkuannya ketika ada yang menyakitinya. Namun, harapan tinggal harapan karena gadis itu nyatanya hanya bisa berbaring tanpa meresponsnya.Andai bisa memutar waktu, tak akan pernah Ramdan membiarkan Aleta mengenal arti cinta. Karena cinta begitu kejam mengoyak gadis kecil itu hingga membawanya ke jurang penderitaan.Ramdan meraup wajahnya kasar dan menghela napas panjang. Dia menengadah sambil memejamkan mata sejenak untuk meredam ketegangan yang ada. Lalu, kilasan peristiwa yang terjadi tiga tahun lalu membuatnya segera menggeleng kuat untuk menepisnya.“Enggak! Aku enggak boleh lemah begini! Aku harus bisa membawa dia ke sini dan bersimpuh minta maaf di hadapanmu, Al!”Setelahnya, Ramdan bangkit dari duduk dan berlalu meninggalkan kamar usai membetulkan selimut yang melurubi tubuh Aleta. Dia berlalu menuju kamar dan segera merebah. Tepat saat itulah pintu kamar mandi terbuka.“Tuan Muda, air hangatnya sudah siap.”“Makasih, Ed.” Ramdan beringsut duduk dan tersenyum getir.Melihat hal itu, Edrik mengernyit heran dan bertanya. “Ada yang mengganjal di hati, Tuan Muda?”Ramdan menggeleng lemah dan turun dari ranjang. “Aleta ternyata masih marah padaku, Ed. Dia tak mau menggerakkan jarinya meskipun sudah aku suruh.”“Mana mungkin Nona Muda marah? Selama ini, kan, Tuan Muda yang setia menemani dan merawatnya?”“Entahlah, Ed. Hanya perasaanku saja mungkin.”“Air hangatnya sudah siap, Tuan Muda.”“Hem. Makasih.”Ramdan berlalu ke kamar mandi, sedangkan Edrik bergegas meninggalkan kamar. Sepuluh menit berlalu, saat Ramdan tengah memejamkan mata sambil berendam di bathub, suara gedoran membuatnya mengumpat kasar. Dia segera keluar bathub dan menyambar handuk kimono sebelum membuka pintu. Pria itu mendengkus kesal melihat Edrik berdiri di depan pintu dengan wajah pias.“Ada apa lagi, Ed! Tak bisakah kamu biarkan aku santai sebentar!”“Maaf, Tuan Muda. Tapi ... tapi Nona Muda ....”Merasa ada yang tidak beres, Ramdan bergegas berlari menuju kamar Aleta. Dia segera mengikis jarak dengan ranjang dan mencelus melihat apa yang terjadi di depannya. Usai menguasai diri, Ramdan menyuruh Edrik memanggil dokter. Sementara, dia mulai melakukan kompresi jantung untuk Aleta.“Bangun, Al! Jangan buat Kakak khawatir begini, bangun!”“Jangan begitu lagi, Al. Kamu hampir buat Kakakjantungan.” Ramdan masih berusaha mengembalikan denyut jantung Aleta yangsempat berhenti dengan mengompresi dan membuka jalan napasnya. Setelah usahanyayang kesekian kali, jantung gadis itu kembali berdenyut. Ramdan menghela napaspanjang penuh kelegaan sebelum tersenyum tipis. Lalu, mengusap kepala Aleta danmengecup keningnya.Tak lama berselang, pintu terbuka. Lalu, Edrik danseorang dokter setengah berlari mendekati ranjang. Ramdan beringsut bangkitdari ranjang dan bergeming menatap sang dokter yang sedang memeriksa Aleta.Setelahnya, dokter tadi memberikan penjelasan kepada Ramdan sambil tersenyum.“Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Tuan muda. Nona Muda baik-baik saja, mungkinada ledakan emosi yang membuatnya syok tadi.”“Hem.”“Kalau sudah tidak ada yang diperlukan lagi, saya pamit, Tuan Muda.”“Hem. Terima kasih, Dok.”“Anda yang harus berterima kasih pada diri Anda sendiri, Tuan Muda. Nona Mudamasih bisa selamat, karena usah
“Tolong tunjukkankartu membernya, Pak.”Ramdan melajukanmobil menuju sebuah kelab malam. Dia bergegas masuk, tetapi dua orang berbadangempal menahannya.Ramdan mendengkus kesal sebelum mengeluarkan dompet dan menyerahkan sebuahkartu seperti ATM berwarna hitam kepada kedua orang yang ada di depannya.Melihat kartu itu, salah satu orang menelisik Ramdan, lalu menyikut temannya.Kompak keduanya menunduk di depan Ramdan.“Maafkan kami yang tidak mengenali Bos. Silakan masuk, Bos!”Ramdan menyambar kartu yang disodorkan orang tadi dan bergegas masuk. Suaramusik yang mengentak diiringi minimnya cahaya, tak menyurutkan langkah Ramdanuntuk mencari keberadaan Elea. Ketika sedang mencari, seorang pria dengansetelan jas mendekati Ramdan.“Bos Akhtar,” panggil pria itu. Namun, Ramdan bergegas menempelkan telunjuk kebibir sebagai isyarat tutup mulut. Pria yang diketahui sebagai manajer kelabmalam itu mengangguk sekilas. “Bos cari siapa?”“Di mana Elea?” tanya Ramdan sambil mengedarkan pan
“Pagi, Tuan Muda.”Ramdan segera berlalu meninggalkan rumah diiringitatapan penuh tanya Elea. Dia bergegas masuk mobil dan melajukannya menujukediaman Hadiwilaga. Namun, di tengah jalan, dia berhenti dan keluar dari mobilsetelah sebuah motor menghadangnya. Ramdan mengangguk sekilas ketika melihatEdrik turun dari motor dan menghampirinya.“Pagi juga, Ed.”Ramdan segera menaiki motor dan kembali meneruskan perjalanan menuju kediamanHadiwilaga. Setibanya di sana, dia segera berlalu ke belakang dan kembalisambil membawa ember berisi air yang diberi sabun dan lap. Lalu, membersihkanmobil yang biasa dipakai Harsa dengan telaten. Dia pastikan semua bagian mobilbersih dan mengilat, kemudian seulas senyum dia sunggingkan di bibir.“Beres. Tak akan ada yang menyangka kalau seorang Akhtar bisa mencuci mobilsebersih ini.” Ramdan berkata sambil berkacak pinggang, bangga denganpekerjaannya. Dia mengedarkan pandangan dan memastikan tak ada yang mendengarucapannya tadi.Setelahnya, Ramdan
“Mau apa kamu ke sini?” Orang di depannya belum jugamenjawab, Ramdan kembali mengulang pertanyaan. “Maaf, Pak. Tadi di kantor ada undangan makan bersama dengan pimpinan dari HWGrup. Karena Bapak sulit dihubungi, makanya saya memutuskan untuk mewakiliperusahaan.”Ramdan menghela napas panjang sebelum berkata. “Oke, lanjutkan tugas kamu danlaporkan apa sebenarnya yang diinginkan pria tua itu.”“Siap, Pak. Nanti saya kabari lewat pesan singkat saja.”“Kirimkan saja lewat email. Nanti aku akan membukanya tengah malam, karenanomor lamaku untuk sementara tidak aktif.”“Siap, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu.”“Hem.”Ramdan mempersilakan Deni, manajer operasional di perusahaannya itu berlalu.Dia memaku pandangan kepada pria itu sampai mengulang di balik pintu.Setelahnya, dia memilih menunggu di dalam mobil sambil mendengarkan musik.Lelah yang mendera membuatnya perlahan memejamkan mata.Satu jam berselang, Ramdan tergagap bangun ketika mendengar suara kaca diketuk.Dia menoleh da
“Inikah yang disebut merapikan, Mbak?”Ramdan bergegas ke dapur dan terkesiap melihat airmulai membasahi seluruh lantai. Dia bergegas ke wastafel dan menutup keran yangpatah sebelum mematikan saluran air utama. Dia menghela napas panjang danberkacak pinggang melihat lebih banyak kekacauan yang terjadi.Ramdan menggeleng lemah sambil menjambak rambut karena frustasi. Lalu,mengepalkan tangan dan menengadah. Dia menajamkan mata sejenak untuk meredamketegangan yang ada sebelum berbalik dan menatap Elea.“Memang bukan. Tapi, aku sudah berusaha, kan? Lagipula kenapa nyuruh-nyuruhaku! Ini rumahmu, jadi kamu yang harus membereskan!”Elea segera berlalu tanpa rasa bersalah. Sementara, Ramdan menggeram kesal danmemilih segera berlalu ke kamar. Dia mengambil ponsel dan menghubungi Edrik.Begitu teleponnya dijawab, pria itu langsung memberi perintah.“Kirimkan dua orang untuk membereskan rumahku sekarang, Ed!”Ramdan segera mematikan panggilan. Dia kembali menjambak rambut sebelum meninju
Ramdan menggeram kesal ketika pertanyaannya malah dijawab dengan tawa berderai. Dia beringsut bangkit sambil memegang perutnya yang masih terasa sakit. Dia bergeming sejenak sebelum berlari sambil melayangkan kepalan tinjunya. Lalu, membabi buta memukul keempat pria itu. Ramdan tak mampu fokus dengan serangannya karena kepala yang kembali berdenyut hebat akibat pengaruh alkohol. Tak ingin terpojok, Ramdan sebisa mungkin menahan dan melawan. Namun, kalah jumlah membuatnya harus tersungkur dengan lebam yang ada di sudut bibirnya. Dia mengerang kesakitan sebelum mencoba kembali bangkit. Namun, saat hendak kembali menyerang, sebuah pukulan di belakang kepala membuatnya terkapar tak sadarkan diri.Saat terjaga, Ramdan sudah berada di sebuah ruangan yang gelap. Dia mengedarkan pandangan dan berusaha untuk bergerak, tetapi susah. “Sialan! Apa mau mereka sebenarnya! Aaargh!”Ramdan kembali bergerak, berusaha untuk membebaskan diri, tetapi hanya sakit yang terasa di pergelangan tangan da
Ramdan mengambil baju dan keluar kamar. Dia berjalan menuju kamar sang adik dan membuka pintunya. Seulas senyum dia sunggingkan sambil mengikis jarak dengan ranjang. Lalu, dia duduk di tepi ranjang dan mengusap lembut rambut Aleta.“Kapan kamu bangun, Al? Kakak kesepian. Maafkan Kakak karena belum berhasil membawa penjahat itu ke sini. Tapi, Kakak janji akan segera menemukannya.”Ramdan mengecup lama kening Aleta. Lalu, bangkit dari duduk dan berlalu keluar kamar. Dia berjalan ke balkon dan bergeming. Menatap hamparan Padang hijau dalam kegelapan dan dinginnya malam. Dia menghela napas panjang dan hendak berbalik. Namun, dia terkesiap ketika melihat Edrik sudah berdiri di ambang pintu.“Kamu sudah dapat apa yang aku perintahkan, Ed?”“Sudah, Tuan Muda.”“Bagus. Katakan apa yang kamu dapat!”“Mereka sengaja menyekap Tuan Muda atas perintah seseorang. Orang itu sakit hati karena pernah diusir dari rumah Tuan Muda, sehingga dia memberi sedikit pelajaran. Orang ini juga tidak terima
“Tuan Muda ....”Hanya kata itu yang didengar Ramdan saat pertama kali membuka mata. Dia beringsut duduk sambil memegang kepala yang berdenyut nyeri. Lalu, menyandarkan punggung pada kepala ranjang. Ramdan menggeleng berulang kali, tetapi rasa sakit yang membebat kepala makin menjadi.“Tuan Muda, tidak apa-apa? Apa perlu saya panggilkan dokter? Tadi Tua Muda pingsan di dekat ranjang. Saya juga menemukan memar di kepala Tuan Muda.”Ramdan menggeleng lemah, kemudian mengibaskan tangan meminta Edrik pergi. Setelahnya, dia menajamkan mata dengan posisi setengah duduk. Namun, dia kembali membuka mata kala melihat Edrik masuk sambil membawa nampan berisi roti lapis isi tuna dan segelas teh hangat.“Sarapannya, Tuan Muda. Sekalian obat pereda nyeri yang disarankan dokter.”“Makasih, Ed. Belikan aku ponsel baru beserta nomornya. Ponselku kemarin diambil mereka.”“Siap, Tuan Muda.”Edrik berlalu dari hadapan Ramdan. Sementara, pria itu beringsut mengambil sarapan dan mengunyahnya perlah