Rink menyandarkan punggungnya di kursi putar. Meskipun di hadapannya ada tumpukan dokumen yang harus dipelajari, tetapi Rink sama sekali tak menunjukkan minat. Bola matanya terus tertuju pada jam dinding.
Ia tidak menoleh, ketika manajernya menyodorkan berkas lain ke arahnya. “Jika kau tetap pada pernyataan ‘mau menikah’ itu, kita bisa menyelamatkan kontrak dengan sponsor utama. Tapi jika kau menarik kembali ucapanmu, semua kerja keras yang kau lakukan selama bertahun-tahun akan hilang begitu saja. Publik akan menganggapmu tidak stabil.”
Rink menghela napas, lalu mengembuskannya kuat-kuat. Ia bosan mendengar manajernya menekankan situasinya berkali-kali sejak semalam. Matanya yang dari tadi memperhatikan gerakan detik jarum jam, kini beralih ke jendela. Tampak bentangan langit biru di kejauhan sana.
“Aku tidak akan mundur, Will. Tenang saja!”
“Kau yakin?”
“Kalau ini bisa menyelamatkan karierku, ya. Aku tidak akan membiarkan satu kalimat iseng menghancurkan segalanya.”
Willliam -manajer sekaligus kawan Rink- tampak lega setelah mendengar pernyataan tersebut. "Baiklah, sekarang kita hanya perlu menunggu kedatangan Laura.” William mendekati jendela dan mengamati lalu lintas di bawah sana. “Apakah dia terjebak macet?” gumamnya sambil melihat jam tangan.
***
Sementara itu, dari dalam taksi yang baru saja berhenti di lobi Nexus Enttertainment, Laura terlihat ragu-ragu untuk membuka pintu kendaraan itu. Ia berulang kali meremas jari-jemarinya yang saling terjalin.
“Nona, kau jadi turun di sini atau tidak?”
Teguran dari sopir taksi membuat Laura gelagapan. Tanpa berkata apapun, ia keluar dari sana dan berdiri menentang gedung mewah yang memberikan kesan mencekam bagi Laura. Seorang staf yang semalam mencegatnya di pintu keluar acara fanmeeting, segera mengenali dirinya dan menyambut kedatangannya.
“Halo. Aku akan langsung membawa Anda ke atas.”
Dengan bibir terkatup rapat, Laura mengekor di belakang pria itu. Bahkan untuk menyunggingkan senyum saja, rasanya ia tak mampu. Andai hatinya tidak sedang dalam suasana kalut, matanya pasti akan langsung menangkap keberadaan sosok-sosok yang cukup terkenal di panggung hiburan, yang berpapasan dengannya.
Laura dibawa masuk ke dalam lift, yang dengan cepat melesat ke lantai 19. Ia kemudian digiring ke ruang konferensi kecil, di mana seorang wanita paruh baya sudah duduk manis menunggunya.
“Selamat pagi. Aku Wendy dari tim legal Nexus Entertaiment. Aku yang akan mengurus kontrak pernikahan antara Anda dan Rink.” Wanita itu membuka map merah di hadapannya, lalu menggesernya ke arah Laura. “Kami ingin Anda menyetujui pernikahan legal dengan Rink, untuk kurun waktu 6 bulan. Tidak ada publikasi, tidak ada wawancara, semuanya dilaksanakan secara tertutup.”
“Lalu kenapa harus melakukan pernikahan sungguhan? Kenapa tidak pura-pura saja?” sahut Laura dengan kening berkerut kebingungan.
Wendy tersenyum profesional. “Karena dunia hukum dan media tidak bisa menilai sesuatu yang ‘pura-pura’. Jika pernikahan ini diselidiki dan terbukti bohong, Anda dan Rink bisa terkena tuduhan manipulasi publik.”
Laura dengan susah payah menelan ludah. Ia mencengkeram totebag yang ada di pangkuannya. “Apa yang akan kudapatkan dari semua ini?”
Wendy membuka map yang lain, lalu membaca rincian yang tertera di sana. “Kompensasi uang tunai lima ratus juta dolar, kemudian ... menilik dari latar belakang pekerjaan Anda yang merupakan makeup artist, perusahaan juga akan memberikan kontrak eksklusif pada Anda untuk menjadi penata rias pribadi Rink, serta perlindungan hukum penuh dari kami.”
Tubuh Laura seakan membeku. Imbalan itu … terlalu besar!
“Bolehkah aku membacanya dulu?” tanya Laura dengan suara lirih.
“Tentu saja. Silakan baca dan pahami. Kami hanya butuh jawaban hari ini.”
Laura menggunakan waktu yang diberikan Wendy dengan sebaik-baiknya. Ia membaca setiap halaman dari perjanjian kontrak itu, tampak serius mencermati kata demi kata. Ia bahkan tak segan untuk bertanya, jika ada istilah dan klausul yang tak dimengerti.
Kurang lebih selama dua jam, Laura mempelajari berkas kontrak itu sebelum kemudian dengan tangan gemetar membubuhkan tanda tangannya. Wendy menyerahkan satu salinan ke tangan Laura, sementara yang lain ada pada tim legal agensi.
Saat keluar dari ruangan itu, Laura kembali dikejutkan dengan kemunculan Rink. Pria itu berdiri menyandar di dinding lorong. Mata keduanya bertemu dalam kesunyian yang didominasi sikap dingin Rink.
“Kau benar-benar mau menikah dengan orang asing?” Laura akhirnya bicara. Tak ada senyum di wajahnya.
Rink menaikkan sebelah alisnya, lalu mendengus. Suaranya terdengar datar, saat membalas, “Kita tidak akan jadi suami istri sungguhan. Kau dan aku akan tetap jadi orang asing yang berusaha menyelamatkan hidup masing-masing.”
Laura tersenyum. Senyum getir yang jelas dipaksakan. “Sungguh kalimat paling romantis yang pernah kudengar!” sergahnya, berusaha untuk terdengar setajam mungkin; sebelum kemudian melenggang pergi sambil mengentak-entakkan kedua kakinya.
Saat berada di lift sendirian dan memandangi pantulan samar wajahnya, perlahan rasa jengkel Laura berganti menjadi kerisauan.
Besok ia akan menikah diam-diam. Tanpa keluarga. Tanpa media. Hanya ada hitam di atas putih. Dan dua orang yang bahkan belum mengenal satu sama lain.
***
“Tapi ini rahasia, Emma. Kalau kau sampai membocorkan cerita ini sebelum waktunya, nasibku di sini akan tamat secara tragis.” Suara Laura amat lirih, memastikan hanya sosok di seberang sana yang bisa mendengarnya, sang Sahabat yang sudah berkawan dengannya sejak belasan tahun silam.“Kau sedang mengerjaiku ‘kan, Laura? Karena tidak mungkin kau menikah diam-diam dengan seorang aktor, apalagi Rink Harrington.”Laura terkekeh. “Tunggu saja! Nanti beritanya pasti keluar, kalau semua persiapannya sudah selesai. Saat itu kau akan tahu apakah aku mengerjaimu atau tidak.”Pembicaraan lewat telepon itu berakhir dengan ekspresi puas di wajah Laura. Bukan puas karena inti cerita yang ia bagikan kepada sahabatnya, melainkan puas karena ia sudah berbagi rahasia dengan salah satu orang terpenting dalam hidupnya.Laura adalah anak kedua dari keluarga Winslet. Ayahnya adalah petani yang ulet, sementara ibunya adalah sosok wanita yang memiliki sudut pandang terbuka. Keduanya sering berbeda pendapat me
Jam dinding berbunyi pelan. Pukul 06.45.Laura membuka mata dengan pelan, tidak karena nyenyak, tapi karena otaknya semalaman menolak percaya bahwa dia benar-benar tinggal bersama Rink Harrington. Superstar. Idola nasional yang punya banyak bakat. Pria dengan 20 juta pengikut dan satu kontrak kawin palsu.Ia bangkit dari sofa panjang yang tadi malam ia pilih sendiri, beralasan tidak ingin merepotkan Rink dengan urusan kamar tambahan. Padahal kenyataannya, ia hanya terlalu canggung untuk meminta.Langkahnya membawa dirinya ke dapur. Suasananya terlalu sunyi, seperti museum. Bening. Tak ada jejak kehidupan di sana, selain kopi instan dan rak bumbu yang hanya berisi garam, lada, dan oregano kemasan lama.“Gila! Dia manusia atau bukan, sih?” bisik Laura pada diri sendiri.Ia membuka kulkas. Seperti dugaan, steril. Hanya ada beberapa botol air mineral, satu kotak telur, sepotong keju yang belum dibuka, dan satu plastik buah jeruk.Tidak ada roti. Tidak ada selai. Tidak ada kehidupan!Laura
William menatap dua manusia yang telah diikat oleh kontrak pernikahan secara bergantian. Laura menjadi objek pertama. Saat memperhatikan wajah wanita tersebut, William sempat menghela napas panjang.Lalu ketika beralih pada Rink, manajer dengan wajah tembam itu mendekat. Ia tak mengatakan apapun dan hanya menepuk pundak Rink. “Kuharap kalian berdua bisa rukun selama 6 bulan ke depan. Ingat, hidup kalian jadi taruhan di sini.”Setelah menyatakan peringatan yang tidak menyenangkan itu, William berbalik dan keluar dari apartemen. Meninggalkan Laura dan Rink yang selama beberapa detik hanya bisa terpaku. Sebuah dehaman keras dari Rink-lah, yang kemudian menghidupkan suasana dingin di sana.Laura menghindari menatap wajah idolanya. Tadi sewaktu memasuki apartemen, ia tidak sempat menjelajah sudut-sudut ruangan dengan matanya, karena sibuk meredakan debaran jantungnya. Jadi, sekarang ia meneliti tempat yang akan menjadi huniannya.Apartemen itu terlalu ... normal.Saat Laura mengitari ruang
Ruangan itu nyaris kosong. Dindingnya putih pucat tanpa dekorasi, hanya jam berbentuk persegi membosankan yang berdetak malas di atas pintu. Meja panjang dari kayu polos dipenuhi map, pulpen, dan selembar dokumen tebal yang jadi pusat perhatian hari ini; kontrak pernikahan.Laura duduk di ujung meja, diam. Tubuhnya tegak, tangan diletakkan rapi di atas pangkuan, tapi telapak yang tersembunyi itu basah oleh keringat dingin. Jaraknya dengan Rink hanya beberapa senti. Tapi rasanya seperti duduk di samping jurang. Hening. Terlalu menyesakkan.Rink mengenakan kemeja putih bersih, rambutnya disisir rapi ke belakang. Tak ada make-up, tak ada aura bintang seperti di atas panggung. Hanya laki-laki asing yang memutuskan menikah dengan wanita yang belum dikenalnya secara pribadi, karena ... alasan karier.Di seberang meja, seorang pria berjas abu-abu membuka map dan memeriksa lembar demi lembar dokumen. Dialah notaris yang ditunjuk agensi. Di sisi kiri dan kanan, dua saksi bayaran duduk kaku sep
Rink menyandarkan punggungnya di kursi putar. Meskipun di hadapannya ada tumpukan dokumen yang harus dipelajari, tetapi Rink sama sekali tak menunjukkan minat. Bola matanya terus tertuju pada jam dinding.Ia tidak menoleh, ketika manajernya menyodorkan berkas lain ke arahnya. “Jika kau tetap pada pernyataan ‘mau menikah’ itu, kita bisa menyelamatkan kontrak dengan sponsor utama. Tapi jika kau menarik kembali ucapanmu, semua kerja keras yang kau lakukan selama bertahun-tahun akan hilang begitu saja. Publik akan menganggapmu tidak stabil.”Rink menghela napas, lalu mengembuskannya kuat-kuat. Ia bosan mendengar manajernya menekankan situasinya berkali-kali sejak semalam. Matanya yang dari tadi memperhatikan gerakan detik jarum jam, kini beralih ke jendela. Tampak bentangan langit biru di kejauhan sana.“Aku tidak akan mundur, Will. Tenang saja!”“Kau yakin?”“Kalau ini bisa menyelamatkan karierku, ya. Aku tidak akan membiarkan satu kalimat iseng menghancurkan segalanya.”Willliam -manaje
Laura menahan napas, ketika kedua kakinya melangkah masuk ke sebuah ruangan yang seluruhnya bernuansa putih. Ia berasumsi itu adalah ruangan di mana Rink dirias sebelum kemudian tampil di acara fanmeeting beberapa saat lalu.Aroma kopi dan parfum bercampur jadi satu. Mestinya Laura menyukai wewangian seperti itu. Namun, kali ini ia justru merasakan mual. Apalagi ketika ia mendapati Rink di antara empat orang yang berada di dalam ruangan.Begitu pintu tertutup di belakangnya, Laura mulai merasakan dinginnya AC yang diatur terlalu rendah. Secara refleks ia merapatkan kedua kaki dan diam-diam menyesali keputusannya memakai gaun yang panjangnya tidak mencapai lutut.“Duduk!” Sebuah perintah tajam terlontar dari pria yang berada di samping Rink.Laura dengan patuh menghampiri sofa terdekat. Ia melirik ke arah sang Bintang, sewaktu mendaratkan pantatnya di sana. Rink bahkan tidak menoleh sedikit pun ke arahnya, seolah-olah Laura hanyalah sesuatu yang mengganggu orbitnya.Dua manajer dan seo