Share

5. Om Ganteng

"Kamu ingat boneka Barbie yang kakinya patah  terus kamu nangis kencang?" 

Mata Delotta mengerjap mendengar pertanyaan papanya. Dia sangat ingat dengan kejadian itu. Gadis itu melirik pria di sampingnya yang tersenyum simpul, seperti tengah menyembunyikan sesuatu. 

Saat ini dirinya dan Daniel serta Ricko tengah makan siang di restoran yang dekat dengan gedung kantor Ricko. 

"Tentu aku ingat papa. Bahkan aku minta sama papa buat mengoperasi Anna." Anna adalah nama barbie kesayangan Delotta. 

"Siapa yang memberimu boneka itu?" tanya Ricko sambil mencacah olahan daging pada piringnya. 

"Papa, kan?" Ada nada keraguan dari ucapannya sendiri. Apalagi saat sang papa malah melirik Daniel. 

"Bukan papa. Coba kamu ingat lagi." 

Kening Delotta berkerut, berusaha mengingat. Kalau bukan Ricko mungkin pamannya atau ... sontak matanya membola ketika teringat seseorang yang memberi boneka cantik itu. Dia tidak percaya, tapi—buru-buru Delotta menoleh dan menatap Daniel yang tampak sibuk mengunyah makanan. 

"Apa itu .... " Delotta melirik Daniel sekali lagi. 

"Yap. Kamu akhirnya ingat juga," sahut Ricko tersenyum.

Lalu tiba-tiba Delotta mengingat semuanya. Potongan-potongan kejadian saat dia berumur 6 tahun berkelebat tentang pria tampan itu, menciptakan ulasan senyum yang makin lama makin lebar.  Dan panggilan Om Ganteng itu benar-benar dia lakukan saat itu. Gadis itu terkekeh mengingat momen konyol itu. 

"Saya minta maaf banget karena nggak langsung mengingat Pak Daniel." 

"Nggak masalah, Delotta. Kan itu memang udah lama banget," sahut Daniel tersenyum. 

"Kamu memanggil dia 'pak'?" tanya Ricko dengan alis terangkat. 

"Menurut papa aku harus panggil apa   ke bos aku?" 

Daniel terkekeh melihat interaksi bapak dan anak itu. "Delotta, kalau kamu mau, kamu bisa panggil aku Om, dan kamu nggak usah terlalu formal bicara padaku." 

Delotta nyengir. Akan aneh rasanya kalau tiba-tiba dia panggil dengan sebutan 'aku-kamu' seperti yang pria itu lakukan sekarang. 

"Turuti saja apa maunya. Nggak merugikan kamu kan?" timpal Ricko kembali fokus ke piringnya. "Pokoknya aku nitip Delotta di perusahaan kamu. Bimbing dia, dan nggak usah sungkan negur kalau dia bikin kesalahan," lanjutnya yang ditujukan kepada Daniel. 

Bibir Delotta manyun mendengar penuturan sang papa. "Aku kan masih baru, Pa. Jadi, wajar kalau bikin kesalahan." 

"Delotta anak yang cerdas dan pintar. Pekerjaan yang dia pegang juga nggak terlalu sulit. Aku yakin dia cepat menguasai." Daniel bersuara, lalu menatap lembut perempuan di sampingnya. 

Tatapan itu membuat hati Delotta meleleh. Daniel Jagland benar-benar tampan. 

"Lagian kalau ada sesuatu yang nggak paham, aku bisa tanya sama Om Daniel, kan?" Delotta mulai mengubah panggilannya. 

"Ya tentu saja, pasti aku akan bantu," sahut Daniel mengedipkan sebelah mata. Dan hal itu seketika membuat Delotta blushing. 

Ada study yang mengatakan jika  anak perempuan kekurangan kasih sayang seorang ayah, maka akan mudah baginya untuk jatuh cinta dengan pria yang lebih tua. Delotta tak pernah merasa kekurangan kasih sayang dari Ricko, tapi kenapa dia merasakan hal aneh pada dirinya saat berdekatan dengan Daniel. 

Tidak akan ada yang tahu kalau Daniel seusia papanya. Parasnya tidak setua umurnya. Siapa pun pasti mengira pria itu berusia 30 tahunan. 

Sepanjang makan siang berlangsung, obrolan Daniel dan Ricko terdengar begitu renyah. Delotta jadi makin yakin jika mereka akrab. 

"Jadi, Minggu depan umur kamu genap 22 tahun?" tanya Daniel dengan mata berbinar. 

"Iya, sih. Tapi aku minta papa buat nggak ngerayain. Aku bukan anak kecil yang ulang tahun harus selalu dirayakan." Delotta bersungut-sungut saat mengatakan itu sambil melirik Ricko. 

"Daripada kamu bikin pesta sendiri di luar sama teman-teman kamu lebih baik papa buatkan kamu pesta di rumah. Kamu boleh undang semua teman kamu ke rumah," ujar Ricko makin menegaskan.

"Lihat, Om! Papa selalu memperlakukan aku seperti anak kecil." Bibir Delotta makin maju tak terkendali. 

"Ricko, Biarkan dia menentukan sendiri pestanya. Delotta udah dewasa." Daniel membela. "Di Aussy gadis seumuran dia sud—"

"No, I will never allow. Delotta anakku satu-satunya. Dan dia perempuan. Aku nggak akan membebaskan pergaulannya." 

Daniel mengangkat tangan. "Sepertinya kamu harus menurut apa kata papamu, Baby." 

"Ya, kalian para orang tua memang menyebalkan," cibir Delotta menggerak-gerakkan bola mata dengan kesal. Tindakannya membuat dua pria seumuran itu tertawa. 

***

"Daniel Jagland. Gue jadi penasaran setampan apa dia. Ada pict-nya?" 

Tya merespons setelah Delotta menceritakan panjang lebar tentang Daniel. Pria matang dengan jambang tipis di area dagu dan rahangnya. 

Saat ini mereka sedang berada di salah satu pusat perbelanjaan mewah yang terletak di jantung kota. Sambil berjalan santai keduanya menikmati es krim cone yang mereka beli dari salah satu gerai. 

"Lo pasti nggak akan mengira kalau dia seumuran papa." Mata Delotta berbinar-binar membayangkan tatapan Daniel yang kadang tajam lalu berubah lembut di waktu-waktu tertentu. "Sayangnya gue nggak sempat ambil fotonya. Ntar deh, lain kali gue kenalin, kemungkinan dia bakal gue undang di acara ultah gue." 

"Yak! Ultah lo! Berhasil nggak bujuk boka lo?" 

Delotta menggeleng lemah. "Papa gue yang protektif itu tetap ingin ngadain pesta di rumah. Nggak asik banget." Dia menjilat es krimnya lagi.

"Lo udah 22 btw."

"Lo kayak nggak tau bokap gue aja. Kemarin sih Om Daniel sempat bilang ke papa supaya gue bisa nentuin sendiri pestanya, tapi dengan otoriter papa menolak." 

Tya menggeleng tak habis mengerti. Setahu dia ayah Delotta adalah jenis pria modern. Bahkan selalu mengenyam pendidikan di luar negeri, tapi siapa sangka kalau pikirannya begitu kolot. 

"Jadi, lo bakal rayain pesta ultah di rumah? Ada badut sulapnya enggak?" Tya mengolok-ngolok seperti biasa. 

"Ada dong, dress code-nya ala-ala princess ya jangan lupa," timpal Delotta, lantas keduanya menertawakan kekonyolan itu. 

"Kenapa lo nggak coba minta tolong Daniel Jagland buat bujukin bokap lo? Katanya mereka dekat. Mungkin kemarin dia nggak terlalu serius, makanya bokap dengan mudah menolak," ujar Tya memberi saran. Dan ide itu membuat Delotta mengetuk jarinya ke dagu. Saran Tya lumayan juga. 

"Ntar gue coba deh."

"Nah, gitu dong. Pasti pesta lo bakal keren banget kalau diadain di kelab," seru Tya bersemangat lantaran sudah membayangkan pesta hedon bertabur lampu gemerlap. Apalagi kalau banyak pria-pria tampan datang. 

"Moga aja berhasil." 

Ketika sedang asyik-asyiknya mengobrol sambil terus berjalan santai sembari sesekali memindai toko-toko brand luar negeri,  mata Delotta menemukan berlian bersinar di depan sana. Itu berlebihan, bukan berlian, tapi dia melihat Daniel Jagland. 

"Ty! Dia ada di sini!" serunya tertahan, membuat Tya serta-merta celingukan. 

"Bokap lo?" 

"Bukan, Daniel Jagland." 

"Hah?! Serius? Mana-mana?" Kepala Tya sampe berputar-putar untuk menemukan sosok yang membuatnya penasaran. 

Delotta menggeleng melihat Tya tanpa arah mencari sosok Daniel. Dengan gemas dia meraih wajah sahabatnya itu dan dihadapkan langsung ke depan, mengarah ke sosok Daniel berada. 

"Itu orangnya di sana. Yang pake celana chinos abu dah kemeja putih." 

Sosok Daniel begitu mencolok. Tubuh tinggi dan muka bulenya gampang menarik perhatian. Jadi, dengan mudah juga Tya bisa menemukannya. 

"Udah liat kan?" 

Baru saja Delotta menanyakan itu, es krim di tangan Tya terjatuh. Parahnya wajah Tya melongo persis orang bodoh saat dia berhasil melihat sosok Daniel Jagland di depan pintu masuk gerai Bulgari.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status