Share

4. Teman Papa

Tidak ada yang lebih tepat lagi selain Ricko, papanya untuk Delotta tanyai mengenai Daniel Jagland. Jadi ketika mendengar sang papa sudah pulang ke rumah, gadis 22 tahun itu langsung menghambur ke ruang kerja Ricko di lantai bawah.

Saat suara besar sang papa menyahuti ketukan pintu, Delotta menyelinap masuk ke ruang tersebut. Dia tersenyum manis melihat Ricko duduk di kursi sambil membolak-balik sebuah berkas.

Tanpa menoleh pria 47 tahun itu bersuara. "Ada apa, Sayang? Tumben kamu langsung menemui papa ke sini."

Delotta mendekat dengan dua tangan yang saling bertaut di belakang punggung. Tangan itu terlepas saat dia sampai di dekat meja Ricko.

"Papa, udah tiga hari aku kerja di Jagland Blue Corp. Papa tau kan?" tanya Delotta. Saat dirinya mulai bekerja Ricko memang tidak ada di rumah. Pria itu sedang melakukan perjalanan bisnis ke Sidney.

"Tau. Daniel memperlakukanmu dengan baik kan?"

Delotta mengangguk, meskipun Ricko tidak memperhatikan. "Apa benar saat aku masih kecil sering main sama dia?"

Ricko tampak beringsut dari kursi, dan mendekati lemari arsip mencari sesuatu. "Ya. Dulu kamu akrab sama dia. Kamu nggak ingat?" tanya dia menatap putrinya sekilas.

"Aku lupa, Pa."

"Memang sudah lama. Wajar kalau kamu lupa. Tapi pesta waktu itu milik dia yang baru pulang dari Kanada. Sayang, waktu papa mau mempertemukan kalian, kamu kabur duluan."

Delotta terkekeh. Mengingat itu dirinya merasa malu sendiri. Bahkan tubuh liat Daniel Jagland yang hanya mengenakan boxer masih terngiang-ngiang di kepalanya.

"Dia kayaknya lebih muda dari papa."

"Kami seumuran."

"Really? Jadi, dia udah 47 dong. Tapi kok kayak masih 30an."

Ricko yang hendak membuka laptop urung. Bola matanya bergerak menatap putrinya. "30 apanya? Dia nggak lebih tua dari papa," cibir Ricko. "Kamu jangan terkecoh, Delotta. Kami satu almamater saat mengambil S2 di Canberra."

Delotta mengangguk-angguk. "Jadi, papa lumayan akrab?"

"Ya, kami memang akrab. Papa masih ingat, saat mama kamu melahirkan dia juga ada di rumah sakit menemani papa. Saat itu papa masih 25 tahun, dan memang nggak ada yang bisa papa andalkan selain Daniel."

Mata bulat Delotta mengerjap. Dia tidak menyangka ternyata mereka sedekat itu. "Tapi kenapa selama ini aku nggak pernah melihat dia lagi kalau memang papa akrab sama dia?"

"Daniel tinggal di Kanada selama ini. Baru sekarang dia kembali ke sini lagi."

Bibir mungil Delotta membulat. "Anaknya udah berapa, Pa?"

"Anak apaan? Nikah saja belum. Dia itu bujang tua. Entah wanita model apa yang dia mau."

Ucapan Ricko membuat Delotta cukup terkejut. Fakta yang cukup menarik. Good looking, matang, tajir. Kesempurnaan nyaris semua ada pada pria bernama Daniel itu. Tapi kenapa belum menikah?

"Mustahil nggak ada wanita yang nggak mau kan, Pa? He's handsome too much. Atau dia punya orientasi seks menyimpang?"

"I don't think so. Dia kencan sama wanita. Bahkan terakhir dia digosipkan kencan dengan selebriti asal Kanada." Ricko menatap sang anak. Dahinya berkerut samar lantaran Delotta terlihat begitu semangat membicarakan Daniel. "Kamu terlalu banyak bertanya tentang Daniel. Jangan bilang kamu tertarik. Dia lebih pantas jadi ayahmu by the way."

Delotta terkikik geli. Papanya terlalu sensitif. Daniel memang menarik, tapi jarak usianya yang terpaut jauh sama sekali tidak masuk ke daftar kriterianya.

"Papa ngaco, deh. Ya nggaklah. Age gap-nya terlalu jauh."

"Benar. Lagi pula dia itu playboy. Papa nggak suka pergaulan dia."

"Bukannya papa juga dulu playboy sebelum ketemu mama?"

Tepatnya mendiang mama. Ibunya meninggal saat Delotta lulus SD. Dan sampai saat ini Ricko belum juga menikah lagi.

"Pada akhirnya seorang playboy akan pulang pada satu hati," lanjut Delotta masih menggoda papanya.

Pria yang helaian rambut keperakannya mulai banyak itu tersenyum menatap Delotta. Kepalanya langsung mengingat Delisha, istrinya yang lebih dulu pergi. Wajah Delotta mewarisi kecantikan istrinya itu.

"Ya, kamu benar." Ricko mengangguk, lantas menghela napas. Hanya kesedihan jika bayangan tentang Delisha kembali memenuhi kepalanya. Dia berusaha mengalihkan topik pembicaraan dengan menanyakan tentang pekerjaan putrinya.

"Apa kamu betah kerja di sana?"

"Orang-orangnya good looking dan kelihatannya baik. Ya seenggaknya selama tiga hari ini aku diperlakukan baik dan kooperatif."

"Nikmati masa-masa magang kamu, tapi jika sudah waktunya kamu kembali, kamu harus kembali."

Delotta putri tunggal Ricko, yang artinya perusahaan akan jatuh ke tangan gadis itu pada akhirnya.

***

"Kamu sudah pintar mengoperasikan mesin fotokopi dengan baik."

Delotta tersentak. Kepalanya menoleh dan menemukan Daniel sudah berada di dekatnya. Refleks kakinya mundur dan tersenyum kikuk.

"Oh, i-iya, Pak."

Pria jangkung itu terkekeh. "Kamu melamun sambil fotokopi?"

Gadis itu nyengir. Kepergok melamun saat bekerja oleh atasan bukan hal yang membanggakan. Apalagi bagi anak magang seperti dia.

"Saya mau makan siang di dekat kantor papa kamu, apa kamu mau ikut?" tanya Daniel, sambil menengok jam tangannya.

"Memangnya boleh, Pak?"

Delotta berpikir untuk mengajak papanya sekalian.

"Boleh dong."

"Boleh ajak papa nggak?"

"Boleh juga."

"Asyik! Saya selesaikan ini dulu kalau begitu."

"Oke, saya tunggu di lobi, ya." Daniel menepuk pelan kepala Delotta sebelum beranjak. Pria itu tidak tahu jika tindakannya kontan membuat pipi Delotta bersemu.

Delotta cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya dan kembali ke kubikel. Dia menyimpan hasil fotokopian ke masing-masing meja staf sebelum bergerak keluar lagi. Namun, sebelum mencapai pintu keluar Steve muncul dan mencegah langkahnya.

"Kamu mau ke mana Delotta? Buru-buru banget," tanya pria berlesung pipi itu.

"Saya mau makan siang, Pak."

"Sendiri aja? Nggak sama yang lain?"

Gadis itu menggeleng. "Saya makan siang sama Pak Daniel dan papa saya."

Alis tebal Steve naik. "Oh begitu? Sepertinya kamu akrab sama Pak Daniel, ya."

Delotta hanya meringis. Ucapan Steve tidak sepenuhnya benar. Saat Delotta kecil mungkin benar dia akrab, tapi sekarang dia tak yakin.

"Kebetulan Pak Daniel teman papa saya, Pak."

"Oh jadi begitu." Steve mengangguk seolah memahami situasi itu. "Baiklah. Jangan biarkan Pak Daniel dan papa kamu menunggu lama."

Delotta mengangguk lantas segera pamit meninggalkan Steve yang masih betah di kantor.

Ketika sampai lobi, gadis itu melihat Daniel tengah berbicara dengan seseorang. Dia bergegas menghampiri pria matang itu.

"Delotta kamu udah siap?" sapa Daniel ketika mata birunya menangkap keberadaan Delotta.

"Maaf, Pak. Jadi nungguin lama."

"Oh enggak. Kebetulan saya sedang berbincang dengan Pak Rafael. Yuk, kita berangkat sekarang."

Setelah berpamitan dengan orang bernama Rafael, keduanya pun keluar dari lobi gedung. Daniel beranjak menuju parkir eksklusif di sisi gedung diikuti Delotta.

Gadis itu terkesima melihat mobil biru dof milik bosnya itu. Dia sangat tahu jenis mobil yang digadang-gadang menjadi mobil termahal tahun ini lantaran fitur dan body-nya yang canggih.

Delotta merasa bak putri dari kerajaan saat memasuki mobil itu. Tepat di sampingnya duduk seorang raja yang tampan rupawan. Sempurna banget hidupnya. Dia sampai tersenyum sendiri karena khayalan itu.

"Mobil Pak Daniel keren," pujinya saat kendaraan roda empat itu melintasi jalan boulevard gedung. "Saya merasa jadi princess duduk di sini."

Daniel terkekeh, dan tawa kecil itu makin menambah ketampanannya. "Kamu memang princess, princess-nya Ricko."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
inggrid LARUSITA Nganjuk
tua umur doang penting fisik msih ok ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status