Tidak ada yang lebih tepat lagi selain Ricko, papanya untuk Delotta tanyai mengenai Daniel Jagland. Jadi ketika mendengar sang papa sudah pulang ke rumah, gadis 22 tahun itu langsung menghambur ke ruang kerja Ricko di lantai bawah.
Saat suara besar sang papa menyahuti ketukan pintu, Delotta menyelinap masuk ke ruang tersebut. Dia tersenyum manis melihat Ricko duduk di kursi sambil membolak-balik sebuah berkas.Tanpa menoleh pria 47 tahun itu bersuara. "Ada apa, Sayang? Tumben kamu langsung menemui papa ke sini."Delotta mendekat dengan dua tangan yang saling bertaut di belakang punggung. Tangan itu terlepas saat dia sampai di dekat meja Ricko."Papa, udah tiga hari aku kerja di Jagland Blue Corp. Papa tau kan?" tanya Delotta. Saat dirinya mulai bekerja Ricko memang tidak ada di rumah. Pria itu sedang melakukan perjalanan bisnis ke Sidney."Tau. Daniel memperlakukanmu dengan baik kan?"Delotta mengangguk, meskipun Ricko tidak memperhatikan. "Apa benar saat aku masih kecil sering main sama dia?"Ricko tampak beringsut dari kursi, dan mendekati lemari arsip mencari sesuatu. "Ya. Dulu kamu akrab sama dia. Kamu nggak ingat?" tanya dia menatap putrinya sekilas."Aku lupa, Pa.""Memang sudah lama. Wajar kalau kamu lupa. Tapi pesta waktu itu milik dia yang baru pulang dari Kanada. Sayang, waktu papa mau mempertemukan kalian, kamu kabur duluan."Delotta terkekeh. Mengingat itu dirinya merasa malu sendiri. Bahkan tubuh liat Daniel Jagland yang hanya mengenakan boxer masih terngiang-ngiang di kepalanya."Dia kayaknya lebih muda dari papa.""Kami seumuran.""Really? Jadi, dia udah 47 dong. Tapi kok kayak masih 30an."Ricko yang hendak membuka laptop urung. Bola matanya bergerak menatap putrinya. "30 apanya? Dia nggak lebih tua dari papa," cibir Ricko. "Kamu jangan terkecoh, Delotta. Kami satu almamater saat mengambil S2 di Canberra."Delotta mengangguk-angguk. "Jadi, papa lumayan akrab?""Ya, kami memang akrab. Papa masih ingat, saat mama kamu melahirkan dia juga ada di rumah sakit menemani papa. Saat itu papa masih 25 tahun, dan memang nggak ada yang bisa papa andalkan selain Daniel."Mata bulat Delotta mengerjap. Dia tidak menyangka ternyata mereka sedekat itu. "Tapi kenapa selama ini aku nggak pernah melihat dia lagi kalau memang papa akrab sama dia?""Daniel tinggal di Kanada selama ini. Baru sekarang dia kembali ke sini lagi."Bibir mungil Delotta membulat. "Anaknya udah berapa, Pa?""Anak apaan? Nikah saja belum. Dia itu bujang tua. Entah wanita model apa yang dia mau."Ucapan Ricko membuat Delotta cukup terkejut. Fakta yang cukup menarik. Good looking, matang, tajir. Kesempurnaan nyaris semua ada pada pria bernama Daniel itu. Tapi kenapa belum menikah?"Mustahil nggak ada wanita yang nggak mau kan, Pa? He's handsome too much. Atau dia punya orientasi seks menyimpang?""I don't think so. Dia kencan sama wanita. Bahkan terakhir dia digosipkan kencan dengan selebriti asal Kanada." Ricko menatap sang anak. Dahinya berkerut samar lantaran Delotta terlihat begitu semangat membicarakan Daniel. "Kamu terlalu banyak bertanya tentang Daniel. Jangan bilang kamu tertarik. Dia lebih pantas jadi ayahmu by the way."Delotta terkikik geli. Papanya terlalu sensitif. Daniel memang menarik, tapi jarak usianya yang terpaut jauh sama sekali tidak masuk ke daftar kriterianya."Papa ngaco, deh. Ya nggaklah. Age gap-nya terlalu jauh.""Benar. Lagi pula dia itu playboy. Papa nggak suka pergaulan dia.""Bukannya papa juga dulu playboy sebelum ketemu mama?"Tepatnya mendiang mama. Ibunya meninggal saat Delotta lulus SD. Dan sampai saat ini Ricko belum juga menikah lagi."Pada akhirnya seorang playboy akan pulang pada satu hati," lanjut Delotta masih menggoda papanya.Pria yang helaian rambut keperakannya mulai banyak itu tersenyum menatap Delotta. Kepalanya langsung mengingat Delisha, istrinya yang lebih dulu pergi. Wajah Delotta mewarisi kecantikan istrinya itu."Ya, kamu benar." Ricko mengangguk, lantas menghela napas. Hanya kesedihan jika bayangan tentang Delisha kembali memenuhi kepalanya. Dia berusaha mengalihkan topik pembicaraan dengan menanyakan tentang pekerjaan putrinya."Apa kamu betah kerja di sana?""Orang-orangnya good looking dan kelihatannya baik. Ya seenggaknya selama tiga hari ini aku diperlakukan baik dan kooperatif.""Nikmati masa-masa magang kamu, tapi jika sudah waktunya kamu kembali, kamu harus kembali."Delotta putri tunggal Ricko, yang artinya perusahaan akan jatuh ke tangan gadis itu pada akhirnya.***"Kamu sudah pintar mengoperasikan mesin fotokopi dengan baik."Delotta tersentak. Kepalanya menoleh dan menemukan Daniel sudah berada di dekatnya. Refleks kakinya mundur dan tersenyum kikuk."Oh, i-iya, Pak."Pria jangkung itu terkekeh. "Kamu melamun sambil fotokopi?"Gadis itu nyengir. Kepergok melamun saat bekerja oleh atasan bukan hal yang membanggakan. Apalagi bagi anak magang seperti dia."Saya mau makan siang di dekat kantor papa kamu, apa kamu mau ikut?" tanya Daniel, sambil menengok jam tangannya."Memangnya boleh, Pak?"Delotta berpikir untuk mengajak papanya sekalian."Boleh dong.""Boleh ajak papa nggak?""Boleh juga.""Asyik! Saya selesaikan ini dulu kalau begitu.""Oke, saya tunggu di lobi, ya." Daniel menepuk pelan kepala Delotta sebelum beranjak. Pria itu tidak tahu jika tindakannya kontan membuat pipi Delotta bersemu.Delotta cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya dan kembali ke kubikel. Dia menyimpan hasil fotokopian ke masing-masing meja staf sebelum bergerak keluar lagi. Namun, sebelum mencapai pintu keluar Steve muncul dan mencegah langkahnya."Kamu mau ke mana Delotta? Buru-buru banget," tanya pria berlesung pipi itu."Saya mau makan siang, Pak.""Sendiri aja? Nggak sama yang lain?"Gadis itu menggeleng. "Saya makan siang sama Pak Daniel dan papa saya."Alis tebal Steve naik. "Oh begitu? Sepertinya kamu akrab sama Pak Daniel, ya."Delotta hanya meringis. Ucapan Steve tidak sepenuhnya benar. Saat Delotta kecil mungkin benar dia akrab, tapi sekarang dia tak yakin."Kebetulan Pak Daniel teman papa saya, Pak.""Oh jadi begitu." Steve mengangguk seolah memahami situasi itu. "Baiklah. Jangan biarkan Pak Daniel dan papa kamu menunggu lama."Delotta mengangguk lantas segera pamit meninggalkan Steve yang masih betah di kantor.Ketika sampai lobi, gadis itu melihat Daniel tengah berbicara dengan seseorang. Dia bergegas menghampiri pria matang itu."Delotta kamu udah siap?" sapa Daniel ketika mata birunya menangkap keberadaan Delotta."Maaf, Pak. Jadi nungguin lama.""Oh enggak. Kebetulan saya sedang berbincang dengan Pak Rafael. Yuk, kita berangkat sekarang."Setelah berpamitan dengan orang bernama Rafael, keduanya pun keluar dari lobi gedung. Daniel beranjak menuju parkir eksklusif di sisi gedung diikuti Delotta.Gadis itu terkesima melihat mobil biru dof milik bosnya itu. Dia sangat tahu jenis mobil yang digadang-gadang menjadi mobil termahal tahun ini lantaran fitur dan body-nya yang canggih.Delotta merasa bak putri dari kerajaan saat memasuki mobil itu. Tepat di sampingnya duduk seorang raja yang tampan rupawan. Sempurna banget hidupnya. Dia sampai tersenyum sendiri karena khayalan itu."Mobil Pak Daniel keren," pujinya saat kendaraan roda empat itu melintasi jalan boulevard gedung. "Saya merasa jadi princess duduk di sini."Daniel terkekeh, dan tawa kecil itu makin menambah ketampanannya. "Kamu memang princess, princess-nya Ricko.""Adik bayi itu dari angsa terbang, Mam?" Pertanyaan yang diajukan dengan nada khas balita itu membuat Dellota dan Daniel terkekeh. Kavia masih penasaran dengan kemunculan adik bayi. Gyan di sisi gadis kecil itu menarik napas panjang. "Bukan Kavia, kan aku udah bilang itu mitos." "Aku nggak tau mitos itu apa." Kavia tidak peduli dan meloncat ke bed ibunya. Seketika Daniel memekik tertahan. "Hati-hati, My Princess. Kamu bisa jatuh," ucapnya dengan dada yang masih berdebar kencang. "Aku cuma mau lihat adik bayi." Kavia bergerak ke sisi ibunya yang tengah menyusui adik barunya. "Mami, boleh aku ikut nenen juga sama mami?" Lagi-lagi Delotta terkekeh. Tangannya terjulur mengusap kepala Kavia dengan lembut. "Kavia kan udah jadi kakak, masa masih mau nenen ke mami?" "Kavia, nenen itu cuma buat bayi. Kita udah jadi kakak, udah besar. Kamu mau diejek sama teman-teman kalau masih nenen sama mami?" Gyan menggeleng tak habis pikir dengan keinginan adiknya. Namun Kavia lagi-lagi tak peduli
Tangan Daniel menggenggam kemudi dengan erat. Gigi-gigi dalam rongga mulutnya gemeretakan menahan kesal. Beberapa kali dia menghela napas panjang untuk menghalau amarah akibat tingkah sekretarisnya. Dia tidak habis pikir bagaimana bisa seorang sekretaris baru seberani itu? Kepalanya penuh dengan Delotta sekarang. Beberapa hari belakangan wanita itu sering uring-uringan perkara sekretaris baru Daniel. Dan malam ini kekhawatiran Delotta terbukti. Daniel membelokkan kemudi ke kawasan rumah mewahnya. Pintu gerbang rumah terbuka saat sensor di sana mengenali mobilnya. Dia bergerak masuk melewati halaman taman yang luas, mengitari tugu air mancur warna-warni hingga mobilnya tepat berhenti di depan teras rumah. Dia turun begitu saja dari mobil dan memasuki rumah yang pintunya otomatis terbuka. Langkahnya berbelok ke kanan menuju jalan alternatif yang akan langsung menuju kamar pribadinya. Ketika tangannya menyentuh sebuah dinding berlapis marmer, dinding itu lantas bergerak terbuka. Danie
Pekerjaan membuat Daniel harus tinggal lebih lama di kantor. Beberapa saat lalu dia baru saja mengakhiri panggilan video dengan istri dan anak-anaknya yang tengah bersiap tidur. Ini menjadi hal yang sulit untuknya. Dellota tengah hamil anak ketiga, tapi pekerjaan malah makin membuat pria itu sibuk. Tak jarang dia meninggalkan istri dan anak-anak keluar kota. Blue Jagland Indonesia makin melebarkan sayap. Bisnisnya mulai menggurita di beberapa sektor. Itu yang membuat Daniel makin sibuk. Sampai-sampai Gyan dan Kavia protes karena waktu bermain mereka dengan sang papi jadi berkurang. Tidak jarang weekend pun Daniel tetap bekerja."I'm sorry, Baby. Tapi semua ini memang sulit ditinggal," ucap Daniel suatu kali ketika Delotta protes tentang jam kerjanya yang makin tak masuk akal."Tapi kami juga butuh waktu kamu. Lima hari kerja memangnya nggak cukup? Kalau majunya perusahaan malah bikin kamu nggak punya waktu buat kami lebih baik perusahaan nggak usah maju aja." Delotta bersedekap tangan
Delotta terkikik geli saat melihat Kavia tidur di lengan Daniel—yang juga ikutan tidur dengan lelap. Batita itu terlihat begitu nyaman tidur sambil memegangi lengan Daniel. Dalam keadaan begitu, keduanya tampak begitu mirip. Lima belas menit lalu Delotta sengaja menitipkan putrinya yang sudah dia dandani kepada Daniel. Bahkan dia juga berpesan untuk membawa Kavia jalan-jalan. Dan ternyata jalan-jalan mereka ke pulau kapuk. Delotta bersandar pada kusen pintu menatap mereka. Untuk semua alasan dia sangat bersyukur dengan keadaannya yang sudah sampai sejauh ini.Kepala Delotta menggeleng pelan sambil tersenyum melihat pemandangan itu. Tidak mau mengganggu, dia pun keluar. "Adek mana, Mam?" tanya Gyan saat melihat ibunya berjalan sendiri tanpa Kavia di gendongannya. "Lagi tidur sama papi," ujar Delotta pelan. "Kok tidur sih? Ini kan udah sore? Papi juga janji mau main bola sama aku." Wajah Gyan cemberut, pipi chubby-nya memerah. "Iya maafin, Papi. Nanti kalau Papi udah bangun kamu b
"Boleh satu lagi?" Delotta berjengit ketika Daniel mencium perutnya. Dia kaget dengan permintaan Daniel. Demi Tuhan! Kavia baru lepas dari asi eksklusif bisa-bisanya Daniel memintanya untuk memberi anak lagi. "Aku masih capek. Tenagaku masih perlu dipulihkan. Ya aku tau kamu memberiku bala bantuan. Tapi paling enggak tunggu sampai Kavia usia dua tahun?""Dua tahun? Bahkan hamil kedua saat Gyan umur satu tahun. Ayolah Sayang, kamu menikah bukan sama pria muda.""Ya, lalu?" Daniel menggigit bibir, tapi lantas menundukkan kepala sambil melukis gerakan abstrak dengan ujung jari di atas lengan Delotta. Mirip sekali dengan Gyan saat merajuk. "Kalau dilama-lamain lagi aku takut dikira sedang menggendong cucu nanti," ujar pria itu, yang mau tak mau membuat Delotta menyemburkan tawa. Daniel berdecak malas melihat reaksi istrinya. "Apanya yang lucu coba?"Delotta mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah untuk meredakan tawa. "Maaf, Sayang." Segera mungkin Delotta mendekat dan menyelipkan t
"Ah!" Delotta menengadah sambil menggigit bibir. Rintihan lirihnya membuat suasana di sekitar makin panas. Peluh membanjiri kulit tubuhnya yang seputih susu. Pinggulnya terus bergerak maju mundur dengan tempo sedang. Di bawahnya, Daniel mengerang. Dua tangannya merangkum dada Delotta. Sesekali jarinya menjepit gemas dua puncak dada itu yang kadang mengeluarkan cairan asi. "Sayang, ini perlu dipumping lagi kayaknya deh," ucap Daniel saat jarinya merasakan basah ketika menekan puncak dada istrinya. "Sebentar lagi," sahut Delotta agak terbata. Melihat wajah memerah Delotta, Daniel tersenyum. Dia segera mengambil alih permainan. Ditariknya tubuh gadis itu sampai jatuh ke pelukannya. Lantas dari bawah pinggulnya bergerak menghantamkan miliknya lebih keras dan dalam sampai-sampai membuat Delotta terpekik. "Aku bantu," ucap pria itu memberikan hujaman demi hujaman. Erangan dan desahan Delotta makin menjadi. Dirinya yang memang sudah tidak bisa menahan diri lagi dengan cepat meraih kep