Share

6. Deg-degan

"Yakin dia seusia bokap lo?"

Setelah melihat dan bertemu Daniel Jagland, Tya meragukan ucapan Delotta. Beberapa menit lalu Tya memaksa untuk dikenalkan dengan Daniel saat tersadar dari rasa terkesimanya.

Tya menarik tangan Delotta mendekati Daniel yang tampak sendirian di depan Bulgari Store. Dengan tidak tahu malunya gadis itu mendorong bahu Delotta sampai Daniel sadar dengan kehadiran mereka.

"Otta? Kamu di sini?" tanya Daniel dengan tatapan takjub juga terkejut.

Delotta meringis, ingin rasanya dia menjitak kepala Tya yang membuatnya malu dan norak seperti ini.

"I-iya, Om. Jalan-jalan sama teman."

Sebuah cubitan kecil di pinggangnya membuatnya kaget. Delotta melirik sebal Tya di sebelahnya yang memberinya kode lewat mata. Nyebelin banget.

"Om, kenalin ini teman Otta. Namanya Tya." Delotta baru saja mengenalkan sahabatnya itu, tapi dengan tidak sabar Tya merangsek maju seraya nengulurkan tangan.

"Halo, Om. Kenalin, aku teman Otta. Seneng deh bisa ketemu Om di sini," ujar Tya dengan mata berbinar-binar kegirangan.

Daniel tersenyum lebar dan menyambut tangan itu. "Halo, I'm Daniel. Nice to meet you."

Tya memejamkan mata sesaat sebelum tangannya terlepas dari jabatan tangan itu.

"Om, mau makan sama kita nggak?"

Pertanyaan tiba-tiba Tya membuat Delotta memelotot ke arahnya. Tidak ada rencana seperti itu sebelumnya, bahkan perkenalan ini pun tidak ada. Tapi Tya dengan lancangnya....

"Uhm, kayaknyan next time. Aku masih ada urusan."

Delotta bernapas lega karena pria tampan itu menolak ajakan tak masuk akal Tya. Namun, tiba-tiba dari dalam gerai muncul seorang wanita yang tiba-tiba menghampiri Daniel.

Wanita tinggi berambut pirang itu langsung menggaet lengan Daniel. "I am done. We can go now."

Sontak Delotta dan Tya melongo melihatnya. Wanita bule itu sangat cantik dan memiliki tinggi yang tak jauh beda dengan Daniel.

"Oh, okay." Daniel melempar senyum manisnya sesaat pada wanita itu, lantas kembali kepada dua gadis di depannya. "Otta, Tya, aku duluan ya. Otta mainnya jangan lama-lama. Nanti papa kamu nyariin."

"Iya, Om. Ini bentar lagi pulang."

Tya menelan kecewa ketika Daniel dan wanita itu pergi menjauh. Dan, sekarang gadis itu mempertanyakan keraguan usia Daniel.

"Dia itu teman kuliah papa di Canberra. Bahkan dulu mereka satu flat," sahut Delotta. Dia baru membuang sisa es krim yang sudah mencair.

"Nggak terlihat kayak usia papa lo. Dia lebih muda, ya, nggak sih?"

"Kan gue juga udah pernah bilang."

"Gemes sih gue, sumpah. Meskipun kalau jalan sama kita kayak om dan ponakan, tapi dia keren banget. Beruntung banget sih lo, Ta." Tya mulai kumat lebaynya.

"Beruntungnya di mana? Lo nggak liat dia udah punya gandengan? Dan lo nggak liat tuh cewek kayak gimana? Seleranya tinggi. Kita mah paling dianggap remahan."

"Whatever, yang penting tiap hari lo bisa cuci mata, atau tempel-tempel dikit."

Delotta menggeleng dengan kelakuan sahabatnya itu. Bagaimana mungkin dia melakukan hal genit semacam itu? Apalagi dengan Daniel, Ricko bisa mencincangnya.

Tapi tidak bisa dipungkiri, ketampanan Daniel Jagland memang mampun membuat Delotta senyum tanpa sebab. Pria itu juga sangat memperlakukan dia dengan baik. Meskipun Delotta sangat tahu semuanya karena Ricko, papanya, yang dengan jelas menitipkannya pada Daniel.

Delotta mengembuskan napas. Ingin lepas dari papa ternyata sesulit itu. Di mana pun Delotta berada, bayang-bayang papanya seolah selalu mengikuti.

***

Delotta celingukan mencari salah seorang staf yang mungkin bisa membantu pekerjaannya. Pasalnya data yang dia buat malah kacau balau. Namun, staf yang biasa membantu tidak ada di tempat. Hanya ada dua orang yang tampaknya sangat sibuk. Delotta merasa gak enak hati kalau mengganggu.

Dia tatap layar PC-nya dengan wajah kecut. Terbersit sebuah penyesalan di dada Delotta ketika mengingat dia sangat jarang mengerjakan tugas kuliah sendiri. Jarang pegang laptop atau sejenisnya, dan sekarang menemui kesulitan seperti ini dia kelimpungan.

"Ada apa, Otta?"

Delotta terperanjat mendengar suara itu yang tiba-tiba muncul begitu dekat. Dia menolah, dan tahu-tahu Daniel ada di dekatnya. Bagaimana dia tidak menyadari?

"Ini, Pak." Sambil nyengir Delotta menunjuk layar komputernya. "Berantakan."

"Serius kamu nggak bisa menyelesaikan itu?"

Delotta menggeleng sambil mencebikkan bibir. "Saya takut mengutak-atiknya, takut tambah berantakan."

Daniel tersenyum, lalu tubuh jangkungnya menunduk dengan salah satu tangan bersandar pada pinggiran meja Delotta. Tangan lainnya melewati bahu kanan gadis itu untuk menjangkau mouse. Posisi itu membuat Delotta seperti sedang dirangkul pria itu. Jarak mereka begitu dekat, sampai Delotta bisa menghidu aroma parfum milik Daniel.

"Ini cukup kamu bereskan dengan satu langkah. Tekan ctrl lalu tekan ini bersamaan. Kemudian ...."

Penjelasan Daniel seolah terbang begitu saja. Jantung Delotta berdetak kencang menyebabkan gadis itu malah tidak fokus mendengar penjelasan pria itu. Dia memang mengangguk-angguk, tapi tidak memahami apa yang Daniel ajarkan.

"Nah, lihat. Rapi lagi, kan? Kamu bisa gunakan cara yang sama kalau ketemu kesulitan kayak gini lagi."

Delotta terkesiap saat Daniel menoleh dan menatapnya. "O-oh, iya, oke. Terima kasih, Pak."

Lagi-lagi pria itu tersenyum. Pria itu lantas mundur dan berdiri dengan benar kembali. "Kamu bisa kok bicara santai, Otta. Nggak perlu terlalu formal. Bukannya sekarang kamu ingat aku?"

Gadis berambut cokelat itu nyengir. "Iya, sih. Tapi kayaknya nggak sopan. Ini kan kantor."

"Nggak masalah, Otta."

Delotta mengangguk sambil melengkungkan bibir. Jantungnya seolah berhenti berdetak sejenak ketika Daniel tiba-tiba saja menepuk pelan kepalanya. Ditambah tatapannya yang membuat hati Delotta meleleh. Rasanya aneh, tapi dia menyukainya.

"Oke, kamu bisa lanjutkan sendiri ya, aku harus keluar." Daniel hendak beranjak pergi. Namun ....

"Om Daniel," Delotta memanggil.

Pria jangkung itu berbalik dengan dahi mengernyit. "Ada yang ingin kamu tanyakan lagi?"

"Nothing. But ... Uhm ... Mungkin Om mau makan malam di rumah weekend nanti?" Delotta memejamkan mata sesaat setelah mengatakan itu. Entahlah. Hal itu terlintas begitu saja.

"Of course, tapi mungkin aku akan lihat jadwalku weekend ini."

"Kalau Om punya janji lain, it's okay. Forget it." Delotta tersenyum lebar untuk mengatasi rasa malunya.

"Okay. I'll tell you later."

Daniel mengerlingkan sebelah matanya lantas berlalu. Di tempatnya Delotta terus memperhatikan punggung pria itu hingga menghilang di balik pintu masuk workstation.

Dia membuang napas, lalu memegangi dadanya yang akhir-akhir ini sulit dikendalikan saat Daniel di dekatnya.

"Kalian akrab?"

Delotta menoleh mencari sumber suara. Dan menemukan seorang wanita berkacamta yang duduk paling ujung. Sejak awal datang, Delotta tidak pernah berinteraksi secara langsung dengan staf wanita itu karena wajahnya yang terkesan dingin.

Delotta tersenyum. "Nggak, hanya sedikit."

Wanita itu membetulkan letak kacamatanya. "Sebaiknya kamu hati-hati," katanya sambil mengalihkan pandang ke pekerjaannya lagi.

"Oh, thanks." Meski bingung, Delotta tersenyum lagi. Dia tidak mengerti kenapa harus berhati-hati kepada orang sebaik Daniel. Lebih dari itu, papanya secara langsung menitipkannya di sini.

Jadi, Delotta pikir tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status