Share

Bukan Pelakor

Chapter 2.

Jessica terlihat gelisah menunggu kabar dari Leon sahabatnya.  Ia penasaran kenapa hingga sesore ini leon tidak juga menghubunginya. Bahkan ia sangat khawatir Leon masih belum bangun dan belum makan apapun sejak tadi pagi. Melihat betapa banyaknya minuman yang ia teguk semalaman.  Wajar jika ia akan tidur seharian. Ia bolak balik mengecek layar ponselnya. Berharap ada telpon maupun pesan dari Leon. Namun nihil, yang ia dapatkan justru pesan dari agen pengkreditan barang-barang elektronik. Mengingatkan bahwa tanggal jatuh tempo pembayaran cicilannya akan berlangsung lima hari lagi.

“Shit!  Bahkan aku belum mendapatkan gajiku bulan ini!” serunya sambil setengah melempar ponselnya ke dalam tas jinjingnya. Ia mulai bersiap untuk pulang ke rumah. Waktu sudah menunjukkan selesainya jam kerja.

“Glenca, aku pulang duluan ya!” sapanya pada teman yang duduk di dekatnya.

“Kau tidak menungguku? Mari kita pulang bersama-sama!.” Ajak Glenca. “Aku hanya akan memperbaiki dokumen ini sebentar saja. Mungkin sekitar sepuluh menit lagi.”

“Tidak! Maaf, kita pulang bersama lain kali saja. Aku masih ada urusan mendesak!” ucap Jessica sambil berlalu dengan terburu-buru. “See you tomorrow!” jessica melambaikan tangannya pelan.

Dengan sedikit terburu-buru ia berhenti di halte terdekat.  Menunggu bus angkutan yang akan membawanya pulang. Pikirannya masih saja teringat dengan Leon sahabatnya. Ia sangat khawatir Leon kenapa-kenapa. Biasanya sepulang kerja ia akan mampir dulu ke pedagang kaki lima yang ada di sekitar kantornya.  Untuk sekedar membeli camilan atau pengganjal perut hingga waktu makan malam tiba.

Saat tiba di depan rumah kontrakannya,  Jessica sedikit terkejut mendapati pintu rumah itu terbuka lebar. Terlihat gagang pintu yang rusak menandakan bahwa seseorang telah membuka pintu itu secara paksa. Menyadari bahwa pasti telah terjadi sesuatu, Ia pun berlari menuju ke dalam rumah. Bermaksud mencari Leon dan mengkhawatirkan keadaannya sekarang.

Namun apa yang ia temukan sungguh kejadian di luar nalar. Ia terperanjat dan sejenak menahan sesak di dadanya. Begitu sakit,  hingga mampu membuatnya jatuh tersungkur ke lantai. Pikirannya tiba-tiba kacau. Keadaan rumahnya yang porak poranda membuatnya tak bisa berpikir jernih lagi. Bingung dan juga perasan tertekan membuatnya frustrasi di saat bersamaan. Ia hanya bisa mengambil nafas dalam-dalam mencoba menerima kenyataan di depannya. Menyadari bahwa seluruh harta benda di dalamnya hancur tak tersisa. Padahal sebagian besar perabotan di dalam rumah itu adalah milik sang pemilik gedung. Ia tak tau harus bagaimana menjelaskannya nanti saat si pemilik rumah itu tau.

Saat pikirannya kalut dan tak tau harus berbuat apa.  Ia mencari ponselnya dan menelpon satu-satunya sahabat wanitanya.

“Elsa_” ucapnya sambil terisak. “hiks,  hiks,  hiks!” kemarilah!  Aku butuh bantuanmu.” Akhirnya tangisnya mulai pecah.

“Jessica?  Kau kenapa?  Apa yang terjadi kawan? Kenapa kau menangis?” tanya sahabatnya khawatir.

“kemarilah Elsa,  aku tidak bisa menceritakannya di telpon!” perintahnya dengan suara bergetar.

“OK, tunggu aku disitu, dan jangan kemana-mana!” ucap Elsa mulai khawatir.

Butuh waktu sekitar setengah jam menunggu Elsa tiba di rumah Jessica. Saat tiba disana ia terperangah melihat keadaan rumah Jessica yang berantakan. Terlihat Jessica yang masih menangis di samping pintu. Bukan hanya rumah itu yang berantakan.  Namun,  Jessica pun tampak begitu kacau.

“Jess! Ada apa ini?  Apa kau kerampokan?” tanya Elsa sambil berhambur memeluk Jessica.

“Aku juga tidak tau. Aku juga baru mengetahuinya saat pulang kerja.” Jawab Jessicamasih dengan aliran air mata di pipinya.

Sambil menenangkan sahabat dalam pelukannya elsa berkata “Kita harus lapor polisi Jes!”

Sementara polisi menyelidiki kasus ini,  Elsa mengajak Jessica untuk bermalam dirumahnya dulu.

Malam itu Jessica masih saja tampak tidak tenang. Entah apa yang sedang menghantui pikirannya. Ia sangat jelas terlihat gelisah dan berulang kali mendesah di samping Elsa yang belum terlalu pulas. Karna penasaran apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan sahabatnya. Ia bangun dan menghidupkan kembali lampu tidur di atas nakas.

“Kau sedang gelisah Jess!  Apa yang sedang kau pikirkan?” tanyanya langsung tanpa basa-basi.

“Aku_ aku_” jawab Jessica ragu karna terbata-bata. “Aku melakukan sebuah kesalahan tadi malam.” Sekali lagi ia melanjutkan jawabannya. “Aku membiarkan Leon menginap di rumahku.”

“Whatt? Apa yang kau katakan barusan?” Elsa bertanya lagi setengah tak mempercayai apa yang ia dengar barusan. Ia menutup mulutnya saking terkejutnya mendengarkan penuturan Jessica.

“Elsa, dia tiba-tiba menelponku dalam keadaan mabuk. Aku sangat khawatir.  Karna itu ku datangi ia yang sedang mabuk. Dia terlalu mabuk hingga tak bisa pulang.” Ucap Jessica pada Elsa yang masih setia mendengarkan. “ Aku rasa ada yang salah paham.  Feeling ku mengatakan,  kalau kejadian dirumahku itu adalah ulah keluarga istrinya.” Jessica mencoba mengutarakan hal yang menghantui pikirannya sejak tadi.

“Kalau memang begitu,  harusnya Leon bertanggung jawab atas kerusakan itu.”

“Apa semudah itu aku bisa menemui Leon? Andai begitu mudah mungkin aku tidak akan segalau ini.” Jessica diam sejenak. “Sebenarnya yang menjadi pikiranku bukan masalah rumahku. Tapi, aku khawatir Leon kenapa-kenapa karna kesalah pahaman ini!”

Elsa memeluk Jessica dan mencoba menenangkan. “Kau masih saja menghawatirkan keadaannya. Padahal kau sendiri sekarang yang sedang dalam masalah. Aku bersumpah Leon tidak akan bahagia dengan pernikahannya.” Ucap Elsa kesal.

“Kenapa kau berkata begitu? Leon teman kita! Berhentilah berdoa yang buruk seperti itu!”

“Aku membencinya.  Aku benci dia telah meninggalkanmu demi perempuan itu. Kita lihat saja,  apakah dia akan bahagia dengan kehidupannya setelah mencampakkanmu.”

Elsa memang sangat kesal pada Leon. Kesal pada kebodohannya meninggalkan teman sebaik Jessica. Karna ia tau segalanya,  ia tau Jessica sangat mencintai Leon. Ia juga tau bahwa sebenarnya Leon juga mencintai Jessica sejak kecil. Tapi rasa gengsinya mengalahkan perasaan itu. Keinginannya untuk menjadi kaya mendadak mengalahkan keinginan hatinya sendiri. Jessica adalah satu-satunya orang yang paham bagaimana hubungan mereka sebelumnya. Ia kenal Jessica maupun Leon sejak kecil.

Malam itu mereka tidak tidur hingga dini hari. Memilih saling mencurahkan perasaan dan pikiran mereka masing-masing. Baik Jessica maupun Elsa,  mereka sama-sama memiliki masalah yang tak cukup mudah dalam kehidupan yang mereka jalani sebagai seorang yatIm piatu yang miskin.

Setelah beberapa hari berlalu. Kecurigaan Jessica benar adanya.  Bahwa yang merusak rumahnya adalah orang-orang suruhan keluarga charleston. Pantas saja polisi tidak bisa mengusut kasus ini lebih jelas. Dan jessica juga tidak bisa meminta ganti rugi. Keluarga charleston bukanlah keluarga sembarangan. Tentu saja dengan mudah mereka bisa menutup mulut polisi. Begitulah hukum di kota ini. Siapa yang memiliki uang, dialah yang akan menang. Sedangkan yang miskin hanya bisa menerima kekalahannya.

Meski masih menumpang di rumah Elsa. Sedikit demi sedikit Jessica sudah membereskan dan memperbaiki beberapa kerusakan di dalam rumahnya. Ada beberapa barang yang masih bisa dipakai tanpa perbaikan dan ada juga sebagian kecil yang rusak total. Untung saja ia masih memiliki sedikit tabungan yang tadinya diniatkan untuk membeli rumah. Sepertinya mimpi untuk membeli rumah yang layak dan nyaman masih akan tertunda lebih lama.

Namun Jessica adalah pekerja keras yang tak pernah menyerah dengan keadaan sesulit apapun. Sejak kecil ia sudah terbiasa dengan penderitaan. Sehingga untuk menutupi kerugian itu,  ia berinisiatif mencari pekerjaan lagi di malam hari. Tidak apa-apa meski nanti waktu istirahatnya hanya sebentar.  Asalkan ia bisa segera mewujudkan keinginannya.

“Jessica!” sapa Leon dari seberang jalan. Dengan suara yang sedikit berteriak.

Sore itu Jessica melihat Leon dari seberang jalan saat ia baru keluar dari kantornya. Jessica berbalik dan hendak menghindar. Namun terlambat,  tangan Leon secepat kilat menyambar telapak tangan Jessica. Menariknya dan membawanya pergi agar mengikuti langkahnya.

“Leon!  Lepaskan tanganku!” serunya sambil berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Leon. “Kau mau apa?” tanyanya selanjutnya saat tau bahwa percuma melawan tangan Leon yang besar dan berotot itu.

“Kau harus ikut aku sebentar!  Ada beberapa hal yang harus kita bicarakan dan selesaikan!” ujarnya sambil menggiring Jessica masuk di sebuah kafe pinggir jalan.

Leon mendudukkan Jessica secara kasar diatas kursi yang untung saja empuk dan nyaman. Andai kursi itu terbuat dari kayu seperti kursi yang ada di dalam dapur miliknya. Pastilah ia akan merasa kesakitan.

“Duduklah sebentar disini!  Kita makan malam sambil mengobrol sebentar!” ajak Leon dengan lembut.

“Aku tidak mau nanti ada yang salah paham Leon!” protes Jessica sedikit kesal.

“Baiklah tidak perlu makan.  Sekedar memesan minuman saja!” Leon kemudian memanggil salah satu pelayan dan memesan minuman tanpa bertanya kepada Jessica. Karna ia sudah tau apa yang Jessica suka saat berada di tempat seperti itu.

“Jess! Ini untuk mu!” Leon menyodorkan sebuah kartu ATM di depan Jessica yang membuang muka dan masih enggan untuk menatapnya. “Sebagai ganti rugi pada semua hal yang dilakukan oleh 8orang-orang suruhan kakak iparku. Nomer pinnya menggunakan tanggal lahirmu”. Leon mengatakannya dengan sorot mata yang sedang sedih.  Raut wajahnya menyiratkan bahwa sebenarnya ia sedang menyesal.  Jessica bahkan tidak sudi melihat benda segi empat yang Leon sodorkan ke hadapannya.

“Jess,  maaf kan aku jika kau tidak keberatan.  Aku sangat menyesal membiarkanmu melalui hal semacam itu.”

“Aku di tuduh pelakor kan?” tanya Jessica reflek. “Keluarga Charleston sangat jahat! Aku heran kau bertahan dalam keluarga yang mengerikan seperti itu.” Jessica memuntahkan apa yang selama ini ada dalam pikirannya sore itu.

“Sebenarnya kakak iparku tidak sejahat itu.  Dia orang yang baik. Hanya saja ada sedikit kesalah pahaman.” Leon mencoba memberi penjelasan. “Ada seseorang yang sengaja mengirimkan foto kita berdua pada istriku malam itu.  Padahal kita tidak melakukan apapun!”

Mendengar penjelasan dari Leon. Jessica tertawa ringan. “Jadi ini semua ulah kakak iparmu?”

“Iya,  dia yang mengutus beberapa preman untuk menghancurkan tempat tinggalmu.” Jawab Leon tegas dan jelas.

“Waw! Fantastis! dan istrimu sangat bodoh!  Dia bahkan tidak mempercayai cintamu. Atau memang selama ini kau sering bermain dengan wanita lain di belakangannya?” tanya Jessica sedikit penasaran.

“Tentu saja tidak kawan! Kau tau aku tipe lelaki setia.” Leon mengatakannya sambil mengedikkan bahunya.

“Dia juga sedikit pengecut untuk mendatangi seorang pelakor dengan mengutus kakaknya.  Harusnya ia menemuiku sendiri jika memang ingin menghukumku.”

“Sayangnya orang lain ada yang melaporkannya langsung pada kakak iparku. Dia sangat possesive pada adik semata wayangnya.”

“Baiklah Leon cukup sampai disini saja!  Aku juga sudah meminun minumannya.  Aku pergi dulu. Kartu ini aku tidak akan mengambilnya. Aku tidak mau ada kesalahpahaman lain nantinya.” Ujar Jessica sambil beranjak dari tempat duduknya.

Namun Leon tidak menyerah. Ia masih menghentikan Jessica dan menyisipkan kartu itu dalam tas yang dipakai Jessica. “Aku tidak ingin kau menderita Jess! Ambillah! Itu uangku. Aku jamin tidak akan ada yang mengetahui hal ini.”

“Baiklah jika kau memaksa.  Tapi aku harap kita tidak usah berhubungan lagi!” ucap Jessica tegas.

Mendengar hal itu Leon terbelalak dan masih mengejar Jessica menahannya membuka pintu.

“Jess!  Kau mau menelantarkanku?” tanyanya polos.

“Kau yang selama ini sudah mengabaikanku. Sejak menikah kau tak pernah menghubungiku!” hampir saja air mata Jessica keluar saat mengatakannya.

Sekali lagi Leon meraih tangan kecil Jessica.  Namun dengan sigap Jessica menepisnya kasar.

Melihat perlakuan Jessica, hati Leon mencelos.  Ia tak tau harus menjelaskan bagaimana dan memulai darimana. Bahkan ia tidak yakin bahwa Jessica akan mempercayainya. Leon memang salah dengan berinisiatif untuk tidak ingin berhubungan dengan Jessica saat sudah menikah. Namun,  semua itu Ia lakukan agar hatinya tidak kembali goyah. Karna setiap kali menemuinya getar-getar cinta itu masih ada. Leon berusaha menepis dan membohongi Jessica tentang perasaannya. Mimpinya untuk menjadi seorang milyarder membuatnya harus menghianati perasaannya.

“Sudahlah Leon!  Perbaiki hubunganmu dengan istrimu!  Cintai dia sepenuh hatimu! Aku harap pernikahan kalian selalu bahagia. “ ucap Jessica sebelum berlalu pergi dari hadapan Leon yang sudah tak bisa lagi dan juga tak memiliki hak untuk mencegahnya pergi.

Menatap kepergian Jessica yang semakin hilang dari pandangannya membuat hati Leon menjerit kesakitan. Ia menyesali setiap perbuatannya dahulu. Namun,  semua sudah tidak mungkin. Ia sudah resmi mejadi keluarga Charleston. Sulit untuknya melepaskan diri dari Olivia. Bisa-bisa ia dibunuh oleh keluarga istrinya jika ia menghianati Olivia.

Leon bukan tidak mencintai Olivia. segala perilaku buruknya mulai tampak setelah mereka menikah. Hal itu membuatnya sedikit ilfil dan semakin hari perasaan cintanya pada Olivia malah semakin berkurang. Ia sudah berusaha bertahan dengan segala tabiat Olivia yang sangat berkebalikan dengan dirinya. Ia pun sudah berusaha menerima segala kekurangan istrinya. Namun untuk satu hal dimana Olivia menolak untuk memiliki anak darinya membuatnya benar-benar ingin meninggalkannya.

Wajar jika Olivia menolak memiliki anak. Karna ia adalah seorang selebritis. Olivia khawatir hal itu akan merusak tubuhnya. Apalagi saat ini Karirnya sedang berada di puncak keberhasilan yang sangat tinggi. Tentu saja ia tak mau terganggu dengan adanya seorang anak diantara mereka.

Jessica memutuskan untuk pulang saja ke rumah Elsa.  Dia mengurungkan niatnya untuk mencari pekerjaan tambahan sesegera mungkin. Hatinya saat ini masih tidak tenang sejak pertemuannya dengan Leon tadi sore. Ia memilih mengurung diri dan merenungkan nasibnya yang selalu sial. Apalagi saat ia tau bahwa dirinnya sedang dianggap menjadi perusak rumah tangga Leon.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status