“Ustaz sialan!”
Lagi, selembar tisu bekas mengeringkan air mata ia jatuhkan ke lantai. Sudah hampir satu kotak dihabiskan percuma untuk air matanya yang tampak sia-sia. “Nay … bukain pintu! Ini gue Gina.” Suara ketukan pintu yang berkali-kali itu telah diabaikannya selama berjam-jam. Ayah, ibu dan suaminya bergiliran merayu dirinya untuk keluar. Namun, usaha mereka dipatahkan. Pintu tetap terkunci. Nayya tetap meratap di dalam kamar.Tidak kali ini. Usai mendengar suara Gina, wanita muda itu berubah pikiran. Ia bangkit dengan langkah gontai mendekat ke arah pintu. Ditariknya gerendel pintu. Pintu terbuka lebar.“Kenapa …?” Gina tampak kaget.“Enggak usah banyak bicara. Ayo masuk!” Nayya menarik tangan Gina. Mengunci kembali pintu.“Apa gue ke sininya besok lagi aja? Kayaknya kondisi hati lo lagi enggak baik.” Gina serba salah. Ia tidak tahu apa-apa. Akan tetapi, mata Nayya—sahabat karibnya terlihat begitu sembab. Ia menatap tisu yang berserakan di lantai.“Gue butuh lo! Jangan ke mana-mana!” larang Nayya.“Ok. Lo ada masalah apa sebenarnya, Nay?” Nayya menarik napas. Ia mulai terbata-bata untuk bercerita. “Harusnya gue ….”Nayya menangis lagi. Gina bingung. Sebagai sahabat yang baik, ia mencoba menenangkan Nayya. Mengelus bahunya pelan-pelan. Seperti adegan film yang sering ia tonton. Biasanya sentuhan seperti ini bisa membuat kondisi hati orang yang bersedih membaik. Ternyata tidak sia-sia ia suka nonton TV. Banyak hal yang bisa Gina pelajari. Dan detik ini juga ia praktekkan.“Gue harusnya bahagia ‘kan, Gin? Tapi kenapa rasanya malah sakit banget. Gue kecewa sama suami sendiri.” Nayya sesenggukan.“Orang itu pembohong! Gue benci! Ustaz bokis.”“Bohong apa?” Rasa penarasaran Gina tak terbendung lagi.
“Gue nikah sama duda, Gin.” Tangis Nayya semakin menjadi-jadi. Gina terperanjat. Ia merasa shock. Namun, wajahnya justru berekspresi lucu. Antara menahan tawa dan iba terhadap sang sahabat. “Lo serius? Tahu dari mana? Emang lo beneran udah cari tahu?” tanya Gina panjang.Nayya mengangguk-anggukan kepala. Rafan sendiri yang bilang kalau ia sudah pernah menikah dan punya anak. Wanita itu kembali menarik lembaran tisu yang tinggal beberapa lembar. “Parahnya lagi, bokap sama nyokap gue juga nyembunyiin ini dari gue.”“Hah?!"***Kejadiannya waktu masih pagi, sebelum subuh. Saat itu Nayya sedang mengeringkan rambut menggunakan handuk di kepala. Ia baru selesai mandi besar setelah seminggu datang bulan. Dengan wajah berseri-seri, Rafan tersenyum di atas ranjang. Ia sudah menunggu dari lima menit yang lalu untuk bergantian ke kamar mandi. “Kamu sudah selesai haid?”“Ya.” Rafan menengok ke arah jam dinding. Masih ada satu jam menjelang azan subuh. "Seharusnya aku salat sunah sekarang, bukan?”“Ya, benar. Biasanya Mas Rafan selalu melakukannya.” Tangan Nayya masih sibuk dengan handuk dan rambutnya. “Kemarilah!” titah Rafan Nayya menurut. Ia duduk di samping suaminya.“Kalau bersedia, aku ingin menawarkan pahala untukmu.” Rafan tersenyum. Jantung Nayya berdegup cepat. Senyuman suaminya terlihat begitu menawan. Wajar, kalau orang-orang menjuluki “gunawan”. Yang berarti, biarpun kepalanya gundul tapi wajah dan senyumnya begitu menawan. Energi positif yang dipancarkan kedua netra Rafan menyiratkan sesuatu.“Aku ingin pagi ini menggantikan malam pertama kita yang sempat tertunda.” Rafan meraih kedua tangan Nayya. Sampai-sampai, handuk di kepala jatuh ke lantai. Ia biarkan begitu saja.Lima belas menit, bukan waktu yang lama untuk berbagi cinta di pagi hari. Nayya terlihat masih malu-malu usai melakukannya. Ia mengenakan kembali pakaiannya. “Terima kasih,” ucap Rafan tulus.“Itu sudah menjadi kewajibanku, Mas,” jawab Nayya dengan senyum malunya.”“Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa merasakan hal ini lagi.” Dua tangan Rafan terlipat di belakang kepala. Dua bola matanya mengawasi langit-langit dengan sejuta kebahagiaan.“Lagi? Apa maksudnya lagi?” batin Nayya. Wajah yang tadi terlihat senang berganti muram.“Mas!” “Ya?” “Apa yang kamu katakan tadi?” Mata Nayya berkaca-kaca. Membuat Rafan tak mengerti. Bukannya terlihat senang, mimik Nayya menyiratkan kesedihan.“Memangnya apa yang sudah kukatakan?” Rafan bingung. Mencoba mengingat-ingat. Hal apa yang baru saja ia lontarkan dari mulutnya. Sehingga permaisurinya seperti terluka. “Mas bilang bisa merasakan hal yang sama lagi. Mas Rafan sudah pernah tidur dengan wanita lain?” Dada Nayya mulai terasa sesak. Kepalanya dipenuhi kecurigaan.“Astagfirullah.” “Jangan coba mengelak! Jelaskan sekarang padaku!” Suara Nayya berubah lantang. Ia tidak akan bisa terima kalau itu benar terjadi.“Apa kamu sungguh tidak mengetahuinya? Kalau aku pernah menikah dan memiliki seorang putri?”“Apa?”Hati Nayya seketika terkoyak. Kristal cair meleleh dari sudut matanya. “Apa orang tuamu tidak memberitahumu?”Nayya menggeleng. Perasaannya hancur.“Jadi, aku menikah dengan seorang duda? Dan parahnya lagi, orang tuaku mengetahui semuanya.” Nayya yang dalam posisi berdiri, seperti hampir roboh raganya.“Tenangkan dirimu. Duduklah! Akan kujelaskan pelan-pelan,” bujuk Rafan. Ia mencoba menuntun tangan istrinya.“Cukup!” Nayya menampik tangan Rafan. Ia pergi ke kamar mandi. Menutup pintu keras-keras.Rafan mengembungkan pipi dan membuang napas melalui mulut. Ia baru saja membuat kesalahan fatal. Kesalahan yang tidak ia sadari dari awal.Entah itu adalah sebuah kesalahan atau takdir yang tak terduga bagi Nayya. Perasaannya terlalu kecewa saat ini. Ia frustrasi. Hanya mampu menggerung di kamar mandi sebagai luapan amarahnya yang bisa dilakukannnya sekarang.“Nay, bolehkah aku masuk? Aku juga mau mandi. Sudah hampir subuh. Aku harus ke—” Rafan kaget ketika pintu terbuka.Di balik pintu, Nayya berdiri dengan lilitan handuk kecil yang menutupi kepalanya. “Aku mau lewat, jangan sampai Mas Rafan menyentuhku. Aku sudah berwudu.”Rafan menepi ke dinding. Membiarkan sang istri melewatinya. Ia pikir akan memberi penjelasan nanti saja. sekarang ia harus buru-buru mengejar waktu agar bisa salat Subuh di masjid.Usai melaksanakan salat Subuh, Nayya ke lantai bawah. Masih mengenakan mukena. Ia menunggu sejenak orang tuanya yang masih zikir di musala kecil yang berada di dalam rumahnya. “Bu, Yah. Nayya mau bicara, kalau kalian sudah selesai.” Karena tidak sabar, Nayya menyusup ke musala. “Ya, kami sudah selesai. Apa tidak terlalu pagi untuk membicarakan sesuatu?” ujar Sahid—ayah Nayya.“Tumben sekali. Sepertinya ada hal yang amat serius,” sambung Rohana. “Pagi ini aku dikecewakan oleh orang-orang yang kusayangi,” ungkap Nayya. Buliran Kristal sudah terpancar di dua matanya. Tinggal menunggu untuk terjun bebas.Sahid dan Rohana saling bersitatap. Sebagai orang tua Nayya, mereka belum pernah melihat putrinya meneteskan air mata sepagi ini. Keduanya menyadari, ada kejadian yang tidak beres tengah dialami oleh putri tunggal mereka. Atau jangan-jangan putrinya bertengkar dengan sang menantu?“Apakah aku selama ini kurang patuh dan hormat terhadap Ayah?” Kedua mata Nayya perih menatap dua netra ayahnya. “Juga Ibu?” Giliran Rohana mendapat tatapan sendu putrinya.“Sayang, sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Rohana. Nayya berkali-kali menghapus air matanya. “Ayah dan Ibu sudah tahu status Mas Rafan bukan?”Rohana tampak terkejut. Ia menutupi mulutnya yang melongo. “Maksudmu?” tanya Sahid.Rohana menyikut lengan suaminya. “Kenapa orang yang paling aku hormati dan sayangi selama ini. Justru tega menyembunyikan hal besar dariku?” Sejenak, Nayya mengatur napasnya. “Kalian menikahkan aku dengan seorang duda. Hal yang aku tentang selama ini. Seharusnya Ayah dan Ibu bisa mengerti keinginanku. Tapi sudahlah, mungkin inilah hukuman untuk menjadi anak penurut.”“Nak, tenangkan dirimu dulu. Mari kita bicarakan baik-baik!” imbau Sahid bijak pada putri tercintanya.Nayya menggeleng. Tak kuasa dengan keadaan. “Bukankah semua sudah jelas?” Nayya lari ke kemarnya di lantai dua. Sang ibu hendak mengejar, tetapi dihalangi oleh suaminya.Pagi itu, suasana di gang kecil kawasan Depok terasa berbeda. Rumah sederhana milik keluarga Kardi, yang terletak di sebelah rumah orang tua Nayya, dihiasi dengan janur kuning dan bunga melati yang dirangkai indah. Meski sederhana, nuansa kebahagiaan dan kehangatan terpancar dari setiap sudut rumah.Acara pernikahan Gina dan Furqon dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Qur'an, diikuti dengan khutbah nikah yang disampaikan oleh penghulu dari Kantor Urusan Agama setempat. Dalam khutbahnya, penghulu menekankan pentingnya membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.Tibalah saat ijab kabul. Dengan suara tenang, Kardi mengucapkan ijab, menyerahkan putrinya kepada Furqon. Furqon menjawab dengan lantang dan penuh keyakinan, menandai sahnya pernikahan mereka di hadapan Allah dan para saksi.Di antara para tamu, tampak Abah Musa hadir bersama cucunya, Hanun. Kehadiran mereka membawa kebahagiaan tersendiri bagi keluarga besar. Namun, Iin, mantan istri Rafan, tidak tampak dalam aca
Hari itu akhirnya tiba, hari yang telah lama dinantikan, setelah perjalanan panjang yang penuh liku, Gina akhirnya menemukan tambatan hati sejatinya. Perasaan yang selama ini tertahan dan bingung, ternyata jatuh pada sosok Furqon. Cinta yang selama ini bersemayam di dalam dada Gina, kini menemukan pelabuhan yang tepat.Seminggu setelah Kardi dan Een kembali bersatu, Furqon, dengan penuh harap dan doa, bersama keluarganya mendatangi kediaman keluarga Gina di Depok. Mereka datang dengan niat tulus, melamar dan memohon restu untuk melangkah bersama di masa depan, di tengah suasana penuh haru dan kebahagiaan yang menyelimuti.Di rumah itu, suasana tidak hanya ramai dengan kedatangan keluarga Furqon, tetapi juga Nayya dan orang tuanya yang menjadi saksi dari khitbah yang dilakukan Furqon. Semua mata tertuju pada momen sakral tersebut, di mana tak hanya keluarga dekat yang hadir, tetapi juga orang-orang yang mendukung perjalanan cinta mereka.Ibrahim, kakak Furqon, berdiri di depan, mewakil
Dalam ruangan yang sederhana, suara mesin jahit terdengar lirih. Een, perempuan setengah baya yang wajahnya tenang dan tangan terampil itu, sedang duduk di dekat jendela, matanya sesekali melirik ke luar sembari meneruskan pekerjaannya. Sehelai kain panjang berwarna biru muda terhampar di meja, menunggu sentuhan akhir dari jarum di tangannya.Sore itu, langkah kaki terdengar mendekat. Pintu depan yang sedikit terbuka membuat Een mengangkat wajahnya. Kardi, pria yang sudah lama tak ia jumpai, kini berdiri di ambang pintu. Pandangannya dalam dan sorot matanya penuh tekad, tetapi ada kesan lelah yang tak dapat disembunyikan.“Boleh duduk, Een?” tanyanya sambil mengangguk kecil ke arah kursi di hadapan Een.Een tak menjawab, hanya menggeser kursi lain dengan gerakan singkat. Pandangannya kembali tertuju pada kain biru yang dijahitnya, mencoba menyembunyikan kegugupan yang kini mulai menguasai hatinya. Mereka sudah berpisah bertahun-tahun tanpa pertemuan yang berarti. Meski demikian, peras
Sesampainya di rumah, Gina mendapati ibunya sedang di dapur, menyelesaikan masakan kesukaannya. "Ma," sapa Gina sedikit canggung.Een tersentak kaget melihat sang putri yang sudah cukup lama meninggalkannya ke Jawa tiba-tiba berdiri di depannya. "Gina? Kamu udah pulang?" Een buru-buru mengelap tangannya menggunakan celemek yang tengah dipakainya. Een langsung memeluk tubuh sang putri yang mematung. Gina memeluk balik tubuh orang yang dirindukannya. "Kamu kenapa? Sakit?" Een bertanya saat menyadari bibir sang putri terlihat putih pucat. Gina menggeleng. "Aku nggak sendirian, Ma. Aku bawa seseorang kemari.""Siapa? Apa Nayya ikut pulang?" Een menanyakan Nayya yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri.Gina menggeleng. "Nayya masih belum bisa pulang karena suaminya masih ada beberapa jadwal ceramah.""Kalau gitu, kamu sama siapa?" Een sudah sangat penasaran. Ia tidak lagi menunggu jawaban anaknya. Een langsung pergi ke luar untuk melihat siapa orang yang datang bersama Gina. Seny
Matahari belum terlalu tinggi ketika Gina, Nayya dan Rafan tiba di pendopo berarsitektur Jawa klasik itu. Jantung Gina sudah berdetak tak menentu sejak pagi. Setiap langkah kaki serasa membawa beban yang semakin berat, bukan karena jalan setapak menuju pendopo yang panjang, tapi karena hari ini akan menjadi salah satu momen terpenting dalam hidupnya. Ayahnya, Pak Kardi, menampar bahunya dengan lembut. “Tenang saja, Gina. Bapak yakin semua akan berjalan dengan lancar." Gina tipis tersenyum, meski hatinya masih penuh kecemasan. Ia tak bisa berhenti memikirkan perasaan yang mendesaknya sejak mengetahui siapa calon yang akan menemuinya hari ini, Furqon. Nama itu menggetarkan jantung, dan semakin mendekati pertemuan ini, rasa tegang melumuri perasaannya. Gina tak pernah menyangka kalau lelaki yang dicintainya itu juga mencintainya. Hari ini, ia seperti sedang memimpikan hal besar dan mimpi tersebut menjadi kenyataan. Langkahnya sempat berhenti di depan pintu. Seketika jantungnya berdet
Gina dan Pak Kardi baru saja sampai di halaman pondok setelah perjalanan panjang dari Semarang. Matahari senja memancarkan hangat, mengingatkan keduanya dengan cahaya oranye yang lembut. Udara desa yang segar menyambut mereka setelah beberapa hari berkelana di kota besar, membawa kelegaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata."Capek juga ya, Gin?" tanya Pak Kardi sambil melepaskan topinya dan mengibaskannya ke wajahnya yang mulai basah oleh keringat. Ia tersenyum kecil meski jelas lelah.Gina mengangguk, matanya menerawang ke arah taman yang ada di halaman pondok. "Iya, Pak. Alhamdulillah perjalanan tadi lancar. Nggak seperti yang kita bayangkan," jawab Gina, suaranya lembut, menggambarkan kelegaan yang juga dirasakannya.Malam itu, setelah beristirahat panjang di kamar, Gina memutuskan untuk menemui Nayya. Mereka sudah lama bersahabat, dan bagi Gina, Nayya adalah seseorang yang selalu bisa mendengar cerita-ceritanya dengan penuh perhatian. Dengan perasa