Sejak menemui ayah dan ibunya subuh tadi, Nayya belum juga keluar dari kamarnya. Ia mengunci rapat pintu. Mengurung diri.
“Apanya yang salah paham? Mau ngasih penjelasan kayak gimana lagi? Jelas-jelas dia yang bilang sendiri kalau pernah nikah sama wanita lain. Udah gitu, punya anak dari wanita itu lagi,” rutuk Nayya pada diri sendiri. “Siapa juga yang mau nikah sama laki-laki yang punya anak?”
Nayya tidak pernah membayangkan sebelumnya. Bagaimana komentar orang-orang mengenai dirinya yang dipersunting oleh duda. Ia meratapi nasibnya. Meringkuk di atas kasur empuknya.
“Nayya sayang, ibu sudah masak nasi goreng pete kesukaanmu. Ayo turun! Kita sarapan sama-sama,” bujuk rayu seorang ibu terhadap putrinya. Bergantian dengan Rafan. Rohana berharap ini akan berhasil.
Nayya bangkit. Ia terngiang-ngiang aroma petai. Ia bangkit dan hendak menarik engsel pintu. Ah tidak, wanita itu akhirnya menyadari. Ia sedang marah kepada semua orang yang tinggal di rumahnya.“Betapa pintarnya ibu mau mengelabuiku,” ujarnya pelan. Kembali ke ranjang.
“Yang benar saja? Cara ini tidak berhasil,” keluh Rohana mulai menuruni anak tangga.
“Bagaimana, Bu? Nayya mau mendengarkanmu?” tanya Sahid penuh harap.Rohana menggeleng. Beralih pandangan kepada sang menantu. Mereka duduk di ruang makan untuk menikmati sarapan.
“Sebenarnya apa yang Nak Rafan katakan kepada Nayya?” selidik Rohana. Menatap pada sang menantu yang duduk di hadapannya persis.
Rafan urung menyuapkan sendok pertamanya ke dalam mulut. Ia sedang berusaha merangkai kata agar tidak salah jawab.
“Saya kira Nayya sudah tahu mengenai status saya yang bukan lagi perjaka. Saat mengungkit sedikit hal itu, amarahnya langsung naik.” Rafan buru-buru memasukkan sendok berisi nasi goreng buatan ibu mertuanya. Sebenarnya nasi gorengnya enak. Sayang agak bau petai. Rafan tidak pernah memakan makanan beraroma bau itu sebelumnya. Ia meminggirkan potongan-potongan petai itu di tepi piring.“Ini salah kami. Seharusnya dari awal kami berkata jujur pada Nayya.” Ucapan Sahid terdengar penuh penyesalan.
“Walau begitu, kita tidak sepenuhnya salah,” sahut Rohana tiba-tiba. Ia mengambil telur ceplok di atas piring. “Kita hanya berusaha memberikan yang terbaik sebagai orang tua.” Rohana sudah terlalu lelah dengan banyak lamaran yang ditolak oleh sang putri selama ini. Menurut ia dan Sahid, Rafan adalah laki-laki yang paling cocok untuk Nayya.
“Anak itu, kalau sudah sakit hati bisa lama sembuhnya,” ungkap Sahid.
“Benarkah?” tanya Rafan penasaran.
“Jangan dikira Nayya mirip denganmu. Sifatnya menurun dariku,” sela Rohana lagi.
“Nak Rafan tenang saja, marahnya Nayya tidak lama. Tidak seperti ayahnya.”
Sahid sudah memelototi istrinya yang bicara sembarangan di depan sang menantu. Akan tetapi, kalau dipikir-pikir betul juga. Sahid kalau marah bisa sampai berminggu-minggu.
Usai makan pagi, Rafan mencoba kembali mengetuk pintu kamar. Senyap. Tidak ada tanda-tanda sang istri mau memberikan pintu untuknya. Sementara itu, kedua mertuanya di bawah sedang bersiap-siap. Mereka hendak bergegas membuka toko kelontong. Jaraknya hanya 300 meter dari rumah.
Sepuluh menit berlalu. Rafan harus pergi untuk mengikuti acara majelis ta’lim di Masjid Raya Bogor. Ia menuju lantai bawah. Di ruang makan, sudah tidak ada siapa pun. Dua mertuanya telah pergi. Lelaki bertubuh tinggi itu memasuki kamar tamu. Kamar yang sempat ditinggalinya sebentar sebelum sah menjadi suami Nayya.
Rafan membuka pintu lemari. “Syukurlah pakaianku masih ada.”Bergegas ia berganti pakaian. Meluncur ke Bogor meninggalkan rumah.
Nayya melihat cahaya matahari yang hangat menerobos lubang ventilasi. Dengan rasa malas, ia membuka tirai dan kaca jendela.“Hah? Apa?” Buru-buru Nayya bersembunyi di balik tirai. Ia mengintip diam-diam suaminya yang berjalan cepat keluar dari gerbang rumahnya.
“Mau ke mana dia?” gumamnya.
Tiba-tiba Nayya teringat sesuatu. “Astagfirullah, Mas Rafan pasti melupakan sesuatu.”
Benar saja. Nayya menemukan ponsel suaminya di atas nakas. Kemudian membuka laci dan ditemukannya sebuah kunci mobil dan buku agenda kecil milik sang suami. Ada rasa bersalah yang sekarang menyelimuti hati Nayya.
“Ah, enggak boleh kayak gini. Ngapain harus kasihan sama dia.” Nayya hampir lupa kalau sedang marah pada Raffan.
Sebelum menutup laci, Nayya penasaran dengan buku kecil hitam yang mencuri perhatiannya. Ia mengambilnya. Membuka halamannya secara perlahan. Isi buku mungil itu adalah jadwal kegiatan yang harus ditunaikan oleh sang suami.22 Feb: Hari pernikahan.
02 Mar: Majelis Ta’lim Bogor.06 Mar: Kunjungan bisnis.08 Mar: Bawa istri ke rumah ortu.09 Mar: Dakwah di ponpes.Nayya menghela napas. Ia membolak-balik buku catatan suaminya dengan sebal. Ternyata sang suami sudah memiliki jadwal padat sampai pertengahan Juni nanti.
“Enggak habis pikir deh. Abis nikah enggak ada jadwal spesial buat bulan madu,” ucapnya kesal.
“Ngapain juga mikirin bulan madu. Huh!” Nayya mengetuk kepalanya sendiri menggunakan buku kecil di tangannya.
Ponsel milik sang suami terus saja bergetar. Nayya tidak berminat untuk menjamahnya.“Peduli amat. Mau presiden yang telepon juga enggak bakal gue angkat,” cetusnya.
Nayya meraih ponsel miliknya. Sepi. Tidak ada pesan atau telepon. Ia tidak sengaja melihat tanggal yang tertera di layar utama HP-nya. Tanggal dua. Kalau melihat jadwal di buku agenda tadi. Berarti sang suami hendak mengikuti kajian di Bogor.“Dia ke Bogor? Tanpa mobil dan HP?” Nayya terpikirkan sesuatu. Barangkali ada benda penting lain yang suaminya juga tidak bawa.
Nayya sibuk ke sana kemari. Membuka-buka semua laci lemari. Namun, tak tampak benda yang ia cari. Ia juga enggeledah lemari pakaian. Dan benar saja. Ia menemukan dompet kulit suaminya yang berwarna cokelat. Benda berbentuk kotak itu berada di bawah tumpukan baju paling atas. Semua kartu tanda pengenalnya ada di dalamnya. Beberapa pecahan uang lima puluh ribuan juga tersusun rapi.
“Yang benar saja? Kalau ada apa-apa di jalan gimana?” Nayya mulai khawatir.
“Ah, sial. Kenapa harus mikirin dia? Dia aja enggak mikirin perasaanku.” Wanita itu terus bermonolog sendiri. Berusaha untuk tidak mencemaskannya.
Mengurung diri di dalam kamar itu tidak baik. Tentu saja. Rasanya membosankan. Belum lagi perut yang mulai lapar. Bukankah sang ibu tadi pagi menawarkan nasi goreng kepadanya? Aha!
Tanpa pikir panjang, ia menuruni anak tangga. Membuka tudung saji di atas meja makan.
“Wah masih banyak ternyata.” Kedua matanya berbinar bak menemukan sebongkah berlian.
Nayya menyendokkan nasi ke dalam piring.
Satu suap.
Dua suap.
Tiga suap.
Rasanya semakin enak. Sampai-sampai tidak tahu lagi sudah berapa suapan yang masuk ke dalam mulutnya. Ia pun tak ragu-ragu untuk mengisi lagi piringnya yang mulai kosong.
Nayya mengelus-elus perutnya. Menepuknya beberapa kali. Kekenyangan. “Ah, enak banget masakan ibu.”
Suara pintu gerbang terdengar. Pasti itu ayah atau ibu pulang, pikir Nayya. Secepat kilat wanita itu membawa piring kotornya ke wastafel. Ia mencucinya dengan hati-hati. Setelahnya, kakinya yang lincah lari menaiki anak tangga.
Nayya berhasil masuk ke dalam kamarnya kembali. Dengan napas ngos-ngosan pastinya.
Rohana mengernyitkan dahi. Membetulkan tudung saji yang tak tertutup rapat. Ia curiga. Ada tikus nyasar yang menyusup ke dalamnya. Dibukanya tudung saji tersebut. Tidak ada tikus. Namun, nasi goreng yang tadi masih tersisa banyak sekarang berkurang. Rohana pun menyeringai.
“Dasar anak nakal! Rupanya putriku kelaparan. Perut keroncongan bisa mengalahkan rasa gengsi. Ah, dia memang mirip denganku.” Ibu beranak tunggal itu senyum-senyum sendiri. Mengelap butiran-butiran nasi goreng yang tercecer di meja kaca.
Keyakinannya bertambah ketika ia menemukan piring yang masih basah di samping wastafel.
“Syukurlah, putriku baik-baik saja. Tadinya aku pulang cepat karena mengkhawatirkannya.” Kebiasaan Rohana yang suka bermonolog ini menurun pada sang putri.
Wanita berusia kepala empat itu dengan terampil menata sayur-sayuran ke dalam rak kulkas. Bahan untuk memasak nanti siang. Ia membelinya dari tukang sayur langganan.
“Kalau begitu, aku bisa kembali ke toko dengan tenang.”
Pagi itu, suasana di gang kecil kawasan Depok terasa berbeda. Rumah sederhana milik keluarga Kardi, yang terletak di sebelah rumah orang tua Nayya, dihiasi dengan janur kuning dan bunga melati yang dirangkai indah. Meski sederhana, nuansa kebahagiaan dan kehangatan terpancar dari setiap sudut rumah.Acara pernikahan Gina dan Furqon dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Qur'an, diikuti dengan khutbah nikah yang disampaikan oleh penghulu dari Kantor Urusan Agama setempat. Dalam khutbahnya, penghulu menekankan pentingnya membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.Tibalah saat ijab kabul. Dengan suara tenang, Kardi mengucapkan ijab, menyerahkan putrinya kepada Furqon. Furqon menjawab dengan lantang dan penuh keyakinan, menandai sahnya pernikahan mereka di hadapan Allah dan para saksi.Di antara para tamu, tampak Abah Musa hadir bersama cucunya, Hanun. Kehadiran mereka membawa kebahagiaan tersendiri bagi keluarga besar. Namun, Iin, mantan istri Rafan, tidak tampak dalam aca
Hari itu akhirnya tiba, hari yang telah lama dinantikan, setelah perjalanan panjang yang penuh liku, Gina akhirnya menemukan tambatan hati sejatinya. Perasaan yang selama ini tertahan dan bingung, ternyata jatuh pada sosok Furqon. Cinta yang selama ini bersemayam di dalam dada Gina, kini menemukan pelabuhan yang tepat.Seminggu setelah Kardi dan Een kembali bersatu, Furqon, dengan penuh harap dan doa, bersama keluarganya mendatangi kediaman keluarga Gina di Depok. Mereka datang dengan niat tulus, melamar dan memohon restu untuk melangkah bersama di masa depan, di tengah suasana penuh haru dan kebahagiaan yang menyelimuti.Di rumah itu, suasana tidak hanya ramai dengan kedatangan keluarga Furqon, tetapi juga Nayya dan orang tuanya yang menjadi saksi dari khitbah yang dilakukan Furqon. Semua mata tertuju pada momen sakral tersebut, di mana tak hanya keluarga dekat yang hadir, tetapi juga orang-orang yang mendukung perjalanan cinta mereka.Ibrahim, kakak Furqon, berdiri di depan, mewakil
Dalam ruangan yang sederhana, suara mesin jahit terdengar lirih. Een, perempuan setengah baya yang wajahnya tenang dan tangan terampil itu, sedang duduk di dekat jendela, matanya sesekali melirik ke luar sembari meneruskan pekerjaannya. Sehelai kain panjang berwarna biru muda terhampar di meja, menunggu sentuhan akhir dari jarum di tangannya.Sore itu, langkah kaki terdengar mendekat. Pintu depan yang sedikit terbuka membuat Een mengangkat wajahnya. Kardi, pria yang sudah lama tak ia jumpai, kini berdiri di ambang pintu. Pandangannya dalam dan sorot matanya penuh tekad, tetapi ada kesan lelah yang tak dapat disembunyikan.“Boleh duduk, Een?” tanyanya sambil mengangguk kecil ke arah kursi di hadapan Een.Een tak menjawab, hanya menggeser kursi lain dengan gerakan singkat. Pandangannya kembali tertuju pada kain biru yang dijahitnya, mencoba menyembunyikan kegugupan yang kini mulai menguasai hatinya. Mereka sudah berpisah bertahun-tahun tanpa pertemuan yang berarti. Meski demikian, peras
Sesampainya di rumah, Gina mendapati ibunya sedang di dapur, menyelesaikan masakan kesukaannya. "Ma," sapa Gina sedikit canggung.Een tersentak kaget melihat sang putri yang sudah cukup lama meninggalkannya ke Jawa tiba-tiba berdiri di depannya. "Gina? Kamu udah pulang?" Een buru-buru mengelap tangannya menggunakan celemek yang tengah dipakainya. Een langsung memeluk tubuh sang putri yang mematung. Gina memeluk balik tubuh orang yang dirindukannya. "Kamu kenapa? Sakit?" Een bertanya saat menyadari bibir sang putri terlihat putih pucat. Gina menggeleng. "Aku nggak sendirian, Ma. Aku bawa seseorang kemari.""Siapa? Apa Nayya ikut pulang?" Een menanyakan Nayya yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri.Gina menggeleng. "Nayya masih belum bisa pulang karena suaminya masih ada beberapa jadwal ceramah.""Kalau gitu, kamu sama siapa?" Een sudah sangat penasaran. Ia tidak lagi menunggu jawaban anaknya. Een langsung pergi ke luar untuk melihat siapa orang yang datang bersama Gina. Seny
Matahari belum terlalu tinggi ketika Gina, Nayya dan Rafan tiba di pendopo berarsitektur Jawa klasik itu. Jantung Gina sudah berdetak tak menentu sejak pagi. Setiap langkah kaki serasa membawa beban yang semakin berat, bukan karena jalan setapak menuju pendopo yang panjang, tapi karena hari ini akan menjadi salah satu momen terpenting dalam hidupnya. Ayahnya, Pak Kardi, menampar bahunya dengan lembut. “Tenang saja, Gina. Bapak yakin semua akan berjalan dengan lancar." Gina tipis tersenyum, meski hatinya masih penuh kecemasan. Ia tak bisa berhenti memikirkan perasaan yang mendesaknya sejak mengetahui siapa calon yang akan menemuinya hari ini, Furqon. Nama itu menggetarkan jantung, dan semakin mendekati pertemuan ini, rasa tegang melumuri perasaannya. Gina tak pernah menyangka kalau lelaki yang dicintainya itu juga mencintainya. Hari ini, ia seperti sedang memimpikan hal besar dan mimpi tersebut menjadi kenyataan. Langkahnya sempat berhenti di depan pintu. Seketika jantungnya berdet
Gina dan Pak Kardi baru saja sampai di halaman pondok setelah perjalanan panjang dari Semarang. Matahari senja memancarkan hangat, mengingatkan keduanya dengan cahaya oranye yang lembut. Udara desa yang segar menyambut mereka setelah beberapa hari berkelana di kota besar, membawa kelegaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata."Capek juga ya, Gin?" tanya Pak Kardi sambil melepaskan topinya dan mengibaskannya ke wajahnya yang mulai basah oleh keringat. Ia tersenyum kecil meski jelas lelah.Gina mengangguk, matanya menerawang ke arah taman yang ada di halaman pondok. "Iya, Pak. Alhamdulillah perjalanan tadi lancar. Nggak seperti yang kita bayangkan," jawab Gina, suaranya lembut, menggambarkan kelegaan yang juga dirasakannya.Malam itu, setelah beristirahat panjang di kamar, Gina memutuskan untuk menemui Nayya. Mereka sudah lama bersahabat, dan bagi Gina, Nayya adalah seseorang yang selalu bisa mendengar cerita-ceritanya dengan penuh perhatian. Dengan perasa