Share

Pesona (bukan) Perawan Tua
Pesona (bukan) Perawan Tua
Penulis: Nurmasari

Pernikahan Sepupu

"Eh, liat itu ada si Vivi, umurnya udah 27 tahun tapi belum nikah juga, diduluin sama sepupunya si Lulu," seru Bu Menik memulai obrolan gosip ibu-ibu kelompoknya.

"Padahal Vivi cantik ya? Gak mungkin sih kalau gak laku, paling dia pilih-pilih," timpal Bu Sari.

"Keburu tua nanti malah gak bisa punya anak pas nikah, anak saya aja 22 tahun udah nikah." Bu Della menambahi ucapan kedua rekannya dengan antusias.

"Aneh ya, padahal udah S2, dosen sih katanya tapi nggak nikah-nikah, nunggu apalagi coba?" Bu Ratna nampak sedikit berpikir dan melirik sekilas ke arah Vivi.

"Tapi nggak malu ya si Vivi dateng ke nikahan ponakannya, sendiri pula. Padahal ngajak temen cowok kan bisa gitu." Bu Menik menjabarkan idenya bila dia ada di posisi Vivi sekarang.

Vivi mendengar namanya sayup-sayup disebut oleh sekelompok ibu-ibu yang duduk melingkar di salah satu meja, di tengah-tengah tenda resepsi keponakannya, Lulu. Dia menarik napas dalam-dalam, kemudian melangkah menuju sekelompok ibu-ibu tersebut.

Ibu-ibu yang sedang asyik bergosip tak menyadari Vivi melangkah ke arah mereka, mereka terus saja berbicara ini-itu prihal Vivi.

"Ehm, kayaknya ada yang ngomongin saya nih," ucap Vivi sambil melihat satu per satu ibu-ibu di depannya.

"Namanya juga punya mulut, ya ngomong lah, masa diem aja," sahut Bu Ratna sedikit pelan, tapi Vivi dapat mendengarnya.

"Ngomongin depan orangnya langsung lebih enak lho, ngapain ngomongin di belakang?" Tantang Vivi sambil melempar senyuman penuh arti.

"Kamu kapan nikah?" tanya Bu Menik.

"Bu Menik kapan meninggal?" Vivi balik bertanya.

Wajah Bu Menik memerah menahan amarah yang membuncah, dia menatap tajam gadis yang berdiri di sampingnya.

"Maksud kamu apa? Nyumpahin saya mati? Jaga bicara kamu, ya! Orang berpendidikan tapi gak sopan sama orang yang lebih tua."

"Lho, kok Bu Menik marah? Saya kan cuma nanya, sama kayak Bu Menik nanya ke saya. Justru karena saya berpendidikan, jadi saya tahu kalau jodoh dan maut itu sama-sama rahasia Sang Kuasa, kita nggak tau kapan datangnya."

Ibu-ibu yang lain saling pandang dan berbisik-bisik.

"Anak saya baru umur 22 tahun udah nikah," ujar Bu Della.

"Itu sih karena kebobolan," celetuk Vivi. "Ups!" Dia menutup mulutnya seakan tak sengaja mengatakan hal demikian.

"Fitnah! Cucu saya itu lahir prematur, bukan karena kebobolan," sanggah Bu Della.

"Kalau prematur itu lahirnya tujuh bulan atau delapan bulan, ini prematur lahirnya 6 bulan, beratnya 3,2 kilo pula!"

Ibu-ibu yang lain terlihat memandang ke arah Bu Della, meminta penjelasan.

"Iya, sih. Biasanya bayi prematur paling gede 2 kilo lebih dikit." Bu Menik bicara pelan, diiringi tatapan tajam Bu Della ke arahnya.

Sejenak hening. Vivi tersenyum lebar sambil menunggu kata apalagi yang akan diucapkan ibu-ibu di hadapannya ini.

"Jangan kebanyakan pilih-pilih, nanti kamu jadi perawan tua," ucap Bu Sari.

"Emang dia udah jadi perawan tua, kan udah di atas 25 tahun," seru Bu Ratna sambil mencolek temannya itu.

'Siapa sih orang yang mencetuskan bahwa perempuan harus menikah sebelum usia 25 tahun karena usia tersebut adalah masa ovarium sedang bagus-bagusnya? Siapa pembuat batasan umur untuk istilah perawan tua itu?' Vivi menggerutu dalam hati.

"Yah, dia malah bengong, mungkin dia baru sadar kalau dia perawan tua," sindir Bu Menik.

Vivi mendelik mendengar perkataan Bu Menik.

"Maaf ya, Ibu-Ibu semuanya. Tua itu sebenarnya bukan masalah umur, tapi sikap. Ada lho yang sudah berumur tapi masih suka asal ngomong kayak anak kecil. Lagian, orang-orang yang nggak kenal saya masih banyak yang ngira saya umur 20 tahun, baby face."

Sekarang gantian ibu-ibu yang mendelik ke arah Vivi, namun dia hanya membalas dengan senyuman.

"Permisi ya ibu-ibu, saya mau foto sama pengantin dulu. Awas jangan kebanyakan ghibah, ntar masuk neraka lho."

Vivi pun melangkah anggun dengan balutan gamis kebaya yang modis, beberapa pasang mata lelaki tak berkedip melihat seorang perempuan cantik dengan make up yang sederhana melintas di hadapannya. Dia melangkah serupa model profesional di atas catwalk, matanya tertuju pada panggung tempat kedua mempelai pengantin duduk berdampingan. Ada seorang lelaki yang sampai menumpahkan air minumnya karena terlalu terpesona oleh aura kecantikan perempuan itu.

Beberapa lelaki ingin menghampirinya dan mengajaknya berkenalan, namun urung karena melihat kejadian barusan, saat Vivi berdebat dengan para ibu-ibu.

Vivi berhenti sejenak sebelum melangkahkan kaki di tangga panggung pengantin, meraih dua buah kotak kecil di tas cokelat yang dikenakannya, lalu sedikit tersenyum.

"Wah, ponakanku tersayang nikah. Selamat yaa," ucapnya sambil menyalami Lulu, kemudian memeluknya.

"Iya, alhamdulillah. Kak Vivi dateng sama siapa? Sendirian?" tanya Lulu sambil melihat ke arah belakang Vivi.

Vivi mengangguk sembari tersenyum. "Gak ada yang bisa dipercaya selain diri sendiri soalnya."

Tiba-tiba lelaki di sebelah Lulu seakan tersedak sesuatu hingga batuk.

"Suami kamu kayaknya keselek tuh, Lu. Perlu aku ambilin minum buat kalian?"

"Eh, gak usah, Kak. Nanti biar aku minta ambilin ke bridesmaid aja," jawab Lulu. "Kamu gak papa, Sayang?" tanyanya ke lelaki di sampingnya.

"Gak papa, kok. Paling cuma masuk angin, kebanyakan begadang ngapalin ijab qabul."

Lulu tersenyum mendengar jawaban Rey, dia menggenggam erat tangan lelaki yang baru beberapa jam jadi suaminya itu.

"Oh iya, Rey, Lu. Ini kado buat kalian berdua. Happyly ever after, ya!" Vivi menyerahkan sebuah kotak kecil pada Rey dan Lulu. "Aku sengaja bikin kadonya dua. Special."

"Makasih, Kak," ucap Lulu.

"Thank's, Vi." Rey berkata pelan.

"Sama-sama. Kakak pergi dulu ya, ada urusan soalnya."

"Gak mau foto bareng dulu, Kak?"

Vivi menggeleng. "Next time aja, kakak buru-buru."

Setelah kepergian Vivi, Rey meminta izin untuk pergi ke toilet. Di dalam toilet, dia dengan gugup membuka kado dari Vivi. Matanya terbelalak saat mendapati puluhan kertas bukti transfer yang tertata rapi di dalam kotak, sebuah kertas putih bertuliskan tinta merah menghiasi atasnya.

"Ini semua hutang kamu ke aku, hitung sendiri ya. Kurangi sejuta aja untuk amplop undangan aku ke kalian." Rey membaca pelan tulisan itu, seketika matanya terbelalak.

Lelaki itu hampir terjatuh jika tak berpegangan pada pintu toilet, dia memijat pelipisnya sambil mengacak-acak tumpukan kertas bukti transfer itu dengan geram. Dia kira selama ini Vivi tidak menghitung uang yang dikirimkan untuk modal usahanya yang berkali-kali bangkrut hingga dia sukses.

"Bahkan, jika aku menjual semua tempat usahaku berikut cabangnya, itu tidak akan bisa melunasi hutangku pada Vivi." Rey meremas kepalanya. "Sial!"

Rey segera membereskan kertas yang berserakan di toilet dan membuangnya ke tempat sampah, dia menarik napas panjang, menata dirinya agar seperti tak terjadi apa-apa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status