Share

Modus Para Buaya

"Sendirian? Mau gue antar pulang?" tanya seorang laki-laki yang baru saja menghampiri Vivi.

"Gak perlu, makasih sebelumnya," jawab perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu tanpa menoleh sedikitpun ke arah lawan bicaranya.

"Gak perlu sungkan, gue ambil mobil dulu ya?" tawarnya. "Oh iya, gue Anton. Nama kamu siapa?"

Anton mengulurkan tangannya. Vivi melirik sekilas ke arah lelaki di sampingnya. Tinggi, putih, rambut cool, badan atletis dibalut oleh kemeja abu polos, tapi ... umurnya sudah pasti di bawahnya. Hal yang membuatnya langsung memalingkan muka sesaat setelah meliriknya.

"Vivi. Gak perlu, aku udah pesan Gr*b." Vivi menjawab tanpa menjabat tangan Anton, dia masih fokus memandang ke arah jalanan.

"Gak baik lho nolak niat baik orang." Anton melihat ke arah perempuan di sampingnya sambil menyunggingkan senyuman semanis mungkin.

"Lebih gak baik lagi kalau aku nyuruh driver balik padahal dia udah mau nyampe."

Anton menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Iya juga sih. Kalau gitu, boleh nggak gue minta no HP kamu?"

"Aku nggak hapal."

Bisa aja nih cewek ngelaknya, gumam Anton dalam hati.

"Kan bisa liat di HP." 

Tiin tiin....

Suara klakson mobil menghentikan percakapan, sebuah mobil Ayla sudah berhenti tepat di depan mereka.

"Dengan Mbak Vivi?" tanya seorang lelaki paruh baya yang bertanya lewat kaca mobil yang dia turunkan.

"Iya, betul, Pak," jawab Vivi. "Sorry, aku pamit duluan. Bye!" 

Vivi segera masuk ke mobil dan meninggalkan Anton.

"Eh, tapi kamu belum ngasih no HP." Anton melambaikan tangannya sambil setengah berteriak.

"Kamu lebih cocok jadi adek aku," ucap Vivi yang kembali menaikkan kaca mobil yang diturunkannya sesaat sebelum mobil melaju.

Anton melongo. "Emang berapa sih umurnya?" Dia kemudian menggelengkan kepalanya pelan, lalu pergi menuju parkiran untuk mengambil mobilnya.

Sesampainya di rumah, Vivi segera menuju kamarnya untuk berganti baju, dia tak ingin telat untuk mengisi jam kuliah siang ini. 

Saat dia hampir selesai bersiap, seseorang mengetuk pintu kamarnya.

"Siapa?" tanyanya tanpa menghentikan aktifitasnya memoles wajah dengan beberapa make up yang ada di meja rias.

"Ini, Mama, Nak."

"Masuk aja, Ma. Pintunya nggak dikunci."

Bu Vera memandangi anak gadisnya lewat pantulan cermin. Cantik seperti dia di masa muda. Sayangnya, di usia yang hampir kepala tiga ini, anaknya masih betah sendiri.

"Kamu tadi ketemu tante Reni?"

Vivi menggeleng.

"Om Agus?"

Vivi menggeleng lagi sambil sedikit melirik raut wajah mamanya lewat cermin.

"Apa benar kata gosip yang beredar kalau Lulu hamil duluan?" 

Vivi mengendikkan bahu. "Itu bukan urusan kita, Ma."

"Tapi, Rey kan ...."

"Itu hanya masa lalu, Ma." Vivi menimpali ucapan ibunya yang terjeda. "Aku berangkat dulu, takut telat. Assalamu'alaikum."

Vivi mencium punggung mamanya, lalu bergegas pergi menuju kampus di mana dia mengajar. 

Bu Vera hanya menarik napas panjang, dia tahu anaknya tidak ingin membahas hal yang berhubungan dengan Rey, namun dia juga khawatir dengan Vivi karena semenjak Rey putus dengan Vivi, anak gadisnya itu tak pernah lagi membawa laki-laki bertamu ke rumah. 

*******

" Siang, Bu. Saya Dendi, cuma mau ngasih tau kalau Ibu udah telat 10 menit untuk mengajar di kelas kami," ucap seorang mahasiswa di seberang telepon.

"Saya tahu." Vivi menjawab singkat.

"Kalau Ibu gak bisa hadir, kami mau pulang, Bu."

"Terserah saja." Vivi mematikan telepon begitu saja setelah berkata demikian.

Dosen dengan tubuh sintal yang cantik menawan itu melangkah santai menyusuri koridor kampus.

Tepat saat para mahasiswanya akan keluar dari kelas, Vivi melewati pintu yang akan mereka lewati, meletakkan beberapa buku di atas meja dan memandang para mahasiswanya dengan tatapan tajam.

Dengan rasa malas para mahasiswa kembali ke tempat duduk mereka, diiringi dengan gumaman kesal.

"Masukkan semua buku kalian, hari ini ulangan."

Tidak ada yang protes, mereka hanya mengumpat dalam hati, sudah tidak asing bagi mereka saat dosen cantik di hadapannya memberikan ulangan dadakan. Banyak mahasiswi yang menatap sinis ke arah Vivi.

"Waktu kalian hanya 30 menit, selesai atau tidak, kumpulkan!" ucap Vivi lantang sambil menyerahkan tumpukan kertas pada orang yang duduk di depan dan mengisyaratkan agar mengoper kertas ke belakang di tiap barisnya.

Tak ada jawaban, hanya beberapa orang yang mengangguk, sisanya tak peduli. 

Dua puluh menit berlalu, seorang mahasiswa maju mendekati meja dosen, dia menyerahkan selembar kertas ulangan.

"Kamu masih punya waktu sepuluh menit lagi," ucap Vivi. "Koreksi jawabanmu."

"Aku tidak perlu mengoreksinya, jawabannya pasti sudah benar," jawab lelaki jangkung berkulit putih yang memakai kaos oblong polos warna merah. 

Vivi mengangkat wajahnya yang sedari tadi sibuk melihat handphone tanpa melihat lawan bicaranya. 

"Biar saya yang koreksi langsung." 

Vivi mengambil kertas yang berada di depannya, mengoreksi tiga puluh soal yang dia kasih.

"Kau terlalu percaya diri sepertinya," gumam Vivi pelan, tapi lelaki di depannya hanya tersenyum kecil.

"Sekadar informasi, aku sengaja menulis jawaban yang salah di nomor terakhir, bosan dengan nilai sempurna."

Vivi hanya mengangguk karena lawan bicaranya paham dengan apa yang dia katakan.

"Mahasiswa baru?" tanyanya saat membaca nama yang tertera di atas kertas ulangan.

"Ferdinand Alexander, panggil saja Ferdi. Jika perlu informasi tentangku lebih lanjut, silakan cek g****e." Lelaki berkumis tipis itu nampak santai menjawab pertanyaan dosen cantik di depannya.

"Aku tak bertanya namamu. Silakan keluar dari ruangan ini jika tidak ada keperluan lagi."

Ferdi hanya mengangkat kedua bahunya, lalu pergi menuju pintu.

"Siapa peduli dia siapa," gumam Vivi pelan pada dirinya sendiri setelah Ferdi pergi. Dia sama sekali tidak tertarik untuk mengikuti saran mahasiswanya itu untuk mengetikkan namanya di g****e.

Tiga puluh menit berlalu, Vivi mengisyaratkan beberapa buah ketukan di meja, setengah mahasiswanya yang belum mengumpulkan ulangan pun maju ke depan untuk menyerahkan kertas ulangan mereka dan pergi meninggalkan kelas. 

Tepat pada saat Vivi merapihkan semua barang yang ada di mejanya, seseorang datang tanpa Vivi ketahui. 

"Perlu bantuan?" 

Vivi sedikit kaget, mengingat bahwa kelasnya sudah kosong sedari lima menit yang lalu. Dia melempar pandangan ke arah asal suara, lalu menarik napas pelan ketika mengetahui siapa orang yang ada di depannya.

"Gak perlu," jawabnya acuh. Dia terus sibuk menumpuk buku dan kertas di depannya.

Ferdi memandangi orang di depannya. Cantik juga. 

"Ibu belum nikah ya?" tanya Ferdi yang membuat Vivi menghentikan aktifitasnya sejenak.

"Bukan urusan kamu."

"Aku ramal ibu akan bertemu jodoh ibu dalam waktu dekat ini," ucap Ferdi sambil tersenyum.

"Kapan?" Vivi refleks bertanya, satu kata yang akhirnya dia sesali.

"Sekarang, di hadapan ibu," jawab Ferdi dengan tegas dan yakin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status