“Ti-tidak.” Rey menjawab dengan terbata. Dia berusaha sekuat tenaga menutupi rasa bingung dan takutnya jika Ferdi benar-benar melaporkannya ke polisi.Lulu memicingkan mata, menatap heran ke arah suaminya.“A-aku ada perlu sebentar, mau ke kafeku,” ujar Rey mencari alasan untuk segera ke luar rumah, menghindari kemungkinan Lulu akan bertanya lebih jauh. Dia buru-buru menyambar kunci mobil di atas nakas, mengecup kening Lulu sekilas, lalu segera pergi.Rey memutar otaknya di sepanjang perjalanan yang entah dimana tempat yang dituju, dia berusaha mencari cara agar Ferdi tidak melaporkan perbuatannya ke polisi.“Aku gak mau dipenjara,” ujar Rey sambil memukul stir mobil. Suara klakson terdengar panjang. Rey membuang napas kasar, mengatur emosinya agar bisa berpikir jernih.“Vivi ….” Rey menjentikkan jari setelah mendapatkan sebuah ide. Dia segera melajukan mobilnya ke Universitas Nugraha, tempat dimana Vivi mengajar.
“Ferdi….” Rey berteriak memanggil Ferdi seraya menghampirinya.Ferdi menoleh, alisnya terangkat, dia memandangi lelaki berbaju necis itu melangkah ke arahnya. Rey terdiam ketika sudah berada tepat di hadapan Ferdi. Dia canggung. Untuk sejenak Rey mencari kata-kata yang tepat untuk meminta maaf.“Udah pulang kuliah?” Tanya Rey sok akrab. Dia mencoba berbasa-basi untuk mengurangi rasa groginya.“Udah.” Ferdi menjawab singkat sambil terus memandangi Rey penuh tanya.“Ada yang mau saya omongin sama kamu,” ucap Rey. “Buat masalah kemarin, saya minta maaf.”Ferdi tertawa mendengar perkataan Rey. Pada akhirnya lelaki sombong yang sempat tak mengakui kejahatannya itu malah menemuinya untuk meminta maaf. Sungguh lucu bukan? Kemana lelaki yang kemarin justru malah mengancam untuk melaporkannya balik ke polisi atas pencemaran nama baik? “Jadi ngaku nih kalau kamu pelakunya?” Ferdi bertanya memas
Siang itu matahari sedang semangat menyinari bumi, pukul sepuluh pun rasanya seperti sudah tengah hari.Saat itu, Rey sedang mengantarkan pesanan sebuah perusahaan yang tak jauh dari restoran miliknya, dia sengaja mengantarkannya sendiri dibantu oleh seorang karyawan pria saja. Selain karena restoran kecil yang Rey bangun belum memiliki banyak karyawan, Rey juga ingin melihat perusahaan besar yang sudah menjadi idamannya sejak dulu. Dia pernah punya mimpi untuk menjadi karyawan di perusahaan tersebut, namun mimpi itu pupus karena dia hanya tamatan SMA. "Ayo cepat. Bawakan makanan di bagasi ke dalam," ujar Rey pada seorang karyawan yang diajaknya, Zul."Siap, Pak." Zul dengan sigap memindahkan kotak-kotak makanan yang telah dipesan oleh perusahaan tersebut dari bagasi mobil ke depan meja resepsionis perusahaan.Rey pun membantu karyawannya itu karena pesanan yang mereka bawa cukup banyak. Tidak kurang dari seratus kotak makanan. Saat sedang mondar
“Kamu mau pesan apa, Jes?” Tanya Diana pada Jessica yang duduk di sampingnya.“Hmm … pesen apaan ya? Menunya pada so sweet gini sih? Nasi goreng cinta, jus kasih sayang, terus …. Apalagi ini? Cappucino rindu, kopi mantan.” Jessica tertawa setelah membaca menu makanan yang tertera pada kertas di atas meja. “Kayaknya yang punya restoran ini bucin banget orangnya. Tapi kreatif sih, ditambah lagi interior dan hiasan restoran yang bikin restoran ini bagus sampe viral gitu di Instagram.”“Dia malah komenin restorannya. Ayo buruan pesen ah, udah laper nih. Eh, BTW, kamu yang traktir ya, Lu?” Diana berkata sambil melirik ke arah Lulu.“Tenang. Aku yang traktir. Gratis kita makannya di sini karena kebetulan aku juga tahu pemilik restorannya.” Lulu menjawab sambil tersenyum. “Ah, serius Lu? Sejak kapan kamu punya kenalan wirausahawan kayak dia? Sampe punya restoran yang viral pula.” Jessica bertanya sambil menyenggol lengan Lulu yang duduk tak jauh d
Dua bulan berlalu setelah pertemuan kedua Rey dan Lulu di restoran Janji Hati. Mereka pun semakin dekat dan sering berbalas pesan via WA. Lulu juga dua minggu sekali mampir ke restoran Rey untuk sekadar makan dan berfoto di tempat yang masih viral di medsos itu.“Lulu.” Rey memanggil perempuan dengan rambut panjang tergerai yang duduk di hadapannya. “Iya,” sahut Lulu tanpa mengalihkan pandangan dari handphone di genggamannya.“Aku suka sama kamu sejak pertama kita ketemu. Kamu mau nggak jadi pacar aku?” Tanya Rey sambil menatap lekat ke arah Lulu.Lulu yang kini sedang meminum jus pun sampai tersedak mendengar penuturan Rey.“Kamu nembak aku? Serius?” tanya Lulu.Rey mengangguk mantap. “Mau nggak?” Sebenarnya Lulu sudah mulai menyukai Rey, meskipun dulu dia tidak ada rasa sama sekali pada lelaki di hadapannya itu. Namun semakin berjalannya waktu, Lulu merasa nyaman dan senang dengan p
"Eh, liat itu ada si Vivi, umurnya udah 27 tahun tapi belum nikah juga, diduluin sama sepupunya si Lulu," seru Bu Menik memulai obrolan gosip ibu-ibu kelompoknya."Padahal Vivi cantik ya? Gak mungkin sih kalau gak laku, paling dia pilih-pilih," timpal Bu Sari."Keburu tua nanti malah gak bisa punya anak pas nikah, anak saya aja 22 tahun udah nikah." Bu Della menambahi ucapan kedua rekannya dengan antusias. "Aneh ya, padahal udah S2, dosen sih katanya tapi nggak nikah-nikah, nunggu apalagi coba?" Bu Ratna nampak sedikit berpikir dan melirik sekilas ke arah Vivi."Tapi nggak malu ya si Vivi dateng ke nikahan ponakannya, sendiri pula. Padahal ngajak temen cowok kan bisa gitu." Bu Menik menjabarkan idenya bila dia ada di posisi Vivi sekarang.Vivi mendengar namanya sayup-sayup disebut oleh sekelompok ibu-ibu yang duduk melingkar di salah satu meja, di tengah-tengah tenda resepsi keponakannya, Lulu. Dia menarik napas dalam-dalam, kemudian melangkah menuju sekelompok ibu-ibu tersebut.Ibu-
"Sendirian? Mau gue antar pulang?" tanya seorang laki-laki yang baru saja menghampiri Vivi."Gak perlu, makasih sebelumnya," jawab perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu tanpa menoleh sedikitpun ke arah lawan bicaranya."Gak perlu sungkan, gue ambil mobil dulu ya?" tawarnya. "Oh iya, gue Anton. Nama kamu siapa?"Anton mengulurkan tangannya. Vivi melirik sekilas ke arah lelaki di sampingnya. Tinggi, putih, rambut cool, badan atletis dibalut oleh kemeja abu polos, tapi ... umurnya sudah pasti di bawahnya. Hal yang membuatnya langsung memalingkan muka sesaat setelah meliriknya."Vivi. Gak perlu, aku udah pesan Gr*b." Vivi menjawab tanpa menjabat tangan Anton, dia masih fokus memandang ke arah jalanan."Gak baik lho nolak niat baik orang." Anton melihat ke arah perempuan di sampingnya sambil menyunggingkan senyuman semanis mungkin."Lebih gak baik lagi kalau aku nyuruh driver balik padahal dia udah mau nyampe."Anton menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Iya juga sih. Kalau gitu, bo
Vivi seketika tertawa mendengar jawaban Ferdi, lalu menggelengkan kepalanya pelan."Nah, kalau ketawa kan cantik. Kayaknya Bu Dosen ini udah lama nggak ketawa," ujar Ferdi."Sok tau kamu!" "Lho, emang saya tempe kok, bukan tahu." Ferdi berusaha membuat wanita di hadapannya tertawa lagi."Garing!" "Yaudah, saya pamit dulu. Jangan lupa nanti malam di rumah saja ya!""Memang kenapa? Bukan urusan kamu juga," jawab Vivi ketus."Yasudah kalau nggak peduli, bodo amat juga." Ferdi melenggang pergi meninggalkan Vivi sendirian. *******Bu Vera menemui Vivi yang sedang duduk nonton TV dengan wajah sumringah, lalu dia tersenyum ke arah anaknya itu. Vivi yang melihat tingkah ibunya jadi risih, dia segera memegang dahi ibunya dengan telapak tangannya. "Gak panas, aku kira Mama lagi demam.""Siapa juga yang lagi sakit," ujar Bu Vera."Terus Mama kenapa senyum-senyum sendiri? Kesambet hantu?""Hust! Kamu itu ngaco, Vi. Itu di ruang tamu ada temen kamu dateng."Vivi mengerutkan keningnya. "Temen