Share

Tamu tak Diundang

Vivi seketika tertawa mendengar jawaban Ferdi, lalu menggelengkan kepalanya pelan.

"Nah, kalau ketawa kan cantik. Kayaknya Bu Dosen ini udah lama nggak ketawa," ujar Ferdi.

"Sok tau kamu!" 

"Lho, emang saya tempe kok, bukan tahu." Ferdi berusaha membuat wanita di hadapannya tertawa lagi.

"Garing!" 

"Yaudah, saya pamit dulu. Jangan lupa nanti malam di rumah saja ya!"

"Memang kenapa? Bukan urusan kamu juga," jawab Vivi ketus.

"Yasudah kalau nggak peduli, bodo amat juga." 

Ferdi melenggang pergi meninggalkan Vivi sendirian. 

*******

Bu Vera menemui Vivi yang sedang duduk nonton TV dengan wajah sumringah, lalu dia tersenyum ke arah anaknya itu. 

Vivi yang melihat tingkah ibunya jadi risih, dia segera memegang dahi ibunya dengan telapak tangannya. 

"Gak panas, aku kira Mama lagi demam."

"Siapa juga yang lagi sakit," ujar Bu Vera.

"Terus Mama kenapa senyum-senyum sendiri? Kesambet hantu?"

"Hust! Kamu itu ngaco, Vi. Itu di ruang tamu ada temen kamu dateng."

Vivi mengerutkan keningnya. "Temen? Perasaan aku gak janjian ketemuan sama siapapun malem ini."

"Temuin aja dulu. Cowok, cakep pula. Sopan banget pula, mana bawa oleh-oleh martabak kesukaan mama."

Perempuan yang sedari tadi sibuk memeluk bantal sofa sambil menonton TV itu langsung terperanjat mendengar ucapan mamanya. 

"Emangnya siapa sih?" tanya Vivi sambil langsung bergegas ke ruang tamu.

Betapa terkejutnya dia saat melihat seorang lelaki memakai kemeja kotak-kotak sedang duduk santai sambil memainkan ponselnya.

"Kamu? Ngapain kamu di sini?" tanya Vivi langsung.

"Ya bertamu lah, emang gak boleh?" jawab lelaki di depannya saat menyadari kehadiran Vivi.

"Maksud saya, ada perlu apa kamu ke sini?" 

"Lho ... Lho, ada tamu kok malah ditanya begitu? Bukannya ditawarin minum," ujar Bu Vera menghampiri anaknya sambil membawa nampan berisi minuman.

"Diminum dulu Nak Ferdi kopinya. Silakan dinikmati cemilan seadanya ini," ujar Bu Vera sambil memandang ke arah lelaki muda di hadapannya.

"Jangan ketus-ketus kalau jadi cewek," ujar Bu Vera pada anaknya sembari sedikit berbisik.

Vivi mendengkus kesal. Dia menatap nyalang ke arah Ferdi, namun yang ditatap seperti tak punya dosa, dengan santai menyeruput kopi yang baru saja dihidangkan untuknya. 

"Tau rumah saya dari mana?" 

"Kebetulan saya ngikutin Bu Vivi pas pulang dari kampus beberapa hari yang lalu."

"Dalam rangka apa ke sini?" Vivi bertanya, dia sedikit gusar dengan lawan bicaranya.

"Ini hari sabtu kan?" Ferdi balik bertanya.

"Iya."

"Ya saya berarti gak salah hari buat ngapelin gebetan baru saya."

Vivi menepuk jidatnya dan menatap tajam ke arah Ferdi. "Kamu tau umur saya berapa?"

Lelaki di hadapannya mengangguk. 

"Saya yakin kamu gak beneran tau," ujar Vivi. "biar saya kasih tau ...."

Ucapan Vivi terjeda saat lelaki di hadapannya mengangkat tangannya, memberi isyarat agar dosennya itu berhenti bicara.

"Vivi Maharani, lahir di Jakarta 27 tahun yang lalu, penyuka warna hijau dan pembaca setia novel Asma Nadia, lulusan S2 di Universitas Nugraha jurusan Akuntansi dengan predikat cum laude. Anak tunggal dari Ibu Vera dan Bapak Sugito. Makanan kesukaannya adalah bakso, mie ayam, seblak dan beberapa makanan pedas lain. Minuman kesukaannya adalah es cappucino. Penyuka film action dan sering insomnia." 

"Sudah?" Vivi setengah mati tak menunjukkan keterkejutannya atas apa yang mahasiswanya katakan, karena semua hal yang dijabarkan adalah benar.

"Masih kurang?" Ferdi bertanya.

"Sudah cukup." Perempuan berkulit putih itu memaksakan sebuah senyuman di bibirnya. "Kamu pernah kuliah jurusan informatika ya?" 

Lelaki yang kini sibuk dengan HP-nya itu mengangguk.

"Sebentar, saya angkat telepon dulu, penting." 

Setelah melihat anggukan dan isyarat tangan yang mempersilakannya mengangkat telepon, Ferdi langsung berjalan menuju pojok ruang tamu, di depan lukisan pemandangan yang menghiasi dinding.

Tok ... Tok ... Tok....

Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk, Vivi melirik ke arah Ferdi yang masih sibuk berbicara di telepon, lalu dia bangkit dari tempat duduknya untuk membukakan pintu.

Banyak banget tamu malam ini perasaan. Siapa lagi sih yang dateng? Vivi membatin.

Cekrek, pintu ruang tamu terbuka, tampaklah sepasang sejoli berdiri sambil berpegangan tangan.

"Lulu? Rey? Tumben ke sini. Silakan masuk," ujar Vivi sambil menyembunyikan keterkejutannya dan rasa lain yang mendesak di hatinya.

Lulu dan Rey melangkah masuk, lalu melihat gelas kopi dan Ferdi yang baru saja menutup teleponnya.

"Oh ... lagi ada tamu ya, Kak?" tanya Lulu. "Kami nganggu dong?" 

Rey tampak tidak suka dengan keberadaan Ferdi. Yang dia tahu, Vivi tidak pernah memberi peluang laki-laki lain untuk masuk ke kehidupannya karena belum move on.

"Nggak kok," jawab Vivi. "Sebentar aku panggil mama dulu, dia mungkin kangen sama ponakannya yang cantik ini. Nikahan kamu kemarin mama lagi gak enak badan, jadi gak bisa dateng."

"Sekarang udah mendingan?" 

"Udah sembuh kok." Vivi tersenyum. "Oh iya, kenalin ini Ferdi. Ferdi, kenalin ini Lulu sepupu aku, disebelahnya Rey, suaminya Lulu."

Ferdi menyalami dua orang di hadapannya. "Ferdi, calon suaminya Vivi."

Rey seketika mendelik ke arah lelaki yang dia taksir masih jauh lebih muda darinya.

Vivi ingin marah dengan pengakuan Ferdi, tapi dia juga senang dengan ucapan Ferdi barusan karena hal itu pasti membuat hati Rey panas.

"Udah punya calon nih, buruan nyusul," ledek Lulu.

Vivi hanya tersenyum. "Duduk dulu semuanya, aku panggil mama dulu ya."

Ketika Vivi sudah tak terlihat punggungnya, Rey mulai bertanya-tanya pada lelaki yang duduk di sofa tak jauh darinya. Dia ingin tahu tentang lelaki itu, apakah lebih kaya dan keren darinya atau tidak.

"Udah kerja atau masih kuliah, Ferdi?" Rey mulai bertanya.

"Kerja sambil kuliah," jawabnya.

Rey tersenyum mengejek, kerja sambil kuliah biasanya tipikal orang miskin yang orangtuanya tidak mampu membiayai anaknya kuliah.

"Kerja di mana?" 

"Maaf, ini hal yang cukup privasi bagi saya."

"Kamu tumbenan kepo sama orang, Sayang?" tanya Lulu.

"Ya biar ada obrolan aja sambil nunggu Vivi manggil tante Vera," jawab Rey memberi alasan. 

"Iya juga sih." Lulu mengangguk. "Memang Ferdi kuliah di mana?"

"Di tempat Vivi mengajar, saya mahasiswanya."

Mendengar hal itu Rey tak kuasa tertawa. "Mahasiswanya? Mahasiswa berani deketin dosennya dan mau nikah sama dosennya?"

"Ya, kan dalam agama gak ada larangan untuk itu. Yang dilarang itu kalau nikah beda agama dan nikah saat perempuan sudah hamil, itu tidak akan sah. Harus nikah ulang pas perempuan sudah melahirkan."

Seketika wajah Lulu berubah pias, dia menatap Rey dan memberikan kode untuk tidak bertanya apapun lagi. Tapi Rey berpura-pura tak mengerti kode dari istrinya.

"Umur kalian pasti beda jauh," celetuk Rey.

"Umur gak masalah, dulu Nabi Muhammad SAW saja menikah dengan Khadijah umurnya beda jauh."

Rey terdiam, dia menyadari lawan bicaranya ini orang yang pandai hingga dapat menjawab dengan cepat dan telak ucapannya tanpa tersulut emosi sedikitpun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status