Tiara kembali menyiapkan semua peralatan riasnya didalam tas yang akan dibawanya saat manggung.
Hari itu ia akan mengisi satu acara lagi, biduan baru seperti dirinya belum mendapat banyak Job di bandingkan dengan biduan yang sudah lama atau senior.
Penghasilan dan honornya pun juga berbeda, kecuali menemukan penonton sawer.
Di antara waktu sela, menunggu giliran naik panggung Tiara tengah asyik mengobrol dengan salah satu biduan di sampingnya.
"Mba sudah lama jadi biduan?" Tanya Tiara kepada temannya sesama biduan.
Ia mengenakan pakaian yang sangat minim dan terbuka di banding Tiara yang biasa saja, belahan ke dua bukit kembarnya menyembul jelas, membangkitkan birahi siapa saja pria berotak mesum yang melihatnya.
"Iya sekitar dua tahun semenjak saya berpisah dengan suami saya."
"Maaf ya mba, mba sering dapat sawer dari penonton?" tanya Tiara lagi yang ingin tahu lebih banyak tentang biduan.
"Sering 'sih lumayan untuk tambahan honor. kita."
"Biduan dengan goyangan yang erotis dan mengundang nafsu akan mendapat saweran yang banyak, tapi banyak tangan nakal penyawer yang mesum dan agak nakal," kata Dewi menguraikan.
"Sebagian mereka adalah penonton yang terpengaruh minuman keras," tambahnya lagi.
"Wah bahaya dong mba?" Wanita itu tertawa melihat Tiara yang begitu polos.
"Makanya kita harus pintar, dan bisa mengendalikan suasana, yang 'nyawer sudah pasti mabuk dan biasanya kasar kita tidak boleh terpancing emosi."
"Kalau mau banyak penggemar dan sawer pakaianmu jangan seperti itu," tambah Dewi sambil melirik kearah Tiara.
"Pakaian saya haru seksi dan terbuka gitu?, oh Iya mba hampir lupa saya Tiara nama Mba siapa?"
"Panggil saja Dewi."
"Tiara, Kamu baru ya di sini?"
"Iya mba saya baru dua kali ini dapat panggilan manggung."
"Sabar saja lama-lama kamu juga akan banyak job menyanyi tapi persaingan di sini berat untuk itu, apalagi beberapa biduan dekat dengan Erwin, bahkan mereka ada yang rela memberikan tubuhnya hanya untuk mendapatkan banyak job manggung darinya," ucap Dewi sedikit membocorkan rahasia panggung.
"Hahh, ... sampai seperti itu mba?" Tiara bergidik.
Ia seperti sesak nafas mendengar penuturan dari Dewi biduan seniornya, ia tak menduga selama ini ada sebuah titik hitam dibalik gemerlapnya dunia biduan.
Menjadi biduan baginya menyenangkan tidak membuat dirinya bosan walaupun ia tidak setiap hari mendapat tawaran bernyanyi.
Setelah jeda selama dua hari tidak ada panggilan bernyanyi Tiara menggunakan waktu jeda itu sebaik mungkin.
Waktu luang disela sela panggilan bernyanyi atau job sedang sepi, ia gunakan untuk membantu Ibunya membuat kue kering untuk dagangannya.
Banyak menghabiskan waktunya dirumah tidak berarti bahwa ia anak rumahan, hanya saja ia kadang merasa risih sendiri saat bersama teman temannya yang lain yang berlimpah materi.
Menjelang sore hari ibu Tiara sudah pulang dari pekerjaannya sehari hari berjualan kue, "Ibu sudah pulang!?, gimana bu hari ini banyak yang laku?"
"Ya lumayan jualannya habis."
"Oh, ... syukurlah."
"Bu, nanti kalau uang Tiara sudah cukup, aku buatkan Ibu kios biar tidak capek lagi keliling gimana menurut ibu?"
"Semoga semua cita-cita mu tercapai Nak, Ibu mau ke dalam, mau bersih-bersih dulu."
Tiara memandangi dari belakang tubuh tua itu, Ibunya yang sudah tua tapi memiliki bahu yang begitu kuat tidak pernah sedikitpun mengeluh menghadapi kehidupannya yang berat senyumannya selalu saja menghias di bibirnya.
Sambil duduk santai di kursi ruang tamu yang tidak begitu luas ia membaca pesan dari temannya, "Tiara kamu dimana?, Kami bertiga mau kerumah kamu, kita kangen sama kamu Tiara," sebuah pesan dari Frida sahabat baiknya.
"Aku di rumah sekarang, kalian kesini aja, aku juga kangen."
"Aku tunggu ya," balas Tiara .
Tak berselang lama sebuah mobil sedan mewah perlahan memasuki pekarangan rumahnya dari dalam mobil itu turun tiga orang perempuan dengan pakaiannya yang glamor, ketiga sahabatnya Jenny, Frida dan Melisa datang mengunjunginya.
Tiara hanya memiliki tiga orang sahabat baik, Jenny, Frida dan Melisa mereka anak pengusaha kaya tapi tidak memiliki sifat yang sombong seperti temannya yang lain.
"Hai Tiara aku kangen banget sama kamu."
"Hai Mel, Jen, Frida aku juga kangen sama kalian."
"Ayo masuk."
"Tiara, Ibu kamu dimana?" ucap Frida yang memang sangat dekat dengan Ibu Tiara.
"Ada di dalam baru saja sampai, biasa capek jualan kue keliling."
"Maaf ya kalau aku sekarang sudah jarang ke tempat kalian."
"Kenapa Tiara?" tanya Frida mencari tau.
"Ibuku sering loh menanyakan kamu."
Tiara terdiam sesaat memandangi temannya satu persatu, dengan senyumnya ia kemudian menjawab, "Aku sekarang sudah punya kesibukan, makanya aku tidak pernah ke tempat kalian."
"Pekerjaanku sekarang bernyanyi dari panggung ke panggung," Tambah Tiara membuat teman-temannya kaget.
"Kamu jadi biduan Tiara?" Tiara mengangguk mengiyakan pertanyaan Frida.
"Wahh hebat, salah satu teman kita sebentar lagi akan jadi artis."
Mereka serentak tertawa mendengar ucapan Melisa.
"Tapi, kamu gak takut dengan menjadi biduan biasanya 'kan di panggung banyak penonton yang nakal?"
"Takut juga sih, tapi demi membantu Ibu semuanya harus kuhadapi."
"Sabar ya Tiara, kami akan selalu mendukungmu."
"Terima kasih ya, semua."
"Tiara kapan ada waktu kita mau nonton kamu ya manggung?"
"Iyya nanti aku kabari."
Hari itu Tiara merasakan kebahagiaan karna kehadiran sahabat-sahabatnya.
Selain itu, kekhawatiran baru muncul dalam pikirannya kata-kata dari Dewi selalu saja teringat olehnya meskipun begitu ia harus siap menghadapinya.
Sebuah hubungan cinta harus berjalan bersama, jika di dalamnya ada tujuan yang berbeda maka ia harus saling memahami dan tebuka, bukan saling menutupi dan saling menyalahkan. Begitu pula yang harus dlakukan oleh Tiara dan Erick, ada sesuatu hal yang tidak berjalan semestinya diantara mereka, membuat hubungannya yang baru saja seumur jagung seakan terombang ambing tak tentu arah. "Memiliki hubungan itu ribet ya," ucap Tiara. "Ribet seperti apa maksud kamu, gak juga kok kalau kamu dan Erick saling memahami, dan mau saling terbuka," sahut Frida. "Aku?, ... Apa yang aku tutupi darinya Frid?, apa aku saja yang harus memahaminya sementara dia?" sahut Tiara. Frida terdiam mendengar Tiara mulai tersulut emosi, ia biasanya akan menenangkan jika sahabatnya itu mulai meninggikan nada suaranya. Mobil mereka melaju membelah jalan kota, suasana sudah mulai tampak lengang, tak banyak lagi kendaraan yang berseliweran seperti biasanya di jam-jam itu. Sementara Erick dan Maria serta teman-temann
Tiara dan Frida urung menjalankan rencananya melihat Erick yang tengah duduk bersantai dengan Maria di sebuah meja tepat di depan panggung. "Jadi mau gimana lagi, kita harus menjalankan rencana lainnya, ayo silahkan mba Tiara," kata Frida seraya menunjuk ke arah panggung. Tanpa melihat sedikitpun ke arah mereka Tiara langsung menggebrak panggung. Erick terhenyak menyaksikan Tiara, ia tak menyangka sedikitpun jika kekasihnya itu yang menjadi biduan di live musik cafe malam itu. "Pantas saja Tiara gak mau aku ajak, dia ternyata nyanyi di sini." Erick bergumam. Ia tak dapat menyembunyikan rasa heran di depan Maria, "Erick kamu kok terlihat heran seperti itu, kamu kaget kalau Tiara itu nyanyi di sini?" "Gak, ... Aku cuma kaget saja tiba-tiba bertemu dia di sini," sanggah Erick sedikit ingin menutupi dari Maria, tak terjadi apa-apa di antara Tiara dan dirinya. "Daripada harus membicarakan dia, kita bernostalgia saja dengan kenangan kita, bagaimana?" Rayu Maria. "Nostalgia yang sep
Malam hari tiba, terlihat cerah secerah hati Tiara yang sudah kasak kusuk mempersiapkan diri sembari menunggu dijemput Frida. Bu Ratri hanya nampak tersenyum melihat anak gadisnya terlihat sibuk di depan cermin tak hentinya menatap wajahnya melihat riasan yang dipakainya. Tak lama kemudian Frida datang menemui Tiara di kamarnya yang tengah sibuk itu. "Udah beres kan dandannya?" tanya Frida. "Gimana menurut kamu udah bagus kan?" "Iya gitu aja gak usah lama, ingat tempatnya di puncak loh!" kata Frida. "Yuk kita berangkat sekaramg!" Tiara dan Frida berangkat bersama menuju cafe M&M tempat Tiara akan menyanyi dan untuk pertama kalinya di cafe ini. "Kamu santai aja dong, kok seperti pertama nyanyi saja kamu," kata Frida melihat Tiara terlihat sedikit gugup. "Iya nih, gak tahu aku kok sedikit gugup ya, apa karna lama gak nyanyi ya?" "Kamu sih, aku ajak nyanyi ke acara kampusku kamu tolak, makanya sekarang jadi grogi kelamaan gak manggung." Mobil yang dikendarai Frida sudah melam
"Tiara bagaimana jika pamanmu tidak terima dengan pengakuan kita padanya tentan rumah ini yang sudah dijual," "Terserah dia saja bu, kali ini aku tidak akan takut dengan ancamannya, kita sudah lama diperlakukan semena-mena olehnya, dia harus berpikir bahwa Tiara sudah berubah sekarang," jawab Tiara dengan semangat."Dan aku rasa mba Maria akan sepenuhnya membantu dalam masalah ini, ibu jangan khawatir," kata Tiara kembali membuang segala ketakutan ibunya."Kamu angkat dulu telpon kamu," ucap Bu Ratri mendengar ponsel yang berdering.[Halo Tiara, maaf ya kalo aku ganggu kamu malam-malam takutnya kalau nunggu besok aku bisa lupa] kata Maria.[Ada apa ya mba?][Besok kamu bisa mulai nyanyi di cafe hari ini semua persiapan panggung sudah siap][Ok mba aku akan mulai besok] kata Tiara begitu senang mendengar kabar dari Maria."Ibu mulai besok aku bisa kerja di cafe mba Maria, aku senang banget loh bu," "Ibu juga senang mendengarnya nak, semoga saja kamu betah di sana, apa Frida sudah tah
Tiara masih menatap tajam pria paruh baya yang ada di hadapannya, seorang kakak dari ayahnya, satu-satunya keluarga yang ia miliki tapi memiliki hati begitu tega perlakuannya terhadap Tiara dan ibunya."Ayo duduk jangan berdiri seperti itu di hadapanku, semakin memperjelas bahwa kau tak pernah di ajari sopan santun dari orang tuamu," kata Novo yang begitu menyakitkan.Tiara masih saja terdiam, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya, hanya tatapannya yang semakin tajam ke arah Novo, sorot matanya berapi-api.Tidak seperti Bu Ratri yang masih terlihat tenang menghadapi keadaan ini, ia memberi isyarat agar Tiara menurutinya untuk duduk di sampingnya.Dengan wajah kaku Tiara menurutinya dan mulai angkat bicara, "Paman Novo, aku menganggap paman sebagai seorang pengganti dari ayahku namun aku ternyata salah," kata Tiara."Seorang ayah tidak pernah membuat anaknya jatuh ke dalam kondisi yang begitu sulit seperti ini, paman sungguh tega mengusir kami dari rumah yang ayah bangun dari
Setelah melakukan rembuk bersama, Tiara dan Frida beranjak meninggalkan cafe menuju kantor polisi untuk menemui Maria yang sedang menjadi saksi sebuah kasus. Sampai di sana Tiara dan Frida oleh petugas tidak di perbolehkan menemui Maria, karna sesuatu hal. "Mba Maria sedang jadi saksi atas kasus apa pak!?" tanya Frida kepada salah seorang petugas. "Maria menjadi saksi atas kepemilikan barang terlarang, jadi untuk sementara beliau belum bisa menemui siapapun." Tiara dan Frida tersentak mendengar apa yang diucapkan petugas itu, terlebih Tiara yang sepertinya harus mengurungkan niatnya untuk minta tolong padanya. "Kamu kan lebih mengenal dekat mba Maria bahkan pernah di ajak ke apartemennya, dia itu orangnya seperti apa sih, kok bisa jadi saksi segala?" tanya Frida pada Tiara. "Waktu di ajak kemarin sih hanya pesta kecil saja, dan ada beberapa teman bisnisnya di sana yang pesta mabuk malam itu," jelas Tiara. "Tuh kan, mungkin teman-teman bisnisnya itu yang jadi pemilik barang terl