Brak!
Pintu kayu rapuh ditendang oleh seseorang. Muncul pria berbadan besar bersama anak buahnya.
“Bagas, bayar utang kamu sekarang! Ayo cepetan!” teriak si pria yang tidak lain adalah Juragan Suwandi, seorang rentenir di Desa Karang Jati.
Bagas dan Ratihーistrinya, terkejut. Mereka meletakkan piring menyudahi sarapannya. Keduanya segera berdiri dengan gugup dan ketakutan.
Bagas berlutut. Memohon belas kasih Juragan Suwandi, “Maaf, Juragan. Saya belum bisa bayar. Saya belum ada uang."
Ekspresi Suwandi kelam. “Ah! Yang benar aja! Kamu udah menunggak 8 bulan. Bunganya udah membengkak. Gimana sih kamu, Bagas?!”
"Usaha saya sepi, Juragan," kata Bagas, memberikan alasan. "Ladang saya gersang dan Istri saya lagi sakit. Mohon maaf Juragan," lanjutnya, berbicara.
Suwandi semakin naik pitam saat Bagas mulai beralasan lagi.
Suwandi menggosok-gosok ujung hidung. “Kamu selalu aja alasan. Kamu pikir, saya ini ngasih uang dengan cuma-cuma?!"
Suwandi menatap anak buahnya. "Hei, kalian! Cepet ambil barang berharga mereka!” perintahnya.
Bagas mendongakkan kepala. “Jangan, Juragan!" Bagas meraih tangan Suwandi. "Saya mohon, kami nggak punya apa-apa lagi."
Ratih yang sejak tadi hanya diam, ikut berlutut dan memohon kepada Suwandi, juragan tanah berusia 50 tahun.
“Saya mohon, Juragan! Kami janji bakalan bayar secepatnya,” kata Ratih, gugup.
Suwandi tidak peduli dengan keduanya. Selayaknya rentenir yang lain, dia hanya memikirkan keuntungan saja. Maka, Bagas dan Ratih pasrah saat anak buah Suwandi membawa barang-barang mereka.
Setelah Suwandi pergi, Bagas berdiri di lahan kebunnya yang gersang. Dia sudah mengupayakan segala hal untuk menafkahi Ratih, tetapi nasib baik tidak juga datang padanya.
Bagas membakar rokok. "Aku nggak bisa cuma diem aja. Aku harus menemukan cara untuk keluar dari kemiskinan ini."
Hati Bagas berkecamuk. Bayangan utang, ladang yang tak kunjung menghasilkan, dan masa depan keluarganya yang suram membuatnya merasa semakin terpuruk.
Di tengah keheningan, suara langkah kaki mendekat. Bagas menoleh dan melihat Mbah Damarーtetua desa, usianya sekitar 70 tahun. Dia terkenal bijaksana dan misterius.
“Bagas,” sapa Damar, tenang.
Bagas berusaha menutupi kondisinya yang memprihatinkan. "Mbah Damar mau ke mana sendirian begini?"
Damar tidak membalas. Mendadak, raut wajahnya berubah serius.
Damar berkata, “Aku tau, Bagas. Akhir-akhir ini kamu lagi kesulitan. Utang, ladang yang gagal panen dan masa depanmu yang nggak menentu.”
Bagas terdiam. Dia tertunduk lesu. Terlebih lagi, dia merasa malu karena masalahnya begitu terlihat di mata orang lain.
“Iya, Mbah. Saya udah berusaha sekuat tenaga, tapi hasilnya gini-gini aja,” sahut Bagas, lirih.
Damar tersenyum tipis. “Nggak perlu malu, Le! serunya. "Karena setiap orang di dunia ini punya masalahnya sendiri. Tapi kadang, masalah itu datang bukan untuk hancurin kita, melainkan untuk menguji seberapa kuat kita bisa bertahan.”
Kata-kata Damar terdengar bijaksana. Bagas merasa telah mendapatkan kekuatannya lagi.
Bagas menghela napas panjang. “Tapi, Mbah, saya merasa udah nggak berdaya lagi. Saya kasihan sama Ratih. Saya takut nggak bisa bertahan.”
Damar mengangguk. Kemudian, dia mengeluarkan sebatang rokok linting dari saku celana, lalu membakarnya.
Detik berikutnya, Damar menghela napas panjang. Wajahnya terlihat lebih serius daripada tadi.
Damar menatap Bagas dalam-dalam. “Ada satu cara yang bisa bantu kamu keluar dari kesulitan ini, Bagas."
Damar mendekati daun telinga Bagas. Dia berbisik, "Satu cara yang nggak biasa.”
Bagas penasaran. Dia segera menjauhkan diri dari Damar. Lalu, menatap Damar dengan kening berkerut.
Dengan hati yang bergejolak, Bagas bertanya, “Cara apa, Mbah?”
Damar berbisik lagi, “Eyang Ki Raden Praja.”
Suara Damar tenang dan serak saat menyebutkan nama Ki Raden Praja. Tatapannya sulit diartikan oleh Bagas.
Bagas mengernyitkan dahi. Karena nama itu sangat asing baginya.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Bagas bertanya, “Siapa dia, Mbah?”
Damar memandangi ladang Bagas yang tandus, seolah dia sedang mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab Bagas.
“Dia seorang Dukun sakti yang tinggal di hutan sebelah utara desa. Dulu, banyak orang datang kepadanya untuk meminta bantuan …."
Suara Damar semakin pelan hingga nyaris tidak terdengar.
Kemudian, Damar berkata, "Ya, bantuan ... termasuk bantuan kekayaan.”
Damar menoleh dan tersenyum miring kepada Bagas. Dia menunggu reaksi Bagas.
“Bantuan kekayaan?!” Bagas mengulangi kata-kata Damar. “Maksud Mbah Damar … pesugihan?”
"Abah... mereka semua meninggal!" Keringat dingin mengucur deras di pelipis Feri. Tubuhnya gemetar menyaksikan pemandangan mengerikan di hadapannya. Puluhan, bahkan ratusan mayat warga Desa Karangjati tergeletak tak bernyawa di sekitar ladang milik Bagas. Tidak satu pun yang selamat. Tanah coklat itu kini berubah menjadi lautan merah. Darah segar meresap ke dalam bumi, dan bau anyir menyengat memenuhi udara malam. Angin berembus pelan, seakan membawa bisikan kutukan yang tak akan pernah berhenti. "Ratih... dan anak-anaknya mana?" tanya Feri dengan suara lirih, matanya liar menatap sekeliling. Kyai Ahmad menoleh ke kanan dan kiri, mencoba menemukan tanda-tanda keberadaan mereka. Namun tak ada jejak Ratih, Jagat, ataupun Kala. Seolah mereka lenyap ditelan kegelapan. "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Abah?" Kyai Ahmad menghela napas panjang. Matanya yang tua menyiratkan kepedihan dan penyesalan mendalam. "Siapkan kuburan massal untuk mereka semua," ucapnya pelan. Saat matahar
"Jangan takut! Bakar istri dan anaknya, cepat!" Warga yang berlarian kembali ke balai desa. Mereka menyeret Ratih dan membawa kotak yang berisi kedua anak Ratih. Kali ini, nyawa Ratih benar-benar di ujung tanduk. Warga sudah tidak punya rasa iba lagi terhadap mereka. Pengalihan dan penjelasan yang dikatakan Kyai Ahmad bagai angin lalu. Tidak ada ampun, bahkan pengampunan pun tidak. "Seret dia ke ladang!" perintah seseorang yang sejak tadi menjadi provokator warga. Feri, yang dulu sempat menjadi korban Bagas, hanya bisa diam. Ia tidak bisa berbuat apa pun. Usahanya menghalangi warga justru berbuah pukulan keras. "Abah, bagaimana ini? Mereka sudah tidak mau mendengarkan kita!" ujar Feri. Sementara itu, Ratih dijambak dan diseret ke ladang miliknya dulu yang kini tandus. Injakkan keras bertubi-tubi menghantam badan dan wajahnya. Darah mulai mengucur cukup banyak. Ratih melemah, tak ada pergerakan yang bisa menghalangi setiap pukulan. Warga membabi buta. Sementara itu, sosok
"Ratih! Kamu harus bertanggung jawab! Suamimu penyebab semua ini!” Suara ricuh terdengar di depan rumah Ratih. Bebrapa warga telah menyalakan obor. Hal ini sama persis dengan kejadian ketika Bagas hampir di eksekusi oleh seluruh warga desa. "Tenang ... harap tenang!" ucap Feri. Namun, ucapan itu hanya menenagkan sekian detik amarah seluruh warga desa. Setelahnya mereka mendobrak pintu rumah Ratih tanpa aba-aba. Terlihat jelas, Ratih ketakutan sambil menggendong kedua anak kembarnya. Ratih beruaha untuk melarikan diri. Tapi, apalah daya, semua warga desa telah mengepung rumahnya. Ratih di geret dan di lepaskan dari kedua anak iblisnya. Beberapa pukulan melayang ke wajah Ratih. Sedangkan anaknya di masukkan ke dalam box yang telah berisikan beberapa mantra dari dukun. Kyai Ahmad serta beberapa santrinya menarik paksa Ratih."Serahkan Ratih! Biar dia menebus dosanya!” Suara-suara keras menggema di tengah alun-alun desa, diiringi obor-obor yang berkobar liar, menciptakan bayang-ba
“Kenapa kau lihat aku begitu, Sarman?” “Kau... kau mau bunuh aku, kan? Aku tahu! AKU TAHU!” “Gila kau, Wati! Aku nggak mau apa-apa—ARGH!!” Suara jeritan dan suara benda tajam menghantam tubuh manusia mulai menggema... di tengah pertemuan yang seharusnya mencari keselamatan."_ Setelah malam penuh teror, warga Desa Karangjati yang tersisa berkumpul di balai desa pagi itu. Wajah-wajah lelah, mata merah, luka-luka yang belum sempat sembuh — semua berkumpul dengan satu tujuan: mencari solusi. Taufik, Bagus, Mila, dan beberapa orang lainnya berdiri di tengah-tengah, mencoba menenangkan semua orang yang mulai kalap. "Kita harus bersatu!" seru Taufik lantang. "Kalau kita pecah, kita habis satu per satu!" Namun, suasana di dalam balai desa itu, aneh. Udara terasa berat. Panas. Seperti ada sesuatu yang tidak terlihat, menekan dada mereka. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar —bukan dari mulut manusia, tapi dari dalam pikiran mereka masing-masing. "Lihat dia... Dia mengincarmu.
“Kenapa tanganku berdarah...? Aku... aku mimpi membunuh seseorang...” “Aku juga... Aku bangun dengan pisau di tanganku! Apa yang terjadi malam ini?!” Angin malam bertiup dingin, menyapu reruntuhan Desa Karangjati yang kini lebih mirip kuburan massal. Suara-suara burung malam pun seakan enggan terdengar, digantikan desau kabut tebal yang menyelimuti segalanya. Taufik dan Bagus, bersama beberapa warga yang masih selamat, berusaha bertahan di sebuah rumah kosong yang masih utuh sebagian. Mereka memberi pintu dengan papan, mengunci semua jendela, dan berkumpul di satu ruangan sambil menyalakan lilin kecil. Tak ada yang berani tidur. Tidak setelah apa yang terjadi hari itu. Namun kelelahan akhirnya menaklukkan mereka. Satu per satu, mata-mata yang penuh ketakutan mulai tertutup. Tak ada yang sadar, bahwa ketika mereka terlelap, teror akan muncul. Sekitar tengah malam, Taufik terbangun mendadak. Tubuhnya berkeringat dingin, napasnya memburu. Ia baru saja bermimpi. Mimpi yang te
"“Dengar suara itu?” “Suara apa? Aku... aku dengar tawa anak-anak...” “Bukan... itu suara bisikan. Mereka... mereka masuk ke dalam kepala kita!” Kabut belum juga terangkat dari atas tanah Desa Karangjati, seolah desa itu dikurung dalam dunia lain. Bau anyir darah masih begitu tajam menusuk hidung. Taufik dan Bagus, meski selamat dari pengaruh Jagat dan Kala malam sebelumnya, belum benar-benar bebas. Ada sesuatu yang tertinggal di dalam kepala mereka — bisikan-bisikan halus, tawa kecil yang kadang muncul tiba-tiba di telinga. Dan kini... mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana bencana yang lebih besar mulai terjadi. Warga yang tersisa, mereka yang semalam selamat karena bersembunyi, satu per satu mulai bertingkah aneh. Mula-mula hanya tatapan kosong. Kemudian suara-suara gumaman. Akhirnya jeritan, teriakan, kekerasan tanpa alasan. Pagi itu, Seorang ibu-ibu tiba-tiba menyerang suaminya dengan pisau dapur, berteriak-teriak seolah melihat setan di hadapannya. Anak-a