Beranda / Horor / Pesugihan Genderuwo / 02. Tawaran Pesugihan

Share

02. Tawaran Pesugihan

Penulis: Wenchetri
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-08 10:42:59

Malam harinya, Bagas tidak bisa tidur. Dia berbaring di samping Ratih yang sudah tertidur. Dia terus mengingat perkataan Damar pagi tadi. Solusi pesugihan yang Damar tawarkan memang menggoda sekaligus menakutkan.

Bagas tahu, jika dia mengambil jalan pesugihan, itu artinya dia harus siap menanggung segala konsekuensinya. Dia ketakutan. Namun detik berikutnya, keinginan memberikan kehidupan layak untuk Ratih membuatnya yakin akan pesugihan itu. 

Bagas bangun, lalu berjalan ke arah jendela. Dia mengamati langit malam. "Malam ini, malam bulan purnama," katanya, pelan.

Bagas tersenyum tipis. Dia telah mengambil keputusan. 

Setelah berganti pakaian, Bagas membuka pintu kamar dengan sangat hati-hati. Dengan cepat, dia sudah berada di luar rumah. 

Bagas berjalan menembus malam menuju hutan di sisi utara desa, mengikuti petunjuk yang diberikan Damar. 

Jalanan yang gelap tidak menyurutkan tekadnya. Ketika Bagas sampai di tengah hutan, dia menemukan sebuah pohon besar dengan akar menjuntai.

Bagas mengingat sesuatu. "Kata Mbah Damar, pohon besar inilah penanda lokasi persembunyian Dukun sakti itu."

Bagas berdiri di depan tersebut. Dia mengumpulkan keberanian, lalu berteriak, “ Ki Raden Praja, di mana kamu? Saya datang untuk meminta bantuan."

Tidak ada jawaban, hanya keheningan malam yang mencekam. 

Bagas berteriak lagi, "Hei, Ki Praja! Keluarlah! Saya butuh bantuan kamu."

Saat itu juga, suara langkah yang berat terdengar dari balik pepohonan. Bagas menahan napas saat sosok seorang pria tua berjubah hitam muncul dari kegelapan. Dia adalah Ki Raden Praja usianya sekitar 75 tahun, dukun sakti yang dicari-cari Bagas. 

Rambut Ki Raden Praja putih panjang. Mata hitamnya melotot ke arah Bagas. Dia tampak dingin dan penuh wibawa.

“Kamu mencari aku, Le?” suara Ki Praja dalam dan serak.

Bagas mengangguk, menelan ludah untuk menenangkan diri. 

“Ya, Ki Praja. Saya datang karena … saya ingin kehidupan yang lebih baik.”

Ki Praja memandangi Bagas tanpa berkedip. Ki Praja mencoba menemukan kesungguhan di dasar mata Bagas. 

“Siapa nama kamu, Le?" tanya Ki Praja. 

"Bagas Santoso." Bagas menjawab tanpa ragu. 

"Bagas Santoso, kekayaan datang dengan harga. Harga yang sangat mahal. Apa kamu siap dengan segala konsekuensinya?”

Bagas mengangguk pelan. Dia menatap Ki Praja. “Saya siap, Ki. Saya … saya nggak punya pilihan lain.”

Ki Praja tersenyum tipis, senyum yang tidak memberikan ketenangan. 

Ki Praja berbalik sambil menyimpan kedua tangan di punggungnya. “Baiklah. Karena saya udah melihat kesungguhan kamu, ikuti saya!"

Bagas mengikuti Ki Praja dengan hati yang penuh keyakinan bercampur kecemasan. Di balik keputusan yang dia ambil ini, Bagas tahu bahwa kehidupan yang didambakan mungkin akan datang dengan harga yang tak terduga. Namun demi Ratih dan demi masa depan yang lebih baik, dia rela menanggung risiko apa pun.

Hutan di sekitar desa itu seakan menyimpan banyak misteri. Semakin Bagas melangkah lebih dalam, semakin kuat rasa cemas yang menyelimuti hatinya. 

Sebelumnya, Bagas telah mendengar banyak cerita tentang Ki Raden Praja yang konon memiliki kekuatan luar biasa.

Banyak orang datang kepadanya dengan harapan. Namun, tidak sedikit yang pulang dengan wajah pucat dan mata penuh ketakutan.

Semua yang datang ke tempatnya, sekarang menjadi orang kaya raya dan memiliki kuasa. 

Ki Praja tidak ingin Bagas berubah pikiran. “Bagas, kamu udah siap?” tanyanya. 

Suara berat Ki Praja menghentakkan Bagas dari lamunan. Bagas merasa tubuhnya bergetar. 

"Iya, Ki. Saya udah siap," jawab Bagas, berusaha menahan rasa takutnya.

Ki Praja tersenyum samar. “Jadi, apa yang kamu inginkan?" 

“Saya butuh bantuan, Ki. Utang saya terus menumpuk. Ladang saya tandus. Saya nggak mau RatihーIstri saya, hidup dalam kemiskinan dan pergi meninggalkan saya."

Bagas menatap ke tanah, merasa malu mengakui ketidakberdayaannya.

"Saya nggak tau harus bagaimana lagi! Saya mendengar, Eyang bisa memberikan jalan keluar," ujar Bagas, selanjutnya.

Ki Praja mengangguk perlahan. “Pesugihan."

Bagas tercengang. "Aーapa?! Pesugihan?!"

Bagas merasa jantungnya berdegup kencang. Ya! Dia tidak salah dengar. Ki Praja mengatakan bahwa solusinya adalah Pesugihan.

Ki Praja menghela napas, lalu berjalan mendekati Bagas. “Pesugihan adalah jalan yang saya tawarkan. Tapi, ada syarat yang harus kamu penuhi."

Bagas menjadi semakin bersemangat. "Syarat apa, Ki Praja? Apapun syaratnya, saya siap." 

Bagas sangat menggebu-gebu. Dia seolah lupa dengan ketakutannya tadi. 

"Bagas, di dunia ini nggak ada yang gratis. Kamu akan berurusan dengan makhluk yang sangat kuat, Genderuwo.”

Mendengar nama sosok itu, Bagas merinding tidak karuan.

Bagas mengetahui, Genderuwo adalah sosok terkuat yang pernah di dengarnya. Bahkan ada yang meninggal karena tidak memenuhi tumbal yang di janjikan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pesugihan Genderuwo   266. Desa Pesugihan

    "Abah... mereka semua meninggal!" Keringat dingin mengucur deras di pelipis Feri. Tubuhnya gemetar menyaksikan pemandangan mengerikan di hadapannya. Puluhan, bahkan ratusan mayat warga Desa Karangjati tergeletak tak bernyawa di sekitar ladang milik Bagas. Tidak satu pun yang selamat. Tanah coklat itu kini berubah menjadi lautan merah. Darah segar meresap ke dalam bumi, dan bau anyir menyengat memenuhi udara malam. Angin berembus pelan, seakan membawa bisikan kutukan yang tak akan pernah berhenti. "Ratih... dan anak-anaknya mana?" tanya Feri dengan suara lirih, matanya liar menatap sekeliling. Kyai Ahmad menoleh ke kanan dan kiri, mencoba menemukan tanda-tanda keberadaan mereka. Namun tak ada jejak Ratih, Jagat, ataupun Kala. Seolah mereka lenyap ditelan kegelapan. "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Abah?" Kyai Ahmad menghela napas panjang. Matanya yang tua menyiratkan kepedihan dan penyesalan mendalam. "Siapkan kuburan massal untuk mereka semua," ucapnya pelan. Saat matahar

  • Pesugihan Genderuwo   265. Kehancuran Desa Karangjati

    "Jangan takut! Bakar istri dan anaknya, cepat!" Warga yang berlarian kembali ke balai desa. Mereka menyeret Ratih dan membawa kotak yang berisi kedua anak Ratih. Kali ini, nyawa Ratih benar-benar di ujung tanduk. Warga sudah tidak punya rasa iba lagi terhadap mereka. Pengalihan dan penjelasan yang dikatakan Kyai Ahmad bagai angin lalu. Tidak ada ampun, bahkan pengampunan pun tidak. "Seret dia ke ladang!" perintah seseorang yang sejak tadi menjadi provokator warga. Feri, yang dulu sempat menjadi korban Bagas, hanya bisa diam. Ia tidak bisa berbuat apa pun. Usahanya menghalangi warga justru berbuah pukulan keras. "Abah, bagaimana ini? Mereka sudah tidak mau mendengarkan kita!" ujar Feri. Sementara itu, Ratih dijambak dan diseret ke ladang miliknya dulu yang kini tandus. Injakkan keras bertubi-tubi menghantam badan dan wajahnya. Darah mulai mengucur cukup banyak. Ratih melemah, tak ada pergerakan yang bisa menghalangi setiap pukulan. Warga membabi buta. Sementara itu, sosok

  • Pesugihan Genderuwo   264. Penyebab

    "Ratih! Kamu harus bertanggung jawab! Suamimu penyebab semua ini!” Suara ricuh terdengar di depan rumah Ratih. Bebrapa warga telah menyalakan obor. Hal ini sama persis dengan kejadian ketika Bagas hampir di eksekusi oleh seluruh warga desa. "Tenang ... harap tenang!" ucap Feri. Namun, ucapan itu hanya menenagkan sekian detik amarah seluruh warga desa. Setelahnya mereka mendobrak pintu rumah Ratih tanpa aba-aba. Terlihat jelas, Ratih ketakutan sambil menggendong kedua anak kembarnya. Ratih beruaha untuk melarikan diri. Tapi, apalah daya, semua warga desa telah mengepung rumahnya. Ratih di geret dan di lepaskan dari kedua anak iblisnya. Beberapa pukulan melayang ke wajah Ratih. Sedangkan anaknya di masukkan ke dalam box yang telah berisikan beberapa mantra dari dukun. Kyai Ahmad serta beberapa santrinya menarik paksa Ratih."Serahkan Ratih! Biar dia menebus dosanya!” Suara-suara keras menggema di tengah alun-alun desa, diiringi obor-obor yang berkobar liar, menciptakan bayang-ba

  • Pesugihan Genderuwo   263. Pembantaian

    “Kenapa kau lihat aku begitu, Sarman?” “Kau... kau mau bunuh aku, kan? Aku tahu! AKU TAHU!” “Gila kau, Wati! Aku nggak mau apa-apa—ARGH!!” Suara jeritan dan suara benda tajam menghantam tubuh manusia mulai menggema... di tengah pertemuan yang seharusnya mencari keselamatan."_ Setelah malam penuh teror, warga Desa Karangjati yang tersisa berkumpul di balai desa pagi itu. Wajah-wajah lelah, mata merah, luka-luka yang belum sempat sembuh — semua berkumpul dengan satu tujuan: mencari solusi. Taufik, Bagus, Mila, dan beberapa orang lainnya berdiri di tengah-tengah, mencoba menenangkan semua orang yang mulai kalap. "Kita harus bersatu!" seru Taufik lantang. "Kalau kita pecah, kita habis satu per satu!" Namun, suasana di dalam balai desa itu, aneh. Udara terasa berat. Panas. Seperti ada sesuatu yang tidak terlihat, menekan dada mereka. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar —bukan dari mulut manusia, tapi dari dalam pikiran mereka masing-masing. "Lihat dia... Dia mengincarmu.

  • Pesugihan Genderuwo   262. Teror

    “Kenapa tanganku berdarah...? Aku... aku mimpi membunuh seseorang...” “Aku juga... Aku bangun dengan pisau di tanganku! Apa yang terjadi malam ini?!” Angin malam bertiup dingin, menyapu reruntuhan Desa Karangjati yang kini lebih mirip kuburan massal. Suara-suara burung malam pun seakan enggan terdengar, digantikan desau kabut tebal yang menyelimuti segalanya. Taufik dan Bagus, bersama beberapa warga yang masih selamat, berusaha bertahan di sebuah rumah kosong yang masih utuh sebagian. Mereka memberi pintu dengan papan, mengunci semua jendela, dan berkumpul di satu ruangan sambil menyalakan lilin kecil. Tak ada yang berani tidur. Tidak setelah apa yang terjadi hari itu. Namun kelelahan akhirnya menaklukkan mereka. Satu per satu, mata-mata yang penuh ketakutan mulai tertutup. Tak ada yang sadar, bahwa ketika mereka terlelap, teror akan muncul. Sekitar tengah malam, Taufik terbangun mendadak. Tubuhnya berkeringat dingin, napasnya memburu. Ia baru saja bermimpi. Mimpi yang te

  • Pesugihan Genderuwo   261. Bisikan Balita IBlis

    "“Dengar suara itu?” “Suara apa? Aku... aku dengar tawa anak-anak...” “Bukan... itu suara bisikan. Mereka... mereka masuk ke dalam kepala kita!” Kabut belum juga terangkat dari atas tanah Desa Karangjati, seolah desa itu dikurung dalam dunia lain. Bau anyir darah masih begitu tajam menusuk hidung. Taufik dan Bagus, meski selamat dari pengaruh Jagat dan Kala malam sebelumnya, belum benar-benar bebas. Ada sesuatu yang tertinggal di dalam kepala mereka — bisikan-bisikan halus, tawa kecil yang kadang muncul tiba-tiba di telinga. Dan kini... mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana bencana yang lebih besar mulai terjadi. Warga yang tersisa, mereka yang semalam selamat karena bersembunyi, satu per satu mulai bertingkah aneh. Mula-mula hanya tatapan kosong. Kemudian suara-suara gumaman. Akhirnya jeritan, teriakan, kekerasan tanpa alasan. Pagi itu, Seorang ibu-ibu tiba-tiba menyerang suaminya dengan pisau dapur, berteriak-teriak seolah melihat setan di hadapannya. Anak-a

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status