Aku menggosok mata dan melirik jam dinding dengan rasa kantuk yang luar biasa. Ternyata aku terbangun di tengah malam, karena jam menunjukkan tepat pukul dua belas malam.
Badanku terasa lelah setelah membantu Ibu membereskan barang saat pindahan. Rasanya semua ini hanya mimpi. Aku memiliki kamar bagus karena biasanya kami tidur dalam satu ruangan dengan berdesak-desakkan. Pengap, panas, bahkan ingin mendapat angin pun harus memakai kipas tangan.Sekarang aku tidak menyangka, Ibu dan Ayah bekerja dengan giat hingga bisa membeli rumah semewah ini. Sekarang aku punya AC sendiri di kamar, tidak kegerahan lagi seperti kemarin.Entah mengapa rasanya malam ini haus sekali. Aku harus turun ke bawah untuk mengambil air minum. Ternyata tidur di lantai atas cukup merepotkan sampai harus menuruni anak tangga dengan suasana yang begitu gelap.Ya, di sini gelap dan dingin. Sesekali kuusap tengkuk karena hawa aneh yang begitu menusuk, ditambah bau melati yang begitu menyengat. Akhir-akhir ini Ibu sangat suka dengan wangi melati. Aneh. Parfume di kamarnya pun semua bau melati. Padahal itu cukup membuat kepala pusing.Langkah kakiku ditemani kegelapan dan suara detak jam yang begitu kencang. Aku mencoba menepis perasaan takut itu dan segera berlari kecil ke arah dapur seraya bergegas mengambil minum. Seperti kata guru mengajiku dulu, kita tidak boleh dikuasai oleh rasa takut. Sebab, setan suka dengan orang yang penakut.Saat minum, sudut mataku menangkap bayangan yang berjalan dengan perlahan. Dari belakang tampaknya itu Ibu. Ya, sudah kupastikan itu adalah Ibu. Tapi mengapa dia membawa pisau?"Bu ... itu Ibu 'kan?" tanyaku sembari melangkahkan kaki mengikutinya dari belakang. Mau ke mana Ibu malam begini?Dia tetap tidak menjawab dan berjalan sangat pelan menuju kamar Nenek. Aku sangat mengenal Ibu, bahkan dari cara berjalan pun aku merasa ini berbeda."Ibu mau ke mana? Kenapa Ibu membawa pisau?" tanyaku kembali. Ibu tetap tidak menggubrisnya.Mungkin aku harus terus mengikuti Ibu. Sebenarnya jika dia tidak membawa benda tajam, aku tidak akan peduli ke mana pun Ibu pergi selama masih di dalam rumah ini. Namun, rasa takut ini menguat melihat apa yang digenggamnya. Apa yang akan Ibu lakukan? Apa Ibu akan membunuh Nenek?Ibu membuka pintu dan masuk ke kamar Nenek.Tapi tunggu! Kenapa? Kenapa kakiku sulit digerakkan saat sampai di depan pintu kamar Nenek?Pintu kamar itu terbuka lebar. Aku melihat Ibu mengangkat pisau tepat di atas tubuh Nenek. Sementara tubuh Nenek terlihat bergerak sedikit demi sedikit. Aku yakin jika Nenek sedang dalam keadaan takut.Keringat dingin ini mulai menjalar di pelipis dan jantungku berdetak tak beraturan dengan kaki yang masih kucoba gerakan."Bu ... Ibu mau apa?" tanyaku dengan berteriak dan terisak.'Jleb'"Ibu ...!!" teriakku.'Jleb'"Berhenti ...!!"Ibu beberapa kali menusukkan pisau pada tubuh Nenek. Darah mulai membasahi seprai berwarna putih dan membanjiri lantai. Tubuhku ambruk ke bawah dengan tangisan yang kian menjadi menyaksikan peristiwa mengerikan yang tak pernah terbayang sedikit pun.Tusukan itu terhenti. Namun, dengan perlahan kepala Ibu mulai berputar ke arahku. Mataku terbelalak menyaksikan wajah Ibu di penuhi sisik ular dengan iris mata berwarna putih. Ibu menyeringai, tawanya pun menggelegar."Ibu ...!"***"Astagfirullah hal Adzim." Kulafalkan kalimat istigfar beberapa kali.Napasku terasa terengah-engah dan keringat mengucur begitu deras. Mimpi macam apa ini?Aku melirik jam dinding dan masih menunjukkan pukul dua belas malam. Mimpi mengerikan ini membuatku merasa sangat haus. Aku segera turun dari tempat tidur dan bergegas menuju dapur untuk mengambil minum."Ibu?"Aku melihat Ibu tengah berdiri di sudut dapur seperti apa yang kulihat dalam mimpi. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Lantas aku berlari dan menarik tangan Ibu."Lisa!" Ibu melepas tangannya secara paksa."Kamu Ibuku, 'kan?""Kamu kenapa sih?"Lantunan kalimat istigfar kembali kuucap dengan mengusap wajah beberapa kali."Ibu, aku mimpi buruk. Di mimpi itu Ibu membunuh Nenek dengan cara yang sangat kejam." Aku terisak, tubuhku pun bergetar secara perlahan berusaha menahan tangis.Ibu mengusap lembut bahuku. "Itu cuma mimpi, Lisa," ucap Ibu menenangkan.Aku mengusap air mata dan menatap Ibu dengan tajam."Aku ingin bertanya, Bu!""Tanyakan saja," ucap Ibu membelai rambut panjangku."Apa yang akan Ibu lakukan pada nenek?"Mata Ibu terlihat menyipit seperti tak suka dengan pertanyaan yang kulontarkan. Namun, aku tetap memasang wajah datar dan sedikit menebak arti dari tatapan Ibu."Apa anak Ibu ini berpikir jika Ibunya jahat?"Ibu melipat tangannya di dada. Aku hanya tertunduk lesu tak mampu menjawab apa-apa. Apa aku akan menjadi anak durhaka jika menuduh orang tua sebagai seseorang yang jahat?Perasaan ini mengatakan jika ada sesuatu yang tidak beres yang dilakukan Ayah dan Ibu dalam mencari kekayaan. Mereka tidak pernah terlihat bekerja, tapi harta kami sangat banyak. Apa mungkin?"Lisa!" panggilan Ibu membuyarkan lamunanku."Kamu tidak apa-apa?"Aku menggeleng perlahan dan mencoba tersenyum dengan sedikit dipaksakan."Kalo begitu kembali ke kamar! Besok kamu harus sekolah 'kan?"Aku mengangguk lantas melangkahkan kaki ke kamar. Aku berinisiatif untuk Shalat tahajud terlebih dahulu sebelum tidur kembali. Semoga saja dengan Shalat bisa sedikit menenangkan dan menghilangkan ketakutan ini.Aku segera mengambil air wudu dan melaksanakan niat yang sudah bulat."Allahu Akbar."Krek! Krek! KrekBaru saja mengucap takbir pertama, suara knop pintu diputar beberapa kali. Konsentrasiku buyar dan melirik ke arah knop yang bergerak lumayan cepat."Siapa di luar?"Hening, tak ada jawaban.Aku bersiap dalam posisi Shalat kembali. Namun, suara knop pintu lebih kencang dari sebelumnya. Tatapanku kembali diarahkan ke sana."Ibu ... Ayah. Apa itu kalian?"Gerakannya semakin cepat. Aku memundurkan tubuh beberapa langkah. Jantung ini mulai berdetak tak karuan, tubuhku bergetar hebat karena rasa takut yang mulai menyerang kembali."Siapa?" teriakku.Pandanganku mengarah ke bawah karena merasa ada yang mencengkeram kaki ini dengan sangat kuat.Sebuah tangan berwarna lebam dengan kuku yang panjang menarik tubuhku sampai jatuh tersungkur."Ibu ... Ayah ... tolong!"Aku terseret ke belakang secara perlahan. Sekuat tenaga kulawan dengan memajukan tubuh ini beberapa kali. Namun, cengkeraman dan tarikannya semakin kuat."Tolong ...! Tolong aku...!" teriaku dengan nada terisak.Tangisku semakin mengencang berharap Ibu dan Ayah datang untuk menolong. Aku sudah tidak kuat menahan tarikan ini, tubuhku melemah dan terbanting entah ke mana.Kepala sakit, pandangan pun buyar. Yang terlihat hanya samar-samar kibasan ekor bersisik melintas di hadapanku. Dan akhirnya gelap.Berbulan-bulan Lisa menjalani pengobatan baik medis juga rukiah, akhirnya membuahkan hasil. Ia sudah jarang ketakutan lagi, bahkan dirinya sudah bisa tidur secara teratur. Kyai Ilham membangun benteng dengan meningkatkan pengajian rutin di luar jam pesantren. Tentunya, untuk mencegah datangnya serangan gaib. Tidak ada yang tidak mungkin saat semua dipasrahkan pada Gusti Allah, semua kehidupan di pesantren kembali normal. Beberapa minggu yang lalu, saat tengah melaksanakan wirid di kamar pribadinya, Kyai Ilham dikejutkan oleh angin yang tiba-tiba masuk ke kamarnya. Jendela kamar itu terbuka lebar hingga gordennya melambai tertiup angin. .Lamat-lamat beliau mendengar suara kereta kencana. Kyai Ilham tahu, siapa yang akan mengusiknya malam ini. Bibir sang Kyai tak henti melafalkan kalimat zikir, meminta pertolongan pada Allah agar senantiasa dilindungi. Sedari siang memang perasaannya tidak enak. Kyai Ilham sampai meminta Andi dan Lisa untuk wirid malam dan tidak boleh lepas dari Wud
Aku dan Mas Andi sudah bersiap-siap untuk pergi ke suatu tempat. Ya, aku sudah membiasakan diri memanggilnya 'Mas'. Kami mengenakan pakaian lengkap berwarna hitam yang khas untuk menuju ke tempat ini. Tidak ada perbincangan sama sekali yang mampu terucap dari bibirku, lantaran ini semua benar-benar mendesak dan terjadi begitu cepat.“Udah selesai? Kita langsung berangkat sekarang.” Mas Andi berjalan lebih dulu menyalip langkahku yang masih berhenti di tempat. Lamat-lamat aku mengiyakan dan melangkah pula ke arahnya. Motor hitam besar milik Mas Andi telah terparkir beberapa waktu lalu.“Kamu tau jalannya?” tanyaku spontan. Pria itu mengangguk dengan ragu-ragu.“Kurang tau sebenarnya Karena aku enggak ikut ke sana waktu itu.”“Jadi gimana?” Sejurus saling berbicara seperti ini, tiba-tiba langkah seseorang mendekat kemari. Kulihat matang-matang ada seorang wanita paruh baya muncul dari pintu utama.“Bu Nyai? Mau ke mana?” tanyaku sembari mengernyit. Aku seolah tak paham melihat penampila
Lisa berjalan tergopoh-gopoh. Ia melangkah dari rumah sakit, untuk sampai ke rumah. Aroma obat dan bekas infus yang selama ini menemani waktunya perlahan masih bisa dirasakan dan begitu menyeruak di indra penciuman yang dirasakan olehnya. Keadaan saat ini sangat membuat Lisa sadar bahwa keberadaannya di tempat ini memang kerap sekali memakan waktu yang panjang.Derap langkah kakinya menyertai keberadaan dan perjalanan. Sesekali bau-bau obat khas tempat umum berbaur obat-obatan tersebut lekat menusuk hidungnya. Lisa terus melangkah tanpa memikirkan apa pun.“Kamu yakin mau pulang? Kondisinya belum stabil, loh.” Andi, seorang pemuda yang memiliki wajah tampan itu terlihat berjalan menghampiri. Ia pun juga baru tiba dari rumah setelah melewati beberapa perjalanan beberapa saat lalu.“Iya, aku udah mendingan, kok. Kamu tenang aja.” Lisa menghela napas. Senyum yang lekat terlihat dari sudut bibir mungilnya membuat sosok lawan bicara ikut mengedarkan senyum balik. Pergerakan mereka saat ini
Lisa turun dari kendaraan roda empat perlahan. Setelah menjalani perawatan intensif beberapa waktu di rumah sakit, akhirnya ia diperbolehkan pulang.Pulang? Bahkan ia sendiri tidak mempunyai rumah yang bisa disebut sebagai tempat tinggal. Lebih tepatnya kembali ke pesantren karena tempat inilah Lisa bernaung selama beberapa waktu belakangan ini. Tentu ia bisa menyebutnya rumah, sebab sang ayah juga tinggal di sini.Bagi seorang anak, arti pulang bukanlah ke rumah, tetapi kepada orang tua. Karena orang tua itu sendiri adalah rumah ternyaman bagi anak-anaknya, termasuk Lisa yang merasa ayah adalah rumah satu-satunya. Senyuman hangat teman-teman di pondok menyambut kepulangannya. Kata dokter ... Lisa terbaring koma selama hampir dua bulan. Ditambah masa penyembuhan yang hampir satu bulan. Berarti total lama berada di rumah sakit selama tiga bulan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana repotnya Kyai dan Bu Nyai dalam mengurus Lisa. Rasanya ia tidak punya muka untuk kembali ke sana, tapi apa
Tidak bisa dibayangkan bagaimana repotnya Kyai dan Bu Nyai dalam mengurus Lisa. Rasanya ia tidak punya muka untuk kembali ke sana, tapi apa daya Lisa tidak punya pilihan.Bu Nyai menuntun gadis itu menuju kamar. Bukan kamarnya dulu saat awal datang ke sini, tetapi kamar yang ditempati kemarin. Yaitu kamar di rumah utama Kyai Ilham. Kamar di mana ia mengalami hal aneh malam itu, hingga masih ingat sakitnya jeratan di leher. Mungkin itu juga yang menyebabkan Lisa harus berada di rumah sakit dalam waktu yang tidak sebentar.“Jangan pikirkan apa pun. Kamu harus cepat sehat, ada orang-orang yang sedang menunggu kamu. Jangan kecewakan mereka.”Lisa tersenyum. Tentu rasa rindu juga sama pada sang ayah. Gadis itu jadi tidak sabar menemuinya. Namun, kata Bu Nyai nanti dulu, kondisinya saat ini sedang tidak bisa berjalan jauh. Sampai di sini dengan selamat saja sudah syukur Alhamdulillah.Bu Nyai meninggalkan kamar setelah Lisa terbaring dengan selimut yang menutup sampai bagian dada. Suara deb
Seorang pemuda baru saja kembali dari sebuah tempat. Baju dan celananya sedikit terkena lumpur basah, tidak banyak, hanya di bagian ujung celana dan lengan baju.Dia segera membersihkan diri setelah sampai di rumah, kemudian pergi ke pesantren untuk menemui seseorang.“Assalamualaikum,” sapanya setelah berada di depan sebuah ruangan. Menunggu sang empunya mempersilakan dirinya masuk.“Waalaikumsalam.” Seseorang membuka pintu, memperlihatkan wajah tua tapi penuh wibawa.“Andi, silakan masuk.”Kyai Ilham, pemilik ruangan itu mempersilakan pemuda yang tak lain adalah Andi untuk masuk. Pemuda itu sudah mengatakan sebelumnya bahwa hari ini akan datang dengan maksud khusus.Kyai Ilham sedikit penasaran, karena baru kali ini Andi datang dengan maksud lain selain berkunjung atau memeriksa kesehatan para santri dan penghuni lainnya. Dengan senang hati dia menyambut kedatangan Andi.Dua cangkir teh terhidang di meja sebelum mereka memulai pembicaraan yang hanya diketahui oleh sebelah pihak.“Ad