Share

Rumah Baru

Semua usaha sudah pasti akan ada hasilnya. Sama seperti yang aku alami saat ini. Bedanya, semua seakan mimpi karena terlalu singkat dan instan.

Di sinilah aku sekarang, berdiri seraya menghirup aroma kebebasan. Aroma kemewahan. Kehidupanku kemarin, sudah aku tinggalkan. Tidak akan pernah jadi kenangan indah karena tidak ada yang indah saat itu.

Mataku berbinar seketika kala menatap rumah mewah dengan tersenyum puas. Yang kami lakukan setelah mendapat harta adalah membeli rumah layak dan meninggalkan rumah kumuh milik ibu mertuaku. Rasanya ingin segera memamerkan segalanya pada mereka yang kemarin meremehkanku.

"Bagus sekali rumahnya, Bu," ucap Lisa dengan sangat antusias.

Senyumku semakin lebar melihat anak-anak yang begitu bahagia dengan rumah barunya. Rumah dua lantai dengan dominasi cat berwarna putih dan gold memberi kesan mewah dan elegan. Kami sudah mengatur semua kamar masing-masing termasuk kamar ritualku untuk bertemu dengan Nyai.

"Mas, antarkan Ibu ke kamar! Aku ingin bicara." Mas Darman mengangguk dan mendorong wanita yang sudah seperti robot itu masuk ke kamarnya. Sungguh, aku sudah bosan mengurus nenek tua itu. Semoga Mas Darman mau menuruti keinginanku untuk melenyapkan dia.

Tak berselang lama, aku mendengar suara bel. Padahal kita baru pindah, tapi sudah ada tamu yang berkunjung.

"Sebentar!" Aku segera menghampiri pintu dan membukanya.

"Assalamualaikum," ucap seorang pria dengan memakai pakaian seperti ustaz dan pria di sebelahnya yang kutahu adalah RT di wilayah ini.

"W* alaikumsalam." Aku membalasnya dengan tersenyum ramah. Mas Darman yang baru keluar dari kamar langsung menghampiri kami.

"Maaf, saya mengganggu. Saya hanya ingin berkenalan dengan tetangga baru. Nama saya Zul, orang memanggil saya ustaz Zul." Dia menyalami kami, aku dan Mas Darman pun membalasnya.

Entah mengapa mata laki-laki itu menerawang terlalu jauh pada rumah kami yang pintunya terbuka dengan lebar dan itu membuatku sedikit risi. Bagaimana jika dia merasakan sesuatu yang berhubungan dengan Nyai? Aku tidak boleh membiarkannya terlalu lama di sini.

"Ada keperluan lagi, Pak?" tanyaku sedikit ketus.

"Tidak, Bu. Saya hanya ingin bertanya, apa Ibu dan Bapak berencana mengadakan syukuran atas rumah baru ini?" sambung Karta, RT setempat.

"Maksud Bapak pengajian?" Mas Darman menebak pernyataan Karta.

"Iya, Pak. Biar rumah yang kalian tempati lebih barokkah. Sekalian berkenalan dengan tetangga yang lain bukan?"

Pengajian? Yang benar saja. Sama saja kami mengusir Nyai dari tempat ini. Lagi pula untuk apa berkenalan dengan tetangga yang hanya bisa menyebarkan isu yang tidak penting setiap harinya. Aku harus segera mencari cara agar alasan yang kubuat bisa dipahami mereka.

"Kebetulan kami masih berbenah isi rumah, mungkin jika nanti sudah ada waktu kami akan memanggil Bapak-bapak sekalian untuk mengurus semuanya," jelasku. Berharap mereka tidak bertanya atau pun memaksa.

Kedua pria itu saling bertatapan. Aku mengerti jika mereka heran dengan sikap ketus yang kami perlihatkan. Tapi itu tidak jadi masalah, toh mereka bukan orang penting yang harus dikenal.

"Kalo begitu kami pamit, Bu, Pak. Maaf jika sudah mengganggu waktunya. Assalamualaikum," ucap ustaz yang usianya sudah terlihat memasuki kepala lima itu.

"Tidak apa-apa, Pak. W* alaikumsalam," tutur Mas Darman.

Mereka sudah terlihat menjauh, kami pun kembali masuk ke dalam menyiapkan kamar terbaik sebagai tempat ritual bertemu Nyai. Warna hijau mendominasi ruangan tersebut seperti, seprai, kelambu dan lukisan-lukisan sakral lainnya. Bunga sedap malam yang disimpan pada setiap sudut ruangan serta beberapa dupa yang tertancap dalam guci agar bisa kami nyalakan kapan saja.

Semua sudah tertata dengan rapi, aku dan Mas Darman segera ke luar dan mengunci pintu agar tak ada yang bisa masuk kecuali sudah waktunya ritual.

"Bu ... Pak," panggil Lisa. "Tadi ada tamu? Siapa?"

"Pak Ustaz dan Pak RT. Mereka menyarankan untuk melakukan syukuran di rumah ini," jawabku dengan mengelus rambut hitam gadis cantik itu.

"Ide bagus. Kapan, Bu?"

Anak itu terlihat sangat antusias. Tapi aku tetap tersenyum menanggapinya agar dia tidak curiga dengan apa yang orang tuanya lakukan.

"Kapan-kapan. Kalo semuanya sudah selesai," jawabku singkat.

Aku melirik Mas Darman dan mengarahkan mataku pada anak-anak. Ia mengangguk, sepertinya ia paham dengan apa yang dimaksud.

"Lisa ... Fahmi. Ayah beri tahu agar kalian tidak memasuki kamar itu." Mas Darman sedikit membungkuk menyeimbangi tinggi anak-anak dengan menunjuk ke arah salah satu kamar.

"Kenapa?" tanya Lisa terlihat mengernyitkan dahi.

"Itu tempat kerja kami. Kamu mengerti 'kan, Lisa?" Mas Darman memberi penekanan pada kata-katanya. Terlebih Lisa adalah anak yang selalu ingin tahu dan kritis dalam menanggapi suatu hal.

"Ibu dan Ayah enggak macam-macam 'kan?" Pertanyaan dia sedikit menggertak.

Aku mulai kesal dengan pertanyaan Lisa yang sudah semakin jauh.

"Maksud kamu apa?" Aku mulai melipat tangan di dada.

"Ini mulai tidak masuk akal, Bu. Bagaimana bisa kalian kerja berhari-hari tapi sudah bisa membeli rumah sebagus ini. Terlebih lagi Ibu dan Ayah sudah lupa waktunya Shalat."

"Lisa!" Bentakku. Dia hanya menatapku sinis. Aku hampir lupa jika dia sudah mulai beranjak dewasa dan paham apa yang orang tuanya lakukan.

"Sudah, Marni," ucap Mas Darman menenangkan. "Lisa, kembali ke kamar!" Mas Darman masih bisa berbicara dengan lembut. Sementara aku hanya bisa mengepalkan tangan, rasanya ingin menampar Lisa yang sudah seenaknya bicara pada orang tuanya sendiri.

"Kalo Ibu dan Ayah sampai berbuat aneh untuk mendapatkan semua ini, aku tidak akan menganggap kalian orang tuaku lagi," ungkapnya lantang. "Ayo, Fahmi. Kita pergi!" Lisa melangkahkan kaki bersama Fahmi untuk menuju lantai atas.

Aku semakin tidak tenang dengan pernyataan anak itu. Apa perlu aku tumbalkan Lisa agar semua berjalan semestinya?

"Dek, kamu kenapa jadi emosi seperti ini? Dulu kamu tidak pernah memarahi anak-anak meskipun kita hidup susah."

Aku menelan ludah. Benar sekali apa yang dibilang Mas Darman. Entah kenapa aku jadi sangat pemarah, bukan seperti Marni yang sebenarnya. Tutur kata yang orang lain anggap lembut dan sikap yang ramah pada siapa pun seolah hilang dengan sekejap.

Ah, aku tidak peduli. Mungkin aku hanya sedang lelah saja setelah pindah rumah. Batinku hanya seperti itu.

"Mas, bulan depan sudah memasuki bulan purnama. Siapa tumbal yang akan kita berikan kepada Nyai?" Aku berusaha membelokkan pembicaraan.

"Aku tidak tahu, Dek. Tidak mungkin aku mengorbankan Ibuku sendiri," jawabnya frustasi.

Aku hanya menggeleng. Dia harus berhasil aku hasut agar tidak susah mencari korban.

"Dia sudah seperti robot, Mas. Apa kamu masih mau memandikan dan merawat dia? Kasihan Ibu harus menderita dengan penyakit beratnya."

Sepertinya aku berhasil. Mas Darman terlihat berpikir sejenak, aku berharap jika dia mengatakan 'iya'.

"Tapi-"

"Tapi apa? Kamu tidak kasihan?"

Di tengah pembicaraan kami, tiba-tiba saja ada angin yang berembus cukup kencang. Entah dari mana angin itu berasal, padahal pintu sudah ditutup dengan sangat rapat. Bulu kuduk terasa merinding, seperti ada aura berbeda yang kurasakan saat bertemu Nyai.

"Baiklah. Kita lakukan," jawab Mas Darman dengan tatapan dan kata yang begitu dingin, seperti bukan dia.

Apa itu memang Mas Darman? Ah, sudahlah. Yang penting aku sudah punya tumbal untuk dipersembahkan kepada Nyai.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status