Share

Pengalaman Darman

Aku berpikir keras dengan permintaan Nyai untuk memberikan suamiku kepadanya. Apa yang harus aku jawab?

Sementara Mas Darman hanya terdiam tak memberi masukan. Apa saat ini dia marah? atau menyerahkan semua keputusan ini kepadaku?

Tiba-tiba saja aku perasaanku berubah gamang. Ya, wanita mana yang mau berbagi ranjang dengan orang lain. Jangankan ranjang, bahkan berbagi cinta saja sudah sangat menyakitkan.

"Dek, kalau kamu tidak mau, jangan kita teruskan. Ini pasti akan menyakitimu," bisik Mas Darman tiba-tiba.

Seketika aku menelan ludah, dadaku benar-benar sesak. Akan tetapi, setan seolah berkata, "Sakit mana jika dibandingkan dengan hinaan dari mereka di luar sana?"

Mataku terpejam sejenak lalu menarik napas beberapa kali. Baiklah, aku tak ingin semua berakhir sampai di sini.

"Saya setuju, Nyai," ucapku lantang. Aku tahu ada rasa kecewa di hati Mas Darman setelah ini. Begitu juga dengan perasaanku.

Terlihat dari sudut mata, Mas Darman menoleh dan menatapku murka. Aku tidak peduli, dia yang sudah memaksa melakukan ini dengan penghasilannya yang pas-pasan. Tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Tidak ada penghinaan kalau tidak ada penyebabnya.

Nyai tersenyum simpul ke arahku.

"Baik, jika begitu tinggalkan tempat ini!" perintah Nyai.

Aku mengangguk dan memberi penghormatan terakhir untuk Nyai. Lantas bergegas pergi tanpa menoleh ke arah Mas Darman.

Langkahku terasa gontai, pikiranku hanya terpusat pada Mas Darman di sana. Mengapa aku menjadi manusia yang paling jahat saat ini?

"Aku tidak menyangka, jika harta bisa membuat seseorang menjadi buta mata dan hati," ucap Ki Kusno memecah keheningan di tengah perjalanan kami.

Sunyi kembali.

Aku tidak ingin menanggapi perkataan Ki Kusno. Itu hanya akan membuat perasaan bersalah ini kian bergemuruh. Apa? tidak, aku tidak boleh merasa bersalah. Miskin hanya akan menjadikan kita manusia paling hina di antara manusia yang kaya.

Perjalanan ini berakhir. Aku baru saja  sampai di rumah yang pengap milik Ibu mertua. Kubuka pintu kamar Ibu dan menatap wanita yang sudah tak berdaya itu. Seperti biasa, dia hanya berbaring karena sakit yang dideritanya.

Kembali kututup pintu dan segera ke kamar untuk beristirahat.

Mataku kembali disuguhkan pada pemandangan yang tak pernah berubah, kamar kecil dengan empat orang penghuni. Aku, Mas Darman dan ke dua anakku. Lisa dan Fahmi. Aku menghampiri anak-anak di tengah tidurnya yang lelap.

"Ibu ... Ibu dari mana?" tanya Lisa, anak perempuanku yang berumur 17 tahun. Sepertinya dia terbangun karena suara pintu yang berdecit. Maklum saja pintu sudah kusam termakan usia.

"Ibu baru pulang mencari kerja," jawabku singkat.

"Ayah mana?"

Apa yang harus aku jawab pada Lisa?

"Ibu lelah, kamu lanjutkan tidurmu!" aku membaringkan diri dan membelakanginya. Lagi-lagi rasa bersalah ini muncul, rasa yang membuatku ingin memutar waktu untuk tidak melakukan semua ini.

Sudah seminggu Mas Darman tidak ada di rumah, apa lagi Fahmi selalu merengek menanyakan Ayahnya yang tak kunjung pulang. Mungkin karena umurnya masih lima tahun, masih membutuhkan figur ayah di sampingnya.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu, siapa yang bertamu sepagi ini?

"Sebentar!" aku menghentikan aktivitas mencuci piring dan segera membuka pintu.

Mataku dibuat tak percaya dengan seseorang yang datang di pagi ini.

"Mas, Darman," ucapku yang memegang pundaknya, menatap tubuhnya dari atas sampai bawah berharap jika ini memang suamiku yang pulang dengan keadaan selamat.

"Iya, Marni. Aku sudah pulang." Dia langsung memelukku erat. "Ayo, masuk! aku punya hadiah untukmu," ajaknya sambil mengangkat keresek besar yang ia perlihatkan padaku.

Kami segera masuk, dan bergegas menuju kamar. Tanpa menunggu waktu, Mas Darman menumpahkan isi keresek yang membuat mata ini terbelalak. Emas yang banyak dan setumpuk uang kertas yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Mulutku ternganga, menyaksikan sesuatu yang sangat luar biasa untuk orang miskin seperti kami.

"Kita kaya, Mas?"

"Iya, Marni. Kita kaya, kita jadi orang kaya."

Aku dan Mas Darman berpelukan melepas kebahagiaan yang baru saja dimulai.

"Tapi, Mas. Apa yang terjadi di sana?" tanyaku melepaskan pelukan.

Mas Darman tertunduk, ia terlihat memikirkan sesuatu. Rasa penasaran ini semakin kuat dengan sikap bungkamnya.

"Duduklah! akan kuceritakan."

Aku mengangguk dan mengikutinya untuk duduk di tepi ranjang.

"Saat itu ...."

°°°

Aku tak menyangka jika Marni bisa mengorbankanku sebagai ambisinya menjadi kaya, bahkan dia tidak memberiku kesempatan untuk menolak atau menerima tawaran Nyai saat ini. Ada apa denganmu Marni? Hatimu sudah benar-benar buta. Jika aku tidak menghargai keberadaan Nyai, aku sudah beradu argumen dengannya.

Marni melangkah kakinya keluar gua tanpa menoleh ke arahku sedikit pun.

"Sialan! bisa-bisanya dia meninggalkanku dalam keadaan seperti ini," cercaku dalam hati.

"Darman, ikutlah denganku!"

Aku hanya bisa mengangguk dan mengikuti langkah Nyai. Sepertinya ia akan membawaku masuk lebih jauh lagi ke dalam gua ini. Takut, aku sangat takut jika ia akan menjadikanku tumbal atau membunuh, bahkan mencabik tubuhku untuk jadi persembahan para jin di dalam sana.

"Ini gara-gara kamu, Marni," umpatku dalam hati.

Mataku terbelalak melihat ruangan kamar yang begitu indah dengan hiasan ornamen berwarna hijau dan wangi bunga-bungaan yang begitu menyengat.

"Ampun, Nyai. Kenapa saya dibawa ke sini?" tanyaku memberanikan diri.

Nyai tertawa dengan begitu menggelegar. Tiba-tiba saja tubuhnya mengeluarkan cahaya yang begitu menyilaukan dan mataku tertutup seketika.

Apa benar yang aku lihat? Siapa yang kini ada di hadapanku? wanita cantik berkebaya merah dengan sanggul yang membuatnya terlihat begitu anggun. Apa ini Nyai? Nyai merubah penampilannya? Tapi untuk apa?

"Tidak usah kaget, Mas. Aku yang akan menemanimu malam ini," ucapnya dengan suara yang lembut.

Dia menghampiriku dan membuka semua yang melekat di badan ini. Aku menikmatinya, menikmati semua adegan demi adegan malam ini. Pasrah, hanya bisa pasrah saat raga ini bersatu dengannya. Ketakutan berubah menjadi kenikmatan yang tidak pernah kudapatkan dari Marni. Wanita ini membuatku lemah dalam semalam.

Kami merebahkan badan istirahat dari sisa lelah yang melanda. Wanita itu tersenyum dan masih bersandar di dadaku. Tidak ada wajah Nyai yang datar dan tegas, yang ada hanya seorang wanita luwes dan juga anggun.

"Setelah pulang nanti, katakan pada istrimu jika aku meminta ruangan khusus untuk pemujaan dan penyambutanku," ucapnya manja.

"Baik, Nyai. Ada lagi?"

"Setiap malam Jumat, siapkan sesajen seperti biasa. Tapi, aku minta lima ekor ayam hitam sebagai tumbal."

Semudah itu mendapat kekayaan? kenapa tidak dari dulu aku melakukan semua ini.

"Kamu jangan senang dulu, Mas."

Apa maksud dari perkataannya? apa dia bisa membaca pikiranku?

"Setiap bulan purnama, aku minta tumbal manusia. Apa kamu sanggup mencari korban untuk persembahan sebagai wujud kesetiaanmu?"

***

"Begitu ceritanya, Marni," jelas Mas Darman.

Cerita mas Darman sedikit membuatku cemburu. Tapi aku harus menghapus rasa ini, aku harus bersikap tidak peduli. Buktinya semua yang kuinginkan sudah dalam genggaman.

"Marni, siapa yang akan kita korbankan untuk persembahan pertama pada Nyai? tidak mungkin kita menumbalkan anak kita sendiri 'kan?"

Aku berpikir, bagaimana caranya agar semua berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Sebuah ide gila menari-nari dalam pikiranku, tapi apa Suamiku akan menyetujui ideku ini?

"Mas, aku punya seseorang yang akan kita tumbalkan. Tapi, aku takut kamu tidak setuju," jelasku pada Mas Derman.

"Siapa?"

"Ibumu ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status