Home / Thriller / Peta Yang Tak Pernah Ada / Peti Yang Terbangun

Share

Peti Yang Terbangun

Author: Flo_ris
last update Huling Na-update: 2025-02-19 14:13:45

El menarik napas dalam-dalam, lalu perlahan melangkah mendekati peti besi itu. Setiap langkah terasa berat, seolah ada sesuatu yang menahan dirinya untuk tidak terlalu dekat.

Julian mengikuti dari belakang, matanya terus mengawasi keadaan sekitar, berjaga-jaga jika ada hal tak terduga yang terjadi.

Begitu sampai di depan peti, El berjongkok dan menyentuh permukaannya dengan hati-hati. Logamnya terasa dingin di ujung jarinya, meskipun ruangan itu cukup pengap.

"Di mana lubang kuncinya?" gumam El, matanya menelusuri setiap sudut peti.

Ia meraba sisi-sisinya, mencari sesuatu yang bisa menjadi mekanisme kunci, tetapi tidak ada apa pun. Tidak ada gembok, tidak ada celah untuk memasukkan kunci—hanya ukiran-ukiran kuno yang semakin membuat peti itu terlihat misterius.

Julian berjongkok di sebelahnya, mengamati peti dengan seksama.

"Aneh... bagaimana cara membukanya kalau bahkan tidak ada kunci?" katanya, mengernyit bingung.

El menggigit bibirnya, merasa semakin penasaran.

"Mungkin ada mekanisme tersembunyi. Coba kita periksa ukirannya," usul El sambil mengelus pola yang terukir di permukaan peti.

Julian memperhatikan lebih saksama. Setiap garis yang terukir tampak seperti memiliki makna tertentu, bukan sekadar hiasan biasa.

"Sepertinya peti ini dirancang hanya untuk orang-orang tertentu," gumam Julian.

Ia menoleh ke arah El.

"Mungkin... kamu salah satunya?"

El menelan ludah, jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Jika peti ini benar-benar ditujukan untuk seseorang, mengapa ia yang merasa tertarik padanya? Apakah ada sesuatu dalam dirinya yang berkaitan dengan peti ini?

Tangan El perlahan bergerak menyentuh bagian tengah peti, mengikuti instingnya...

Tiba-tiba, sesuatu terjadi.

Perlahan, bagian luar peti mulai terbuka. Ukiran akar yang sebelumnya menutupi seluruh permukaan peti bergerak sendiri, seolah-olah peti itu hidup. Suara gesekan logam yang samar terdengar, dan sedikit demi sedikit, akar-akar itu terlepas, membuka bagian dalam peti.

El dan Julian menatapnya tanpa berkedip.

Begitu semua akar telah terbuka, mereka melihat sesuatu di dalam peti—lubang kunci berbentuk unik yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

"Lubang kunci..." El berbisik, jari-jarinya bergerak menyentuh bagian luar peti, mencari sesuatu yang mungkin tersembunyi di sana.

Julian memperhatikannya dengan waspada.

"Apa mungkin kuncinya ada di sekitar sini?" tanyanya, ikut meraba-raba permukaan peti.

El memejamkan mata sejenak, mencoba mengingat kembali mimpinya. Namun, ini berbeda dari apa yang ia lihat dalam tidurnya. Di dalam mimpinya, peti itu terbuka dengan mudah, tetapi kenyataannya jauh lebih rumit.

Ia mengalihkan pandangan, memperhatikan sekeliling ruangan dengan cermat. Lalu matanya tertuju ke atas.

"Jul, lihat itu..." bisiknya, menunjuk ke langit-langit.

Di atas loteng, ada lagi sebuah ruang kecil. Loteng di atas loteng.

"Kamu pikir ada sesuatu di sana?" Julian bertanya, mengikuti arah pandang El.

El mengangguk.

"Aku curiga kuncinya ada di atas sana."

Tanpa membuang waktu, El mencari sesuatu yang bisa digunakan sebagai pijakan. Matanya menemukan sebuah kursi tua di sudut ruangan. Ia menyeretnya ke bawah loteng kecil itu dan naik ke atasnya.

Debu beterbangan saat tangannya mulai meraba-raba permukaan papan kayu yang kasar. Ia terus meraba, mencari sesuatu yang berbeda.

Lalu, jari-jarinya menyentuh sesuatu yang dingin.

El menelan ludah. Dengan hati-hati, ia mencoba meraihnya. Sesuatu yang kecil dan dingin itu terselip di celah papan, tersembunyi dari pandangan.

Dengan sedikit usaha, akhirnya ia berhasil menarik benda itu keluar.

Sebuah kunci.

Kunci yang tampak sama uniknya dengan lubang di peti.

El menatapnya dengan mata membelalak.

"Jul... aku menemukannya."

Julian segera berdiri lebih dekat, matanya menatap tajam kunci yang ada di tangan El.

"Jadi... ini yang kita cari?" bisiknya.

El menggenggam kunci itu erat, jantungnya berdebar semakin cepat.

Apa yang akan terjadi jika mereka membukanya?

Dengan penuh keraguan, El memasukkan kunci ke dalam lubang yang unik itu. Tangannya gemetar saat ia memutarnya perlahan.

KLIK.

Suara mekanisme kunci berputar terdengar jelas di dalam keheningan. Jantung El berdebar kencang. Bersama Julian, ia menatap peti itu dengan cemas.

Dengan napas tertahan, El membuka tutup peti perlahan. Engselnya mengeluarkan suara berderit, membuat bulu kuduk mereka berdiri.

Di dalamnya, terbentang sebuah peta.

Peta yang rumit, penuh dengan garis-garis berliku dan simbol-simbol asing yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

El dan Julian bertukar pandang.

"Peta apa ini...?" bisik El, tangannya perlahan menyentuh permukaan kertas tua yang tampak usang, tetapi masih terjaga dengan baik.

Julian mengernyit, mencoba memahami pola yang ada di dalamnya.

"Aku tidak tahu... Tapi ini jelas bukan peta biasa."

Namun, sebelum mereka bisa berpikir lebih jauh, suara gaduh tiba-tiba terdengar dari luar.

BRAK!

Sesuatu dibanting dengan keras. Suara itu menggema di seluruh rumah.

El dan Julian tersentak, tubuh mereka langsung menegang.

Kemudian, sebuah suara terdengar jelas. Suara seorang pria dengan nada tajam dan penuh kewaspadaan.

"Sepertinya ada orang lain selain kita di sini."

Jantung El hampir melompat dari dadanya.

"Cari sesuatu yang bisa menjadi petunjuk. Jika ada sesuatu yang mencurigakan, laporkan segera!"

Mereka bisa mendengar suara langkah kaki berpencar ke berbagai arah.

Julian menatap El dengan ekspresi tegang.

"Mereka mencarimu, El." bisiknya pelan.

El menelan ludah, memegang erat peta itu.

Siapa mereka? Dan seberapa pentingkah peta ini sampai ada orang yang ingin menemukannya juga?

Hari sudah sore. Langit mulai meredup, dan sebentar lagi azan Magrib akan berkumandang.

Namun, El dan Julian masih terjebak di loteng.

Dari bawah, suara-suara itu masih terdengar. Orang-orang itu belum pergi.

"Apakah kalian menemukan sesuatu?" tanya seorang pria dengan nada tegas.

"Tidak, Pak. Tidak ada apa pun di sini," jawab salah satu anak buahnya.

Hening sejenak, lalu suara pria tadi kembali terdengar.

"Kita menginap di sini malam ini. Kalau ada sesuatu yang mencurigakan, laporkan segera!"

El dan Julian saling berpandangan.

"Mereka tidak pergi..." bisik El, suaranya mengandung kecemasan.

Julian menghela napas pelan.

"Sepertinya kita juga harus bermalam di sini."

Beruntung, mereka membawa tas bekal. Setidaknya mereka tidak akan kelaparan. Tapi tetap saja, situasi ini jauh dari nyaman.

Julian mulai membersihkan kasur tua di sudut ruangan. Kasurnya kecil dan berdebu, tapi lebih baik daripada tidur di lantai kayu yang dingin.

Namun, begitu kasur siap digunakan, suasana tiba-tiba menjadi canggung.

"Ehm... kasurnya cuma satu," gumam Julian, menggaruk tengkuknya.

El menelan ludah. Memang, kasurnya terlalu kecil untuk mereka berdua.

"Kamu tidur di kasur ini saja. Aku akan tidur di bawah," ujar Julian, berusaha mencari solusi.

El menatapnya.

"Tapi... lantainya keras. Dan dingin."

Julian mengedarkan pandangan, berharap menemukan sesuatu yang bisa dijadikan alas. Namun, tidak ada kain atau selimut di sana.

Hening sejenak.

"Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa," kata Julian akhirnya, mencoba menenangkan El.

Namun, dalam hati, ia tahu malam ini akan terasa sangat panjang.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    pengorbanan

    Sejak mimpi itu, El tak pernah benar-benar tidur dengan tenang. Bahkan saat Nate dan Lucien bercanda atau bertengkar kecil seperti biasa, pikirannya terus kembali ke tempat itu — desa tersembunyi, cahaya yang memanggil, dan keputusan besar yang belum sempat ia buat. Ia belum menceritakan apapun. Bukan karena tidak percaya, tapi karena... ia takut. Takut mereka akan khawatir. Takut mimpi itu membawa pertanda yang terlalu berat untuk dibagi. Malam pun berlalu dalam sunyi. Dan saat fajar masih tersembunyi di balik kabut pagi, mereka bertiga duduk membentuk lingkaran kecil di dekat rerimbunan hutan suci, cahaya dari jalur itu masih terlihat berdenyut lembut dari kejauhan, seperti detak jantung yang hidup di tanah. "Kita terlalu gegabah tadi," kata Nate akhirnya, memecah keheningan. "Kita harus mundur sejenak. Rencanakan semuanya." Lucien mengangguk setuju, lalu menoleh pada wanita tua yang masih berdiri di dekat batang pohon tua, seakan menyatu dengan waktu itu sendiri. "Apakah benar

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Menembus Cahaya

    Langkah El menyusul Nate dan Julian yang sudah berada di depan. Tapi saat mereka mulai menapaki jalanan setapak yang basah oleh embun, sebuah cahaya tiba-tiba menyala dari dalam tas yang dibawa Julian. “Astaga… jamnya!” seru Julian, buru-buru mengeluarkannya. Jam pemberian Lucien—yang sempat menyala dan menunjukkan peta sebelumnya—kembali memancarkan cahaya biru keemasan. Namun kali ini berbeda. Peta yang muncul bukan lagi berupa jalur panjang atau lokasi samar. Kini, dari jam itu terpancar jalur bercahaya yang hidup, melayang di udara seperti benang cahaya, mengarah lurus ke arah timur laut, menembus rimbunnya pepohonan yang membentuk batas hutan suci desa. Mereka bertiga saling pandang. El terpaku, tubuhnya terasa hangat saat mendekati jalur cahaya itu—seolah cahaya itu mengenalnya. Tiba-tiba suara lembut namun tegas terdengar dari belakang mereka. Wanita tua itu—yang sebelumnya menceritakan asal-usul El—berdiri di ujung jalan, membawa tongkat kayu yang dihiasi ukiran simbol ku

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Kembali

    Malam itu langit begitu kelam, seolah menandakan sesuatu yang besar akan terjadi. Bintang-bintang tertutup kabut tipis, dan udara terasa berat, menggantung di antara pepohonan yang merunduk diam. Wanita misterius itu berdiri di ambang jalan kecil yang mengarah ke bagian terdalam dari desa, tempat yang bahkan Nate dan Julian tak pernah dengar sebelumnya. “El,” katanya lembut, “tempat yang akan kita datangi ini… disebut Valeyra. Dalam bahasa kuno, artinya ‘ingatan yang belum selesai.’ Di sana, kau akan bisa melihat semua yang selama ini tersembunyi darimu. Tapi ada satu syarat—satu ujian yang harus kau lalui.” El melirik ke belakang, kepada Nate dan Julian. Tapi wanita itu menggeleng. “Hanya kau yang bisa masuk. Hanya kau yang memiliki kunci.” Jalanan itu gelap, hanya diterangi lentera gantung yang menyala redup, menggantung seperti bintang di pohon-pohon tua. “Ujiannya… seperti apa?” tanya El pelan. “Bukan ujian kekuatan atau logika,” jawab wanita itu. “Ini adalah ujian ha

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Ingatan Tersembunyi 2

    El masih menatap wanita itu dengan kebingungan yang membuncah. Jemarinya menggenggam gelas air yang tadi disuguhkan, dingin dan bening seperti kristal. Ia tak berpikir macam-macam saat meneguknya perlahan, hanya ingin menghilangkan haus dan menenangkan degup jantung yang tak juga mereda sejak mereka tiba di desa ini. Namun, begitu tetes terakhir air itu menyentuh tenggorokannya, tubuh El menegang. Sejenak, dunia di sekitarnya menjadi hening. Suara obrolan samar dari Nate dan Julian menghilang, berganti dengan desiran angin dan denting suara lonceng kecil, seolah berasal dari tempat yang jauh. Napas El tercekat. Pandangannya kabur, tapi tidak gelap. Justru sebaliknya—terang. Terlalu terang. Seketika, serangkaian gambar melintas dalam pikirannya. Terlalu cepat, terlalu kabur—tapi sangat nyata. Ia melihat seorang anak kecil berlari-lari di tengah taman yang dipenuhi bunga bercahaya. Cahaya itu bukan seperti cahaya matahari biasa, tapi memancar dari kelopak-kelopaknya sendiri. Anak i

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Ingatan Tersembunyi

    Di tengah kebingungan mereka yang berdiri terpaku di depan rumah berlapis emas itu, tiba-tiba Lucien, yang sejak tadi lebih banyak diam dan mengamati, mengerutkan kening. Sebuah dorongan aneh muncul di benaknya, mendorongnya untuk membuka peta yang terhubung dengan jam pintarnya—perangkat yang selama ini mereka andalkan dalam perjalanan.Dengan gerakan cepat namun hati-hati, ia menekan permukaan jam, dan seketika peta holografik muncul melayang di atas pergelangannya. Cahaya lembutnya menyinari wajah Lucien yang mulai menunjukkan ekspresi serius. Ia memperbesar tampilan, fokus pada titik lokasi tempat mereka berdiri saat ini.Lalu ia membeku.“Guys...” suara Lucien pelan, nyaris berbisik. “Lihat ini.”Julian dan El segera menoleh. Nate yang berdiri sedikit di belakang juga ikut melangkah mendekat.Di layar peta, ada satu titik menyala terang, lebih kuat dibandingkan tempat lain yang mereka lewati selama perjalanan. Warna merah keemasan yang menyala lembut, mencolok di antara wilayah-w

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Desa Tersembunyi

    Dengan penuh pertimbangan dan ketegangan yang menyesakkan dada, mereka akhirnya melangkah masuk melewati gerbang pohon raksasa itu. Seolah ada lapisan tak kasat mata yang mereka tembus—sekejap kabut menyelimuti pandangan, membuat langkah mereka limbung.Namun, hanya dalam beberapa detik, kabut itu sirna. Mata mereka terbuka lebar saat melihat pemandangan yang tak pernah mereka duga.Di hadapan mereka terbentang sebuah pemukiman luas—sebuah desa yang tampak begitu hidup. Rumah-rumah kayu dengan arsitektur klasik berdiri rapi, dihiasi lentera gantung yang menyala redup meski hari masih terang. Jalanan dipenuhi oleh orang-orang—pria, wanita, anak-anak—berpakaian khas yang tak mereka kenali, seolah berasal dari zaman atau dunia yang berbeda. Mereka lalu-lalang dengan wajah damai dan aktivitas biasa: membawa keranjang, berbincang di depan toko, atau menimba air dari sumur desa.“Apa ini...” bisik El, matanya berkaca-kaca karena bingung sekaligus takjub.Julian melangkah maju perlahan, eksp

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status