Beranda / Thriller / Peta Yang Tak Pernah Ada / Rahasia di Balik Dinding

Share

Rahasia di Balik Dinding

Penulis: Flo_ris
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-18 12:08:30

El menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdegup kencang. Ia duduk sejenak di lantai kayu yang berdebu, sementara Julian tetap berjaga.

"Jul, siapa mereka? Kenapa aku merasa mereka sangat menyeramkan?" El berbisik dengan suara gemetar.

Julian menatap El, lalu menggeleng pelan. "Aku juga tidak tahu. Tapi yang jelas, mereka mencari sesuatu. Dan aku yakin itu ada hubungannya dengan peti yang kamu lihat dalam mimpimu."

El mengerutkan kening, berpikir keras. Sesaat kemudian, ia menoleh ke arah Julian dengan wajah penuh kecemasan.

"Untung tadi kita memarkir mobil di tempat yang agak tersembunyi. Jika tidak, mereka pasti sadar ada orang lain di sini," gumamnya cemas.

Julian mengangguk setuju, lalu mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan. Saat itu, El juga mulai memperhatikan keadaan di sekelilingnya.

"Ruangan apa ini...?" El bergumam pelan sambil memandang sekeliling.

Julian ikut mengamati. Matanya tiba-tiba menangkap sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.

"El... lihat dinding itu," bisiknya serius, sambil menunjuk ke arah yang dimaksud.

El menoleh dan langsung tercekat. Di beberapa bagian dinding kayu yang kusam, terlihat bercak-bercak darah yang sudah mengering. Beberapa di antaranya bahkan membentuk pola seperti cakaran.

"Kenapa ada darah...? Apa yang sebenarnya terjadi di sini?" El menelan ludah, suaranya melemah.

Julian menghela napas pelan, lalu menarik tangan El dengan hati-hati.

"Kita tidak bisa berdiam diri di sini. Ayo, kita kembali ke pintu yang tadi kita temukan," ucapnya tegas.

Dengan pikiran yang berkecamuk, mereka keluar dari ruangan gelap itu, melangkah dengan penuh kewaspadaan. Tujuan mereka kini jelas—pintu misterius itu mungkin menyimpan jawaban atas semua pertanyaan yang mengganggu pikiran mereka. Namun, apakah mereka siap dengan apa yang akan mereka temukan di baliknya?

El, yang sudah mendapatkan petunjuk dari mimpinya, langsung mengarahkan pandangannya ke pintu di hadapannya. Pintu itu terbuka lebar, seolah memang baru saja diperiksa oleh orang-orang tadi.

Tanpa ragu, mereka berdua melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut. Begitu berada di dalam, mereka langsung disambut oleh kegelapan pekat. Tidak ada pencahayaan sama sekali.

"Jul, coba cari sakelar lampu," bisik El.

Julian meraba dinding di dekatnya, mencoba menemukan sakelar, tetapi hasilnya nihil.

"Tidak ada. Sepertinya ruangan ini sudah lama tidak terpakai," jawabnya pelan.

El menghela napas. "Kalau tetap gelap begini, kita tidak bisa melihat apa pun."

Mereka mulai mengitari ruangan, berusaha mencari sesuatu yang bisa digunakan sebagai penerangan. Jantung mereka masih berdegup kencang setelah kejadian tadi, tetapi rasa penasaran mendorong mereka untuk terus melangkah.

Tiba-tiba, El berhenti di dekat sebuah lemari tua. Di dinding tak jauh dari situ, matanya menangkap sesuatu.

"Jul, lihat itu...!" bisiknya sambil menunjuk ke arah dinding.

Julian mengikuti arah pandangannya dan melihat sebuah lentera tua tergantung di sana. Ia segera mengambilnya, tetapi saat tangannya menyentuh lentera itu—

Klik!

Suara mekanisme kunci terbuka terdengar dari dalam ruangan. Seketika, mereka terpaku.

Di depan mereka, perlahan-lahan, sebuah pintu tersembunyi terbuka, menampakkan sedikit cahaya dari dalamnya.

El dan Julian saling berpandangan.

"Apa ini...?" El berbisik penuh kewaspadaan.

Julian menelan ludah. "Kita akan tahu kalau kita masuk ke dalam."

Tanpa berpikir panjang, Julian menyalakan lentera, lalu mereka melangkah masuk ke dalam ruangan tersembunyi itu—tanpa tahu apa yang menanti mereka di dalamnya.

Ketakutan masih menyelimuti El, tetapi ia tahu bahwa ia harus menemukan peti yang muncul dalam mimpinya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia melangkah perlahan ke dalam ruangan, berpegangan erat pada tangan Julian.

Ruangan itu terasa berbeda dari yang lain. Aura misterius menyelimutinya, seolah-olah ada sesuatu yang tersembunyi di dalamnya.

Mereka menatap sekeliling.

"Ruangan apa ini...?" bisik El, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan.

Julian mengedarkan pandangannya, matanya menangkap sesuatu di dinding. "Lihat, El... Lukisan-lukisan tua," katanya sambil menunjuk beberapa bingkai besar yang tampak usang.

El menelan ludah. Lukisan-lukisan itu berderet rapi, beberapa di antaranya tertutup debu tebal. Namun, yang membuatnya merinding bukan sekadar usia lukisan tersebut, melainkan tatapan dari sosok-sosok dalam lukisan itu yang seolah mengikuti mereka ke mana pun mereka bergerak.

Ia mengalihkan pandangannya dan melihat sesuatu di ujung ruangan.

"Jul... ada tangga," kata El lirih.

Julian mengikuti arah pandangannya. Di sudut ruangan, ada sebuah tangga kayu tua yang tampak rapuh, mengarah ke atas.

"Itu menuju ke loteng..." gumam Julian.

El menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan rasa takutnya.

"Aku yakin... petinya ada di sana," katanya, nyaris berbisik.

Julian menatapnya, memastikan El benar-benar yakin dengan keputusannya. Setelah beberapa detik, ia mengangguk.

"Kalau begitu, ayo kita naik."

Dengan langkah hati-hati, mereka mulai menaiki tangga tua itu, menuju misteri yang menanti di loteng.

Langkah kaki mereka terdengar pelan saat menaiki tangga kayu tua itu. Setiap pijakan mengeluarkan suara berderit yang membuat suasana semakin mencekam.

Tiba-tiba, di depan El, seekor tikus berlari melintasi anak tangga.

"Aaa—"

Belum sempat El berteriak lebih keras, Julian dengan sigap menutup mulutnya.

"Ssst! Jangan berisik!" bisiknya tegas. Matanya menatap El dengan penuh kewaspadaan.

El mengangguk cepat, meski jantungnya masih berdegup kencang. Julian perlahan melepaskan tangannya, memastikan El sudah bisa mengendalikan dirinya.

Setelah memastikan tidak ada suara lain di bawah, Julian menoleh ke belakang dan menutup kembali pintu ruangan tadi dengan hati-hati. Ia memastikan pintu terkunci sebelum kembali mengikuti El yang sudah lebih dulu naik.

Begitu sampai di atas, mereka terdiam sejenak.

Apa yang mereka lihat benar-benar di luar dugaan.

Mereka mengira loteng ini hanyalah ruangan kosong yang dipenuhi debu dan sarang laba-laba, seperti loteng pada umumnya. Namun, yang mereka temukan jauh berbeda.

Di ujung tangga, ada sebuah pintu kayu yang tampak seperti penutup ruang rahasia. Julian segera menutupnya kembali dan menguncinya dari dalam.

Saat mereka melangkah masuk, cahaya lentera yang mereka bawa menerangi sekeliling ruangan.

"Ini bukan loteng biasa..." gumam El pelan.

Ruangan itu tampak seperti tempat tinggal seseorang di masa lalu. Ada sebuah kasur tua di sudut ruangan, dengan selimut lusuh yang masih terlipat rapi. Sebuah meja kayu berdiri di dekatnya, dipenuhi dengan barang-barang berdebu yang belum tersentuh dalam waktu lama.

Namun, yang paling menarik perhatian mereka adalah sebuah peti besi di dekat kasur.

Peti itu dihiasi dengan ukiran kuno yang rumit. Warnanya sudah pudar, tetapi desainnya masih jelas terlihat—seolah menyimpan sesuatu yang sangat berharga.

El menatap peti itu dengan campuran rasa penasaran dan ketegangan.

"Jul... ini petinya..." suaranya bergetar.

Julian menelan ludah, mengamati peti besi itu dengan penuh kewaspadaan.

"Ya... tapi pertanyaannya, apakah kita siap untuk membukanya?"

Mereka saling bertukar pandang. Di antara rasa penasaran dan ketakutan, ada satu hal yang pasti—mereka baru saja menemukan sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    pengorbanan

    Sejak mimpi itu, El tak pernah benar-benar tidur dengan tenang. Bahkan saat Nate dan Lucien bercanda atau bertengkar kecil seperti biasa, pikirannya terus kembali ke tempat itu — desa tersembunyi, cahaya yang memanggil, dan keputusan besar yang belum sempat ia buat. Ia belum menceritakan apapun. Bukan karena tidak percaya, tapi karena... ia takut. Takut mereka akan khawatir. Takut mimpi itu membawa pertanda yang terlalu berat untuk dibagi. Malam pun berlalu dalam sunyi. Dan saat fajar masih tersembunyi di balik kabut pagi, mereka bertiga duduk membentuk lingkaran kecil di dekat rerimbunan hutan suci, cahaya dari jalur itu masih terlihat berdenyut lembut dari kejauhan, seperti detak jantung yang hidup di tanah. "Kita terlalu gegabah tadi," kata Nate akhirnya, memecah keheningan. "Kita harus mundur sejenak. Rencanakan semuanya." Lucien mengangguk setuju, lalu menoleh pada wanita tua yang masih berdiri di dekat batang pohon tua, seakan menyatu dengan waktu itu sendiri. "Apakah benar

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Menembus Cahaya

    Langkah El menyusul Nate dan Julian yang sudah berada di depan. Tapi saat mereka mulai menapaki jalanan setapak yang basah oleh embun, sebuah cahaya tiba-tiba menyala dari dalam tas yang dibawa Julian. “Astaga… jamnya!” seru Julian, buru-buru mengeluarkannya. Jam pemberian Lucien—yang sempat menyala dan menunjukkan peta sebelumnya—kembali memancarkan cahaya biru keemasan. Namun kali ini berbeda. Peta yang muncul bukan lagi berupa jalur panjang atau lokasi samar. Kini, dari jam itu terpancar jalur bercahaya yang hidup, melayang di udara seperti benang cahaya, mengarah lurus ke arah timur laut, menembus rimbunnya pepohonan yang membentuk batas hutan suci desa. Mereka bertiga saling pandang. El terpaku, tubuhnya terasa hangat saat mendekati jalur cahaya itu—seolah cahaya itu mengenalnya. Tiba-tiba suara lembut namun tegas terdengar dari belakang mereka. Wanita tua itu—yang sebelumnya menceritakan asal-usul El—berdiri di ujung jalan, membawa tongkat kayu yang dihiasi ukiran simbol ku

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Kembali

    Malam itu langit begitu kelam, seolah menandakan sesuatu yang besar akan terjadi. Bintang-bintang tertutup kabut tipis, dan udara terasa berat, menggantung di antara pepohonan yang merunduk diam. Wanita misterius itu berdiri di ambang jalan kecil yang mengarah ke bagian terdalam dari desa, tempat yang bahkan Nate dan Julian tak pernah dengar sebelumnya. “El,” katanya lembut, “tempat yang akan kita datangi ini… disebut Valeyra. Dalam bahasa kuno, artinya ‘ingatan yang belum selesai.’ Di sana, kau akan bisa melihat semua yang selama ini tersembunyi darimu. Tapi ada satu syarat—satu ujian yang harus kau lalui.” El melirik ke belakang, kepada Nate dan Julian. Tapi wanita itu menggeleng. “Hanya kau yang bisa masuk. Hanya kau yang memiliki kunci.” Jalanan itu gelap, hanya diterangi lentera gantung yang menyala redup, menggantung seperti bintang di pohon-pohon tua. “Ujiannya… seperti apa?” tanya El pelan. “Bukan ujian kekuatan atau logika,” jawab wanita itu. “Ini adalah ujian ha

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Ingatan Tersembunyi 2

    El masih menatap wanita itu dengan kebingungan yang membuncah. Jemarinya menggenggam gelas air yang tadi disuguhkan, dingin dan bening seperti kristal. Ia tak berpikir macam-macam saat meneguknya perlahan, hanya ingin menghilangkan haus dan menenangkan degup jantung yang tak juga mereda sejak mereka tiba di desa ini. Namun, begitu tetes terakhir air itu menyentuh tenggorokannya, tubuh El menegang. Sejenak, dunia di sekitarnya menjadi hening. Suara obrolan samar dari Nate dan Julian menghilang, berganti dengan desiran angin dan denting suara lonceng kecil, seolah berasal dari tempat yang jauh. Napas El tercekat. Pandangannya kabur, tapi tidak gelap. Justru sebaliknya—terang. Terlalu terang. Seketika, serangkaian gambar melintas dalam pikirannya. Terlalu cepat, terlalu kabur—tapi sangat nyata. Ia melihat seorang anak kecil berlari-lari di tengah taman yang dipenuhi bunga bercahaya. Cahaya itu bukan seperti cahaya matahari biasa, tapi memancar dari kelopak-kelopaknya sendiri. Anak i

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Ingatan Tersembunyi

    Di tengah kebingungan mereka yang berdiri terpaku di depan rumah berlapis emas itu, tiba-tiba Lucien, yang sejak tadi lebih banyak diam dan mengamati, mengerutkan kening. Sebuah dorongan aneh muncul di benaknya, mendorongnya untuk membuka peta yang terhubung dengan jam pintarnya—perangkat yang selama ini mereka andalkan dalam perjalanan.Dengan gerakan cepat namun hati-hati, ia menekan permukaan jam, dan seketika peta holografik muncul melayang di atas pergelangannya. Cahaya lembutnya menyinari wajah Lucien yang mulai menunjukkan ekspresi serius. Ia memperbesar tampilan, fokus pada titik lokasi tempat mereka berdiri saat ini.Lalu ia membeku.“Guys...” suara Lucien pelan, nyaris berbisik. “Lihat ini.”Julian dan El segera menoleh. Nate yang berdiri sedikit di belakang juga ikut melangkah mendekat.Di layar peta, ada satu titik menyala terang, lebih kuat dibandingkan tempat lain yang mereka lewati selama perjalanan. Warna merah keemasan yang menyala lembut, mencolok di antara wilayah-w

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Desa Tersembunyi

    Dengan penuh pertimbangan dan ketegangan yang menyesakkan dada, mereka akhirnya melangkah masuk melewati gerbang pohon raksasa itu. Seolah ada lapisan tak kasat mata yang mereka tembus—sekejap kabut menyelimuti pandangan, membuat langkah mereka limbung.Namun, hanya dalam beberapa detik, kabut itu sirna. Mata mereka terbuka lebar saat melihat pemandangan yang tak pernah mereka duga.Di hadapan mereka terbentang sebuah pemukiman luas—sebuah desa yang tampak begitu hidup. Rumah-rumah kayu dengan arsitektur klasik berdiri rapi, dihiasi lentera gantung yang menyala redup meski hari masih terang. Jalanan dipenuhi oleh orang-orang—pria, wanita, anak-anak—berpakaian khas yang tak mereka kenali, seolah berasal dari zaman atau dunia yang berbeda. Mereka lalu-lalang dengan wajah damai dan aktivitas biasa: membawa keranjang, berbincang di depan toko, atau menimba air dari sumur desa.“Apa ini...” bisik El, matanya berkaca-kaca karena bingung sekaligus takjub.Julian melangkah maju perlahan, eksp

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status