El menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdegup kencang. Ia duduk sejenak di lantai kayu yang berdebu, sementara Julian tetap berjaga.
"Jul, siapa mereka? Kenapa aku merasa mereka sangat menyeramkan?" El berbisik dengan suara gemetar. Julian menatap El, lalu menggeleng pelan. "Aku juga tidak tahu. Tapi yang jelas, mereka mencari sesuatu. Dan aku yakin itu ada hubungannya dengan peti yang kamu lihat dalam mimpimu." El mengerutkan kening, berpikir keras. Sesaat kemudian, ia menoleh ke arah Julian dengan wajah penuh kecemasan. "Untung tadi kita memarkir mobil di tempat yang agak tersembunyi. Jika tidak, mereka pasti sadar ada orang lain di sini," gumamnya cemas. Julian mengangguk setuju, lalu mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan. Saat itu, El juga mulai memperhatikan keadaan di sekelilingnya. "Ruangan apa ini...?" El bergumam pelan sambil memandang sekeliling. Julian ikut mengamati. Matanya tiba-tiba menangkap sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri. "El... lihat dinding itu," bisiknya serius, sambil menunjuk ke arah yang dimaksud. El menoleh dan langsung tercekat. Di beberapa bagian dinding kayu yang kusam, terlihat bercak-bercak darah yang sudah mengering. Beberapa di antaranya bahkan membentuk pola seperti cakaran. "Kenapa ada darah...? Apa yang sebenarnya terjadi di sini?" El menelan ludah, suaranya melemah. Julian menghela napas pelan, lalu menarik tangan El dengan hati-hati. "Kita tidak bisa berdiam diri di sini. Ayo, kita kembali ke pintu yang tadi kita temukan," ucapnya tegas. Dengan pikiran yang berkecamuk, mereka keluar dari ruangan gelap itu, melangkah dengan penuh kewaspadaan. Tujuan mereka kini jelas—pintu misterius itu mungkin menyimpan jawaban atas semua pertanyaan yang mengganggu pikiran mereka. Namun, apakah mereka siap dengan apa yang akan mereka temukan di baliknya? El, yang sudah mendapatkan petunjuk dari mimpinya, langsung mengarahkan pandangannya ke pintu di hadapannya. Pintu itu terbuka lebar, seolah memang baru saja diperiksa oleh orang-orang tadi. Tanpa ragu, mereka berdua melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut. Begitu berada di dalam, mereka langsung disambut oleh kegelapan pekat. Tidak ada pencahayaan sama sekali. "Jul, coba cari sakelar lampu," bisik El. Julian meraba dinding di dekatnya, mencoba menemukan sakelar, tetapi hasilnya nihil. "Tidak ada. Sepertinya ruangan ini sudah lama tidak terpakai," jawabnya pelan. El menghela napas. "Kalau tetap gelap begini, kita tidak bisa melihat apa pun." Mereka mulai mengitari ruangan, berusaha mencari sesuatu yang bisa digunakan sebagai penerangan. Jantung mereka masih berdegup kencang setelah kejadian tadi, tetapi rasa penasaran mendorong mereka untuk terus melangkah. Tiba-tiba, El berhenti di dekat sebuah lemari tua. Di dinding tak jauh dari situ, matanya menangkap sesuatu. "Jul, lihat itu...!" bisiknya sambil menunjuk ke arah dinding. Julian mengikuti arah pandangannya dan melihat sebuah lentera tua tergantung di sana. Ia segera mengambilnya, tetapi saat tangannya menyentuh lentera itu— Klik! Suara mekanisme kunci terbuka terdengar dari dalam ruangan. Seketika, mereka terpaku. Di depan mereka, perlahan-lahan, sebuah pintu tersembunyi terbuka, menampakkan sedikit cahaya dari dalamnya. El dan Julian saling berpandangan. "Apa ini...?" El berbisik penuh kewaspadaan. Julian menelan ludah. "Kita akan tahu kalau kita masuk ke dalam." Tanpa berpikir panjang, Julian menyalakan lentera, lalu mereka melangkah masuk ke dalam ruangan tersembunyi itu—tanpa tahu apa yang menanti mereka di dalamnya. Ketakutan masih menyelimuti El, tetapi ia tahu bahwa ia harus menemukan peti yang muncul dalam mimpinya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia melangkah perlahan ke dalam ruangan, berpegangan erat pada tangan Julian. Ruangan itu terasa berbeda dari yang lain. Aura misterius menyelimutinya, seolah-olah ada sesuatu yang tersembunyi di dalamnya. Mereka menatap sekeliling. "Ruangan apa ini...?" bisik El, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan. Julian mengedarkan pandangannya, matanya menangkap sesuatu di dinding. "Lihat, El... Lukisan-lukisan tua," katanya sambil menunjuk beberapa bingkai besar yang tampak usang. El menelan ludah. Lukisan-lukisan itu berderet rapi, beberapa di antaranya tertutup debu tebal. Namun, yang membuatnya merinding bukan sekadar usia lukisan tersebut, melainkan tatapan dari sosok-sosok dalam lukisan itu yang seolah mengikuti mereka ke mana pun mereka bergerak. Ia mengalihkan pandangannya dan melihat sesuatu di ujung ruangan. "Jul... ada tangga," kata El lirih. Julian mengikuti arah pandangannya. Di sudut ruangan, ada sebuah tangga kayu tua yang tampak rapuh, mengarah ke atas. "Itu menuju ke loteng..." gumam Julian. El menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan rasa takutnya. "Aku yakin... petinya ada di sana," katanya, nyaris berbisik. Julian menatapnya, memastikan El benar-benar yakin dengan keputusannya. Setelah beberapa detik, ia mengangguk. "Kalau begitu, ayo kita naik." Dengan langkah hati-hati, mereka mulai menaiki tangga tua itu, menuju misteri yang menanti di loteng. Langkah kaki mereka terdengar pelan saat menaiki tangga kayu tua itu. Setiap pijakan mengeluarkan suara berderit yang membuat suasana semakin mencekam. Tiba-tiba, di depan El, seekor tikus berlari melintasi anak tangga. "Aaa—" Belum sempat El berteriak lebih keras, Julian dengan sigap menutup mulutnya. "Ssst! Jangan berisik!" bisiknya tegas. Matanya menatap El dengan penuh kewaspadaan. El mengangguk cepat, meski jantungnya masih berdegup kencang. Julian perlahan melepaskan tangannya, memastikan El sudah bisa mengendalikan dirinya. Setelah memastikan tidak ada suara lain di bawah, Julian menoleh ke belakang dan menutup kembali pintu ruangan tadi dengan hati-hati. Ia memastikan pintu terkunci sebelum kembali mengikuti El yang sudah lebih dulu naik. Begitu sampai di atas, mereka terdiam sejenak. Apa yang mereka lihat benar-benar di luar dugaan. Mereka mengira loteng ini hanyalah ruangan kosong yang dipenuhi debu dan sarang laba-laba, seperti loteng pada umumnya. Namun, yang mereka temukan jauh berbeda. Di ujung tangga, ada sebuah pintu kayu yang tampak seperti penutup ruang rahasia. Julian segera menutupnya kembali dan menguncinya dari dalam. Saat mereka melangkah masuk, cahaya lentera yang mereka bawa menerangi sekeliling ruangan. "Ini bukan loteng biasa..." gumam El pelan. Ruangan itu tampak seperti tempat tinggal seseorang di masa lalu. Ada sebuah kasur tua di sudut ruangan, dengan selimut lusuh yang masih terlipat rapi. Sebuah meja kayu berdiri di dekatnya, dipenuhi dengan barang-barang berdebu yang belum tersentuh dalam waktu lama. Namun, yang paling menarik perhatian mereka adalah sebuah peti besi di dekat kasur. Peti itu dihiasi dengan ukiran kuno yang rumit. Warnanya sudah pudar, tetapi desainnya masih jelas terlihat—seolah menyimpan sesuatu yang sangat berharga. El menatap peti itu dengan campuran rasa penasaran dan ketegangan. "Jul... ini petinya..." suaranya bergetar. Julian menelan ludah, mengamati peti besi itu dengan penuh kewaspadaan. "Ya... tapi pertanyaannya, apakah kita siap untuk membukanya?" Mereka saling bertukar pandang. Di antara rasa penasaran dan ketakutan, ada satu hal yang pasti—mereka baru saja menemukan sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi.Ruangan bawah tanah itu terasa sunyi setelah percakapan terakhir mereka. El menatap kakek Nate dengan penuh harap, menunggu jawaban yang bisa menjelaskan semua kebingungannya. Namun, yang ia dapatkan hanyalah tatapan penuh pertimbangan dari pria tua itu. Kakek Nate menghela napas panjang, menggenggam tongkatnya lebih erat sebelum akhirnya berbicara. "El... aku tahu kau ingin jawaban. Tapi saat ini, kita tidak punya waktu untuk membicarakan masa lalu." El mengerutkan kening. "Maksud kakek?" "Saat ini, ada hal yang jauh lebih penting dibanding menjelaskan semuanya padamu. Percayalah, waktunya akan tiba. Kau akan mengetahui semuanya ketika saatnya benar-benar tepat," kata kakek Nate dengan nada serius. El mengepalkan tangannya di atas meja. "Tapi aku berhak tahu! Ini tentang keluargaku, tentang siapa aku sebenarnya! Bagaimana bisa aku terus melangkah tanpa mengetahui kebenarannya?" Nate yang berdiri di samping kakeknya ikut angkat bicara. "El, aku tahu ini sulit. Tapi kakek benar. K
Ketika lift bawah tanah itu semakin mendekati tujuannya, cahaya mulai tampak. Awalnya hanya seberkas samar, namun semakin lama semakin terang, hingga akhirnya mereka sampai di sebuah ruangan yang begitu luas. El, Julian, dan bahkan Nate—yang biasanya tak terkejut oleh apapun—terpaku melihat pemandangan di hadapan mereka. Ruangan ini tidak seperti yang mereka bayangkan. Lampu-lampu besar menerangi setiap sudutnya, membuat tempat ini tampak seperti fasilitas penelitian canggih yang tersembunyi jauh di bawah tanah. El melangkah keluar dari mobil terlebih dahulu, matanya menjelajahi sekeliling dengan penuh kekaguman. “Ini lebih besar dari rumahku,” gumamnya tak percaya. Julian mengikuti di belakangnya, wajahnya dipenuhi rasa penasaran. “Apa tempat ini?” tanyanya pada Nate. Namun, sebelum Nate sempat menjawab, terdengar suara langkah kaki mendekat. Dari sudut ruangan, seorang gadis muncul. Ia mengenakan setelan jas berwarna hitam dengan emblem kecil di dada kirinya. Rambutnya ditata ra
Setelah memastikan bahwa anak buah Liam benar-benar pergi, Nate memberi isyarat cepat kepada El dan Julian. Tanpa membuang waktu, mereka segera naik ke dalam mobil. Nate dengan cekatan menyalakan mesin, lalu menancapkan gas, membuat mobil melaju kencang meninggalkan lokasi. “El, pastikan tidak ada yang mengikuti kita,” perintah Nate dengan nada tegas namun tetap tenang. El menoleh ke belakang, matanya tajam mengawasi setiap kendaraan yang melintas di kejauhan. “Sejauh ini aman. Tapi kita harus tetap waspada,” ucapnya. Julian yang duduk di kursi penumpang depan menggenggam peta erat di tangannya. Perjalanan ini terasa semakin menegangkan, dan mereka tahu bahwa setiap detik sangat berharga. Sementara itu, Nate dengan satu tangan di kemudi, tangan lainnya merogoh ponselnya. Dia segera menghubungi seseorang. “Paman, kami sedang dalam perjalanan. Pastikan ruang bawah tanah sudah siap. Kami tidak bisa mengambil risiko,” ucap Nate dengan suara serius. Dari seberang telepon, terdengar s
Di sebuah sudut kota yang diterangi lampu jalan redup, Liam Cornelius berdiri dengan tatapan tajam. Rokok di tangannya mengepulkan asap tipis ke udara malam. Wajahnya dingin, penuh perhitungan. Dia tak suka kegagalan, apalagi jika itu terjadi di bawah komandonya."Sebar ke seluruh penjuru kota. Jangan ada satu sudut pun yang terlewat," perintahnya dengan suara berat dan tegas.Beberapa anak buahnya yang masih meringis kesakitan akibat pertempuran di rumah tua sebelumnya hanya bisa mengangguk. Meski tubuh mereka penuh memar, mereka tahu lebih baik patuh daripada menghadapi murka Liam."Kita harus menemukan mereka sebelum mereka bertindak lebih jauh," lanjut Liam. "Orang-orang itu bukan sekadar pelarian biasa. Mereka membawa sesuatu yang penting."Sementara itu, di sisi lain kota…El, Julian, dan Nate berada di rumah El, berusaha memulihkan tenaga mereka setelah malam yang panjang dan menegangkan. El duduk di sofa, tangannya memegang secangkir teh hangat, namun pikirannya melayang jauh.
Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, akhirnya mereka tiba di perbatasan antara jalan desa misterius itu dan perkotaan. Selama perjalanan keluar, mereka tidak melihat satu pun tanda kehidupan—tidak ada warga desa yang berjalan kaki, tidak ada kendaraan yang melintas. Hanya hutan sunyi yang menemani mereka sepanjang jalan.Namun, begitu roda mobil melewati batas desa dan memasuki wilayah kota, semuanya berubah. Jalanan mulai tampak normal, dengan kendaraan yang berlalu-lalang dan orang-orang yang sibuk dengan aktivitas mereka. Seolah desa yang mereka tinggalkan barusan tidak pernah ada dalam peta dunia nyata.El menarik napas lega, menyandarkan kepalanya ke jendela. “Akhirnya kita keluar juga...” gumamnya.Julian yang duduk di belakang melirik ke arah Nate yang tetap fokus mengemudi. “Sepertinya kita beruntung.”“El lebih dari beruntung,” Nate menimpali, suaranya datar. “Kalian bisa saja tidak keluar hidup-hidup.”Ucapan itu membuat El dan Julian terdiam sejenak. Perasaan lega ka
Di tengah ketegangan yang mencekik, El dan Julian membeku. Tangan mereka masih saling menggenggam erat, mencoba menemukan kekuatan dalam satu sama lain.Tiba-tiba, suara benturan keras terdengar dari luar. Suara pukulan, desahan kesakitan, dan tubuh yang terhempas ke lantai menggema di seluruh ruangan.El menelan ludah. “Mereka bertengkar?” bisiknya nyaris tak terdengar.Julian menggeleng pelan, matanya tajam menatap pintu kayu di hadapan mereka. “Aku rasa ini bukan sekadar perkelahian biasa…”Suara gaduh semakin brutal, terdengar jeritan dan suara sesuatu yang jatuh keras ke lantai. Kemudian—hening.El menahan napas, ketakutannya semakin menjadi-jadi. Tidak ada satu pun suara dari luar. Hanya ada keheningan yang mencekam.Kemudian, suara langkah kaki terdengar. Tidak terburu-buru, tapi tegap dan penuh keyakinan.Julian langsung berdiri di depan El, siap melindunginya jika yang datang adalah musuh lain.Pegangan pada gagang pintu berderit pelan. Lalu, pintu terbuka.Di ambang pintu, b
..Julian menarik napas dalam-dalam sebelum perlahan mendorong pintu loteng. Setiap gerakan dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan suara yang mencurigakan. Engsel yang sudah berkarat membuatnya harus bekerja ekstra pelan agar tidak berderit dan menarik perhatian siapa pun yang masih berjaga di bawah.Begitu celah pintu cukup terbuka, Julian mencondongkan tubuhnya sedikit untuk mengintip ke bawah. Matanya awas, menyapu setiap sudut ruangan. Keheningan masih menyelimuti tempat itu, tetapi ia tidak bisa gegabah.Ia berbalik, menatap El yang masih berjongkok di loteng dengan ekspresi cemas. Julian memberi isyarat dengan satu jari di depan bibirnya, lalu perlahan menuruni loteng.Setelah kedua kakinya menginjak lantai, Julian tetap diam di tempat, menajamkan pendengarannya.Hanya ada suara angin yang berdesir di luar dan sesekali bunyi nyamuk yang beterbangan. Tidak ada tanda-tanda pergerakan dari para penjaga di bawah.Julian kembali mendongak ke atas dan memberi isyara
Suasana mendadak menjadi hening.El masih memeluk Julian erat, tetapi perlahan, ia melepaskan diri. Tubuhnya gemetar, meskipun udara di ruangan itu tidak begitu dingin. Tatapannya penuh kecemasan saat ia menoleh ke arah Julian.Julian dengan sigap mematikan lentera di tangannya. Seketika, ruangan itu tenggelam dalam kegelapan pekat. Tidak ada cahaya sedikit pun yang bisa menuntun pandangan mereka.Di bawah, terdengar suara langkah kaki yang perlahan semakin mendekat. El bisa merasakan napasnya sendiri yang tersengal karena gugup."Mereka masuk ke kamar di bawah kita," bisik Julian sangat pelan, hampir tidak terdengar.El menelan ludah, tangannya meremas kuat lengan Julian. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi ketakutannya menahan suaranya.Julian menajamkan pendengarannya. Suara langkah kaki itu berputar di dalam kamar, seperti seseorang yang sedang mencari sesuatu. Terdengar suara benda digeser, mungkin meja atau kursi yang ada di dalam ruangan tersebut."Sepertinya mereka sedang memeri
Ruangan itu sunyi, hanya ada suara napas lembut El yang tertidur pulas di samping Julian. Cahaya redup dari lentera kecil di sudut ruangan memberikan sedikit penerangan di tengah kegelapan.Namun, tiba-tiba El merasakan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Matanya perlahan terbuka, dan ia langsung menyadari sesuatu—ia harus buang air kecil.El menggigit bibirnya, ragu untuk membangunkan Julian. Tapi jika ia pergi sendiri, itu terlalu menyeramkan. Ruangan ini begitu sunyi dan asing, apalagi mereka masih berada di tempat yang penuh misteri.Dengan hati-hati, El mengulurkan tangannya dan mengguncang lengan Julian pelan."Jul... Julian..." bisiknya lirih.Julian mengerjap pelan, kelopak matanya bergerak sebelum akhirnya terbuka sepenuhnya. Matanya yang masih sedikit mengantuk menatap El dengan teduh, seolah bertanya tanpa kata-kata."Ada apa?" suaranya terdengar serak karena baru bangun tidur.El menelan ludah, merasa malu untuk mengatakannya. Tapi ia tidak punya pilihan lain."Aku... ma