Share

Ruang Rahasia

Penulis: Flo_ris
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-17 02:39:01

Saat memasuki rumah, kegelapan menyelimuti mereka. Aroma kayu tua bercampur debu menyeruak di udara, membuat El sedikit batuk.

"Tunggu sebentar," gumamnya, meraba-raba dinding di dekat pintu. Ia mencoba mencari sakelar lampu.

Julian berdiri di belakangnya, matanya masih beradaptasi dengan gelap. "Kau yakin listrik di rumah ini masih berfungsi?"

El tidak menjawab, jemarinya terus mencari. Setelah beberapa detik, akhirnya ia menemukan sakelar. Dengan cepat, ia menekannya.

Klik.

Sebuah lampu tua di tengah ruangan berkedip beberapa kali sebelum akhirnya menyala. Cahaya kuning redup menerangi interior rumah yang dipenuhi bayangan panjang.

Namun, justru setelah melihat sekeliling, El menyadari sesuatu yang lebih mengganggu.

Debu.

Di mana-mana.

Begitu tebalnya hingga saat mereka melangkah, debu beterbangan di udara, membuat El langsung bersin. "Hhhe’chiih! Hhhe’chiih!"

Ia buru-buru mengibaskan tangan di depan wajahnya, mencoba menghalau debu agar tidak masuk lagi ke hidungnya.

Julian menghela napas, membuka tasnya, lalu mengeluarkan dua masker kain. "Sudah kuduga tempat ini akan seperti ini," ujarnya, menyerahkan satu masker kepada El.

El menerimanya tanpa banyak bicara dan segera memakainya. Julian juga melakukan hal yang sama sebelum mereka kembali melangkah lebih dalam ke rumah itu.

Cahaya lampu yang redup membantu mereka melihat lebih jelas. Interior rumah ini tampak seperti rumah tua pada umumnya—furnitur berdebu, karpet yang sudah pudar, dan rak buku yang dipenuhi benda-benda usang.

Namun, ada sesuatu yang tidak biasa di sini.

El tiba-tiba berhenti, matanya membulat. Ingatan tentang mimpinya tadi malam tiba-tiba muncul dalam benaknya.

Rumah ini…

Tempat ini ada di dalam mimpiku.

El menoleh ke kanan, lalu ke kiri, mencari sesuatu. "Julian, aku harus menemukan pintu itu."

Julian mengernyit. "Pintu apa?"

El tidak menjawab, ia berjalan cepat, mengikuti jejak ingatan yang perlahan muncul di kepalanya.

Sebuah pintu.

Pintu yang disebutkan kakek dalam mimpinya.

Julian terpaksa mengikuti El yang tampak semakin gelisah. "El, tunggu! Apa maksudmu?"

Tapi El tidak bisa menunggu.

Dia harus menemukan pintu itu… sebelum sesuatu yang lain menemukannya terlebih dahulu.

Sejak pertama kali memasuki rumah ini, El merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Perasaan itu semakin kuat. Seperti ada seseorang—atau mungkin lebih dari satu orang—yang juga mengincar sesuatu di dalam rumah ini.

El terus mencari pintu yang dimaksud dalam mimpinya. Setiap ruangan ia periksa dengan saksama. Sampai akhirnya, langkahnya terhenti di depan sebuah pintu yang tampak berbeda dari yang lain.

Pintu ini lebih kokoh, lebih dominan, dan terlihat seperti pintu utama menuju sesuatu yang penting.

Gudang? Kamar? Atau mungkin sesuatu yang lebih dari itu?

El tidak tahu pasti. Tapi hatinya mengatakan bahwa pintu inilah yang ia cari.

Dengan perlahan, ia melangkah mendekat.

Julian, yang sejak tadi mengikutinya, ikut mendekat dengan waspada. "Kau yakin ini pintunya?" bisiknya.

El mengangguk pelan. Ia mengulurkan tangannya, jari-jarinya mulai meraih gagang pintu tua itu…

Namun sebelum ia sempat membukanya—

BANG!!

Sebuah suara keras terdengar dari arah belakang rumah.

Suara pintu yang didobrak paksa.

El dan Julian langsung menoleh.

Detik berikutnya, suara langkah kaki yang berat terdengar memasuki rumah, diikuti suara seorang pria yang memberi perintah dengan nada tegas.

"Periksa setiap ruangan! Temukan segera!"

El dan Julian saling berpandangan.

Tidak ada waktu untuk berpikir.

Dengan langkah terburu-buru, El menarik lengan Julian, mencari tempat untuk bersembunyi. Jantungnya berdegup begitu kencang, hampir menyesakkan dada.

Mereka terus berjalan dalam gelap, sampai akhirnya menemukan sebuah ruangan dengan pintu yang terbuka.

"Masuk sini!" bisik El panik.

Julian mengangguk, lalu mereka berdua bergegas masuk dan menutup pintu dengan hati-hati.

Di dalam ruangan yang gelap dan penuh debu itu, El mencoba mencari tempat persembunyian yang cukup aman. Pandangannya menyapu sekeliling, hingga akhirnya menemukan sesuatu—sebuah lemari kayu tua yang cukup besar.

"Julian, ke sini!"

Mereka segera masuk ke dalam lemari itu, berharap bisa tersembunyi dengan baik. Namun, saat berada di dalamnya, El menyadari sesuatu yang lebih aneh.

Di bagian belakang lemari itu, ada sebuah celah kecil yang mengarah ke ruang sempit lain.

Udara di dalamnya begitu pengap, gelap, dan kosong. Tidak ada perabotan, tidak ada barang-barang lama seperti yang biasa ditemukan dalam lemari tua.

Seolah-olah… ruang itu memang dibuat khusus sebagai tempat persembunyian.

Tanpa banyak pilihan, El dan Julian masuk lebih dalam ke dalam ruangan kecil itu, menahan napas dan mendengarkan langkah kaki yang semakin mendekat.

Mereka hanya bisa berdoa… agar tidak ditemukan.

Suara langkah kaki menggema di seluruh rumah tua itu.

Di luar ruangan tempat El dan Julian bersembunyi, suara pria tadi kembali terdengar, kali ini lebih tajam dan mendesak.

"Periksa setiap sudut! Kita harus menemukannya malam ini juga!"

El menutup mulutnya rapat-rapat, menahan napas.

Dari dalam ruang sempit di belakang lemari, ia dan Julian bisa mendengar suara benda-benda yang digeser dan dibanting oleh orang-orang itu. Setiap kali suara pintu terbuka dengan kasar atau lemari didorong, jantung El semakin berdegup kencang.

Mereka mencari sesuatu… atau seseorang.

Langkah kaki semakin dekat.

Julian menegang, menggenggam tangan El tanpa sadar. Sementara itu, El merasa tubuhnya semakin membeku karena ketakutan.

Kemudian—

"Periksa lemari itu!"

Jantung El seperti berhenti berdetak.

Terdengar suara engsel pintu lemari yang mereka masuki terbuka.

El semakin panik. Tanpa sadar, ia merapatkan tubuhnya ke dada Julian dan memeluknya erat. Tubuhnya gemetar hebat.

Julian terkejut, tapi dengan cepat menenangkan diri. Ia tahu betapa takutnya El sekarang.

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membalas pelukan El, mencoba memberi sedikit ketenangan.

Jantungnya berdetak tak kalah cepat. Tapi bukan karena ketakutan terhadap orang-orang itu.

Melainkan karena posisi mereka yang begitu dekat.

El begitu hangat dalam pelukannya, sementara detak jantung mereka bertautan dalam keheningan ruangan yang gelap.

Tepat saat lemari utama dibuka, El semakin menekan wajahnya ke dada Julian, seolah ingin menghilang dari dunia ini.

Mereka berdua menahan napas.

Beberapa detik yang terasa seperti selamanya berlalu…

Lalu, suara pria itu kembali terdengar.

"Tidak ada apa-apa di sini. Lanjut ke ruangan lain!"

Terdengar suara lemari ditutup kembali dengan kasar.

Langkah kaki mereka menjauh.

Namun, El dan Julian masih tetap dalam posisi yang sama, tidak ada yang bergerak atau berbicara.

Julian menundukkan wajahnya, melihat El yang masih memeluknya erat, kepalanya terbenam di dada Julian.

Pelan, Julian berbisik di dekat telinga El.

"Mereka sudah pergi…"

El tidak langsung merespons. Ia masih bisa merasakan tubuhnya gemetar.

Tapi setidaknya, untuk saat ini, mereka selamat.

Setelah tidak ada suara apa pun lagi, mereka akhirnya bisa bernapas lega. Namun, ketegangan masih menyelimuti mereka.

"Mereka sudah pergi?" El berbisik, suaranya masih terdengar panik.

Julian mengintip dari celah lemari, lalu mengangguk pelan. "Sepertinya begitu... Tapi kita harus tetap waspada."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    pengorbanan

    Sejak mimpi itu, El tak pernah benar-benar tidur dengan tenang. Bahkan saat Nate dan Lucien bercanda atau bertengkar kecil seperti biasa, pikirannya terus kembali ke tempat itu — desa tersembunyi, cahaya yang memanggil, dan keputusan besar yang belum sempat ia buat. Ia belum menceritakan apapun. Bukan karena tidak percaya, tapi karena... ia takut. Takut mereka akan khawatir. Takut mimpi itu membawa pertanda yang terlalu berat untuk dibagi. Malam pun berlalu dalam sunyi. Dan saat fajar masih tersembunyi di balik kabut pagi, mereka bertiga duduk membentuk lingkaran kecil di dekat rerimbunan hutan suci, cahaya dari jalur itu masih terlihat berdenyut lembut dari kejauhan, seperti detak jantung yang hidup di tanah. "Kita terlalu gegabah tadi," kata Nate akhirnya, memecah keheningan. "Kita harus mundur sejenak. Rencanakan semuanya." Lucien mengangguk setuju, lalu menoleh pada wanita tua yang masih berdiri di dekat batang pohon tua, seakan menyatu dengan waktu itu sendiri. "Apakah benar

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Menembus Cahaya

    Langkah El menyusul Nate dan Julian yang sudah berada di depan. Tapi saat mereka mulai menapaki jalanan setapak yang basah oleh embun, sebuah cahaya tiba-tiba menyala dari dalam tas yang dibawa Julian. “Astaga… jamnya!” seru Julian, buru-buru mengeluarkannya. Jam pemberian Lucien—yang sempat menyala dan menunjukkan peta sebelumnya—kembali memancarkan cahaya biru keemasan. Namun kali ini berbeda. Peta yang muncul bukan lagi berupa jalur panjang atau lokasi samar. Kini, dari jam itu terpancar jalur bercahaya yang hidup, melayang di udara seperti benang cahaya, mengarah lurus ke arah timur laut, menembus rimbunnya pepohonan yang membentuk batas hutan suci desa. Mereka bertiga saling pandang. El terpaku, tubuhnya terasa hangat saat mendekati jalur cahaya itu—seolah cahaya itu mengenalnya. Tiba-tiba suara lembut namun tegas terdengar dari belakang mereka. Wanita tua itu—yang sebelumnya menceritakan asal-usul El—berdiri di ujung jalan, membawa tongkat kayu yang dihiasi ukiran simbol ku

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Kembali

    Malam itu langit begitu kelam, seolah menandakan sesuatu yang besar akan terjadi. Bintang-bintang tertutup kabut tipis, dan udara terasa berat, menggantung di antara pepohonan yang merunduk diam. Wanita misterius itu berdiri di ambang jalan kecil yang mengarah ke bagian terdalam dari desa, tempat yang bahkan Nate dan Julian tak pernah dengar sebelumnya. “El,” katanya lembut, “tempat yang akan kita datangi ini… disebut Valeyra. Dalam bahasa kuno, artinya ‘ingatan yang belum selesai.’ Di sana, kau akan bisa melihat semua yang selama ini tersembunyi darimu. Tapi ada satu syarat—satu ujian yang harus kau lalui.” El melirik ke belakang, kepada Nate dan Julian. Tapi wanita itu menggeleng. “Hanya kau yang bisa masuk. Hanya kau yang memiliki kunci.” Jalanan itu gelap, hanya diterangi lentera gantung yang menyala redup, menggantung seperti bintang di pohon-pohon tua. “Ujiannya… seperti apa?” tanya El pelan. “Bukan ujian kekuatan atau logika,” jawab wanita itu. “Ini adalah ujian ha

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Ingatan Tersembunyi 2

    El masih menatap wanita itu dengan kebingungan yang membuncah. Jemarinya menggenggam gelas air yang tadi disuguhkan, dingin dan bening seperti kristal. Ia tak berpikir macam-macam saat meneguknya perlahan, hanya ingin menghilangkan haus dan menenangkan degup jantung yang tak juga mereda sejak mereka tiba di desa ini. Namun, begitu tetes terakhir air itu menyentuh tenggorokannya, tubuh El menegang. Sejenak, dunia di sekitarnya menjadi hening. Suara obrolan samar dari Nate dan Julian menghilang, berganti dengan desiran angin dan denting suara lonceng kecil, seolah berasal dari tempat yang jauh. Napas El tercekat. Pandangannya kabur, tapi tidak gelap. Justru sebaliknya—terang. Terlalu terang. Seketika, serangkaian gambar melintas dalam pikirannya. Terlalu cepat, terlalu kabur—tapi sangat nyata. Ia melihat seorang anak kecil berlari-lari di tengah taman yang dipenuhi bunga bercahaya. Cahaya itu bukan seperti cahaya matahari biasa, tapi memancar dari kelopak-kelopaknya sendiri. Anak i

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Ingatan Tersembunyi

    Di tengah kebingungan mereka yang berdiri terpaku di depan rumah berlapis emas itu, tiba-tiba Lucien, yang sejak tadi lebih banyak diam dan mengamati, mengerutkan kening. Sebuah dorongan aneh muncul di benaknya, mendorongnya untuk membuka peta yang terhubung dengan jam pintarnya—perangkat yang selama ini mereka andalkan dalam perjalanan.Dengan gerakan cepat namun hati-hati, ia menekan permukaan jam, dan seketika peta holografik muncul melayang di atas pergelangannya. Cahaya lembutnya menyinari wajah Lucien yang mulai menunjukkan ekspresi serius. Ia memperbesar tampilan, fokus pada titik lokasi tempat mereka berdiri saat ini.Lalu ia membeku.“Guys...” suara Lucien pelan, nyaris berbisik. “Lihat ini.”Julian dan El segera menoleh. Nate yang berdiri sedikit di belakang juga ikut melangkah mendekat.Di layar peta, ada satu titik menyala terang, lebih kuat dibandingkan tempat lain yang mereka lewati selama perjalanan. Warna merah keemasan yang menyala lembut, mencolok di antara wilayah-w

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Desa Tersembunyi

    Dengan penuh pertimbangan dan ketegangan yang menyesakkan dada, mereka akhirnya melangkah masuk melewati gerbang pohon raksasa itu. Seolah ada lapisan tak kasat mata yang mereka tembus—sekejap kabut menyelimuti pandangan, membuat langkah mereka limbung.Namun, hanya dalam beberapa detik, kabut itu sirna. Mata mereka terbuka lebar saat melihat pemandangan yang tak pernah mereka duga.Di hadapan mereka terbentang sebuah pemukiman luas—sebuah desa yang tampak begitu hidup. Rumah-rumah kayu dengan arsitektur klasik berdiri rapi, dihiasi lentera gantung yang menyala redup meski hari masih terang. Jalanan dipenuhi oleh orang-orang—pria, wanita, anak-anak—berpakaian khas yang tak mereka kenali, seolah berasal dari zaman atau dunia yang berbeda. Mereka lalu-lalang dengan wajah damai dan aktivitas biasa: membawa keranjang, berbincang di depan toko, atau menimba air dari sumur desa.“Apa ini...” bisik El, matanya berkaca-kaca karena bingung sekaligus takjub.Julian melangkah maju perlahan, eksp

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status