Share

6

Ketika kami saling menumpahkan tangis dalam dekap hangat masing-masing, suara pintu kamar diketuk dari luar. Lebih dari sekali. Maka, kami pun saling melepaskan diri dan mengusap air mata yang membasahi pipi.

            “Yazid, Mira, ayo keluar. Dinda sekeluarga sudah di depan.” Suara Ummi menggema dengan nada yang tak sabaran.

            Setelah meyakinkan diri bahwa kondisi kami tampak baik-baik saja, aku dan Mas Yazid segera bergegas melangkah ke luar. Jantung ini seketika berdebar kala telingaku mendengar suara riuh rendah dari arah ruang tamu yang tak jauh dari kamar kami ini.

            Mas Yazid menggandeng tanganku, kami berdua berjalan pelan menyusuri lorong dan tiba di ruang tamu. Di sana telah berkumpul Ummi, Abi yang tengah sibuk menggendong seorang balita lelaki yang menggemaskan, seorang perempuan rambut blonde sebahu yang mengenakan kaftan warna biru laut, dan seorang lagi pemuda dengan wajah teduh yang mengenakan koko warna senada dengan sang kakak.

            “Mira, ini Dinda, Sarfaraz, dan Azka adiknya Dinda. Kamu masih ingat, kan?” Semringah sekali Ummi. Bahkan dia mengambil balita bernama Sarfaraz tersebut dari gendongan Abi.

            “Lucu, ya, Mir? Cakep banget?” Ummi berdiri dan mendekat ke arahku sembari memamerkan bocah tiga tahun tersebut.

            “Halo, Tante,” ujarnya ramah sembari tersenyum memperlihatkan geligi putih rapinya. Anak itu menyodorkan tangan untuk menyalamiku.

            “Halo, Sayang. Kamu sudah besar, ya?” Balita yang mengenakan pakaian seragam dengan sang paman itu mencium tanganku. Anak itu minta turun dari gendongan Ummi.

            “Faraz mau main, Nek.” Pintar sekali anak itu. Entah mengapa, aku langsung jatuh hati padanya.

            “Main, kemana? Ayo, Kakek ajak ke belakang. Kita lihat burung di tepi kolam renang. Faraz pasti suka.” Abi begitu antusias. Beliau tampak bahagia tak terkira menemukan sosok anak lelaki yang cerdas dan pandai bergaul seperti Sarfaraz. Tiba-tiba pemandangan tersebut entah bagaimana mampu membuat hatiku begitu terbakar api cemburu.

            “Hei, Mir? Kamu belum salaman sama Dinda?” Ummi membuyarkan lamunanku.

            “Maaf, Mi. Halo, Dinda, lama kita tidak berjumpa.” Aku membungkuk, lalu mengulurkan tangan pada sosok Dinda yang tak mau bangkit dari sofanya.

            “Halo, juga. Iya.” Perempuan itu tersenyum ala kadarnya. Membuatku begitu tercengang akan sikap dingin yang dia tunjukkan.

            “Halo, Azka.” Aku menyalami pria yang duduk di sebelahnya. Wajahnya terlihat masih sangat imut dan muda, layaknya anak kuliahan di tengah semester. Untunglah, lelaki dengan kumis tipis dan rambut belah tepi itu lebih ramah ketimbang sang kakak.

            “Halo, Mbak Mira.” Lelaki berkulit putih dengan tubuh cenderung kurus itu tersenyum manis, memperlihatkan sepasang lesung pipitnya.

            “Yazid, jangan bengong saja, dong. Itu si Dinda di sambut. Masa Cuma terpaku begitu?” Suara Ummi begitu sinis. Aku memperhatikan Mas Yazdid yang terlihat ragu serta sungkan saat berjalan mendekat ke arah Dinda.

            “Hai, Din. Lama tidak jumpa,” ujar Mas Yazid sembari mengulurkan tangannya. Diam-diam aku mencuri pandang pada ekspresi Dinda sembari mengambil posisi duduk di hadapan perempuan dengan full make up tersebut.

            Tak kusangka, Dinda berubah 180okala menyapa Mas Yazid. Bibir penuh nan sexy miliknya tersenyum semringah. Perempuan itu bahkan bangkit dari duduknya dan menjabat erat tangan milik Mas Yazid. Yang membuatku makin tercengang, perempuan beraroma sangat wangi itu bahkan hendak mendekatkan pipinya untuk bercipika cipiki.

            Reflek, Mas Yazid mengelak dan mundur beberapa langkah. Menghindar dari ciuman agresif milik Dinda. Dapat kulihat sendiri betapa malunya perempuan yang memiliki tinggi sedikit di atasku tersebut. Wajah glowingnya tampak merona, mungkin akibat menahan grogi.

            “Eh, kita ke ruang makan, yuk. Ummi sama Mira sudah masak makanan dan kue untuk kalian.” Ummi cepat mengalihkan pembicaraan. Perempuan paruh baya yang tampak terlihat begitu cantik dengan stelah kaftan dan jilbab voal motif abstrak warna hitam-gold tersebut bangkit dari duduk. Ummi langsung mendatangi Dinda dan menggamit lengan keponakannya. Mesra sekali keduanya. Dinda yang tadinya cuek serta dingin padaku, kini menampilkan sikap manja pada sang bibi.

            “Dinda sudah lama nggak makan masakan Ummi. Rindu sekali rasanya.” Terdengar jelas di telingaku bagaimana manisnya ucapan Dinda yang tengah merangkul tubuh sang calon mertua dengan mesranya. Aku dan Mas Yazid hanya bisa saling berpandangan dengan ekspresi penuh keresahan di belakang mereka.

            “Tenang, jangan khawatir, Sayang. Nanti, setiap hari Dinda akan makan masakan Ummi. Bagaimana, Dinda senang tidak?” Ramah dan penuh kelembutan sekali Ummi, sikapnya sangat berbeda jika sedang bebicara denganku. Bagaimana hati ini tak semakin teriris-iris rasanya.

            “Senang sekali, Mi.” Dinda terdengar begitu bahagia dan ceria. Dia bagai sosok yang berbeda, memiliki kepribadian ganda dalam satu waktu yang sama. Aneh aku memikirkannya. Apakah ini pertanda bahwa dia bakal menjadi ancaman di masa mendatang? Almira, coba untuk tenang! Ini bukan saatnya untuk berpikiran negatif terus menerus.

            Kami tiba di ruang makan. Ummi mengajak Dinda untuk duduk di sampingnya. Kemudian aku diperintahkan Ummi untuk duduk di sisi kanan Dinda. Jadi, perempuan itu berada di tengah kami berdua. Sedang Mas Yazid duduk di samping Azka yang terlihat canggung untuk banyak berbicara.

            “Eh, Mira, panggilin Abi, dong. Ajak makan dulu.” Ummi menoleh ke arahku. Terdengar suara kursi yang digeser oleh Mas Yazid.

            “Yazid aja, Mi,” tawar Mas Yazid yang telah berdiri.

            “Jangan! Kamu di sini, jangan kemana-mana. Orang ada calon istrinya kok, ditinggal-tinggalin.”

            Deg! Pecah hatiku. Terbanting bagai gelas kaca yang rapuh. Ummi, benar-benar neraka mulutmu. Apakah tak bisa sedikit saja menjaga hatiku?

            Dengan berat hati, aku bangkit dari duduk. Menahan geram yang seketika memanasi ubun-ubun. Benar-benar kelewatan, pikirku. Kediaman ini membuat mereka semakin menjadi. Sabar, Mira. Ada waktunya bagimu untuk membalas. Namun bukan sekarang. Hanya kesabaran yang kini harus diluaskan.

            Aku menuju kolam renang yang berada di samping ruang makan. Kubuka pintu sekat yang terbuat dari kaca tebal. Abi sibuk memamerkan koleksi burung-burungnya yang tergantung pada sangkar-sangkar aneka ukuran pada sang cucu.

            “Abi, mari kita makan dulu,” ucapku sembari memaksakan senyuman.

            “Oke, Mir. Aduh, senang sekali bermain dengan cucu ternyata. Sampai lupa waktu.” Abi kemudian memimpin Sarfaraz berjalan ke arah ruang makan dengan ekspresi yang begitu ceria. Wajah keduanya begitu bahagia bagaikan baru saja menang lotere. Terlebih bocah lelaki yang sangat pintar itu. Dia tak hentinya berceloteh pada sang kakek dan pastinya hal tersebut telah membuat Abi semakin jatuh hati.

            Aku hanya bisa melihat keceriaan orang-orang di rumah ini, tanpa bisa ikut merasakan hal yang sama. Cuma kegetiran yang kini menyaput hati. Membuat air mata seakan ingin tumpah lagi seperti hari-hari lalu. Ya Allah, kuatkan aku. Jangan buat emosi kembali menguasai diri. Tenang, Mira. Jangan perlihatkan kelemahanmu pada manusia-manusia ini. Anggap saja angin lalu yang tak perlu digubris.

            Kami pun makan bersama. Abi masih sibuk mengasuh sang cucu dan tak mau melepaskan bocah itu dari pangkuannya. Sementara Ummi, sibuk memuja muji sang keponakan yang dibilangnya cantik sejak kecil hingga dewasa. Mas Yazid tampak sesekali mengajak Azka, lelaki yang ternyata sedang menyusun skripsi demi menyandang gelar sarjana teknik di sebuah universitas negeri ternama di kota ini. Praktis, hanya diriku seorang diri yang tak diajak mengobrol oleh siapa-siapa di rumah ini.

            Ingin rasanya aku tenggelam dalam lautan samudra. Terkapar di dasarnya yang tiada terlihat cahaya mentari sedikit pun. Mati dalam kesunyian, berkawan mahluk misterius yang belum dicatat dalam buku ensiklopedia mana pun. Ketimbang harus diasingkan begini, tentu saja kondisi di atas adalah lebih baik untukku. Sebegini sampahnyakah diriku di mata mereka?

            “Dinda, Ummi ingin membicarakan hal yang pernah kita bahas di telepon kemarin.” Ummi mulai membuka pembicaraan. Membuat debar jantung ini tiba-tiba jadi tak keruan. Kulirik Mas Yazid yang duduk di seberang sana. Lelaki itu ikut tegang. Tingkahnya seperti grogi dan canggung.

            “Iya, Ummi.” Nada bicara Dinda begitu lembut, bagai ibu peri yang sungguh baik hatinya. Jujur, entah mengapa aku kini begitu membenci sosoknya.

            “Jadi, kamu mau kan menjadi madu untuk Yazid? Ummi dan Abi benar-benar ingin hubungan kekeluargaan kita semakin erat dan dekat. Selain itu, kami pasti sangat bahagia apabila rumah ini dipenuhi oleh canda tawa anak-anak yang bakal lahir dari rahimmu kelak.”

            Sesak dada ini. Bagai terhimpit beban yang sungguh besar. Bukan kepalang rasa kecewa yang memalu kepala hingga membuatnya terasa pening sejenak. Ummi ... tak sadarkah kau jika aku berada di antara kalian?

            “Mau, Ummi.” Jawaban dari mulut Dinda lebih membuat separuh nyawaku terbang jauh bagai burung yang mendengar suara tembak dari pelatuk. Kaki ini rasanya sudah tak berpijak lagi pada bumi. Aku sungguh limbung dan mau mati rasanya.

            “Alhamdulillah. Abi senang mendengarnya, Dinda. Jadi, kapan kamu siap dilamar?” Suara Abi keluar juga. Kulirik wajah lelaki bertubuh tambun yang kini tengah mengusap-usap rambut hitam lebat milik Sarfaraz. Ada pancar bahagia yang tiada tara dari sorot matanya.

            “Semakin cepat, semakin bagus, Abi.”

            Sambaran demi sambaran terus mengejutkan jiwaku. Ini benar-benar bagai mimpi buruk yang tiada akhir. Inginku segera terbangun untuk menatap dunia nyata yang indah. Namun, sayang ternyata inilah kenyataan hidup yang harus kutempuh. Meski harus berdarah-darah, kuulaskan sedikit senyum demi memperlihatkan pada dunia bahwa aku baik-baik saja.

            Dunia ... mengapa kau terlalu kejam memperlakukanku? Sampai kapan semua ini harus terjadi? Sampai nyawa berada di tenggorokankah?

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Pakdhe Moeri
akhirnya mira dan azka keluar dari keluarga ummi dan abi
goodnovel comment avatar
Lilik Endahwati
mira hrsnya belajar mandiri, berani, wong blm punysanak aja
goodnovel comment avatar
Lilik Endahwati
mira lemah sekali, sdh pergi aja dr rmh neraka bgt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status